BAB XIV : KORBAN SILIH
Alam Semesta Valhalla
“Nandi,” sahut Helena di depan pintu kamar Nandi.
“Helena? Ada apa?” tanya Nandi yang sedang membersihkan bilah pedang Kanistara.
“Ke mana besok kau pergi?”
“Entahlah, sebuah semesta baru bernama ... Wayuhira. Menemui satu sosok yang katanya sekutu kita.”
“Tidak ke Arvanda?”
“Kaspar bilang kita tak bisa langsung ke Arvanda.”
“Berarti besok kau akan langsung kembali?”
“Iya, kenapa Helena?”
“Aku khawatir.”
Nandi tertawa, “Ah, ya ampun? Kau datang kemari hanya karena soal itu. Bukankah dia yang hendak kita temui adalah sekutu kita? Kenapa kau sekhawatir itu?”
Helena terdiam sesaat sebelum melanjutkan, “Aku membawa The Rubaiyat. Sebelum kau pergi, bisakah kau membaca satu-dua bait untuk diriku?”
“Apakah suaraku sangat mempesona sehingga kau minta aku bacakan ini untukmu?”
“Bacakan saja Nandi. Biarlah malam ini aku ingat selalu. Malam di mana … teman baik sekaligus kekasihku, sesama pencinta sastra, untuk pertama kalinya membacakan sajak untukku.”
“Kau seperti menyembunyikan sesuatu. Ada apa?”
“Tidak … tidak ada apa-apa, Nandi.”
“Oke, aku akan bacakan ini. Versa mana yang kau minta untuk aku bacakan?”
“Yang ini,” tunjuk Helena dan Nandi pin mulai membacakannya :
Mari kita ikuti kisah seorang anak manusia
dan kita lupakan usia
dengan keindahan bintang di malam hari
tidur tak mampu memperpanjang usia manusia
berjaga malam
juga tidak mengurangi umur manusia sedikit pun
Lawanku keliru menyebutku ahli falsafah
Tuhan tahu aku bukan yang mereka katakan
kerana terlanjur lahir di tempat yang menyedihkan ini
tak perlu aku tahu siapa aku sebenarnya
Oh mata, kau tak buta, lihat liang lahat itu
dan lihat dunia yang penuh kekacauan dan sengsara
raja, kadi dan putera, semua terkubur di dalam tanah
lihat si wajah cantik di rahang-rahang semut
TAMAM SHUD
“Ada maksud tertentu dirimu memintaku membacakan bagian rubaiyat Ummar Khayyam ini? Dan bagian ini bukanlah sajak-sajak akhirnya. Kenapa kau cantumkan tanda ‘Tamam Shud[1]’ di sini?” tanya Nandi.
“Ada Nandi. Kita di sini hampir mencapai tujuan akhir dari perjalanan kita, tujuan akhir kita sebagai Contra Mundi. Meski bait-bait itu bukanlah bait-bait terakhir, kata Tamam Shud mengakhirinya sebagai sebuah kesempurnaan.Sama seperti kita yang sebentar kita bisa mengatakan …. .”
“Tamam Shud untuk segala usaha dan perjuangan kita. Kita akan menikmati apa yang sudah kita kerjakan. Itu kan maksudmu?”
“Eh … iya,” jawab Helena gugup.
“Lalu kenapa wajahmu tampak khawatir?”
“Aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi, Nandi.”
“Mungkin itu hanya firasatmu saja.”
“Nandi!” sebuah suara terdengar di depan kamar Nandi, tampak ketua mereka, Helmut, sudah berdiri di hadapan mereka, “Bisa kita bicara empat mata?”
“Tentu!” jawab Nandi, “Helena, bisa tinggalkan kami berdua?”
“Oke.”
“Terima kasih.”
Helena beranjak meninggalkan ruangan tersebut, tanpa menatap Helmut sama sekali.
“Jadi ... apa yang mau kau bicarakan, Ketua?”
Helmut duduk di pinggir dipan Nandi, “Kau sudah menemui ibumu?”
“Dan Kadhara Santi? Ya!”
“Sudah tahu apa yang kubicarakan pada mereka?”
“Mengenai janji menghidupkan Kak Sanjaya? Oh ayolah! Apa-apaan dengan janji itu? Mustahil orang hidup menghidupkan orang mati bukan?”
“Bagaimana jika itu mungkin?”
Nandi mendelik ke arah Helmut, “Mungkin?”
“Aku dan yang lainnya bisa melakukannya ... dengan bantuan seorang rekan.”
“Benarkah?”
“Anggap saja ini hadiah ... atas bantuanmu selama ini, Nandi. Tapi untuk melakukannya ... kita harus menemui seseorang besok. Sekarang tidurlah. Besok kita berangkat pagi-pagi.”
*****
Alam Semesta Valhalla, esok paginya.
“Semua siap?” Helmut menoleh ke arah Nandi dan Olivia hingga kedua orang itu mengangguk tanda kesiapan, kemudian ditolehkannya wajahnya ke arah Haris yang juga menjawab dengan anggukan, tanda kesiapan.
“Portalnya akan terbuka selama dua jam saja. Aku dan Helena akan menjaga portalnya tetap terbuka.”
“Pastikan portal ini tetap terbuka, Professor. Jika aku dapati portal ini tertutup aku akan menjadikan kepalamu hiasan dinding,” celetuk Olivia.
“Oh yah, seorang wanita yang kelebihan hormon testoteron mengancam akan membunuhku!”
“Lakukan saja tugasmu, Professor,” ujar Haris.
“Oke! Kalian bisa masuk sekarang!”
Keempat orang itupun melangkah masuk dan menghilang ke dalam portal yang baru saja terbuka.
“Kaspar!” tegur Helena.
“Ada apa Helena?” jawab Kaspar sekenanya sembari terus membolak-balik halaman kitab-kitab tua yang berjajar di sebuah meja.
“Kita harus bicara.”
“Nanti saja Helena, aku sedang sibuk.”
“Tidak,” Helena segera mencengkeram pundak Kaspar lalu memaksa pemuda berkacamata itu menatap kedua matanya, “Jalaskan padaku apa yang kalian rencanakan di semesta itu! Kau merencanakan sesuatu pada Sang Wahana, dan yang dimaksud wahana di sini adalah Nandi bukan? Katakan padaku apa yang kau tahu.”
“Maaf Helena,” Kaspar segera melayangkan tendangan kaki kanannya ke perut Helena hingga gadis itu terjungkal, “Aku tak boleh mengatakannya.”
“Kalau begitu aku akan memaksa,” Helena mengepalkan tangan kirinya kuat-kuat dan segera terbentuklah gumpalan air yang berputar-putar di sekeliling tangan kirinya.
“Silakan coba,” Kaspar menarik sebuah revolver berwarna perak dari balik saku mantelnya, “Bangun, Lores te Deri!”
Helena menyambar sebongkah batu yang tergeletak di bawah sebuah meja kayu lalu melemparkannya ke arah Kaspar. Pistol di tangan Kaspar berdesing dan segera saja batu itu hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. Kaspar membidikkan pistolnya ke arah Helena, pistol itu berdesing tiga kali dan melontarkan tiga peluru ke arah Helena, namun semuanya meleset dari sasarannya.
“Bidikanmu buruk sekali, jauh lebih buruk daripada Nandi,” ledek Helena sembari melompat dan melayangkan sebuah pukulan tangan kanan ke wajah Kaspar, hingga kacamata pemuda itu terlempar ke sudut ruangan.
“Kau membuatku marah, Helena,” Kaspar menggeram.
“Marah ataupun tidak kau tetap saja payah.”
“Helena ..., kau harus belajar untuk tidak menilai orang dari penampilannya,” secara tiba-tiba sebuah sambaran halilintar keluar dari tangan kiri Kaspar dan menjebol dinding ruangan tersebut. Helena sama sekali tidak memperhitungkan serangan tersebut sehingga ia turut terlempar keluar dari ruangan tersebut.
“Sekarang duduk manis dan diamlah Helena!”
“Dan membiarkan kau dan mereka bermain rahasia?”
“Kau sebaiknya tidak tahu terlalu banyak Helena! Kau masih belum dapat memahami duduk perkaranya!”
“Kalau begitu coba jelaskan padaku!” secara tiba-tiba Helena muncul dari belakang Kaspar dan menghantamnya dengan sebuah pusaran air yang keluar dari tangan kanannya. Kaspar tak sempat mengelak, serangan tadi membuat dirinya terpental keluar dari lorong tersebut dan langsung terjungkal di padang rumput di luar kastil. Helena segera melompat keluar kastil, menyusul Kaspar.
“Katakan sekarang!” sebuah anak panah dari es dibidikkan Helena ke arah Kaspar yang masih belum bangkit dari jatuhnya.
“Tidak!” sebuah tenaga tak terlihat mendorong Helena sehingga gadis itu terlempar sejauh beberapa meter.
“Bajingan!” Helena langsung bangkit dan membalas serangan Kaspar dengan membentuk bola-bola air yang dengan cepat membeku menjadi es. Dilemparkannya peluru-peluru es itu ke arah Kaspar yang mencoba menangkisnya dengan menembakkan pistolnya berulang-ulang.
“Hentikan Helena!”
“Tidak! Katakan dulu apa rencana kalian!”
“Kau memaksaku melakukan hal yang sangat tidak ingin kulakukan,” Kaspar menunduk lesu sebelum akhirnya balik menatap Helena dengan tatapan mata angker. Sebuah tatapan yang bertolak belakang dengan sifat yang ditunjukkan selama ini.
“Langit dengarkan kata-kataku! Lihat aku! Aku anak yang dilahirkan dari persetubuhan dirimu dengan bumi! Pandanglah aku yang dinistai oleh musuhku ini! Hancur leburkan ia dengan pedang halilintarmu, remukkan ia dengan gada petirmu! Biar semua musuhku bertekuk lutut di hadapanku!” seru Kaspar sambil menunjuk langit dan sekonyong-konyong langit tampak tertutup oleh awan mendung dan halilintar menyambar-nyambar di atas padang rumput itu.
“Apa-apaan ini?” Helena mendongak dengan heran ketika melihat cuaca bisa berubah sedemikian cepatnya.
“Contra Mundi yang memiliki Rajata ... dianugerahi kekuatan melebihi mereka yang tidak memiliki Rajata!” ujar Kaspar datar sembari mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Halilintar menyambar tubuhnya, tapi tak satupun ekspresi sakit yang terlihat di wajahnya. Kilatan-kilatan halilintar itu justru berkumpul di kedua tangannya dan membentuk sebentuk bola listrik berwarna biru cerah yang sangat menyilaukan.
“Uh!” Helena tampak panik ketika Kaspar mengambil ancang-ancang untuk melemparkan bola listrik itu ke arahnya. Ia melentingkan tubuhnya tinggi-tinggi, mencoba menjauhkan diri dari jangkauan serang Kaspar, namun sesuatu yang tak pernah diduganya terjadi. Bola listrik itu memecah diri menjadi banyak bagian ketika Kaspar melepaskannya. Setiap bagian itu melesat ke arah Helena dengan kecepatan yang luar biasa, jauh melampaui kecepatan Helena dalam berlari ataupun melayang. Dan pada akhirnya bola-bola listrik itu berhasil mendapatkan targetnya. Sebuah ledakan terjadi ketika bola-bola listrik itu bersinggungan dengan tubuh Helena – membuat gadis itu terpental sejauh puluhan meter dan tak sadarkan diri.
Sementara itu Kaspar dengan angkuhnya mengibaskan tangannya ke udara kosong di hadapannya sehingga membentuk sebuah portal cahaya. Kaspar memasuki portal itu. Portal itu membawanya ke lokasi di mana tubuh Helena tergeletak tak sadarkan diri. Dengan tatapan sedih diperiksanya denyut nadi gadis itu.
“Maaf jika aku berlebihan Helena, tapi kau pasti akan bertindak bodoh jika kukatakan apa yang direncanakan Helmut di sana. Aku tahu kau telah menemukan sosok seorang pangeran dalam dirinya. Tapi ini realita Helena, bukan dongeng, dan jikalau ini dongeng, dongeng ini tak akan berakhir dengan bahagia.”
*****
Alam Semesta Wayuhira
Helmut, Nandi, Olivia, dan Haris tiba dii sebuah padang batuan yang terhampar luas, seolah tanpa ujung. Angin dingin yang kering menampar wajah muda-mudi itu. Tak satupun tumbuhan tampak di sini, kecuali batang-batang pohon yang sudah mati dan menghitam.
“Tandus,” Haris mengorek segenggam tanah di hadapannya, “Sudah bertahun-tahun tidak ada kehidupan di sini.”
“Apa yang kita cari di sini, Ketua?” tanya Nandi penasaran.
“Sekutu dan ... Rajata milik Olivia dan Helena.”
“Uh ... Nona, kau tidak punya Rajata?” Nandi berpaling ke arah Olivia.
“Tidak.”
“Lalu bagaimana kau mengalahkan Za’in di semestamu.”
“Itu rahasia!”
“Haris, Nandi!” Helmut memalingkan wajahnya ke arah dua rekannya itu, “Awasi sekeliling kita. Olivia, bantu aku!”
“Oke Bos!” Olivia langsung menghampiri Helmut dan membongkar bungkusan yang dibawa Helmut sedari tadi.
“Apa yang kita takutkan dari semesta ini? Aku sama sekali tidak merasakan bahaya,” komentar Haris.
“Tidak ada salahnya berjaga-jaga,” balas Nandi.
“Hum ya, tidak ada salahnya.”
Sementara dua rekannya berjaga-jaga, Helmut dan Olivia meletakkan di hadapan mereka sebuah gading hewan dan sebotol cairan merah. Helmut membuka botol itu dan menuangkan cairan merah itu ke atas gading yang mereka bawa hingga seluruh permukaan gading itu terlumuri oleh cairan merah itu.
Helmut bersujud di tanah keras nan berdebu itu, memegang gading yang sudah berlumuran cairan merah tersebut, lalu menancapkan gading itu ke tanah.
Aku memanggil seorang putra pertama
Yang dilahirkan atas persetubuhan bumi dengan langit
Dengarkan aku!
Gading putih ini adalah kunci kebebasanmu
Dan darah domba ini adalah penghancur belenggumu
Naik kau, naik kemari!
Ke tempat manusia-manusia hidup dalam cahaya
Ke tempat manusia-manusia terjerumus oleh kegelapan
Naik! Dengarkan aku!
Saatnya kau bangun kembali,
Melaksanakan apa yang harus kau lakukan,
Sebuah takdir yang dibebankan kepadamu sejak awal masa!
Langit di atas mereka tiba-tiba bergemuruh hebat, sebuah gempa terjadi dan menggoncangkan pijakan keempat orang tersebut. Namun itu semua hanya berlangsung sesaat. Tak berapa lama kemudian berhentilah semua kejadian tersebut, dan dari dalam bumi keluarlah sebuah bola cahaya yang menyilaukan. Bola cahaya itu bersinar dengan terangnya selama beberapa detik, membuat keempat orang di hadapannya harus menutup mata karena silau. Akhirnya cahaya itu meredup dan perlahan-lahan menunjukkan sosok manusia. Manusia bersayap yang berada dalam posisi meringkuk, dengan pakaian serba hitam membungkus tubuhnya. Sosok itu turun perlahan-lahan hingga berpijaklah ia di atas bumi.
“Malaikat?” Haris mendesah, “Kita kemari untuk memanggil sesosok malaikat?” Haris segera menghunus scimitarnya, bersiap untuk menyerang sosok tersebut.
“Sarungkan kembali senjatamu, Haris. Dia berdiri di pihak kita!” tegur Helmut.
“Benarkah? Sesosok malaikat? Berdiri di pihak kita?” balas Haris lagi.
Makhluk yang disindir itu tiba-tiba mendongakkan kepalanya dan keempat orang itu pun bisa melihat bahwa di tempat yang seharusnya terdapat bola mata, tidak mereka dapati adanya bola mata di situ.
“Matanya tidak ada!” seru Nandi.
Makhluk itu berpaling ke arah Nandi, tangan kirinya diangkat dan jari telunjuknya menunjuk ke arah Nandi. Mulanya ia membisu, tapi pada akhirnya ia bicara juga, “Mataku telah kutitipkan padamu.”
“Kepadaku?” tanya Nandi kaget.
“Matamu itu,” makhluk itu kembali berujar, “adalah milikkku! Kekuatan yang kupinjamkan pada dirimu untuk menyelamatkan semestamu, Mahija Nandi.”
“Kau Saklas?”
“Benar! Dan aku hendak menagih kembali milikku.”
“Hei, tunggu! Bagaimana caraku mengembalikan matamu?”
“Kau tidak hanya harus mengembalikan matanya, Nandi,” tiba-tiba Helmut berujar dari belakang Nandi, “Kau juga harus membayar harga yang mahal untuk tujuan utamamu.”
“Apa maksudmu, Ketua?” Nandi membalikkan badannya, tidak mengerti dengan ucapan Helmut barusan.
“Oh, aku tidak suka ini,” Olivia meletakkan tangannya di jidatnya sembari menunduk.
“Aku juga,” sahut Haris sembari menarik kembali senjatanya keluar.
“Maaf Nandi, harga untuk tujuanmu itu sangat mahal,” Helmut menarik keluar dua bilah pedang panjang berwarna hitam dari balik mantelnya.
“Hei-hei-hei, ada apa ini?” Nandi mulai panik sekaligus heran melihat tatapan Helmut yang tiba-tiba berubah keji dan Haris yang menatapnya dengan tatapan sedih.
“Kau harus mati di sini, Mahija Nandi. Bantuanmu sudah tidak diperlukan,” sosok Saklas tiba-tiba menyahut.
“Mati? Yang benar saja! Aku adalah Penjaga Versigi! Tanpa aku semesta itu akan hancur!”
“Penjaga Versigi, heh!” Helmut mendengus, “Kau bukan penjaga semesta Nandi, kau juga bukan seorang Contra Mundi. Kau hanyalah seorang ‘wahana’. Seorang yang kami pilih untuk kami pinjami kekuatan guna melaksanakan tugas dari Contra Mundi Versigi yang sebenarnya.”
“A-apa? Jadi kalian?”
“Kau takkan bisa melangkah ke Arvanda, Nandi. Kami pun tidak. Tanpa kehadiran Contra Mundi Versigi yang sebenarnya kami takkan bisa melangkah ke semesta berikutnya,” kata Haris.
“Siapa yang kalian maksud dengan Contra Mundi Versigi ini?” Nandi mulai menghunus Kanistara, bersiap melawan jika kawan-kawannya ini memutuskan menyerangnya.
“Kau masih belum menyadarinya ya? Bukankah kalian pernah bertatap muka? Bukankah kau dan dia adalah saudara sedarah?” kata Helmut.
“Astaga!” Nandi terperangah.
“Betul sekali Nandi. Ia adalah Sanjaya. Kakakmu yang mati konyol di tangan iblis Calya. Sungguh bodoh dia itu, melawan Sang Iblis sebelum memiliki kekuatan. Kebodohannya memaksa kami untuk meminjamkan kekuatan kami kepada dirimu.”
“Tapi sebagai seorang manusia yang sebenarnya ‘tidak terpilih’ kau memiliki kekuatan yang jauh lebih minor daripada mereka semua, Nandi,” Saklas kembali berujar, “Karena itulah aku turut meminjamkan kekuatanku padamu.”
“Dan itu nyaris tidak cukup,” sambung Haris.
“Kau nyaris gagal,” sambung Olivia.
“Tapi ternyata kau berhasil! Aku ucapkan selamat untuk itu, Nandi!” sambung Helmut, “Tapi sayangnya ... kau harus mati.”
“Mati? Heh! Tidak akan! Jika aku mati maka aku akan menjadi seorang pengingkar! Aku punya janji pada banyak orang! Pada adikku! Pada ibuku! Dan pada ...,”
“Helena?” tandas Helmut yang membuat Nandi terperangah, “Aku sudah tahu soal itu.”
“Kalian takkan bisa membunuhku semudah itu,” Nandi segera menarik keluar Kanistara lalu menghantamkannya ke tanah sehingga bermunculanlah sejumlah bongkahan batu yang melayang dan segera meluncur ke arah Helmut dan kedua rekannya.
“Maaf Nandi,” Olivia tiba-tiba maju ke hadapan dua rekannya, “Tapi serangan ini percuma!” gadis itu melayangkan tinjunya ke bongkahan-bongkahan batu yang bergerak ke arahnya itu sehingga seluruh bongkahan itu hancur lebur.
“Antinencidio!” Nandi menembakkan kobaran api berwarna biru ke arah Olivia, namun dengan cekatan Olivia merentangkan tangan kirinya – membentuk sebuah dinding angin yang langsung memadamkan kobaran api milik Nandi.
“Jangan melawan Nandi. Kau hanya akan menambah deritamu!” Haris tiba-tiba sudah berdiri di samping Nandi dan mengayunkan senjatanya, nyaris menyambar leher Nandi – hanya meleset beberapa milimeter. Nandi menyabetkan Kanistara miliknya, menangkis serangan dari Haris, namun sebuah pukulan keras tiba-tiba mendarat di pinggang kirinya, membuatnya terhempas sejauh beberapa meter. Pukulan Olivia-lah yang membuat Nandi terpental sejauh itu.
“Ini buruk, Nandi. Aku sarankan kau kabur!” celetuk Kanistara.
“Setuju!” Nandi segera berlari ke arah portal yang tampak masih terbuka. Dipaksanya kakinya berlari secepat yang ia bisa menuju portal tersebut. Tapi nasib naas tampaknya amat senang menjamah diri pemuda itu, hanya tinggal beberapa langkah lagi sebelum ia mencapai portal dimensi Helmut dan sosok malaikat bernama Saklas itu tampak sudah berdiri menghalangi jalannya.
“Minggir!” Nandi memekik sembari mengkonsentrasikan seluruh energinya yang tersisa untuk sebuah serangan pamungkas, “Infernus Antinencidio!” kedua tangan Nandi segera diselimuti kobaran api berwarna hitam pekat yang langsung ia tembakkan ke arah dua sosok yang menghalangi jalannya itu.
“Menggelikan,” Helmut menyeringai lalu mengangkat tangan kirinya dan kobaran api berwarna hitam itu secara ajaib terserap seluruhnya ke dalam dirinya.
“Apa?” Nandi kaget setengah mati melihat serangan pamungkasnya dimentahkan begitu saja. Dan belum sempat ia pulih dari rasa kagetnya, sebuah tendangan datang dari arah belakangnya dan mengenai lutut kanannya sehingga membuatnya jatuh terduduk. Ingin rasanya ia meraung karena merasakan lututnya bergeser dari tempatnya. Tapi belum sempat ia melakukannya, betis kirinya ia rasakan telah ditusuk oleh sesuatu yang tajam, scimitar milik Haris.
“Bedebah, kalian!” Nandi meraih Kanistara lalu menancapkannya ke tanah di hadapannya, bermaksud membuat sebuah gempa lokal atau menghantam lawan-lawannya ini dengan bongkahan batu. Tapi Kanistara tidak bereaksi sama sekali.
“Kanistara?” Nandi yang mendapati tidak ada reaksi apa-apa dari Rajata itu mencoba berkomunikasi dengan Rajatanya.
“Maaf Nandi. Aku tak bisa lagi membantumu,” ujar Rajata sembari terbang melayang ke arah Saklas.
“Aaahh! Apa kabar Kanistara? Sudah lama kita tak berjumpa,” sapa Saklas yang menyambut Kanistara bak seorang teman lama.
“Mustahil! Kanistara juga?” Nandi menatap bilah Kanistara yang kini telah beralih ke tangan Saklas dengan tatapan tidak percaya.
“Pengkhianatan adalah esensi setiap makhluk hidup bernama manusia. Bukankah begitu, Nandi?” mulut Saklas menyunggingkan senyum keji ke arah Nandi. Matanya yang hanya berupa lubang hitam itu pun seolah turut memberikan pandangan sinis ke arahnya.
“Sejak semula kau datang kemari sebagai korban. Darahmu akan ditumpahkan di atas tanah ini sehingga kami bisa membangkitkan kembali tiga Rajata yang masih tersegel. Ayolah Nandi, jangan melawan. Kami akan membuat kematianmu datang cepat dan tidak menyakitkan,” ujar Helmut dengan nada sinis.
“Kau … yang benar saja! Aku sudah berjanji pada adikku akan datang pada saat wisudanya! Mana mungkin aku ingkari janjiku!”
“Kau akan menjadi pengingkar janji … sama seperti Sanjaya. Dan seperti Sanjaya yang telah hangus dibakar api neraka, kaupun akan bernasib sama.”
“Dalam mimpimu itu akan terjadi!” bentak Nandi sembari mencoba mengeluarkan kembali Antinencidio miliknya, namun kekuatan itu tak jua keluar. Alih-alih keluar, kedua tangan dan kedua kakinya kini serasa tidak punya tenaga. Dengan segera Haris dan Olivia memegangi kedua tangan Nandi.
“Lihat dirimu yang sekarang Nandi. Tak lebih dari seorang manusia yang menyedihkan,” kata Helmut.
“Kukira kita berenam ini adalah rekan, sahabat, dan saudara.”
“Lupakah kau dengan apa yang dikatakan Sang Pencerita? Bahwa setiap manusia memiliki sisi gelap?”
“Tapi aku tak menyangka akan dikhianati oleh sahabat-sahabatku sendiri.”
“Itu karena kau naif. Oke ... selamat tinggal Nandi,” Helmut dengan kecepatan luar biasa menusukkan dua pedangnya tepat di paru-paru Nandi. Nandi merasakan seluruh tenaganya seperti diserap habis dan kehidupan perlahan-lahan mulai meninggalkan raganya. Olivia dan Haris melepaskan pegangan mereka pada lengannya membiarkan dirinya jatuh terbaring di tanah berbatu. Darah mengalir deras dari lukanya, pita suaranya kelu, seluruh tubuhnya terasa sakit tak terperi, dan udara seakan meninggalkan sekelilingnya. Tapi dengan segala tenaganya yang masih tersisa Nandi berusaha bertahan hidup. Dengan segala sisa tenaganya Nandi bersikeras untuk tidak mati di sini.
“Percuma, Nak. Meski kau lebih kuat daripada manusia kebanyakan, kau tidak akan bisa mengelak dari kematian sekarang,” ujar Saklas.
“Diam kau! Engh…! Argghhh ….!!!” Nandi berusaha bangkit berdiri tetapi berkali-kali terjatuh. Pandangannya mulai buram dan detak jantungnya ia rasakan mulai melemah. Pikirannya kini menerawang ke ingatan-ingatan masa lalunya, masa di mana ia dan saudara-saudaranya bermain-main dengan ayahnya, masa ketika ia dan Sanjaya berkunjung ke pusara ayah mereka, masa ketika ibunya mengusirnya, masa ketika ia masih mengabdikan diri sebagai Nirvataka, dan pada akhirnya kencan pertamanya dengan seorang gadis, Helena.
“Anak ini sudah hampir mati … tapi semangat hidupnya masihlah tinggi. Helmut Redeemes, kuharap kau tidak menyesali keputusanmu mengorbankan dia,” ujar Saklas.
“Sama sekali tidak. Dia hanyalah tumbal dan dia tidak berguna lebih dari itu,” jawab Helmut sembari menyeringai.
“Kau… kau!” Nandi hendak mengumpat-ngumpat Helmut dengan segala caci maki yang ada di kepalanya, tapi seluruh kata-kata itu seolah hilang dari kepalanya. Dia mendapati Olivia dan Haris kini turut pula berdiri di samping Helmut. Pandangan mereka menunjukkan rasa iba, tapi tak satupun tindakan yang mereka lakukan untuk mencegah Helmut melakukan rencananya.
“Ah ... segala hal ini ... adalah sebuah komedi yang tidak lucu. Maafkan aku ... telah ingkar janji pada kalian ... Wima dan ... Helena. Tamam Shud,” tangan kanan Nandi membuat gerakan seolah ingin menggapai sesuatu sebelum akhirnya tangan itu terjatuh lemas.
“Dia sudah mati?” tanya Olivia.
Helmut menghampiri jasad Nandi dan memeriksa denyut nadinya, “Sudah.”
“Helmut Redeemes! Jangan pernah melibatkanku dalam pembunuhan seperti ini lagi!” bentak Haris.
“Kaupikir aku senang melakukannya? Tidak! Aku tidak senang! Tapi ini harus kita lakukan agar kita bisa menyelamatkan seluruh semesta!”
“Permisi,” Saklas berjalan mendekat ke arah Nandi lalu memegangi kepala pemuda itu, tak berapa lama kemudian matanya yang tadi hanya berupa lubang hitam telah terisi kembali oleh bola mata selayaknya manusia normal. “Aku sudah selesai dengan dia. Kini giliran kalian.”
Helmut, Olivia, dan Haris menghampiri jenazah Nandi dan membentuk sebuah formasi lingkaran. Sekali lagi Helmut menarik keluar kedua pedang hitamnya dan menancapkannya ke tanah di samping kanan dan kiri jenazah Nandi, dan sesudah demikian kembalilah ia merapal mantra, kali ini bersama kedua orang rekannya.
Phobos dan Deimos
Bukalah gerbang menuju alam kematian
Ini darah dari adik
Yang diserahkan dengan tidak rela
Ini darah dari satu ayah
Ini darah dari satu kakek dan kakek moyang
Dengan darah ini kami hendak tukarkan si pemilik darah
Dengan saudara sedarahnya
Ayo buka!
Dan biarkan kami tukarkan dia dengan seorang dari antara kami
Tanah di bawah jasad Nandi secara tiba-tiba berubah menjadi sebuah lubang hitam yang semakin lama semakin besar dan pada akhirnya menelan jasad Nandi ke dalamnya. Lubang itu memiliki poros dan berputar dengan putaran searah jarum jam selama beberapa detik. Ketiga orang Contra Mundi itu menunggu dengan sabar di sekitar lubang hitam tersebut hingga akhirnya sesuatu mulai tersembul dari lubang hitam tersebut. Mula-mula sesuatu itu tampak seperti bagian atas kepala manusia namun perlahan tapi pasti benda itu mulai merangkak naik dan naik hingga memunculkan sesosok kepala manusia, lalu leher, dan kemudian tampaklah sesosok tubuh manusia – pria yang telanjang bulat – muncul dari dalam lubang tersebut. Tubuh pria ini penuh bekas luka, wajahnya datar tanpa ekspresi, dan matanya menunjukkan sebuah kebengisan yang luar biasa.
“Selamat datang kembali Sanjaya,” sapa Helmut.
Sosok pria itu menuding Helmut dengan telunjuk kirinya. “Kau! Kau benar-benar menepati janji!”
“Aku tidak berniat ingkar janji, Sanjaya.”
“Selamat datang ‘Kekasih Cahaya’,” sapa Saklas, “terimalah senjatamu.”
Empat buah bola cahaya tiba-tiba terbang ke arah Helmut dan kawan-kawannya, sebuah bola mendarat tepat di atas Olivia, dua buah mendarat di hadapan Helmut, sementara sebuah lagi mendarat tepat di genggaman tangan Sanjaya.
Sanjaya merengkuh bola cahaya itu dengan lembut kemudian masuklah ia ke dalam kondisi seperti kerasukan selama beberapa saat. Tapi tak berapa lama kemudian ia berujar, “Ayo bersinarlah, Drestha!”
[1]Tamam Shud (baca: Taman Shud) memiliki arti ‘Selesai Sudah’
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top