BAB XIII : PRAMBANAN

Alam Semesta Sambala

Omyakon, Rusia, 14 Desember 2012

            Badai salju tengah berhembus dengan dahsyatnya di antara bukit-bukit yang mengapit Omyakon. Sesosok gadis berambut hitam berbalutkan mantel coklat yang dipadu dengan celana jeans hitam tampak berdiri dengan tenangnya di antara badai salju tersebut. Sungguh sebuah kondisi yang mengherankan mengingat suhu di tempat itu tengah mencapai minus 12 derajat Celcius.

            Seorang wanita cantik berambut panjang berwarna putih keperakan dalam balutan gaun putih keperakan pula datang menghampiri sang gadis. Kedua telapak tangannya saling bertemu dan jari-jarinya terlihat saling meremas-remas satu sama lain, seolah itu ia lakukan untuk melawan rasa dingin yang menusuk sampai tulang.

            “Ada apa Skadi? Kenapa kau bawa aku kemari?” tanya si gadis.

            “Ada sesuatu yang harus kusampaikan, Helena, dan waktuku tak banyak.”

            “Apa itu?”

            “Mengenai ‘Wahana’.”

            “Ah itu?”

            “Jangan biarkan Sang Wahana mencapai Arvanda.”

            “Apa maksudmu, Skadi?”

            “Ah ..., waktuku sudah habis Helena. Yang jelas ... hentikan Sang Wahana sebelum ia mencapai Arvanda.”

            “Hei! Skadi! Tunggu!” Helena berlari menghampiri Skadi tapi sekonyong-konyong Sang Dewi Es penguasa kastil itu tiba-tiba sirna.

*****

Alam Semesta Valhalla, empat jam sebelumnya.

           

            Kamar itu tampak temaram oleh api dari tungku perapian yang tengah berkobar. Di kamar itu tampak seorang wanita Eropa yang tak lain adalah Skadi tengah duduk di samping sebuah dipan di mana di dipan tersebut tengah terbaring seorang anak lelaki yang tampak pucat pasi. Anak lelaki itu tampak terlelap sementara Skadi terus menjaga dan mengamat-amati keadaannya, hingga akhirnya terbukalah mata sang anak lelaki tersebut.

            “Skadi?” bocah lelaki itu tampak terkejut.

            “Jangan banyak bergerak, Alasdair. Lukamu masih belum pulih.”

            “Tidak! Aku harus ... ugh!” ia mencoba bangun namun rasa nyeri pada perut dan dadanya memaksanya untuk berbaring kembali.

            “Skadi! Kau harus peringatkan satu dari antara mereka! Cegah Sang Wahana memasuki Arvanda! Segera!”

            “Tenanglah Alasdair. Itu akan kulakukan nanti, setelah kau cukup sehat untuk pergi dari sini.”

            “Kau gila Skadi! Kau tidak akan punya waktu lagi! Orang yang hendak membunuhku sedang menuju kemari!”

            “Kau pengkhianat, Skadi!” sesosok pria bertudung coklat tiba-tiba memasuki kamar Skadi yang beku dan dingin.

            “Kau? Justru kau yang berkhianat! Titik Nol harusnya kalian lindungi!”

            “Ia telah mengacaukan tatanan waktu yang seharusnya, Skadi! Ia harus dilenyapkan!”

            “Tidak! Aku tak akan membiarkanmu menyentuhnya!” Skadi menarik sebuah tongkat besi pendek berwarna putih perak sepanjang 40 cm. Tongkat itu ia ayunkan sejenak dan memanjanglah tongkat itu menjadi empat kali ukurannya semula.

            “Jangan bodoh Skadi! Letakkan Rajatamu!”

            “Tidak! Kau, Alasdair, larilah!” ia menoleh kepada sang anak lelaki yang masih terbaring lemas di ranjang.

            “Baik ... ugh!” Alasdair memaksa diri untuk bangkit dan dengan tertatih-tatih keluar melalui pintu belakang ruangan tersebut.

            “Jangan salahkan aku jika aku terpaksa membunuhmu!” sosok itu segera mengeluarkan dua bilah pedang dari balik jubahnya dan langsung terjadilah sebuah pertarungan antar dua sosok itu.

            Skadi memukulkan tongkatnya ke lantai dan lantai itu langsung membeku dan menjadi rapuh. Sang pria bertudung itu menghembuskan nafas lega karena tongkat itu nyaris mengenainya.

            “Jangan paksa aku melakukannya, PangeranWaktu.”

            “Maaf Skadi, tapi ... aku harus melakukannya,” pria itu membentuk sebuah lingkaran sihir – sebuah lingkaran cahaya kuning dengan sebuah pentagram di tengahnya dan beraneka simbol mengelilinginya – dengan kedua tangannya.

            “Itu ..., takkan kubiarkan!” Skadi meloncat dan segera mengarahkan senjata tongkatnya ke arah lingkaran sihir tersebut. Sehembus hawa dingin segera menghancurkan lingaran sihir tersebut, tapi bersamaan dengan hancurnya lingkaran sihir tersebut, api unggun yang ada di ruangan tersebut berhenti bergoyang, sosok Skadi berhenti mematung di hadapan sang sosok bertudung – waktu pun terhenti.

            Sosok bertudung coklat itu berjalan ke arah sosok Skadi yang membeku. Diarahkannya salah satu pedangnya ke arah jantung Skadi dan ditusuknya jantung Sang Dewi Es tersebut. “Maafkan aku Skadi. Aku terpaksa,” bisik sosok itu kepada Sang Dewi Es yang perlahan-lahan mulai sirna menjadi serpihan-serpihan es yang berjatuhan di lantai ruangan. Ketika serpihan es yang terakhir telah jatuh, waktu pun kembali berjalan seperti sediakala.

Alam Semesta Valhalla, 15 Desember 2012.

 

            Helena kembali ke kastil dengan perasaan uring-uringan. Pertemuannya semalam dengan Skadi itu sungguh sangat aneh dan membuatnya frustasi. Siapa wahana yang dimaksud Skadi semalam? Dan mengapa ia tidak boleh mencapai Arvanda? Apakah ia musuh? Apakah ia sekutu yang harus dilindungi sedemikian rupa? Entahlah. Pikir Helena. Di saat semacam ini ia sama sekali tidak bernafsu untuk memikirkan sebuah teka-teki.

            “Dari mana kau semalam?” Olivia – si gadis tomboi datang menghampirinya dengan sebaskom air hangat.

            “Jalan-jalan.”

            “Di daerah yang sedang dilanda badai salju?”

            “Tahu dari mana?”

            “Hei! Aku tahu dari lagipula mantelmu itu masih menyisakan bulir-bulir salju padat, dari sepatumu yang basah dan dilapisi oleh lapisan es tipis.”

            “Benar-benar intuisi seorang polisi, Olivia.”

            “Mantan!”

            “Ngomong-ngomong soal mantan aku jadi ingat Richard.”

            “Oh ya ampun! Jangan dekati pria itu lagi! Kau tahu apa yang nyaris ia perbuat dulu kan? Dasar pria tidak tahu diri!”

            “Kenapa jadi kau yang emosi?”

            “Ups! Maaf! Aku ... sering terbawa emosi saat membicarakan ‘kasus’ seperti yang kau alami.”

            “Ngomong-ngomong itu air buat siapa?”

            “Nandi.”

            “Err ... bagaimana hasilnya?”

            “Oh, dia sukses besar. Agara sudah tewas!”

            “Lalu, itu air hangat buat apa?”

            “Kau akan lihat nanti, oh ... tidak perlu, kau sudah melihatnya,” Olivia menunjuk ke arah Nandi yang masuk dengan muka lebam-lebam – tampak jelas bahwa ia habis dipukuli.

            “Kau tampak kacau, Nandi,” komentar Helena.

            “Sebegitu burukkah?” Nandi balas bertanya sambil menyeka wajahnya dengan air hangat dari baskom di hadapannya.

            “Persis anak remaja yang habis dipukuli oleh preman-preman gang.”

            “Berarti tidak terlalu buruk,” komentar Nandi.

            “Aku akan tinggalkan kalian berdua,” Olivia beranjak pergi sembari menepuk-nepuk pundak Nandi, “sampai bertemu saat Professor sudah membuka gerbangnya.”

            “Hum ..., jadi sekarang apa rencanamu?” tanya Helena.

            “Rencanaku? Ikut kalian ke Arvanda mungkin?”

            “Bukan itu maksudku,” Helena tertawa, “kau punya rencana untuk bersantai?”

            “Tidak. Aku sekarang jadi buronan di Versigi.”

            “Kenapa kau tidak ke Sambala saja?”

            “Sambala?”

            “Ya, semestaku.”

            “Kurasa tidak ada salahnya.”

            “Kalau begitu ... sekarang?”

 

Alam Semesta Sambala

Candi Prambanan, Klaten, 15 Desember 2012.

 

            Sebuah portal cahaya membawa Nandi dan Helena keluar di pelataran sawah di daerah Prambanan. Sebuah bangunan yang tak asing lagi – Candi Prambanan – terbentang di hadapan mereka. Mata Nandi nyalang takjub menyaksikan bangunan dari batu andesit itu. Sebuah bangunan yang sama sekali tak pernah ia lihat di dunia tempatnya tingal.

            “Selamat datang di Sambala, Nandi,” ujar Helena sambil tersenyum.

            “Wow! Bangunan apa ini?” ujar Nandi masih takjub.

            “Candi Prambanan! Sebuah peninggalan purbakala.”

            “Err… ini kuil?”

            “Semacam itu. Ayo masuk!”

            Helena menggamit tangan Nandi, lalu membimbing pemuda itu memasuki area candi Hindu itu. Tampak sekali Nandi amat canggung sekaligus takjub memasuki area candi ini. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat bangunan semegah itu. Di semestanya sama sekali tidak pernah ia dapati bangunan dari batu andesit semegah ini.

            “Yak Nandi, ini adalah Candi Garuda,” ujar Helena sambil menunjuk ke sebuah candi berukuran sedang dengan sebuah patung Garuda di dalamnya, “Di sini terdapat arca Garuda, kendaraan salah satu Dewa Agama Hindu, Wisnu.”

            “Hindu?” Nandi mengernyit.

            “Oh yah, aku lupa jika di semestamu hanya ada kepercayaan tunggal. Baiklah, di semesta ini kami mengenal banyak sekali kepercayaan.”

            “Uh… lebih dari satu? Aku tak bisa membayangkannya. Tidakkah kalian akan tenggelam dalam perang tanpa akhir jika ada lebih dari satu kepercayaan?”

            “Ah, bukankah duniamu juga mengalami hal serupa? Aku rasa masalahnya bukan pada banyaknya kepercayaan. Masalah utamanya adalah manusia itu sendiri.”

            Helena kembali menggamit tangan Nandi dan mengajak pemuda itu berkeliling, hingga akhirnya tibalah mereka di sudut utara Candi Siwa. Di sana tampak sebuah arca batu Dewi Durga tengah berdiri di atas punggung seekor lembu.

            “Siapa gerangan yang digambarkan sosok arca ini? Ibu Bumi?”

            “Bukan, Nandi. Ia adalah Bathari Durga. Istri dari Bathara Siwa. Oh yah… ngomong-ngomong lembu yang ia duduki ini namanya sama denganmu lho.”

            “Siapa?”

            “Nandi!”

            “Eh? Nandi?”

            “Oh ya! Itu benar! Nama lembu ini Nandi. Salah satu wahana dari para Dewa.”

            “Oi! Oi! Oi! Jadi namaku di semesta ini berarti lembu yah?”

            “Kurang lebih… ha ha ha!” Helena sekarang tidak lagi dapat menahan tawanya melihat ekspresi Nandi yang cemberut mengetahui namanya sama dengan seekor lembu. Tapi tawa itu segera terhapus ketika otaknya menyadari sesuatu, “Lembu Nandi? Wahana? Tunggu! Jangan-jangan maksud Skadi adalah ...,?” wajahnya berpaling kepada Nandi yang masih sibuk membaca buku panduan yang mereka beli tadi.

            “Ngomong-ngomong kenapa Durga menindih ‘Nandi’?” tanya Nandi.

            “Karena ia adalah wahana, kendaraan para dewa. Dan Durga adalah istri tuannya. Karena itulah ia terima saja dijadikan pijakan bagi Sang Dewi. Err, ..., Nandi,”

            “Ya?”

            “Jangan pernah menjadi seperti ‘wahana’. Mereka mungkin sakti mandraguna tapi apalah daya mereka ketika mereka berada di bawah kaki-kaki para dewa?”

            “Apa maksudmu dengan kata-kata itu?”

            “Kita adalah manusia merdeka, Nandi.”

            “Iya aku tahu, lalu?” Nandi semakin tidak mengerti.

            “Jangan sampai dirimu membiarkan siapapun merenggut kemerdekaanmu.”

            “Meskipun itu dirimu yang sudah menjerat hatiku dengan pesonamu?”

            “Eh apa maksudmu?”

            “Aku ... aku ... mencintaimu Helena, atas kehendak bebas yang aku miliki.”

            Hah? Tunggu! Astaga! Apa ini? Pernyataan cinta? Dari seorang Mahija Nandi? Jerit Helena dalam batinnya.

            “Helena?”

            “Uh-uh-ya?”

            “Aku sungguh-sungguh!”

            “Ehm ... ya ... errr ... tapi kurasa ini terlalu tiba-tiba.”

            “Uh ... itu artinya kau menolak?”

            “Ti-tidak. Tidak sama sekali. Tapi ... bisakah kau berjanji satu hal kepadaku?”

            “Apa itu?”

            “Jangan pernah pergi ke Arvanda tanpa aku di sisimu.”

            “Ah? Hanya itu?”

            “Ya, hanya itu. Janji?”

            “Janji!”

*****

Sebuah Tempat Yang Tidak Diketahui

 

            “Salam, saudaraku,” suara seorang pria terdengar dari dalam kegelapan.

            “Dari dalam kegelapan ada seekor iblis memanggilku ‘Saudara’, hah?” sebuah suara lain menyahut, suara seorang pria juga namun parau.

            “Aku bukanlah iblis,” jawab pria pertama.

            “Di tempat ini tidak ada yang lain selain iblis dan jiwa-jiwa terkutuk,” balas si pria kedua.

            “Aku bukan iblis, aku manusia.”

            “Ha? Kau pikir kau bisa membodohi aku, Iblis?”

            “Apa kau tak bisa melihat sosok di hadapanmu ini? Perhatikan baik-baik dengan kedua matamu.”

            “Mataku sudah tak bisa memberitahuku mana yang nyata dan mana yang ilusi. Tapi aku tahu kau ilusi. Sudahlah! Hentikanlah segala ilusi ini, Iblis! Cincang aku sepuasmu, siksa aku seturut kehendakmu, penggal kepalaku sebanyak yang kau mau, rajam aku sampai tubuh ini remuk memar! Tapi jangan kau siksa aku dengan ilusi akan kehadiran manusia.”

            Sang pria pertama menjentikkan jari-jemarinya, dari tangan kanannya timbul sebuah nyala api-berwarna biru menyala. Ia dekatkan nyala api itu kepada lawan bicaranya. Nyala api itu kemudian membumbung cukup tinggi, menyibak kegelapan yang menaungi ruangan itu – meneranginya dengan pendar biru yang menyilaukan. Dan kini tampaklah sesosok pria dengan tubuh bersimbah darah tengah terikat kaki dan tangannya pada dua buah cadas. Dari penampilannya, tampak sekali bahwa pria ini telah disiksa sedemikian kejinya sehingga ia hanya duduk bersimpuh, tidak mampu berdiri. kepalanya penuh dengan memar, tangan kirinya telah diputuskan dari tempatnya, sementara sebuah luka koyak tengah menganga di sepanjang perutnya – menunjukkan pada kita isi perut yang terburai.

            “Ingatkah kau akan cahaya?” tanya pria misterius yang berdiri di hadapan pria yang ditawan.

            “Ah… cahaya!” pria itu terdiam sejenak,“Sudah lama sekali.”

            “Maukah kau kembali pada cahaya?”

            “Aku…,” sang tawanan terdiam, membisu.

            “Maukah?”

            “Aku… mau.”

            “Dan apa yang bisa kau korbankan sebagai ganti dirimu mendapatkan cahaya?”

            “Aku akan berikan semuanya! Aku akan berikan seluruh tubuh dan jiwaku padamu, asalkan kau bawa aku kembali pada cahaya.”

            “Kau punya saudara, ayah, ibu?”

            “Aku punya!”

            “Jika aku meminta salah satu dari mereka untuk kujadikan tumbal… apakah dirimu bersedia?”

            “Tumbal?”

            “Yang mati seharusnya tidak bisa kembali ke dunia orang hidup. Untuk mengisi takdirmu sebagai orang mati, kau harus memilih seseorang untuk menggantikanmu.”

            “Aku tak hendak mengorbankan ibuku.”

            “Saudaramu?”

            Sang tawanan tampak diam sejenak sebelum kemudian mengangguk pasrah, “Tapi kau akan membawaku keluar dari kegelapan ini kan?”

            “Ya, dan setelah kau keluar… kau bisa selesaikan hasratmu yang belum tercapai itu.”

            “Kapan itu terjadi?”

            “Segera!” ujar pria itu sebelum menghilang dari hadapan sang tawanan, meninggalkannya dalam heningnya kegelapan yang mencekam.

*****

Alam Semesta Valhalla

            “Besok kita sudah bisa pergi ke Arvanda, Ketua,” Kaspar menghadap Helmut di aula utama.

            “Bagus, tapi sebelum ke sana. Aku minta kau membuka gerbang lain ke sebuah semesta.”

            “Ke mana?”

            “Wayuhira.”

            “Oh,” Kaspar menyeringai, “ Oh ya Ketua. Aku tidak hendak usil atau bertanya yang tidak-tidak, tapi kenapa selama dua hari ini aku sama sekali tidak melihat Skadi?”

            “Skadi? Oh dia pergi.”

            “Ke mana?”

            “Entahlah, tapi dia mengatakan bahwa tugasnya sudah selesai, maka dari itu ia pergi dari sini.”

            “Sudah selesai? Yang benar saja! Tugas kita jauh dari selesai!”

            “Mungkin bagi dirinya, tugasnya sudah selesai. Lagipula ingatlah bahwa ia hanya seorang pemandu, Kaspar. Jika perseteruan antara kita dan malaikat-malaikat itu pecah ia takkan berhak membantu kita.”

            “Tetap saja ini aneh, Ketua.”

            “Kita akan mengurus ‘keanehan’ ini setelah kita mencapai Arvanda. Sekarang ... persiapkan gerbangnya!”

            “Baiklah,” Kaspar akhirnya pergi meninggalkan ruangan itu dengan hati dongkol.

            “Kau bermain rahasia lagi dengan kawan-kawan kita, Helmut. Ada apa?” tanya Olivia yang tiba-tiba muncul.

            “Aku hendak mengembalikan tatanan Contra Mundi ke tatanan yang seharusnya, dan untuk itu aku harus mengambil langkah yang pastinya tidak disukai oleh mereka.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: