BAB X: WAHANA
Alam Semesta Versigi
Hotel Satelit, Surabaya, 23 Agustus 2012.
“Calya!” sebuah suara mengiang-ngiang dalam benak Calya.
“Aduh, sial!”
“Kenapa?” Agara memandang tajam ke arah Calya.
“Tuanku memanggilku.”
“Pergilah kembali pada Tuanmu, Calya.”
“Dia akan marah sekali jika mengetahui misiku gagal.”
“Cobalah menjelaskan duduk perkaranya.”
“Menjelaskan? Aku harus menjelaskan bahwa diriku dihajar habis oleh bocah kemarin sore?”
“Bukan bocah kemarin sore… tapi Contra Mundi.”
“Ah ya, sudahlah. Aku akan kembali pada Tuanku dan menjelaskan soal itu.”
“Ia pasti akan sangat murka.”
“Manusia… mereka selalu berpikir derajat mereka ada di atas kita.”
“Padahal jika kita mau, kita bisa saja menjungkirbalikkan kota ini dalam semalam.”
“Andai saja tidak ada aturan bahwa manusia adalah penguasa dunia ini.”
“Ha, mereka penguasa tapi lupa bahwa kuasa mereka ada di bumi, bukan di langit. Tapi kepala mereka selalu menatap langit, inginkan diri mereka untuk tidak lagi memijak bumi melainkan langit.”
“Sampai jumpa Calya.”
Dan dalam sekejap mata Calya sudah menghilang dari tempatnya.
Alam Semesta Versigi
Hotel Hilton, Surabaya, 23 Agustus 2012.
“Calya!” suara seorang pria memecah kesunyian di sebuah kamar mansion. Dalam kamar itu terdapat tiga orang pria, dua di antaranya adalah Bayu dan Agni sementara yang satu lagi adalah Samsul, menteri Hukum dan HAM.
“Kau sudah membunuh Sumitra?” tanya Bayu sambil menyalakan rokoknya.
“Belum Tuan.”
“Hei!” Agni berdecak kesal, “Bukankah membunuh anak itu tidaklah sulit?”
“Ada orang yang menghalangi saya, Tuan.”
“Oh ya? Siapa?”
“Mahija Nandi.”
“Eh?” seluruh yang hadir di ruangan itu terpana.
*****
“Kau kesulitan menghadapi anak itu?”
“Ya Tuan. ”
“Eh? Calya Sang Siluman Malam! Calya Sang Bayangan Maut! Calya Sang Tangan Siluman! Calya Sang Pembunuh Presiden Ketiga… kalah oleh seorang anak kemarin sore? Apa tubuhmu sudah mulai renta sampai-sampai dirimu tak mampu melawan seorang bocah?”
“Bagaimana jika aku katakan bahwa bocah itu punya kemampuan setara diri saya, Tuan?”
“Maksudmu?”
“Ia telah melampaui batasnya sebagai manusia. Ia bukan lagi manusia yang biasa anda lihat sehari-hari. Ia adalah manusia yang bahkan mampu membunuh makhluk-makhluk adikodrati.”
“Semacam Dewa? Dewa itu tidak ada!”
“Bukan dewa, Tuan. Lebih tepatnya semacam ‘anak dewa’.”
“Kau sinting, Calya!” bentak Agni.
“Lebih sinting mana, saya atau Tuan berdua? Tuan berdua sudah tahu saya ini iblis, yang menyaru dalam wujud manusia. Anda percaya pada eksistensi saya sebagai iblis, tapi anda tidak mempercayai kehadiran manusia yang mampu menandingi saya?”
“Tak bisakah kau mengalahkannya?”
“Saya bisa mengalahkan, Mahija Nandi. Bisa juga tidak. Semuanya tergantung pada nasib yang akan membawa saya.”
“Jangan sok bijak di hadapan kami, Calya.”
“Kenapa Tuan? Sakit hatikah Tuan bahwa iblis bisa lebih bijak daripada manusia?”
Kedua pria kembar itu terdiam cukup lama, hingga akhirnya Bayu mulai berkata, “Untuk sementara kau kuperintahkan untuk menangkap beberapa orang yang menjadi duri dalam daging dahulu, Calya. Hindari kontak dengan keluarga Adibhratha Mursito untuk sementara ini.”
“Baik Tuan. Siapa yang harus saya bunuh sekarang?”
“Orang-orang dalam daftar ini,” Bayu menyodorkan selembar kertas pada Calya.
“Kalau begitu saya undur diri dahulu,” Calya segera menghilang dari ruangan itu.
“Di-dia iblis?” tanya Samsul terbata-bata.
Kedua saudara kembar itu mengangguk sementara Samsul wajahnya tampak seperti orang yang darahnya baru saja dihisap habis.
*****
Bayu dan Agni sudah pulang sejak lama, tapi Samsul masih duduk dengan gelisah di ruang tamu rumah mewahnya. Dipandanginya telepon yang yang ada di hadapannya lalu dengan tangan gemetar diulurkannya tangannya ke pesawat telepon itu dan dipencetnya sejumlah nomor. Terdengar nada tunggu selama beberapa saat sebelum akhirnya seorang pria di seberang menjawab teleponnya.
“Halo Samsul? Ada apa?”
“Calya gagal!”
“Huh? Dia gagal? Baiklah! Akan kupakai caraku sendiri!”
“Jangan Burhan! Lawanmu itu… !”
Tapi sang lawan bicara sudah menutup teleponnya.
*****
Alam Semesta Arvanda
“Salam Hekaloth!” Agara yang berdiri di sebuah atap gedung pencakar langit tengah menyapa sesosok makhluk bersayap yang serupa dirinya.
“Salam bagimu juga, Agara.”
“Ada apa kau memanggilku?”
“Aku hendak membicarakan sesuatu.”
“Mengenai Contra Mundi?”
“Ya, juga mengenai masalah di ‘Batas Cakrawala’.”
“Jelaskan.”
“Seperti yang kau ketahui bahwa suatu alam semesta yang telah mencapai puncak siklusnya harus diakhiri dan dihancurkan, guna membentuk sebuah siklus baru. Itu hukum kuno yang dibuat bertahun-tahun yang lalu bukan?”
“Dan kita semua hendak merubahnya,” balas Agara.
“Benar, di siklus yang lalu kita nyaris berhasil. Tapi kita kurang cepat melakukan ‘panen’ sehingga kita harus menunggu satu siklus lagi untuk benar-benar menghancurkan semesta-semesta ini.
“Sekarang Contra Mundi muncul, menghalangi rencana kita semua.”
“Yah, kau sudah mengetahuinya bukan. Mereka sudah menunda kehancuran Etria, Kasha, Jara, Sambala, dan Avesta. Bagaimana dengan Versigi?”
“Contra Mundi Versigi sudah muncul di hadapanku.”
“Oh ya? Bagaimana pendapatmu? Bisakah kau menghentikan dia?”
“Ini… akan sulit, karena ia memegang Rajata.”
“Rajata? Seperti Contra Mundi Kasha?”
“Ya!”
“Siapa nama Rajatanya?”
“Kanistara!”
“Itu… senjata itu… milik ‘dia’!”
“Contra Mundi pasti berencana membangkitkan ‘dia’. Tapi untuk apa?”
“Agara, lupakah kau mengenai para Contra Mundi dari masa lalu?Contra Mundi muncul bukan hanya sekali ini, Agara. Di siklus-siklus sebelumnya mereka pun ada. Setidaknya ada dua siklus di mana mereka muncul.”
“Contra Mundi saat ini… mereka generasi keberapa?”
“Generasi ketiga.”
“Tunggu… generasi ketiga?”
“Ya, Agara. Kau pikir dari mana segala pengetahuan mengenai Contra Mundi ini berasal jika bukan dari rekam jejak masa lalu?”
“Ke mana semua Contra Mundi dari masa lalu?”
“Musnah!”
“Mereka gagal?”
“Generasi kedua nyaris berhasil. Mereka menyeret kami sampai ke alam semesta ketujuh. Ke tempat ini!”
“Lalu?”
“Mereka tidak bisa melewatiku, Agara!” Hekaloth tersenyum bangga.
“Olehmu?” Agara membalas dengan senyum sinis, “Jadi kau hendak berkata bahwa Za’in yang lain tidak punya kesempatan dalam menghadapi Contra Mundi begitu?”
“Aku tidak berkata seperti itu. Bangkitnya Contra Mundi hingga menjadi sekuat ini dikarenakan karena pengkhianatan ‘dia’.”
“Maksudmu?”
“Oh ya, Agara. ‘Dia’ dahulu juga Za’in, sama seperti kita. Tapi hatinya lebih memihak pada manusia, bukan kepada perintah Sang Alpha.”
“Apa kau ada usul bagaimana aku mengakhiri semua ini, Hekaloth?”
“Aku tak bisa berbuat banyak dengan masalah semesta yang kau jaga, Agara. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah mencegah para Contra Mundi mencapai Arvanda dalam waktu dekat ini. Aku juga akan melepaskan makhluk-makhluk dunia bawah lebih cepat di Arvanda.”
“Supaya Contra Mundi Arvanda tidak punya cukup banyak waktu untuk mencari sekutu bukan?”
“Ya, begitulah. Kenapa tidak kau minta Calya melakukan hal serupa di sini, Agara?”
“Gerbang Dunia Iblis di Versigi telah disegel. Bahkan dengan segala kekuatanku aku tidak dapat membukanya.”
“Ternyata ‘dia’ telah mengantisipasinya lebih jauh dari yang sudah aku perkirakan.”
*****
“Bagaimana kondisinya, Dok?” Wima bertanya kepada seorang dokter yang baru saja keluar dari ruang Trauma Center.
“Kakakmu mengalami gegar otak yang parah, Dik! Ia harus dirawat inap di sini.”
“Berapa lama Dok?” tanya Wima dengan mata berkaca-kaca – hampir menangis.
“Kami belum tahu persis berapa lama ia akan pulih, tapi ada baiknya jika dia dirawat dahulu paling tidak seminggu.”
“Tapi kami tidak punya uang!” kata Wima dengan mata makin berkaca-kaca.
“Aduh sayang sekali saya tidak berwenang untuk hal itu, Mas. Coba sampean tanyakan pada resepsionis mengenai prosedur penundaan pembayaran,” jawab dokter itu sambil beralih pergi, meninggalkan Wima yang tertunduk lesu dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis.
“Tipikal!” komentar Nandi yang sedari tadi duduk diam di kursi tunggu.
“Apanya yang tipikal?”
“Dokternya! Memalingkan muka dari pasien yang tiada punya uang.”
“Aku akan pulang dan meminjam pada para tetangga.”
“Tidak perlu,” tukas Nandi.
“Apa? Lalu bagaimana kita membayar uang jaminan rawat inap?”
“Pakai ini,Wima!” Nandi menyerahkan sebuah buku tabungan beserta kartu ATM kepada Wima.
Wima menerima buku tabungan itu dengan ragu-ragu lalu membukanya. Matanya membelalak melihat nominal yang tertera dalam buku tabungan itu.
“Seratus juta! Dari mana kau dapat uang sebanyak ini, Kak?”
“Ssshh. Aku mendapatkannya dengan cara yang tidak sepenuhnya baik-baik. Jangan tanya macam-macam. Pakai saja uang itu untuk biaya perawatan Kak Sumitra sampai sembuh,” Nandi bangkit dari duduknya dan bersiap untuk beranjak pergi.
“Kau mau ke mana lagi, Kak?”
“Aku hendak meneruskan tugasku.”
“Sebagai Nirvataka? Atau Prajurit Dewa?”
“Aku bukan lagi Nirvataka, bukan pula Prajurit Dewa. Apa profesiku sekarang kau tidak perlu tahu banyak kecuali aku adalah kakakmu. Itu saja yang terpenting.”
“Tapi…,”
“Sudahlah Wima. Jaga Kak Sumitra baik-baik.”
*****
Ketika Nandi keluar dari RS itu, tampak di matanya sekumpulan pria berwajah angker tengah mengamat-amati bangunan RS dengan seksama. Instingnya merasakan sesuatu yang tidak beres akan terjadi di sana, maka segeralah ia bersembunyi di balik pepohonan sembari mengamat-amati gerak-gerik pria-pria tersebut.
“Kau sudah pergi terlalu lama dari Sarai, Nandi!” Kanistara memperingatkan Nandi.
“Aku tahu, tapi aku merasakan ada hal yang tidak beres pada orang-orang ini!”
“Setidaknya beritahu Contra Mundi lainnya bahwa kau tidak bisa kembali dengan segera!”
“Dengan apa?”
“Ingat kristal ungu yang kau bawa? Itu benggala, pakai itu untuk memberitahu kawan-kawanmu.”
Nandi mengeluarkan sebiji kristal ungu yang ia pakai sebagai kalung di balik bajunya, mendekatkan kristal itu ke wajahnya lalu samar-samar terdengar suara dari dalam kristal itu, “Ada apa Nandi?” itu suara Kaspar.
“Aku tak bisa segera kembali. Ada sesuatu yang harus aku urus.”
“Kau menemukan Agara?”
“Belum, tapi aku ada suatu keperluan.”
“Masalah pribadi?”
“Ya!”
“Kembalilah sebelum tengah malam tiba, Nandi. Atau kau harus menunggu sampai matahari terbit esok hari untuk kembali kemari.”
“Aku mengerti!”
*****
“Wisanggeni siap pada posisi. Ganti!” ujar seorang pria dari balik kegelapan
“Senja siap pada posisi, menunggu perintah. Ganti!” balas seseorang melalui walkie-talkie.
“Pelopor pada posisi, bersiap memasuki gedung!” kembali terdengar suara pria lainnya melalui walkie-talkie.
*****
Di dalam kamar serba putih itu, tampak Wima sedang duduk dengan posisi mata terpejam dan kepala yang terantuk-antuk – karena mengantuk. Sesekali dipandanginya kakak keduanya yang kini terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit, dengan sejumlah sensor detak jantung terpasang di dadanya serta sebuah selang infus yang menyuplai makanan melalui tangan kirinya.
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00, seharusnya ia sudah pulang dan mempersiapkan diri untuk sekolahnya besok, tapi diurungkannya niatannya itu. Ia memutuskan untuk tinggal di sini sampai pagi sambil mengawasi kalau-kalau cairan infus kakaknya ini habis. Matanya sudah mengantuk, tapi pikirannya tak mengizinkan dia untuk beristirahat. Perkara yang menimpa ayahnya bertahun-tahun silam kini kembali mendatangi mereka. Para pejabat korup dengan kuasa yang seolah melebihi Sang Pencipta kini tiba-tiba menghendaki nyawa mereka tercabut dari raga. Jika bukan karena Nandi yang datang menyelamatkan mereka, mungkin mereka kini sudah terbujur kaku di kamar mayat dan hanya menjadi objek dukacita bagi keluarga mereka.
*****
Terdengar suara pintu kamar dibuka, Wima membelalakkan matanya yang sudah mengantuk – mencoba mengenali siapa orang yang mendatangi kamarnya malam-malam begini. Semula ia mengira itu adalah seorang dokter jaga atau perawat yang hendak memeriksa kakaknya, tapi yang ia hadapi ternyata seorang pria berjaket kulit dengan tatapan mata tajam nan dingin, membuat dirinya terpekur dalam ketakutan. Dicobanya beranjak tapi rasa takut membuat kakinya serasa dipaku ke lantai.
“Wima Tirtabhani?” tanya pria itu kasar.
“I-iya!” jawab Wima terbata-bata.
“Kau harus mati seka-…,” kata-kata pria itu tidak sempat selesai sebilah pedang telah menembus lehernya dari belakang dan mencabut nyawanya dalam seketika – sesaat sebelum tubuhnya ambruk ke lantai RS dan mengalirkan genangan darah.
Dengan wajah pucat nyaris menyerupai orang mati, Wima menatap ke arah penolongnya. Ia tidak bisa menahan kelegaannya melihat siapa yang menolongnya dari tangan Sang Maut, “Kak Nandi!”
“Diam di sini, Wima. Telepon polisi atau hubungi keamanan RS! Aku hendak menyelesaikan para pemburu ini dahulu.”
“Siapa mereka?”
“Suruhan para bajingan yang menginginkan kematian kita, orang-orang malang yang ditugaskan untuk menghabisi kita semua dengan bayaran sejumlah uang.”
“Tunggu! Jangan katakan kau hendak bunuh mereka semua!”
“Ini terpaksa Wima,” jawab Nandi dengan raut muka sendu.
“Itu adalah dosa berat!”
“Jika aku berdosa, biarlah dosa itu aku tanggung sendiri, asalkan kalian berdua selamat. Kalian telah kehilangan Kak Sanjaya karena mereka, jangan sampai kalian berdua mati di sini. Itu hanya akan menambah kesedihan ibu kita.”
Wima terdiam, mulutnya terkatup dan tak mampu lagi berkata-kata lebih jauh. Ia hanya dapat melihat kakak ketiganya yang berbeda ibu itu keluar dari ruangan. Langkah kakinya terdengar berdentam-dentam dalam kesunyian lorong rumah sakit tersebut.
“Pelopor Harun! Jawab! Di sini Wisanggeni! Mohon jawab!” terdengar suara dari dalam walkie-talkie yang dipunyai sang penyerang tadi. Nandi memungutnya dan kini ia genggam benda itu dengan penuh rasa amarah.
“Pelopormu sudah mati, Tuan. Jangan bertindak pengecut dengan menyerang diam-diam. Ayo berhadap-hadapan di luar, Tuan!”
“Si-siapa kau?”
“Aku adalah calon mangsa yang melawan pemangsanya.”
“Bangsat!” terdengar sang pria di seberang sana tengah mengumpat atas kegagalan rekannya.
“Tampaknya ini akan jadi pertempuran berdarah,” ujar Kanistara yang sedari tadi diam saja.
“Biarlah terjadi demikian.”
Kau sudah tak ragu untuk mencabut nyawa orang lain?
“Mereka bukan manusia lagi, Kanistara. Mereka adalah pemangsa. Dan pemangsa berhak kita cabut nyawanya.”
Jika itu kau lakukan maka kau pun akan menjadi pemangsa seperti mereka.
“Jika aku tidak habisi mereka maka keluargaku dalam bahaya.”
Baiklah Nandi, ayo hadapi mereka bersama-sama.
*****
“Wisanggeni kepada Senja, Harun tewas!” kata seorang pria dengan nada penuh amarah.
“Apa? Bagaimana bisa?” balas pria yang dipanggil Senja.
“Aku tidak tahu, tapi sepertinya…,” pria bernama-sandi Wisanggeni itu tiba-tiba merasakan sensasi logam yang dingin di tengkuknya. Seseorang tengah menodongkan sepucuk revolver langsung pada tengkuknya.
“Siapa yang menyuruh kalian memburu mereka?” tanya si penodong.
“Haruskah kuberitahu hal itu kepada seseorang yang tidak aku kenal?”
“Informasi atau nyawamu, Tuan. Kau pilih yang mana?”
“Aku pilih nyawaku tanpa membocorkan rahasia!” tiba-tiba tangan pria itu mencengkeram lengan si penodong dan membanting si penodong itu dengan bantingan ala judo ke hadapannya.
Si penodong segera bangkit berdiri dan memukul rahang pria tersebut, tapi pria itu ternyata amat tangguh, alih-alih terhuyung barang sejenak, ia malah membalas dengan sebuah pukulan telak ke arah perut si penodong sehingga si penodong terjatuh ke tanah sambil mengerang kesakitan.
Sang pria bernama-sandi Wisanggeni itu langsung mencengkeram leher si penodong lalu menghempaskannya ke batang pohon yang ada di dekatnya, “Siapa kau?”
“Aku? Bukan siapa-siapa!” jawab si penodong.
“Jangan permainkan aku!” sang pria kembali menyarangkan sebuah pukulan ke ulu hati si penodong sehingga penodong itu terbatuk-batuk.
“Aku tidak bermain-main, Tuan. Kalianlah yang bermain-main dengan diriku dan keluargaku.”
“Gen! Siapa dia?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang sambil menenteng sebuah senapan tembak sniper.
“Aku tidak tahu! Dia menodongku secara tiba-tiba tadi.”
“Bagaimana kalau dia kita … HEK!” sang pria kedua tiba-tiba roboh tak bernyawa setelah sebilah pedang menusuk lehernya.
“Senja!” jerit pria pertama histeris, cengkeramannya melonggar sehingga tawanannya lepas. Pria itu segera berguling ke tanah dan mencengekeram pistol milik tawanannya yang jatuh tadi, lalu mulai menembak dengan membabi-buta.
Hei, Nandi!Pedang itu melayang ke arah sang tawanan dan mendarat dengan anggun dalam genggamannya.
“Pukulannya keras tapi bidikannya kacau!” ujar Nandi mengomentari tembakan sang pria yang tadi sempat membantingnya itu.
Biar aku yang habisi dia! kata Kanistara penuh semangat.
“Jangan, kali ini biar aku.”
“Kau hendak gunakan ‘Mata Saklas’?”
“Ya!”
*****
“Hai keluarlah kau pengecut! Ke mana kau, hah?” sang pria bernama-sandi Wisanggeni itu berteriak-teriak histeris.
“Duh Pak, anda menjerit-jerit seperti monyet saja,” ledek Nandi dari balik kegelapan.
“Apa! Majulah kau sampah! Akan kutunjukkan siapa yang monyet!”
“Kau serius mau aku keluar? Baiklah!” Nandi keluar dari balik persembunyiannya. Tapi kali ini dengan sebuah keganjilan pada dirinya. Dalam kegelapan matanya memendarkan cahaya merah redup, sebuah mata yang bukan milik manusia biasa.
“A-apa itu! Mata apa itu… tunggu… jangan bilang kalau kau itu…,” pria itu kini terbata-bata dalam sensasi rasa takut yang tiba-tiba menyergapnya. Mata bersinar itu seolah memancarkan rasa takut kepada dirinya hingga sumsum tulangnya.
DOR!
Suara sebuah pistol meletus, sebutir proyektil peluru dipancarkan dari larasnya dan mengoyak urat-urat betis kanan pria tersebut hingga membuatnya roboh dan menjerit.
“Bangsat! Kakiku! Kakiku!”
Nandi mendekati pria itu dengan langkah cepat lalu kembali menodongkan pistol itu.
DOR! DOR! DOR!
Kali ini terdengar tiga kali tembakan, masing-masing bersarang pada betis kiri, pergelangan tangan kanan dan kiri pria tersebut.
“Jawab aku! Siapa yang menyuruh kalian?” tanya Nandi dengan suara berat dan tegas, berlawanan sekali dengan pembawaannya selama ini.
“Ba-Bapak Jaksa Agung!”
“Syamsul Rudianto?”
“Bukan, bukan! Bapak Burhanudin Chandra!”
“Apa jaminan bahwa dirimu tidak berbohong, Tuan?”
“Kau bisa pegang kata-kataku, Bung!”
“Bagus, sekarang kembalikan revolverku!”
Pria itu menurut saja, diserahkannya revolver bertipe P-3, produksi PT. Pindad itu kepada Nandi. Setelah menerima senjatanya kembali, pemuda itu beranjak pergi dari sana.
Kau tak hendak membunuh dia, Nandi? tanya Kanistara
“Tak ada gunanya membunuh pion jika kita bisa bunuh menterinya.”
Ini sudah hampir tengah malam, waktu untuk menggunakan gerbang dimensi sudah hampir habis. Sebaiknya kita kembali ke kastil dahulu. Kanistara mencoba memberikan saran.
“Baiklah Kanistara,” Nandi mengibaskan tangan kirinya membaca bait-bait mantra dalam bahasa yang asing lalu terbukalah sebuah portal dimensi yang berupa pusaran cahaya keunguan yang berputar berlawanan arah jarum jam. Pemuda itu melangkah masuk ke dalam pusaran cahaya itu lalu pusaran cahaya itu pun lenyap.
*****
Alam Semesta Valhalla
“Salam Demiurge!” sapa Helmut pada sesosok pria bermantel abu-abu dan mengenakan penutup muka hingga ke hidung.
“Salam juga bagimu, Helmut.”
“Bagaimana kabarmu?”
“Kabarku tidaklah penting, yang penting adalah bagaimana rencana kita berjalan?”
“Sangat baik.”
“Kau sudah dapatkan ‘Sang Pembawa Cahaya’?”
“Belum, ia sedang terkurung saat ini.”
“Kalian terlambat menyadari keberadaannya bukan?”
Helmut mengangguk lemah sebelum kemudian melanjutkan kata-katanya, “Tapi aku sudah dapatkan ‘Sang Wahana’.”
“Hmmm…, Sang Wahana katamu? Apa gunanya Sang Wahana?”
“Ia akan menghantarkan kita pada Sang Pembawa Cahaya. Tidak hanya itu, ia juga akan membawa kita pada Saklas.”
“Kau sudah mempelajari seluruh isi kodeks itu yah?”
“Tentu saja, sudah kuhabiskan dua tahun hidupku untuk mempelajari tulisan itu!”
“Apa yang kau harapkan dari Saklas?”
“Rajata! Ia menjaga Rajata-Rajata tak bertuan!”
“Aku mulai mengerti ke mana arah tujuanmu.”
“Kau sepakat dengan itu, Demiurge?”
“Aku selalu bersepakat denganmu selama apa yang kita tuju tercapai, Helmut!”
*****
“Apa yang sedang kau baca Kaspar?” tanya Helena pada Kaspar yang tampak menekuni sebuah buku tebal bersampul kulit.
“Wahana,” jawab pemuda berkacamata itu singkat.
“Tunggangan para dewata?”
Pemuda berkacamata itu hanya menjawab dengan anggukan.
“Kenapa kau membaca tentang wahana?”
“Aku tertarik kepada wahana.
“Boleh aku lihat bukumu?”
“Silakan,” Kaspar menggeser duduknya, memberi ruang pada Helena untuk mencermati buku yang tengah ia baca.
“Wahana yang ini berbeda. Bukan wahana yang aku kenal.”
“Yup.”
“Apa menurutmu wahana benar-benar ada Kaspar?”
“Siapa yang tahu?” Kaspar mengangkat bahu.
“Sebentar,” raut muka Helena tiba-tiba menjadi serius ketika matanya terpaku pada sebuah paragraf, “kau dan Helmut tidak merencanakan sesuatu hal di luar pengetahuan kami semua kan?”
“Hum? Tidak kok. Menurutku kau saja yang terlalu curiga pada hobi orang, Helena. Kau seperti para ekstrimis di Sambala saja, yang menyeru-nyerukan adanya sebuah musuh yang sebenarnya tidak ada.”
Helena merengut, wajah gadis itu kini menunjukkan ekspresi sebal yang luar biasa. Tapi alih-alih melanjutkan konfrontasi dengan Kaspar, gadis itu malah memilih pergi dari ruangan itu. Sementara Helena pergi, Kaspar menutup buku yang ia baca, mengambil sebutir benggala kuning dari sakunya lalu berbicara pada seseorang, “Helena sudah menaruh curiga.”
Tapi ia belum tahu kebenarannya bukan? Terdengar suara lain dari benggala itu.
“Kurasa belum.”
Apa hal baru yang kau dapat tentang wahana?
“Ia tidak bisa eksis saat ‘Yang Sejati’ hidup. Jika dibiarkan eksis maka ia akan menjadi ancaman terbesar, tapi hal ini juga membawa keberuntungan untuk kita. Wahana bisa kita gunakan untuk memanggil ‘Yang Sejati’.”
Baguslah, kapan gerbang berikutnya bisa kau buka?
“Setelah Nandi mengalahkan Agara. Aku memerlukan sigil Agara untuk membuka gerbang ke Arvanda dan ke tempat ‘itu’.”
*****
“Konsentrasi Nandi!” Haris berdiri kukuh di hadapan Nandi yang sedang duduk bersila di sebuah lapangan rumput, “Rasakan energi menjalar ke kaki-kakimu dan perlahan membumbungkan dirimu ke angkasa.”
Dan perlahan tubuh pemuda itu melayang di atas tanah, sedikit demi sedikit. Mula-mula hanya sejengkal kemudian satu meter lalu semakin melayang bebas. “Yoo!!! Bagus Nandi! Teruskan!”
“Uwaaaa!!!” belum sempat satu menit ia melayang, tiba-tiba ia sudah terjatuh kembali ke bumi.
“Aduuuhh!!” Nandi mengusap-usap punggungnya yang membentur tanah dengan keras beberapa saat yang lalu.
“Hoi, kamu tidak luka kan?” tanya Haris yang mendekat.
“Hmm? Tidak.”
“Kita coba lagi! Oke?”
“Oke!”
*****
“Melamun Helena?” tanya seorang gadis berambut pendek dengan penampilan seperti seorang lelaki – Olivia. Yang ditanyai hanya mengangguk.
“Ada apa?”
“Kaspar.”
“Kenapa?”
“Ada yang mencurigakan dengan dirinya.”
“Mengenai?”
“Wahana!”
“Helmut mengatakan soal itu berkali-kali tapi sampai sekarang aku juga tidak paham apa maksudnya itu.”
“Aku paham!”
“Menurutmu kau paham?”
“Ya!”
“Jelaskan padaku!”
*****
“Kita cukupkan dulu latihan untuk hari ini, Nandi!” Haris menancapkan senjatanya ke tanah berumput, dengan nafas yang memburu dan tubuh berbanjir peluh. Kondisi Nandi pun kurang lebih sama, ditambah beberapa goresan luka sayat dan memar di sana-sini.
Kedua pria itu pun langsung memandang ke arah senja yang sebentar lagi akan berganti menjadi malam. Keduanya terdiam tanpa satu patah kata pun keluar dari mulut masing-masing, sebelum akhirnya Helena memanggil mereka untuk makan malam.
*****
Di ruang makan, seluruh Contra Mundi dan Skadi sudah berkumpul. Nandi dan Haris adalah yang terakhir memasuki ruangan, masih dengan pakaian yang kuyup oleh peluh.
“Duduklah kalian berdua!” Helmut mempersilakan kedua rekannya itu untuk duduk dengan irama memerintah.
Haris dan Nandi segera mengambil tempat di meja mereka masing-masing. Beberapa Automaton memasuki ruangan dan menghidangkan sajian.
“Besok,” ujar Helmut di sela-sela makan, “akan diselenggarakan kongres nasional yang melibatkan pejabat-pejabat penting negerimu di Semarang, Nandi. Kau mau mencoba mencari Agara di sana?”
“Ya!” jawab yang ditanya datar.
“Cepat temukan dan kalahkan dia. Jika tidak, semua kerja keras kami akan sia-sia hanya karena kegagalanmu, Nandi!” ujar Olivia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top