BAB XI: MENYUSUP
Alam Semesta Valhalla
“Kau sudah kembali, Nandi?” sapa Helena ketika melihat Nandi keluar dari sebuah pusaran cahaya ungu.
“Ya,” jawab Nandi tidak bersemangat.
“Bagaimana hasilnya?”
“Buruk, aku sama sekali tidak dapat menemukannya di manapun.”
“Bertemu legiun iblis atau malaikat sepanjang perjalanannya?”
“Sama sekali tidak.”
“Apa kau mengunjungi kedua saudaramu?”
“Aku tidak akan menemui mereka untuk sementara waktu, Helena. Terlalu berbahaya bagi mereka dan terlalu riskan pula bagiku untuk terlalu sering bertatap muka.”
“Aku setuju soal itu,” Helena mengambil sebuah buku dari rak kayu dan mulai membacanya.
“Apa yang kaubaca? Hamlet? Otello?”
“Rubaiyat, karya Ommar Khayyam.”
“Rubaiyat?”
“Ya, rubaiyat. Kumpulan rubai – sebuah bentuk syair dari jazirah Arab – sebuah bentuk syair berprosa yang menonjolkan kesenangan-kesenangan indrawi. Umumnya orang lebih mengenal Ommar Khayyam sebagai penulis rubaiyat meskipun ada pula pihak lain yang menulis rubaiyat misalnya Jalal Al-Din Rumi. Kau sama sekali tidak pernah mendengarnya?”
“Tidak. Tidak sama sekali. Ceritakan padaku lebih banyak soal ini,” pinta Nandi.
Dan kedua insan berbeda jenis itupun terus berbincang sampai larut malam. Tapi jika dinding-dinding yang mengapit ruangan itu bisa berbicara, mereka pasti mengatakan pada kita mengenai cara kedua insan ini saling bertatap pandang. Jika Nandi menatap Helena lekat-lekat, sebuah rona sipu akan muncul di pipi gadis itu. Jika Helena menatap Nandi dengan pandangan mesra seorang gadis kepada Nandi, maka pemuda itu pun akan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Dua orang itu mulai menumbuhkan rasa tertarik hati mereka, namun tentu saja mereka tak mau langsung mengakuinya.
“Aku mengantuk Nandi? Kau?”
“Ah, kurasa sudah waktunya kita untuk tidur. Sampai besok Helena. Terima kasih sudah mau berbagi cerita.”
“Ah tidak, seharusnya aku yang harusnya berterima kasih padamu karena sudah menjadi pendengar yang baik. Sudah lama aku tidak bisa berbincang soal buku dan kesusastraan dengan orang lain.”
*****
Pagi itu Nandi dikagetkan dengan gebrakan pada pintu kamarnya. Ketika ia bangun, ia mendapati Kaspar telah berdiri di pintu kamarnya dengan nafas memburu.
“Aku menemukannya! Aku menemukannya!” seru Kaspar berulang-ulang.
“Ha?” Nandi hanya bisa melongo karena tidak paham akan hal yang dikatakan Kaspar.
“Ketua ingin kau menemuinya di aula utama, Nandi!” ujar Haris yang tiba-tiba datang.
“Helmut sedang tidak sabaran. Ayo cepat, Nandi!” sambung Kaspar.
“Oke! Oke! Beri aku waktu semenit!” Nandi segera bangkit dan mencuci mukanya dengan sebaskom air yang telah siap di sudut kamarnya, lalu dengan cepat ia berpakaian dan menyambar Kanistara yang tersandar di dinding kamarnya.
*****
Ketika memasuki aula utama, Nandi mendapati seluruh rekannya, segenap anggota Contra Mundi telah hadir di sana, kecuali Kaspar.
“Mana si Professor?” tanya Nandi, heran juga dirinya tidak mendapati pemuda berkacamata itu, karena ialah yang tadi pagi begitu bersemangat membangunkan dirinya.
“Entah? Kurasa aku sudah memberitahunya supaya segera kemari,” jawab Helena.
Tapi tak butuh waktu lama untuk menunggu Kaspar. Sesaat kemudian datanglah Kaspar dengan tergopoh-gopoh membawa sebuah kertas besar di tangannya. “Kemari!” serunya girang pada semua orang.
Helmut mendekatinya, disusul oleh Nandi dan Contra Mundi lainnya. “Jelaskan temuanmu Kaspar!” pinta Helmut, masih dengan suara tegas dan wibawa seorang pemimpin.
“Aku temukan tanda-tanda keberadaan Agara!” ujar Kaspar girang. Matanya berbinar-binar layaknya lampu pijar 32 Watt. Sementara mulutnya berkali berkomat-kamit, “Yes! Yes!”
“Di mana dia?” tanya Olivia.
“Dia akan hadir dalam upacara rembulan. Besok malam di Kuil Agung Paravandaah, di depan istana negara!”
“Sebagai apa?” tanya Nandi bingung.
“Sebagai dirinya sendiri tentu saja! Aku mendapati bahwa Ketua Dewan Pandita sudah lama menjalin hubungan dengan sang Za’in!”
“Sudah lama? Apakah mereka mengetahui identitas dirinya yang sebenarnya?” tanya Nandi.
“Soal dia itu Athir Kathana, malaikat atau apapun kalian menyebutnya? Ya!”
“Apa yang ia rencanakan di sana?” tanya Helena.
“Saat dia membuka acara dengan sambutan, Agara akan muncul, kemungkinan dia akan memperkenalkannya sebagai Tuhan! Tuhan yang akan membebaskan setiap manusia asalkan mereka mau datang dan bersujud di kakinya serta melakukan apa yang ia perintahkan.”
“Itu sinting!” umpat Haris.
“Sangat sinting! Ia akan memanen orang-orang itu secara perlahan melalui tangan-tangan pimpinan mereka!” Helena menanggapi dengan nada marah nan berapi-api.
“Kita harus hentikan segala macam rencana busuknya!” balas Nandi geram.
“Tapi kita punya masalah. Agara membawa pasukannya. Dua puluh malaikat tingkat dua berjaga di sekeliling kuil, menyaru sebagai petugas keamanan presiden.”
“Heh! Pandai juga. Tidak akan ada yang menyangka Paspampres itu seluruhnya bukan manusia,” Helmut berdecak kesal.
“Nandi …,” Kaspar menuding pada Nandi, “kau harus menyamar dan masuk ke dalam Kuil Agung. Sementara itu kami akan mengurus keduapuluh malaikat ini.”
“Sebagai Nirvataka?” tanya Nandi.
“Bukan! Sebagai Patriakh!” jawab Kaspar.
“Itu permintaan yang sulit. Beri aku waktu 3 hari, aku perlu menghubungi seseorang terlebih dahulu.”
“Dua hari, Nandi. Tidak lebih!”
*****
Alam Semesta Versigi
RSJ Husada Utama, Surabaya, Ibukota Region Jawa, Republik Indonesia Serikat, 10 Desember 2012.
“Hendak menjenguk siapa, Mas?” tanya seorang perawat di resepsionis RS pada Nandi.
“Hmm, ibu saya Mbak. Di mana ya ruangan beliau?” jawab seorang pemuda yang tidak lain adalah Nandi.
“Atas nama?” perawat itu kembali bertanya.
“Sita Rahayu.”
“Ibu Rahayu ada di ruangan 5B, Bangsal Sansivera, Mas. Silakan mengikuti Mas Sapto ini,” perawat itu menunjuk ke arah seorang pria berkumis tipis yang membawa serenteng anak kunci.
“Mari, Mas!” ajak pria itu ramah.
“Terima kasih,” jawab Nandi.
Nandi mengikuti ajakan pria itu. Mereka menelusuri lorong-lorong rumah sakit yang dipenuhi dengan sel. Setiap sel berisi satu orang dengan beragam kondisi; ada yang berteriak-teriak histeris, tertawa-tawa sendiri, bahkan ada pula yang memukul-mukul tembok. Nandi melihat pula seorang dokter dan 3 orang perawat tengah berjuang menghentikan aksi menyakiti diri sendiri itu. Tapi seperti namanya saja orang tidak waras, tetap saja ia berusaha memukul-mukulkan kepalan tangannya ke tembok itu meski sudah dipegangi sedemikian rupa.
Lepas dari bangsal itu mereka melewati kebun yang hijau dan asri. Dari sana terlihat sekelompok orang-orang yang sudah ‘lumayan waras’ tengah bersama para perawat. Tampaknya itu adalah semacam tindakan terapi, Nandi sendiri tidak mengetahuinya secara pasti.
Mereka kembali berjalan melalui sebuah bangsal hingga akhirnya tiba di sebuah sel yang letaknya cukup jauh dari pintu gerbang RS.
“Ini ruangan Ibu Rahayu, Mas. Mas boleh berbicara selama 15 menit, jika ada apa-apa Mas bisa minta tolong sama saya. Saya akan menunggu di sini,” kata si perawat itu sambil membuka gembok yang mengunci pintu sel.
“Terima kasih, Mas,” Nandi tersenyum dan langsung membuka pintu sel tersebut.
Ruangan itu dicat putih bersih, sprei kasurnya putih, ranjang tidurnya putih, bahkan sebuah meja tulis lengkap dengan kursinya di sudut selatan ruangan juga dicat putih. Di kursi itu Nandi mendapati seorang wanita paruh baya, berusia 40 tahunan akhir tengah bersenandung. Senandungnya merdu tapi menyiratkan kesedihan yang mendalam.
♪Wahai mentari♫
♫Yang menyinari segenap dunia♪
♪Apakah kau tahu tentang anakku? ♫
♪Yang telah merantau ke negeri yang sangat jauh♪
♫ Yang jaraknya tak bisa aku hitung ♫
♫Katakanlah padanya untuk cepat pulang♪
♪Sebab kata-kataku tiada pernah bisa mencapai dirinya♫
♪Katakan padanya bahwa ibunya merindukannya♫
♫Dan berharap bisa bertemu dengannya lagi♫
♫Sebelum tubuhnya bersatu dengan bumi♪
Nandi berdiri tegak, tak bergerak di dekat sudut ranjang putih itu, menunggu sang wanita menyelesaikan senandungnya. Ketika wanita itu sudah selesai bersenandung ia menoleh ke arah Nandi, dengan matanya kosong dan mulutnya yang sedikit menyeringai.
“Mau apa kau kemari, Nandi?” tanya wanita itu tanpa menatap ke arah Nandi – lebih memilih menatap kebun bunga dari jendela kamarnya yang berjeruji.
“Aku hendak menjenguk Mama,” jawab Nandi.
“Aku tak pernah berharap kau jenguk, Nandi.”
“Aku menjenguk Mama untuk mengetahui kondisi Mama.”
“Oh, kau mengkhawatirkanku?”
“Tentu saja. Sebagai anak aku khawatir.”
“Kau tidak khawatir akan diriku Nandi, kau khawatir akan dirimu. Kau khawatir aku mati membusuk di sini dan kau khawatir semua orang akan mempersalahkanmu jika aku mati.”
“Mama…!”
“Kau bukan anakku, Nandi. Bukan anakku. Kau hanya anak suamiku, tapi bukan anakku.”
“Tapi Mama yang membesarkan aku sejak lahir, dan aku tidak pernah tahu siapa ibuku maka hanya Mama yang saya akui sebagai ibu.”
“Tapi jika kau mengakui diriku sebagai ibu kenapa kau rampas anakku dari kehidupanku?”
Nandi menghela nafas sejenak, “Kak Sanjaya telah memilih jalannya sendiri, Ma. Aku sudah memperingatkannya untuk tidak bertindak bodoh, tapi…”
“Tapi ia tetap saja bertindak bodoh kan? Kenapa bukan kau saja yang bertindak bodoh ya?”
“Jika aku bisa, aku rela saja mati demi Kak Sanjaya. Masalahnya waktu tidak bisa diputarbalikkan.”
“Aku sudah mendengarnya, Nandi.”
“Mendengar apa?”
“Bahwa kau bukan manusia biasa. Kau punya kekuatan di atas manusia normal. Sebuah kekuatan yang mampu memutarbalikkan takdir. Nah, jika benar hal itu adanya, buatlah Sanjaya kembali.”
“Dari mana Mama mendengarnya?”
“Dari seorang Kadhara, seorang wanita yang sangat dicintai oleh Sanjaya semasa hidupnya.”
“Kak Santi!”
“Benar Nandi. Dan jika hal itu benar, maka kau akan kuakui kembali sebagai anak jika kau berhasil mengembalikan Sanjaya.”
“Tapi…!”
“Dan jika Sanjaya sudah kembali padaku maka kau boleh menjengukku kapan saja. Kau boleh kembali memanggilku sebagai ibumu dan kau boleh kembali bermanja-manja selayaknya tingkah seorang anak pada ibunya.”
“Tapi…!”
“Kenapa Nandi? Kau tidak bersedia? Kau mau menjadi seorang pencuri yang tiada mau bertanggung jawab atas kesalahan yang ia buat? Kau sudah mengambil Sanjaya dari hidupku; mengambil hidupku dari hidupku. Bahkan kini kau mengambil anak-anakku yang tersisa dari diriku.”
“Kak Sumitra dan Wima sedang tidak bisa menjenguk Mama karena suatu hal.”
“Oh? Suatu hal? Aku meragukannya. Apakah kau hendak merampas mereka juga dari diriku?”
“Tidak… aku…!” Nandi kembali terdiam, menyadari bahwa wanita ini belum bisa memaafkannya.
“Waktunya habis Mas!” terdengar suara dari balik pintu besi ruangan itu.
“Baik Mas, sebentar!” balas Nandi, “Aku pergi dulu. Sampai bertemu lagi, Ma.”
“Pergilah, kembalikan Sanjaya ke dekapanku,” jawab wanita itu – masih sambil menatap kebun bunga.
*****
“Ayo keluar, Kanistara!” kata Nandi yang sudah berada di sebuah sudut tergelap dari pelataran parkir RSJ tersebut.
Sebuah pedang muncul dari dalam tanah, lengkap dengan sarungnya yang berwarna hitam.
Bagaimana?Tanya Kanistara.
“Ia masih belum bisa memaafkanku.”
Bukan kau yang salah, ibumu yang salah. Apa yang terjadi pada Sanjaya bukan kesalahanmu sama sekali. Jadi… sekarang kita ke mana?
“Kita akan menemui seseorang.”
*****
Alam Semesta Versigi
Ngagel Tama, Surabaya, Ibukota Region Jawa, Republik Indonesia Serikat, 10 Desember 2012.
Nandi turun dari bis Kopaja yang penuh sesak dengan penumpang, lalu berjalan menuju sebuah bangunan berwarna dominan krem berhias aneka patung-patung bercat tembaga – sebuah biara Paravandaah.
“Salam bagimu jiwa yang dikasihi oleh Sang Maina. Apa yang bisa saya bantu?” sapa seorang pria berjubah hitam di pintu gerbang biara.
“Salam bagimu juga Sang Kadhara yang dengan rela hati telah menanggalkan keduniawian untuk menjadi abdi bagi Sang Maina dan segenap Dewan Agung. Saya kemari hendak mencari seorang Kadhara bernama Santi,” jawab Nandi sambil mengatupkan kedua tangannya – sebuah prosesi saling memberi hormat yang lazim di antara penganut Paravandaah.
“Ah… Kadhara Santi sedang bermeditasi di lantai ketiga. Jika anda mau menunggu barang satu jam saja, saya akan memberitahukan kedatangan Saudara. Siapa nama Saudara?”
“Mahija Nandi. Tolong sampaikan juga pada Kadhara Santi bahwa saya adalah adik dari Teguh Harimurti Sanjaya.”
*****
Nandi menunggu dan menunggu. Satu jam belumlah lewat, tapi ia seperti sudah menunggu selama berjam-jam. Dirinya akhirnya memutuskan bangkit dari dipan kayu yang ia duduki itu dan melongok ke jendela, mengamat-amati aliran kendaraan bermotor yang tiada putus-putusnya di kota ini.
“Kau mencari saya Nandi?” tiba-tiba terdengar sebuah suara perempuan dari belakang Nandi.
Nandi berbalik dan menghadapi seorang wanita berjubah terusan warna putih dengan tudung kepala tersampir di belakang lehernya. Jubahnya sangat istimewa – terbuat dari kain linen halus dan terdapat sebuah burung rajawali di bagian dada hingga perutnya, yang disulam dengan benang warna keemasan.
“Ya, Kadhara Santi. Saya perlu bicara empat mata dengan anda.”
“Kalau begitu mari kita bicara di bilik saya,” wanita bernama Santi itu mempersilakan Nandi untuk mengikutinya.
Kedua insan itu berjalan menaiki tangga kuil, menuju tingkat dua. Sesampainya di sana wanita itu mengajak Nandi untuk memasuki sebuah ruangan sempit berukuran 4 x 2 meter di mana di situ hanya tersedia sebuah ranjang kayu tanpa kasur, sebuah kursi kayu, dan sebuah meja tulis.
“Silakan duduk Nandi,” wanita itu mempersilakan Nandi untuk duduk di kursi kayu itu sementara ia sendiri duduk di dipan kayu yang beralaskan tripleks tersebut.
“Aku kemari hendak…,” kata-kata Nandi langsung terpotong.
“Berbicara tentang kehancuran dunia, tentang ibumu, dan tentang Contra Mundi?”
“Kadhara, anda tahu mengenai hal itu. Anda tahu mengenai saya yang sudah bukan hitungan manusia biasa lagi… dari mana anda tahu itu semua?”
“Sanjaya!”
“Kak Sanjaya? Dia sudah mati!”
“Dia memang sudah mati, tapi jejak-jejak yang ia tinggalkan masih ada dan membawaku pada jawaban-jawaban yang tidak aku duga sebelumnya.”
“Anda tahu juga mengenai…,”
“Contra Mundi? Ya! Aku tahu mengenai kalian. Sebagaimana layaknya Patriakh Sumarsono dan beberapa orang lainnya.”
“Dari mana kalian tahu mengenai kami?”
“Kami tahu dari catatan para Pemuja Arcapada.”
“Catatan? Bukankah catatan itu telah dimusnahkan?”
“Sebuah sejarah yang tertulis ataupun tidak, tidak akan musnah begitu saja Nandi. Ada banyak cara untuk merestorasi sebuah sejarah. Kau tahu salah satu caranya bukan?”
“Perjalanan lintas waktu!”
“Ya, kemampuan kaum yang disebut indigo, sesuatu yang ditakuti sekaligus dipuja.”
“Kalian menggunakan kaum indigo untuk menyelidiki masa lampau?”
“Ya, sekaligus menulis ulang sejarah yang hilang atas kepicikan kami sendiri.”
“Kenapa sekarang kalian melakukannya?”
“Sebagian dari kami, kelompok non-fundamentalis merasa ada yang tidak beres dengan tatanan dunia ini. Kau tahu tidak Nandi? Kakakmu itulah yang membunuh Presiden Kelima beserta Perdana Menterinya.”
“Ya… aku tahu…lalu?”
“Ada seorang bernama Calya yang ternyata menjadi kaki tangan Presiden Kelima. Orang itu tampaknya bukan kaki tangan biasa, dia itu…,”
“Iblis!” sambung Nandi cepat.
“Kau benar. Dan jika ia benar iblis, maka seharusnya aku dapat memusnahkannya bukan?”
Nandi menyeringai, “Secara logika iman seorang Kadhara, Patriakh, atau Matriakh tidak akan kesulitan menghadapi makhluk itu.”
“Tapi nyatanya tidak! Ia bahkan meledek kami dengan mengatakan bahwa ia diutus oleh Sang Maina!” Santi mengatakan ini dengan penuh kegeraman.
“Sampai situ anda sudah terkejut Kadhara? Iblis tak bisa masuk ke dunia ini tanpa campur tangan Prajurit Langit.”
“Kau tahu lebih banyak daripada ini kan? Beritahukan kepada kami dan biarkan kami membantumu.”
“Aku akan menerima semua bantuan sebanyak yang aku bisa. Tapi mengenai kelanjutan dari rahasia itu… aku sama sekali tidak berhak memberitahunya.”
“Aku paham. Karena itulah kalian disebut ‘Musuh Dunia’.”
“Ya. Sebagian orang akan menganngap kami ini kawan, tapi sebagian besar akan menganggap kami musuh – atas apa yang kami lakukan,” kata Nandi sembari bangkit dari duduknya, “Kenapa kau kunjungi ibuku, Kadhara?”
“Untuk memberinya harapan. Hati wanita itu amat terluka, karena itu aku memberinya sebuah harapan.”
“Anda memberinya sebuah harapan yang terlalu besar, Kadhara. Mana mungkin aku membangkitkan yang sudah mati?”
“Pemuja Arcapada punya caranya. Jika kami telah menemukannya kami akan memberitahumu, atau memberitahu Helmut.”
“Helmut?” Nandi mendelik, “Heh! Jadi kalian juga tahu tentang dia?”
“Ya, dialah yang pertama kali mengajarkan kami mengenai rahasia semesta paralel, tanda-tanda kehancuran sebuah semesta dan cara melindunginya, serta mengenai Contra Mundi.”
“Kalian sudah menemukan caranya?”
“Sayangnya belum, Nandi. Tapi apapun caranya, hal itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Contra Mundi.”
“Ngomong-ngomong aku membutuhkan bantuanmu, Kadhara.”
“Soal apa?”
“Aku harus menyusup ke dalam kuil agung untuk menghentikan semua rencana iblis itu di bumi ini.”
“Menyusup? Kau akan menyusup sebagai apa?”
“Patriakh.”
Nyaris Santi menjadi terhenyak karenanya, tapi cepat-cepat ia menguasai dirinya lagi, “Itu permintaan yang sulit.”
“Tapi bukan mustahil kan?”
“Aku akan mencoba sebisaku, Nandi.”
“Terima kasih untuk bantuannya, Kadhara. Semoga matahari tetap terus bersinar hingga dunia ini mencapai kejayaaannya.”
“Dan semoga garis hidupmu cukup panjang untuk membekas pada dunia ini, Mahija Nandi.”
*****
Alam Semesta Versigi
Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 12 Desember 2012.
Seorang Patriakh dalam balutan jubah terusan berwarna emas bersimbolkan cakram matahari di bagian dadanya serta sederet tulisan Pallawa di bagian lengan jubahnya berjalan secara perlahan-lahan menuju ruang persiapan upacara. Wajahnya tidak terlihat, tertutup oleh suatu tudung kepala, ditambah lagi ia berjalan dengan menundukkan wajahnya sehingga tidak ada orang yang bisa melihat wajah siapa yang berada di balik jubah itu.
Patriakh itu berjalan menuju Sanggar Emas, sebuah ruangan tempat persiapan upacara, di sana ia bertemu dengan para Kadhara yang sedang sibuk merangkai bunga, menyusun batang-batang dupa serta menumpuk teks-teks doa.
“Salam saudara-saudari yang terhormat dan terberkahi oleh rahmat Sang Maina. Bisakah saya bertanya ada di mana Patriakh Agung?”
“Patriakh Agung sedang berdoa di bilik suci bersama Matriakh Zuraida dan Patriakh Karif, O Abba,” jawab seorang Kadhara pria.
“Terima kasih untuk petunjuknya, Saudara,” ujar Patriakh itu sembari berlalu.
Ketika Sang Patriakh sudah pergi dari Sanggar Emas, bertanyalah seorang Kadhara wanita kepada Kadhara pria yang tadi berbincang dengan Sang Patriakh, “Aku tidak pernah melihat Patriakh itu di sini, siapa namanya?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Mungkin Patriakh dari luar Jakarta.”
“Atau mungkin penyusup?”
“Tenang saja, dia bukan penyusup,” ujar seorang Kadhara wanita yang sedang sibuk merangkai bunga.
“Kau kenal dia Kadhara Santi?”
“Aku mengenalinya.”
“Siapa namanya?”
“Mahija Nandi,” jawabnya sambil tersenyum simpul.
*****
“Kau yakin semuanya sudah berjalan sebagaimana mestinya, Karif?” seorang pria paruh baya dengan rambut yang sudah menipis tampak menatap tajam kepada seorang pria berusia 40 tahunan yang tampak duduk di hadapannya.
“Sangat yakin, Patriakh Agung.”
“Semoga kata-katamu benar, Karif. Kita akan diganjar dengan bayaran besar oleh Sang Maina jika kita berhasil melakukan ini, tapi jika kita gagal…,” tukas seorang wanita yang usianya tampak tidak jauh berbeda dengan Karif.
“Tenang saja, Zuraida. Apa yang diminta oleh Utusan Putra Langit tidaklah sulit. Ia hanya meminta kita mengumpulkan segenap pembesar negeri ini dalam satu atap.”
“Lalu apa yang akan dia lakukan kepada para pembesar itu?”
“Itu sama sekali bukan urusan kita Zuraida! Biarkah kehendak Maina yang bekerja atas bumi ini.” ujar sang pria yang dipanggil Patriakh Agung,
“Tapi ini sangat mencurigakan, Patriakh Agung! Apa bukti yang menyatakan bahwa ia adalah Utusan Putra Langit?”
“Aku tahu ia adalah Utusan Putra Langit, aku mempercayainya dari batinku! Dari sanubari imanku!” tukas Karif.
“Hanya dari itu sajakah?” Zuraida menyeringai.
“Itulah pembeda antara kau dan aku, Zuraida! Aku masih memegang teguh iman sementara kau sudah terpengaruh oleh hembusan-hembusan logika sesat!”
“Atau kau yang sesat?” balas Zuraida sengit.
*****
“Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sangat-sangat tidak beres,” gumam Zuraida ketika berjalan ke kamarnya usai pertemuan tadi.
“Resah atas pertemuan tadi, Zuraida?” tiba-tiba seseorang bertanya kepadanya.
Zuraida segera membalikkan badan dan mendapati seorang Patriakh berjanggut putih tengah berdiri di hadapannya, “Patriakh Sumarsono, sedang apa kau di sini? Bukankah ini sudah memasuki jam malam?”
“Aku melanggar jam malam karena aku ingin tahu apa yang Patriakh Agung dan Patriakh Karif bahas dengan dirimu.”
“Kau menguping?”
“Telingaku masih sebagus saat aku muda dahulu.”
“Andaikan kau menguping sekalipun, aku rasa kau tidak akan menemukan sesuatu yang menarik, Sumarsono.”
“Yakinkah kau terhadap Utusan Putra Langit? Putra Langit seharusnya turun sendiri ke Bumi. Ia tidak memerlukan seorang utusan untuk menyampaikan pesannya.”
Zuraida mendelik, sorot matanya menyiratkan amarah, tapi Sumarsono tetap tenang –bergeming di tempatnya berdiri.
“Sesuatu yang besar akan terjadi, Matriakh Zuraida. Dan pada masa itu kita akan melihat dunia yang abu-abu. Dunia yang tidak bisa dibedakan lagi mana hitam dan mana putih,” sambung Sumarsono kembali, “Utusan yang mengaku sebagai utusan Putra Langit itu tidak akan datang membawa pembebasan. Ia akan datang membawa kehancuran bagi kita semua.”
“Anda berbicara seperti para Pandita Arcapada, Patriakh! Apa anda telah tersesat dalam ajaran kegelapan itu kembali?”
“Ajaran kegelapan, Matriakh? Nanti malam kita akan tahu kebenaran kata-kataku ini.”
“Begitu upacara ini selesai akan kupastikan kau dirajam sampai mati!” mata sang Matriakh menyalang buas.
Sumarsono tampak tetap tenang, tidak gentar terhadap ancaman yang ditimpakan padanya, “Aku ini hanyalah satu manusia di antara banyak manusia. Membunuhku tidak akan mengubah apapun Matriakh Zuraida.”
“Kita lihat saja nanti!” Matriakh itu berpaling dari Sumarsono dan memasuki Sanggar Emas.
*****
Pagi itu tampak ratusan lilin telah disusun di altar upacara. Sebuah patung dewa berbahan perunggu dan berlapis kuningan tampak berkilat jingga memantulkan cahaya-cahaya lilin tersebut. Di hadapan altar, 12 Patriakh dan 12 Matriakh berdiri berjajar dengan lilin digenggam di tangan masing-masing.
Seorang Patriakh berusia lanjut menaiki satu demi satu tangga altar dengan menggenggam sebuah buku di tangannya. Ketika ia sudah mencapai altar, berbaliklah ia menghadap ke arah segenap peserta upacara.
“Saudara-saudari yang diberkati oleh sinar mentari Sang Maina,” ia berhenti menarik nafas untuk beberapa saat, “pada pagi hari ini seorang utusan dari langit telah datang pada kita semua. Ia telah diutus oleh Putra Langit sendiri, untuk menyampaikan sebuah pesan pada kita semua.”
Kata-kata itu membuat segenap peserta ibadat berbisik-bisik satu sama lain.
Apakah Patriakh Agung sudah sinting?
Dia sudah hilang ingatan!
Patriakh Agung sedang mabuk!
“Aku sadar bahwa banyak dari antara kalian yang meragukan kata-kataku. Karena itu izinkanlah aku memperkenalkan kepada kalian semua ... Sang Utusan!” kedua tangan Patriakh itu terangkat ke udara, sebuah posisi yang biasanya digunakan dalam sebuah doa permohonan kepada Sang Maina.
Dan sebuah keajaiban terjadilah. Sesosok manusia berbaju zirah putih dan bersayap perak turun dari langit, menembus plafon kuil tersebut lalu dengan anggun turun dengan perlahan-lahan sembari memancarkan cahaya kuning berkilauan.
“Astaga! Aku pasti mimpi!” ujar seorang Matriakh seraya berlutut dan bersimpuh.
“Utusan Langit!”
“Sang Pencipta belum melupakan kita!”
“Puji syukur pada Sang Maina!
Dan masih banyak reaksi kekaguman lainnya yang tertumpahkan di ruangan itu. Sosok bersayap itu akhirnya berpijak pada lantai dan mulai berkata-kata, “Umat manusia, dengarkanlah aku!”
“Ya! Kami mendengarkan,” jawab seisi ruangan itu kompak, seolah seperti dikomando.
“Aku datang kemari untuk memberitahukan bahwa Hari Pembebasan akan segera datang! Hari di mana setiap kejahatan di muka bumi ini akan dihapuskan! Hari di mana bumi tak ubahnya seperti kahyangan! Hari di mana segala binatang buas akan duduk berdampingan dengan hewan-hewan ternak! Hari di mana segala permusuhan akan diremukkan! Hari itu akan segera datang!” ujarnya lantang.
“Oh! Sungguh bahagia kami mendengarnya Utusan Langit,” jawab para Patriakh dan Matriakh yang bersimpuh di depan altar tersebut.
“Tapi sayangnya hari itu tidak akan datang jika Sang Utusan Iblis tidak dapat kalian musnahkan!”
“Oh? Jika begitu katakan saja di mana Utusan Iblis itu berada, wahai Tuanku. Maka segenap dari kami akan memburunya dan membunuhnya!” ujar Sang Patriakh Agung.
“Kalian harus mencari seorang bernama Mahija Nandi, seorang yang pernah menjadi salah satu dari antara Paravandaah. Dan ketika ia sudah kalian temukan, bunuh dia dan segenap keluarganya! Jangan biarkan ada satupun dari mereka yang bersisa! Sebab mereka adalah wadah-wadah makhluk kegelapan, yang bahkan Sang Maina pun tak bisa menyelamatkan jiwa mereka!” ujarnya lantang.
“O Tuanku! Perintah itu akan kami laksanakan!”
“Antinencidio!” tiba-tiba salah seorang dari 12 Patriakh itu menghantam lantai marmer di hadapannya dan segera keluarlah kobaran api berwarna biru dari lubang di lantai itu.
“Kebakaran! Kebakaran!” orang-orang mulai berlarian dengan panik, tapi ketika mereka hendak mencapai pintu keluar lantai di hadapan mereka terangkat dan menjulanglah sebuah batu besar yang menutupi jalan mereka.
“Bajingan kau, Agara!” Patriakh itu menarik sebilah pedang dari balik jubahnya, lalu menarik turun tudung kepalanya, memunculkan sesosok pemuda yang tak lain adalah Nandi.
“Ho! Kau di sini rupanya! Hai, umat manusia! Inilah musuhmu! Habisi dia!”
Segenap orang yang ada di dalam ruangan itu menatap Nandi dengan tatapan benci dan dengki. Sementara di sudut lain Nandi dapati Sang Kepala Negara sedang meringkuk ketakutan di balik perlindungan segenap pengawalnya.
“Hah! Mudah benar kalian ini termakan janji-janji palsunya! Dengarkan aku! Orang yang berdiri di hadapan kalian ini,” Nandi menuding Agara dengan pedangnya, “tidak akan membawa pembebasan, melainkan kehancuran. Kehancuran bagi setiap insan di antara kita! Tak peduli apakah kalian itu orang baik atau orang jahat, ia akan menghancurkan dunia ini dan mengembalikannya pada kondisi ketiadaaan!”
“Iblis! Kau mencoba menggoda manusia!” Sang Patriakh Agung menudingkan jarinya ke arah Nandi, “bunuh dia!”
Nandi melongok ke arah balkon tingkat tiga dan mendapati segenap Kadhara dari satuan Prajurit Dewa telah menodongkan segenap moncong senapan ke arah dirinya.
“Kau masuk ke dalam jebakanku, Nandi!” Agara berkata dengan penuh kesinisan.
“Atau kau yang masuk ke dalam jebakanku, Tuan Prajurit Langit?”
“Tembak!” seru Patriakh Agung yang segera diikuti oleh suara letusan senapan. Tak sampai dua detik kemudian, tubuh tambun Sang Patriakh telah dicabik-cabik oleh rentetan peluru.
“Apa?” Agara melirik ke arah balkon tempat para penembak tersebut berada, dilihatnya mereka semua kini mengarahkan senapan mereka padanya.
“Jadi itu ... pilihan kalian?” malaikat itu langsung melesat terbang ke arah para Prajurit Dewa tersebut, rentetan tembakan mengenai tubuhnya meski tak satupun peluru itu yang dapat melukainya. Namun belum sempat ia bisa menggapai salah satu dari mereka, sebuah bola api biru terang menyambar sayap kirinya hingga ia terjatuh dengan keras ke lantai kuil.
“Takkan kubiarkan kau lolos lagi, Agara,” kedua tangan Nandi mengeluarkan kobaran api warna biru yang menyala-nyala. Satu kobaran bersiap ia tembakkan ke arah malaikat itu namun meski satu sayapnya telah berlubang, malaikat itu masih dapat terbang meloloskan diri ke atap.
“Jangan lari,” Nandi menghentakkan kakinya keras-keras dan melayang menuju balkon tingkat dua, lalu melayang lagi menuju balkon tingkat tiga hingga ia hampir mencapai lubang atap sebelum sesosok prajurit berzirah warna putih dan bersayap menarik kakinya dan membantingnya ke lantai.
“Duh!” Nandi bangkit dengan merasakan nyeri hebat di sekujur tubuhnya akibat bantingan tadi. Di hadapannya sosok manusia bersayap itu sudah menarik senjatanya, sebuah tongkat besi yang segera berubah menjadi tombak perak. Sementara di belakangnya, Nandi mendapati delapan orang yang mengelilingi Sang Kepala Negara telah beralih rupa pula menjadi sosok manusia bersayap dengan zirah putih. Dua orang mengepungnya sementara enam orang lagi terbang ke balkon lantai
“U-utusan langit! Utusan langit telah datang untuk menyelamatkan kita semua dari serangan sang iblis!” seru seseorang dari antara kerumunan itu.
“Aku tidak punya waktu untuk melayani kalian semua. Minggir!” Nandi menghujamkan Kanistara ke lantai kuil hingga muncullah dinding-dinding batu karang berujung tajam yang mengoyak dua malaikat di belakangnya dan satu malaikat yang tadi berada di hadapannya.
“Di-dia iblis! Di-dia membunuh Utusan Langit!” seorang wanita tua menunjuk ke arah Nandi.
“Bunuh anak itu!” timpal seorang yang lain.
“Bakar dia!” seru seorang pria paruh baya.
“Penggal kepalanya!” pekik seorang remaja putri.
Mendengar kata-kata itu, kuping Nandi memerah – panas, berpalinglah ia ke balkon atas tempat para Prajurit Dewa tengah bertarung melawan enam malaikat yang tadi menyamar sebagai manusia. Dipandanginya seorang dari para Prajurit Dewa itu, diberinya isyarat supaya menyingkir. Prajurit itu mengangguk tanda mengerti lalu mengisyaratkan kawan-kawannya untuk melompat keluar melalui jendela.
Sementara di kedua tangan Nandi, kobaran api yang semula berwarna biru itu perlahan-lahan berubah warna menjadi hitam. Mulut pemuda itu tak hentinya berkomat-kamit mengucapkan mantra sebelum akhirnya ia menghantamkan kobaran api itu ke lantai kuil sehingga tertelanlah kuil itu dalam kobaran api hitam hingga hangus tak bersisa. Wanita, pria, anak-anak, bahkan para malaikat yang tadi berada di dalam kuil itu, kini tak bersisa seorang pun. Kecuali satu! Satu sosok pemuda berpakaian hitam-hitam yang tengah menggengam pedang yang memendarkan aura jingga pekat. Dipandanginya awan-awan yang mulai berarak di atas kepalanya lalu terbang melesatlah dia. Pergi dari areal pembantaian yang baru saja ia lakukan.
*****
Pemuda itu mendarat di sebuah atap bangunan pencakar langit, mencoba mencari-cari buruannya, sang malaikat bernama Agara. Warna matanya berubah, dari yang semula putih bercampur hitam menjadi putih bercampur merah. Sorotnya tajam dan buas, laksana sorot mata seekor macan yang lapar. Dari kejauhan muncullah sosok bersayap yang tengah melesat ke arahnya dengan kecepatan tinggi.
“Akan kuhentikan kau Contra Mundi!” sosok bersayap itu menyabetkan senjatanya, nyaris mengenai leher Nandi, meski untungnya Nandi bisa berkelit meski jarak antara senjata itu dengan lehernya hanya kurang dari satu sentimeter.
Nandi balas menyerang, ia sabetkan Kanistara secara vertikal dari arah bawah ke atas. Tombak malaikat itu terdorong ke atas namun tidak juga lepas dari genggamannya seperti yang direncanakan Nandi barusan.
“Aku sarankan kau potong sayapnya dulu, Nandi,” saran Kanistara di sela-sela pertarungan.
“Aku tahu,” bisik Nandi sembari berlari kembali ke arah malaikat itu. Ia melompat dan sekali lagi menyabetkan Kanistara – kali ini secara melintang. Malaikat itu kembali berhasil menangkis serangan Nandi, namun di luar dugaannya, lawannya mencengkeram sayap kanannya dengan eratnya.
“Antinencidio!” seru Nandi sesaat setelah ia berhasil mencengkeram sayap lawannya itu.
Sebuah kobaran api berwarna biru berkobar dan membakar sayap sang malaikat hingga hangus tak bersisa. Sang malaikat yang sadar akan kondisinya segera mundur sejauh sepuluh langkah dari lawannya sembari memperhatikan bagian di mana sayap kanannya tadinya berada.
“Kurang ajar!”
“Anda bukan lawanku, Tuan Malaikat! Aku sarankan kau tunjukkan saja di mana Za’inmu bersembunyi dan menyingkirlah dari jalanku sebelum aku membunuhmu.”
“Jangan sombong kau manusia!”
“Jadi begitu?” Nandi memutar-mutar Kanistara dengan tangan kanannya sebelum akhirnya melemparkan pedangnya itu dengan kecepatan yang tak tertangkap oleh mata manusia. Tak sampai sedetik kemudian Kanistara sudah menancap di dada sang malaikat, menembus dadanya. Dari luka itu mengalirlah darah berwarna kehitaman yang diiringi robohnya sosok itu di tengah-tengah atap beton bangunan tersebut.
“Sayangnya anda bukan lawanku, Tuan,” sambung Nandi sembari mengulurkan tangannya ke arah sosok tersebut. Dalam sekejap Kanistara melayang kembali ke arah tuannya dan mendarat dengan anggun di tangan Nandi.
*****
Mata Nandi menangkap pergerakan sesosok manusia yang bergerak ke belakang dirinya.
“Agara!” Nandi berbalik dan mendapati sosok yang ia cari-cari selama ini telah berdiri di hadapannya.
“Mari Contra Mundi. Kali ini hanya ada aku dan kau. Seperti selayaknya Za’in yang lain, aku akan menghadapimu dan membunuhmu!”
“Aku meragukannya!” Nandi menghunus Kanistara keluar dari sarungnya, bilah pedang itu berkilat-kilat memantulkan cahaya.
Kedua sosok itu berhadap-hadapan untuk sesaat sebelum akhirnya keduanya saling menerjang satu sama lain. Kanistara milik Nandi dan pedang milik Agara kembali beradu di langit kota Jakarta. Langit mendung dan halilintar pun menyambar-nyambar, pertanda hujan akan segera turun. Manusia dan malaikat yang sedang bertarung itu seolah sedang menari di antara awan-awan. Setiap kali bilah senjata mereka bertemu terciptalah sebuah sinar terang seperti kembang api, membuat takjub seluruh orang yang menyaksikan pertarungan itu dari bawah.
Sekonyong-konyong sebuah petir nyaris menyambar Nandi. Mata pemuda itu melotot, kaget dan mencari-cari siapa kiranya yang menembakkan bola petir itu.Mata Saklas, kembali ia aktifkan. Dicari-carinya sumber serangan yang jelas-jelas bukan berasal dari lawannya bertarung saat ini. Akhirnya ia temukan sesosok manusia bersayap bersenjatakan tombak dua bilah (bisula) tengah menghadang dirinya.
“Kau bawa bantuan lagi, Agara? Curang!” protes Nandi.
Agara hanya menyeringai saja, tidak menjawab sepatah kata pun.
*****
“Nandi dalam masalah!” ujar Helmut kepada keempat rekannya, “Siapa yang bersedia membantunya?”
“Ini sudah dua jam menjelang tengah malam, siapapun yang dikirim ke sana harus bisa kembali kemari sebelum tengah malam tiba,” sambung Olivia.
“Aku bersedia!” Haris mengajukan diri.
“Pergilah Haris, dan pastikan dirimu kembali sebelum tengah malam… atau kau terpaksa bertahan sampai matahari terbit.”
Sebuah portal segera terbuka di ruangan tersebut. Haris menghunus scimitar miliknya lalu memasuki portal tersebut. Sementara kawan-kawannya saling berpandangan satu sama lain.
“Ada rencana cadangan Ketua? Kalau-kalau mereka berdua gagal?” tanya Olivia.
“Mereka tidak akan gagal,” jawab Helmut penuh keyakinan.
“Kenapa kau seyakin itu?” tanya Helena.
“Kau akan mengetahuinya sebentar lagi Helena,” seulas senyum misterius – penuh arti– tergambardi wajah Helmut.
*****
Agara menyabetkan pedangnya yang berselimutkan aliran petir ke arah Nandi dengan ganas, mendesak pemuda itu hingga tak bisa menyarangkan barang sebuah pukulan atau satu sabetan pada lawannya.
“Ha! Kenapa Contra Mundi? Kelelahan?” ledek Agara pada lawannya itu.
Sementara Nandi sudah cukup kerepotan menghadapi tarian pedang Agara yang semakin menggila, dua sosok malaikat melancarkan serangan petir dan lidah api ke arah Nandi, yang mewajibkannya untuk lebih awas jika tidak mau habis.
“Sialan! Mereka main curang!” umpat Nandi.
“Itu tandanya mereka sudah putus asa, Nandi,” ujar Kanistara.
“Ada ide?”
“Pancing mereka ke atas tanah, Nandi!” saran Kanistara.
Nandi segera berkelit dan meluncur turun ke permukaan tanah, sementara lawan-lawannya turut mengejarnya dengan turut meluncur turun ke bawah bersama Nandi.
“Lemparkan aku, Nandi!” ujar Kanistara.
“Oke!” Nandi segera melemparkan pedang itu hingga pedang itu terhujam ke dalam tanah. Sekejap kemudian mencuatlah patahan-patahan permukaan tanah beterbangan menghantam para malaikat yang mengejar Nandi. Empat sosok itu berjatuhan ke tanah dan segera saja disambut dengan hantaman kobaran api berwarna biru.
“Ayo Kanistara!” Nandi merentangkan tangannya dan Kanistara pun melayang menuju gengamannya. Namun belum sempat Nandi menggengam Kanistara, sebuah kekuatan tak terlihat mendorong dan menghempaskan pemuda itu sehingga ia terlempar ke areal parkir pusat perbelanjaan tersebut.
Nandi bisa menyaksikan puluhan atau bahkan ratusan pasang mata tengah menyaksikan dirinya yang tiba-tiba jatuh menimpa sebuah SUV merah yang tengah terparkir di areal tersebut. Susah payah ia mencoba bangkit berdiri kembali namun sebuah dorongan tenaga tak terlihat kembali menghempaskannya sejauh beberapa puluh meter. Nandi bisa merasakan rasa nyeri menjangkiti seluruh tubuhnya, pandangan matanya menjadi kabur akibat benturan tadi, kedua kakinya terasa gontai bahkan untuk sekedar menyangga tubuhnya, sementara itu nafasnya kini menjadi semakin tak beraturan akibat pertempurannya barusan dengan para prajurit bawahan Agara.
“Menyerahlah Contra Mundi!” seru Agara sembari menembakkan sebuah tiang cahaya ke atas, ke tempat di mana sekumpulan awan tengah menggantung di atas tempat tersebut.
“Jangan harap!” Nandi kembali merentangkan tangan kanannya dan kali ini Kanistara melesat menembus aspal yang dipijak Nandi sebelum akhirnya mendarat kembali di tangan majikannya.
“Kau keras kepala Contra Mundi! Untuk apa kau berjuang sampai sejauh ini? Apakah mereka yang berdiri di sana akan memujamu setelah kau berhasil menghentikanku? Apakah dengan melakukan ini maka kau akan mendapat tempat kembali di keluargamu? Apakah dengan melakukan ini maka kau akan mendapatkan kembali kehidupan yang telah direnggut darimu? Mengapa kau tidak mengabdi saja di sisi kami? Kami bisa mengembalikan hidupmu yang telah hilang!”
“Bagaimana kalian bisa mengembalikan hidupku yang telah hilang jika dunia ini akan kalian hancurkan pada akhirnya?”
“Duniamu sudah rusak, Contra Mundi. Aku tidak melihat satupun alasan yang kuat untuk mempertahankan dunia ini. Kau yang telah dianiaya oleh kekejaman dunia ini seharusnya lebih tahu dari semua orang yang ada di muka bumi ini!”
“Oh? Begitu pikirmu? Aku memang telah dianiaya oleh kekejaman dunia. Itu benar sekali! Tapi bagaimana mungkin aku mengabdikan diri pada seorang makhluk adikodrati yang telah membiarkan sumber kekejaman dunia ini berjalan dengan bebasnya di tengah dunia itu sendiri? Aku tahu kau dan Calya bekerjasama, Za’in Agara. Dan aku juga tahu bahwa kalian dan iblis adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Kalian, para malaikat tak mungkin mengakhiri dunia ini tanpa bantuan iblis. Dan para iblis takkan mungkin berpijak pada bumi tanpa campur tangan malaikat. Apakah aku benar?”
“Kau seperti manusia lainnya ternyata, picik dan kolot. Tidakkah kau lihat selama ratusan abad manusia berpijak di bumi mereka selalu saja saling menghancurkan? Tidakkah kau lihat bahwa dunia yang hendak kaupertahankan ini tengah sekarat dan perlahan menuju kematiannya?”
“Jika memang dunia ini tengah menuju kematiannya ... biarkanlah dunia itu mati oleh tangannya sendiri, tidak oleh tangan-tangan dunia lain!” seru Nandi sembari menghujamkan Kanistara keras-keras ke dalam aspal yang berada di hadapannya. Dalam sekejap permukaan tanah di sana menjadi bergelombang dan timbullah retakan-retakan di tanah yang menelan sejumlah mobil yang tengah parkir di sana.
“Senandung Bumi!” gumam Agara penuh kekalutan, “Bukankah teknik ini hanya bisa dipakai oleh ‘dia’?”
Tapi sebelum Agara sempat berpikir lebih jauh lagi, sebuah batu karang besar telah meluncur ke arahnya. Satu sabetan pedang milik Agara menghancurkan batu karang itu hingga pecah berkeping-keping, namun sejumlah besar batuan langsung menyusul dan berkali-kali menghantam malaikat itu. Daya dorong batu-batu ini sungguh luar biasa, sehingga ia sempat terpukul mundur sejauh beberapa belas langkah.
“Cukup main-mainnya Contra Mundi!” Agara menaikkan tangan kanannya lalu menghantamkannya ke permukaan tanah. Sebuah goncangan terjadi di area itu hingga turut membuat pusat perbelanjaan yang berada di belakang sang malaikat turut goyah sebelum akhirnya runtuh dan rata dengan tanah.
“Kau membunuh mereka!” Nandi meraung keras lalu dengan histeris maju menyerang Agara.
“Salahmu sendiri, Contra Mundi! Mengapa kau gunakan ‘Senandung Bumi’ di sini?”
“Akan kubunuh kau!”
“Cobalah!” Agara langsung melesat terbang ke awan-awan yang mulai menggantung di langit. Nandi membungkuk sejenak sebelum akhirnya melesat tinggi, menyusul Agara ke langit, ke balik awan. Namun belum sempat ia menembus awan sekumpulan halilintar tiba-tiba menyambar pemuda itu sehingga jatuhlah ia ke bumi kembali.
Kembali Nandi harus merasakan sakitnya terhempas di bumi, namun kali ini ia ditemani oleh rintik-rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. Nandi mencoba bangun dan mencari senjatanya yang tadi turut terlempar ketika petir-petir itu menyambar dirinya. Tapi belum sempat ia bangkit, ujung sebuah logam dingin telah ia rasakan menempel di lehernya.
“Sudah selesai Contra Mundi!” suara Agara terdengar di telinga Nandi.
“Belum!” sebuah kobaran api segera terbentuk di tangan Nandi dan ia tembakkan ke arah sang malaikat, tapi dengan entengnya sang malaikat itu bisa menepis serangannya.
“Kurasa tenagamu sudah terkuras habis Contra Mundi.”
“Belum!” Nandi kembali memaksa tubuhnya untuk bangkit berdiri tapi sebuah injakan dari kaki-kaki para malaikat yang tiba-tiba berdatangan menghalangi niatnya itu. Dua di antara mereka mencengkeram lengan Nandi dan memaksa kepala pemuda itu tegak, menghadap kepada pemimpin mereka, Agara.
“Sia-sia saja perlawananmu, Contra Mundi,” mulut Agara menyunggingkan sebuah seringai yang sangat dibenci oleh Nandi. Meski Nandi tak bisa melihat mata yang ada di balik helm itu, Nandi bisa merasakan bahwa mata sosok itu telah menatap dirinya dengan tatapan keji dan dengki.
“Sekarang,” Agara mencabut kembali pedangnya yang tadi sempat disarungkannya, “Versigi akan kehilangan pelindungnya.”
“Tidak secepat itu!” suara seorang pria paruh baya tiba-tiba terdengar membahana di tengah-tengah hujan yang turun dengan lebatnya.
Agara dan pasukannya berbalik untuk melihat siapa orang yang berani bicara selantang itu, dan mereka mendapati seorang Patriakh tua bersama tiga orang anggota korps Prajurit Dewa tengah berdiri dengan gagahnya dengan menenteng bedil dan sabel[1].
“Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan anda semua, Patriakh,” ujar salah seorang malaikat yang ada di sana.
“Urusan ini menjadi sangkut-pautku karena apa yang akan kalian lakukan pada anak itu! Lepaskan dia!” hardik Sumarsono lantang.
“Ia adalah utusan iblis, Patriakh!” balas Agara, “Ia terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup!”
“Apakah ia itu utusan iblis? Atau justru kalianlah yang membawa iblis untuk hadir di dunia ini? Kami sudah tahu semua rencanamu, Athir Kathana. Kau di sini tidak hendak membebaskan manusia, kau di sini untuk memusnahkan kami semua! Dan aku juga tahu bahwa anak itu adalah satu-satunya yang menjadi penghalang antara dirimu dan rencana akhirmu!”
“Anda melangkah terlalu jauh ke dalam wilayah yang seharusnya tidak anda pijak, Patriakh! Oke ... bunuh mereka semua!” perintah Agara.
“Tidak! Lari Abba!” Nandi memekik ngeri.
“Tidak Nandi! Tidak sebelum kau bebas!”
“Keras kepala!” Agara langsung menembakkan sebuah bola petir ke arah Sumarsono dan terpentallah pria tua itu sejauh beberapa meter.
“Abba!” Nandi kembali memekik ketika melihat sosok yang sangat dihormatinya itu terhempas dan tak sadarkan diri.
Tiga patriakh lainnya pun mengalami nasib yang tak jauh berbeda, satu dari antara mereka kehilangan kepalanya tak sampai semenit setelah perseteruan dimulai, satu lagi tertembus jantungnya oleh tombak milik salah satu malaikat, sementara yang terakhir lehernya terpotong oleh sayatan pedang milik seorang malaikat.
“Yah ... mereka semua mati. Dan mereka semua mati karena dirimu Nandi!” Agara menuding Nandi dengan pedangnya yang dingin oleh air hujan. Sorot mata Nandi menunjukkan kebencian dan kemarahan yang meluap-luap, tapi Agara sama sekali tidak mempedulikannya.
“Sampai jumpa di alam baka, Contra Mundi!” Agara bersiap untuk mengayunkan pedangnya ketika sebuah kegelapan yang amat pekat menyelimuti dirinya dan seolah melumpuhkan semua inderanya meski ia adalah seorang makhluk adikodrati. Suasana gelap itu berlangsung selama beberapa menit sebelum akhirnya kegelapan itu menghilang sepenuhnya.
Namun bersamaaan dengan menghilangnya kegelapan itu, ia dapati bahwa Mahija Nandi juga sudah tidak ada di sana.
[1]Sejenis pedang tipis melengkung mirip scimitar yang biasa dipakai oleh kapten militer Eropa abad pertengahan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top