BAB XII: PEMBURU DAN BURUAN

Alam Semesta Versigi

Jakarta, 12 Desember 2012.

            “Terima kasih, Ris,” ujar Nandi ketika ia sadar rekannya, Haris, telah menyelamatkan dirinya dari maut.

            “Jangan dipikirkan,” jawab Haris sembari menyandarkan tubuh Nandi yang sudah lemas ke dinding bata yang basah oleh tetesan hujan, matanya menerawang ke langit menatapi rintik-rintik hujan yang sedang berjatuhan ke bumi.

“Hujan, ah hujan lagi! Menyebalkan!” gerutunya.

“Kau benci hujan, Haris? Kenapa?”

            “Ada alasan tertentu.”

            “Apa itu?” tanya Nandi penuh selidik.

            “Kau tidak perlu tahu, Nandi. Sekarang ... minumlah ini,” Haris menyodorkan sebuah botol minum berwarna hijau kepada Nandi. Nandi segera menenggak minuman yang ada di dalamnya sampai habis.

            “Sudah baikan?” tanya Haris.

            “Kurasa ...,” Nandi mencoba menggeliat, menggerakkan anggota-anggota tubuhnya, “sudah baikan. Apa itu tadi?”

            “Nanti saja kuceritakan. Sekarang kita harus kembali memburu Agara! Malam ini semua urusan di semesta ini sudah harus tuntas!” Haris kembali menghunus scimitar miliknya. Bilahnya yang hitam berkilau diterpa temaram sinar lampu jalanan.

            “Itu mereka!” seru seseorang dari atas mereka, sekumpulan malaikat langsung mendarat dan mengepung Nandi serta Haris.

            “Wah, wah!” Haris menimang-nimang Rajata miliknya yang sedari tadi ia genggam erat, “Sepertinya malam ini kota ini akan banjir darah ya?”

            “Menyerahlah!” seru seorang malaikat.

            “Kalau tidak?” Haris balas bertanya.

            “Maka itu ajalmu!” malaikat itu langsung menyerang Nandi dan Haris bersama keenam kawannya.

            “Nandi!” seru Haris memberikan sebuah isyarat.

            Nandi mengangguk kemudian mencengkeram leher salah satu makhluk itu, “Antinencidio!” serunya.

            Sebuah kobaran api berwarna biru tiba-tiba muncul di tangan Nandi –kedua tangannya. Malaikat yang ia cengkeram tadi pun langsung terbakar habis.

            “Cassandra!” seorang malaikat yang sepertinya adalah pemimpin mereka tampaknya terkejut bukan main melihat seorang kawannya terbakar habis seperti itu.

            “Hei! Lawanmu ada di sini!” Haris langsung datang ke hadapan malaikat itu sambil menudingkan scimitar-nya ke arah sang malaikat.

            “Contra Mundii!!!” malaikat itu langsung mengayunkan tombaknya kuat-kuat ke arah Haris. Haris berhasil mengelak dari ayunan senjata itu tapi tanpa ia sadari sesosok malaikat lainnya sudah berdiri di belakangnya.

            Haris mencoba mengelak tapi ujung sebuah tombak lainnya tiba-tiba sudah menghadangnya dan melukainya. Haris bersalto satu lingkaran, menangkis tiga tombak yang memburunya dengan scimitar miliknya.

            Sementara itu Nandi juga disibukkan dengan 3 malaikat yang mengejarnya. Ia mencoba berlindung dengan memasuki sebuah gedung tua, gedung yang sudah ditutupi akar-akar pohon dan tanaman merambat. Suasana gelap langsung menyambutnya ketika pertama kali kakinya menjejak di sana.

            “Mau lari, Contra Mundi?” sesosok malaikat mengejarnya sampai ke dalam ruangan tapi tiba-tiba saja tubuhnya terbelah menjadi dua ketika memasuki ruangan itu. Tubuhnya terbelah oleh Kanistara yang dilempar oleh Nandi. Pedang itu akhirnya menancap di dinding rapuh dan segera saja dinding itu rubuh karenanya.

            “Awas!” seru seorang malaikat pada rekannya yang tiba-tiba saja langsung menerjang ke arah Nandi.

            Nandi langsung menyadari adanya serangan langsung berguling dan memanggil Kanistara yang tergeletak di lantai. Malaikat itu langsung berbalik dan mengayunkan tombaknya, tapi Nandi langsung menangkis serangannya dengan pedang yang sudah kembali ia genggam. Sebuah sentakan menggoyahkan pertahanan sang malaikat dan tak sampai dua detik kemudian, Kanistara telah menembus tubuh malaikat malang itu.

            “Benzaiten!” terdengar suara pekikan dari langit-langit gudang yang berlubang tersebut. Seorang malaikat turun dan kembali menyerang Nandi. Sebuah tembakan bola-bola cahaya berhamburan dari tangan kanannya – menghambur deras ke arah Nandi. Nandi pun tak tinggal diam, ia ayunkan Rajatanya, menangkis satu demi satu bola-bola cahaya tersebut sembari terus maju selangkah demi selangkah.

            “Jangan menghindar kau!” kembali malaikat itu memekik. Suaranya melengking tinggi, histeris. Jumlah bola cahaya yang keluar dari tangan kanannya semakin meningkat, namun itu tak berlangsung lama, sejenak kemudian tangan itu sudah terpental dan tidak lagi tersambung pada tubuh sang malaikat itu lagi.

            “Bagaimana rasanya dikalahkan oleh seorang manusia, Tuan Malaikat?” Nandi menodongkan Kanistara ke leher sang malaikat.

            “Kau mungkin bisa mengalahkan kami, tapi kau takkan bisa mengalahkan Za’in kami!”

            “Kita lihat saja nanti,” balas Nandi sembari mengayunkan Kanistara sehingga terpisahlah kepala malaikat itu dari tubuhnya.

            “Sekarang pemimpinnya!” ujar Kanistara, “Kau siap Nandi?”

            “Siap!” jawab Nandi geram.

            “Sebentar lagi ia akan tiba, bersiaplah!”

            “Tahu dari mana kau bahwa ia akan kemari, Kanistara?”

            “Aku bisa merasakannya.”

            “Ternyata sulit sekali membunuhmu, Mahija Nandi,” sebuah suara pria tiba-tiba terdengar dari belakang Nandi. Segera saja pemuda itu berbalik dan mendapati Agara telah berdiri tegap di sana, dengan sayap hitam membentang dan sebilah pedang perak terhunus.

            “Sangkamu aku ini kucing sakit, Agara? Kucing sakit yang tidak akan melawan meskipun diinjak sampai mati? Salah! Aku ini harimau tidur! Harimau yang akan bangkit dan melawan jika diusik!”

            “Hoo, coba lihat ini! Seorang bocah penakut kini berdiri di hadapanku bak seorang prajurit tangguh. Jangan bohongi dirimu sendiri, Nandi. Aku tahu bahwa kau takut, sebab kau tahu bahwa kau tidak akan menang melawanku. Lagipula jika aku dapat kau kalahkan sekalipun, apa yang akan kau dapat? Kejayaan? Kekayaan? Kehidupanmu yang lama? Sanjaya yang hidup kembali? Tidak ada! Tidak ada satupun dari hidupmu yang lama akan kembali kepadamu.”

            “Aku tahu itu, Za’in Agara. Aku tahu itu semua. Tapi seperti apa kata dunia tentang kami maka itulah kami. Kami adalah Contra Mundi – musuh dunia. Kami adalah musuh di antara segenap umat manusia, ditakdirkan untuk terasing dan sendiri di tengah hiruk-pikuk dunia. Mengenai apa yang kudapat setelah mengalahkanmu, aku punya satu jawaban : balas dendam. Kau yang membiarkan Calya membunuh ayahku, kau adalah yang membiarkan Calya membunuh Kak Sanjaya, dan kau sudah membunuh seorang pandhita yang kuhormati lebih dari siapapun juga.”

            “Mengerikan,” ledek Agara, “sekaligus menggelikan! Bagaimana mungkin kau bisa membalas dendam jika ... sebentar lagi kau akan berakhir menjadi serpihan-serpihan daging yang menyedihkan?” pedang di tangan Agara mulai diselimuti medan halilintar yang bergemuruh, siap untuk ditembakkan kapanpun juga. Medan halilintar itu semakin membesar hingga akhirnya menyelimuti seluruh tubuh Agara.

            Nandi menekuk lututnya, bersiap dalam posisi untuk menghindari serangan apapun yang akan ia terima dari lawannya. Tapi sebuah keanehan terjadi, medan halilintar yang tadinya mengelilingi Agara tiba-tiba menghilang tak berbekas.

            “Kekuatanku!” Agara menjerit panik ketika menyadari ia tidak dapat menembakkan bola api maupun serangan halilintar sama sekali, “Apa yang terjadi?”

            “Bangun ... Kanistara!” Nandi menancapkan Kanistara ke tanah di hadapannya, bermaksud menghantam Agara dengan retakan permukaan bumi, namun sama sekali tak terjadi apa-apa.

            “Ada apa Kanistara?” tanya Nandi.

            “Maaf Nandi ... sepertinya kekuatanku ... menghilang.

            “Antinencidio!” Nandi berusaha menembakkan kobaran apinya ke arah Agara yang masih terguncang, namun tangannya tidak mengeluarkan apa-apa.

            “Tampaknya kekuatanmu turut menghilang ya?” sindir Agara yang sudah dapat menguasai dirinya.

            “Tapi kini kau sendiri tak lebih dari seorang manusia bukan?” balas Nandi.

            Dor! Sebuah tembakan melesat ke arah Agara, menembus betis kirinya – yang tak terlindung oleh zirah, membuat malaikat itu menjerit kesakitan.

            “Ternyata dugaanku benar,” Nandi melempar seringai mengejek, “kau kini selemah manusia.”

            “Tapi aku masih cukup kuat untuk mengalahkanmu, Contra Mundi.”

            “Oh? Benarkah?” Nandi kembali membidikkan pistol P3 miliknya ke arah Agara.

            “Tentu saja!” Agara berlari ke arah Nandi dengan kecepatan dan kegesitan yang luar biasa. Masih dalam batas kecepatan dan kelincahan manusia normal, tapi sama sekali di luar perkiraan Nandi. Panik, Nandi menembaki Agara dengan membabi buta, namun semua serangannya mengenai zirah pelindung malaikat itu, sama sekali tidak melukainya. Pada akhirnya Agara berhasil menyarangkan sebuah pukulan telak ke perut Nandi sehingga pemuda itu terlontar sejauh beberapa meter.

            “Kurang ajar,” dengan cepat Nandi berdiri kembali, menarik keluar magasin pistolnya yang sudah kosong, lalu mengisinya dengan magasin yang masih baru. Dicari-carinya Agara, tapi tidak dapat ia temukan lagi sosok malaikat itu.

            “Apa dia kabur?” tanya Nandi pada dirinya sendiri.

            “Entahlah, apa kau tidak bisa menggunakan ‘Mata Saklas’, Nandi?”

            “Sama sekali tidak, Kanistara.”

            “Mencariku?” secara mengejutkan Agara sudah berada di belakang Nandi. Terkejut atas kemunculan lawannya yang tiba-tiba, Nandi segera menodongkan pistol ke arah Agara, namun sebuah tendangan dari sang malaikat itu membuat pistolnya terlempar sejauh beberapa meter. Tangan kiri Agara segera mencengkeram leher Nandi dan menghempaskan tubuh pemuda itu ke lantai aspal yang keras.

            “Bahkan sebagai manusia biasa pun, kau gagal Nandi,” ujar Agara yang masih mencengkeram leher serta menindih kaki Nandi.

            “Diam kau!” Nandi berusaha menggapai Kanistara yang tersampir di pingang kirinya, namun tangan kanan Agara segera menghempaskan pedang itu dari jangkauan Nandi.

            “Ups! Pedangmu terlempar!” ledek Agara.

            “Ugh!” Nandi tidak berkata-kata lebih jauh lagi, dengan segenap tenaganya ia memukul dagu Agara yang tidak tertutup zirah dengan kepalan tangan kanannya.

            “Lumayan!” jawab Agara setelah tinju Nandi mendarat telak di dagunya, “Tapi itu tidak cukup untuk membunuhku, Contra Mundi!”

            Sebuah bogem mentah dari tangan perkasa yang dilapisi zirah metal mendarat di pipi kanan Nandi, meninggalkan luka merah di pipi sang pemuda. Sebuah pukulan dari tangan berzirah yang satunya lagi mendarat di pipi kanan Nandi. Ronde berikutnya Agara melemparkan tubuh Nandi ke arah barang-barang rongsokan yang terserak berantakan di sudut gudang. Kemudian ia mengambil pedangnya yang tergeletak di sebuah sudut ruangan tersebut, lalu berjalan mendekat ke arah Nandi yang tampaknya sudah tak berdaya yang sesekali mengeluarkan erangan kesakitan.

            “Ini akhir riwayatmu, Contra Mundi!” ujar Agara sembari bersiap menghujamkan pedangnya ke jantung Nandi.

            “Tunggu!” tiba-tiba Nandi mengangkat tangan kanannya.

            “Oh, apakah yang hendak kau tawarkan padaku, Contra Mundi? Perpanjangan waktu atas hidupmu yang menyedihkan?”

            “Tidak!” jawab Nandi lirih, “Aku hanya ingin melihat seperti apa wajah pria yang akan membunuhku. Jangan menjadi pengecut dengan menutupi wajahmu dengan helm, Tuan Malaikat!”

            “Oh? Hanya itu? Permintaan yang menyedihkan, tapi baiklah! Akan kukabulkan!” Agara kemudian melepas helmnya dan tersingkaplah wajah yang sebelumnya berada di balik helm tersebut, sebuah wajah pria usia 30 tahunan yang tampak kukuh dan berwibawa, dengan mata yang memancarkan cahaya kebiruan.

            “Sayonara Za’in Agara!” tanpa diduga sebelumnya Nandi menodongkan sebuah pistol saku tipe HKU ke arah Agara dan secara bertubi-tubi menembaki wajah malaikat itu hingga 12 kali.

            “Arrggghhh!!!!” malaikat itu menjerit histeris karena dua di antara peluru itu telah menembus bola matanya sehingga ia sama sekali tidak dapat melihat.

            “Sakit?” tanya Nandi sembari mengisi ulang pistolnya kemudian kembali menembaki Agara hingga 12 kali lagi.

            “Sialan kau, Contra Mundi! Terkutuklah jiwamu! Begitu ini semua selesai akan kupastikan jiwamu terbakar di api abadi selama-lamanya!” Agara tak henti-hentinya menyumpahi Nandi.

            “Wuah! Sebaiknya kau pikirkan dirimu sendiri dulu, Agara!” Nandi memungut pistol P3 miliknya yang tadi sempat terlempar kemudian menembaki Agara hingga 14 kali sambil memungut Kanistara.

            “Ini belum berakhir Contra Mundi! Begitu kau memasuki alam semesta berikutnya, saudaraku akan menghentikanmu! Arrghh!!!”

            “Kupikir juga begitu,” Nandi berjalan dengan gontai ke arah Agara, rasa nyeri di sekujur tubuhnya, ditambah rasa pening akibat pukulan di kepalanya tadi membuat langkahnya tertatih-tatih. Tapi akhirnya ia berhasil tiba di hadapan Agara yang masih saja menutupi mukanya yang sudah berlubang-lubang – berhiaskan lubang peluru.

            “Selamat tinggal, Agara!” Nandi menusukkan Kanistara tepat ke dada Agara, bagian di mana jantung manusia seharusnya berada.

            “Akh!” terdengar suara helaan nafas pendek yang menyiratkan rasa putus asa dari mulut Agara sebelum akhirnya tubuh itu limbung dan jatuh lemas ke lantai semen yang kotor-berdebu.

            “Selesai sudah!” Nandi merebahkan diri di lantai semen yang kotor itu, mencoba melepaskan segala beban yang telah menghimpitnya setelah sekian lama.

*****

            Alasdair baru saja hendak beranjak pergi dari arena pertarungan yang telah usai itu, ketika tiba-tiba ia merasakan kehadiran seseorang di dekatnya.

            “Siapa?” Alasdair berbalik untuk melihat siapa yang hadir bersamanya di tempat itu, tapi ia sama sekali tidak menemukan siapapun.

            “HEK!” tiba-tiba ia merasakan dua bilah pedang berwarna hitam telah menembus dada dan perutnya. Hanya sejenak, sebelum akhirnya bilah pedang itu tercabut dari tubuhnya. Dengan sisa tenaganya, Alasdair mencoba melihat siapa yang telah menusuknya dan pelakunya sungguh-sungguh tidak ia sangka, “Kau!”

            “Kau terlalu banyak ikut campur dalam urusan kami, Titik Nol. Kau hanyalah awal mula, tapi kau bukanlah akhir. Dunia ini tak lagi membutuhkanmu,” ujar sosok itu sembari meninggalkan Alasdair. Membiarkan sosok anak lelaki itu tergolek lemah dan sekarat.

            “Jadi ..., ini rasanya mati? Ini rasanya sebuah akhir? Ini rasanya menjadi manusia?” berkali-kali mulut Alasdair berkomat-kamit mengucapkan kata-kata itu hingga sesosok lain menghampiri dirinya.

            “Kau! Mau apa kau kemari?” bentak Aladair.

            “Ikutlah bersamaku Titik Nol, dan beritahukan padaku apa rencana mereka pada ‘Sang Wahana’!”

*****

            Matahari mulai terbit di ufuk timur, berkas-berkas sinar mentari mulai memasuki gudang tempat Nandi terbaring tak sadarkan diri semenjak tadi malam. Sensasi hangat sinar mentari akhirnya membangunkan Nandi dari tidurnya, perlahan ia membuka matanya dan ia dapati dua wajah yang sangat familier di hadapannya.

            “Haris! Kadhara Santi!” Nandi segera terlonjak dari tempatnya berbaring.

            “Bagaimana kabarmu?”

            “Sudah kau ambil sigil miliknya?” tanya Haris.

            “Err ... belum. Lagipula aku tidak tahu bagaimana cara mengambilnya.”

            “Perlihatkan telapak tanganmu!”

            Nandi menurut saja dan menunjukkan kedua telapak tangannya, sebuah simbol aneh berwarna merah tiba-tiba telah ia dapati terukir di telapak tangan kanannya.

            “Bagus, Nandi! Kau dapatkan sigil milik Za’in Versigi!” ujar Haris girang.

            “Maksudmu ini?” Nandi menunjuk ke arah simbol aneh yang terdapat di tangan kanannya itu.

            “Ya! Itu! Aku akan hubungi Kaspar sekarang juga. Dan ... kawanmu ingin bicara empat mata denganmu.”

            Santi menatap Nandi dengan tatapan sendu dan penuh kedukaan. Nandi tahu apa arti pandangan itu, “A-aku minta maaf, Kadhara Santi. Patriakh Sumarsono ... .”

            “Aku tahu, Nandi. Kami semua sudah tahu soal beliau.”

            “Bagaimana dengan umat yang hadir di kuil saat itu?”

            “Semuanya tewas!”

            “Tak ada satupun yang selamat?”

            “Sama sekali tidak!”

            “Aku...,” Nandi terdiam.

            “Itu bukan salahmu, Nandi. Berhentilah merasa bersalah untuk itu.”

            “Terima kasih, Kadhara Santi.”

            “Aku harus pergi, Nandi. Hubungi aku lain waktu.

            “Hati-hati Kadhara Santi, semoga Maina ... .”

            “Heh, setelah apa yang terjadi kemarin aku jadi meragukan apakah sesembahan kita itu nyata.”

            “Kalau begitu, sampai jumpa.”

            “Sampai jumpa, Nandi. Dan ... jika kau ada waktu ... tolong habisi Calya. Dia masih berkeliaran bebas di dunia ini bukan?”

            “Akan kuusahakan.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: