BAB VIII: KONSPIRASI
Alam Semesta Versigi
Istana Negara, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 22 Agustus 2012-pukul 09.30.
Di depan istana negara, sekumpulan mahasiswa berjas almamater dari segenap perguruan tinggi berorasi di depan Istana Kepresidenan itu. Seru-seruan tuntutan kepada presiden, anggota kabinet, dan jajaran pemerintahan secara keseluruhan. Satu-per-satu beberapa mahasiswa bergantian menaiki podium orator. Tampak di antara mereka yang turut naik dalam podium orator adalah seorang pemuda berjas almamater biru tosca dengan rambut yang dikuncir ekor kuda.
Sesudah beberapa mahasiswa menyelesaikan orasi mereka di atas podium orator, yang tidak lain adalah bak muatan sebuah mobil pick-up, pemuda itu menaiki podium itu dengan gagah, mendekatkan mulutnya ke mic dan… memulai orasinya.
“Salam mahasiswa!” ujar si pemuda memulai orasinya.
“Salam mahasiswa!” balas para demonstran lantang.
“Saudara-saudari sekalian! Rekan-rekan senasib dan seperjuangan! Telah lama kita menanti dan menanti akan datangnya keadilan atas kaum-kaum tertindas! Masih ingatkah saudara-saudari sekalian akan kasus penggelapan dana Bank Sitoka? Suatu penggelapan dana terbesar yang pernah terjadi di negeri ini? Kasus itu kini dibiarkan mendekam dalam peti es selama 8 tahun. Tidak pernah ada lagi kelanjutan kasus itu. Bahkan…. bla… bla… bla!” pemuda itu menyuarakan orasinya dengan lantang di hadapan ratusan mahasiswa yang berkumpul di sana.
Setelah sekian lama para mahasiswa tersebut menyuarakan orasinya, tampak seorang pria berkumis tebal dan berseragam safari mendekati kerumunan mahasiswa tersebut. Para mahasiswa yang melihat kedatangannya dari balik barikade polisi langsung pasang posisi siap dan bersiaga. Pria itu menyeruak kerumunan pagar betis polisi, “Teman-teman mahasiswa, Bapak Menteri Kehakiman, Menteri Hukum dan HAM serta para anggota Komisi IX bersedia bertemu dengan anda. Tapi dibatasi lima orang saja ya!”
“Lima orang? Tidak bisakah ada 20 orang dari kami yang masuk?” tanya seorang dari antara mereka.
“Wah tidak bisa, Dik! Maksimal delapan orang, deh!” jawab pria berkumis tebal itu.
“Oke! Kami akan masuk, Pak!” pemuda dengan rambut ekor kuda itu langsung memberi isyarat kepada tujuh kawannya untuk mengikuti dirinya memasuki gedung DPR.
*****
Di dalam ruangan itu tampak sejumlah anggota DPR, seorang pria berambut putih yang duduk di sebuah kursi berpapan nama ‘Menteri Hukum dan HAM’ serta seorang pria lain yang merupakan Menteri Kehakiman tampak merenggut sebal selama mendengarkan satu-demi-satu mahasiswa di hadapan mereka mengucapkan orasi mereka. Sudah ada tiga mahasiswa yang berorasi, masih lima orang lagi yang harus berorasi.
Salah seorang mahasiswa menyenggol sikut kawannya, sang mahasiswa berambut ekor kuda yang tadi berorasi paling lantang, “Ayo Sumitra! Bicaralah!”
“Sabar! Kita tunggu Gina menyelesaikan orasinya!”
“Eh, dia sudah hampir selesai tuh! Siap-siap ya?”
“Ada lagi yang mau mengutarakan opini?” tanya seorang pria berkacamata yang duduk di kursi pimpinan sidang.
“Saya Pak!” Sumitra mengangkat tangannya.
“Silakan!” jawab si Pemimpin Sidang.
“Begini Pak. Saya ingin menanyakan mengenai fakta-fakta seputar kasus Sitoka. Tapi yang akan saya tanyakan bukanlah seputar lambatnya penanganan kasus ini melainkan keberadaan para saksi dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Mula-mula kematian Jaksa Risma Sibutar Butar, yang ditemukan tewas gantung diri. Kemudian Inspektur Roni Yanuar yang ditemukan tewas tenggelam di Kepulauan Seribu, lalu calon ahli forensik Aldi Pamungkas yang tewas karena kecelakaan mobil. Menurut saya ada yang aneh dengan kematian mereka semua. Kenapa seolah ada seseorang yang melakukan ‘pembersihan’ terhadap nama-nama ini?”
Wajah orang-orang yang berada di sisi kanan dan kiri pemimpin sidang tampak tegang, begitu pula sang pemimpin sidang. Pria itu menyalakan mic dihadapannya lalu berujar, “Saudara ini jangan berpikiran macam-macam. Kematian mereka semua itu semuanya wajar, tidak ada unsur kesengajaan. Mungkin itulah kehendak Sang Maina.”
“Kalau begitu… bagaimana dengan fakta-fakta yang saya temukan ini, Pak?” pemuda itu tersenyum sembari membeberkan berlembar-lembar dokumen yang tersimpan dalam tasnya, “Saya membawa sejumlah kopi dari bukti-bukti yang saya perlukan!”
Alam Semesta Versigi
Ciputat, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 22 Agustus 2012-pukul 20.45.
“Mahasiswa-mahasiswa itu benar-benar memojokkan kita tadi,” ujar seorang pria berusia 40 tahunan akhir, rambutnya masih hitam legam – barangkali disemir, sementara sebuah baju batik tampak menempel dengan pas di tubuhnya yang tampak sangat kurus.
“Bukankah mereka memang selalu seperti itu? Mereka selalu berkoar-koar akan kinerja kita. Mengenai kinerja kita yang tidak baik lah, mengenai kehidupan rakyat yang menderita lah, mengenai skandal hukum lah. Tapi apa yang mereka lakukan hanyalah berhenti di tahap orasi. Tak perlu anda pikirkan Pak Samsul. Kita aman!” balas lawan bicaranya, seorang pria paruh-baya berjenggot pendek dengan rambut yang mulai beruban.
“Saya tahu kita aman dari mahasiswa. Tapi itu jika kita menghadapi mahasiswa ‘normal’, Pak Burhan!”
“Mahasiswa, heh, dari masa ke masa mereka memang seperti itu. Penuh dengan pengaruh euforia sebagai agen-agen perubahan. Demo seolah menjadi makanan sehari-hari. Kenapa sekarang Bapak khawatirkan sebuah demonstrasi yang sebenarnya sudah umum?”
“Departemen saya… mendapat sorotan tajam dari salah seorang dari mereka, Pak Burhan.”
“Ah? Sorotan tajam? Sorotan tajam macam apa? Jikapun sorotan itu dimuat oleh pers, kita tinggal protes kepada mereka, berikan ‘kue’ kepada si wartawan, atau lebih bagus lagi kirim surat ancaman pembredelan ke kepala redaksinya. Selesai sudah masalah!”
“Mengenai… Adhibratha Mursito,” sahut pria bernama Samsul itu.
“Kasus itu lagi?” tandas pria bernama Burhan.
“Ya.”
“Biarkan sajalah. Bukankah fakta-fakta di lapangan sudah berbicara bahwa dokter itu mati karena infeksi… errr virus?”
“Ya… Calya memang telah bekerja dengan rapi. Tanpa jejak… walau sayangnya dia tidak cukup rapi kali ini.”
“Ini tidak biasa. Sama sekali tidak biasa. Pasti ada seseorang yang menginvestigasi kasus ini!”
“Aku sudah memanggil Bayu dan Agni. Mereka akan datang sebentar lagi,” ujar Samsul
“Kau memanggil duo kembar menakutkan itu?”
“Hei! Hei! Bagaimanapun juga karena merekalah kita bisa duduk di kabinet ini sekarang!”
“Heh! Mentang-mentang mereka punya hubungan darah dengan Perdana Menteri ke-5, lalu mereka bisa seenaknya saja turut serta dalam urusan pemerintahan?”
“Urusan pemerintahan atau bukan… kita sudah melibatkan Calya untuk menyingkirkan Adhibratha Mursito. Kita juga memakai jasa orang itu untuk menyingkirkan semua penghalang. Dan sekarang kasus ini merebak kembali!” Samsul memukul meja di hadapannya dengan tangan kirinya, “Siapapun yang mengetahui soal ini… pastilah punya hubungan dengan Adhibratha Mursito. Karena itu kita memerlukan Calya!”
Burhan mendesah panjang, “Kenapa musti kita memanggil mereka berdua? Tidak bisakah kita hanya memanggil Calya?”
“Calya hanya bisa dihubungi oleh kedua bersaudara itu.”
“Tunggu… jadi…”
“Ya. Karena itulah mereka selalu hadir dalam masalah-masalah semacam ini.”
“Apa yang membuat Calya sebegitu loyal pada kedua pria itu?” Burhan mengacak-acak rambutnya yang ikal, frustasi akan ketidak-mengertiannya pada Calya.
“Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu.”
Alam Semesta Versigi
Ciputat, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 22 Agustus 2012-pukul 22.05.
Sebuah mobil sedan Volvo S80 tiba di sebuah rumah yang ukurannya tidak lazim besarnya. Ukuran rumah yang luar biasa besarnya itu memang pantas menjadi bahan pertanyaan, pujian, serta gunjingan. Dari mana si pemilik rumah punya dana sebesar itu? Mengingat negeri ini adalah negeri miskin, bagaimana mungkin ada orang yang empunya rumah laksana istana macam itu?
Dari dalam sedan Volvo itu, turunlah empat orang pria. Salah seorang dari mereka adalah pria yang tak lain adalah Calya. Sementara tampak pula dua orang pria berkumis tipis, memakai setelan pakaian resmi berwarna hitam-hitam. Adapun seorang lagi hanya mengenakan batik sederhana, tampaknya orang ini adalah sopir. Seorang satpam yang tadi membukakan gerbang untuk mereka, tergopoh-gopoh menghampiri keempat orang itu, “Bapak Bayu dan Bapak Agni sudah ditunggu di dalam.”
“Oh, ya. Terima kasih, Pak!” ujar salah seorang pria itu sembari menyelipkan selembar amplop ke tangan satpam itu, “Buat beli rokok, Pak.”
Wajah si satpam berseri-seri, “Wah, terima kasih banyak lho, Pak Bayu.”
Tiga penumpang sedan tersebut langsung berbalik arah menuju pintu rumah yang sudah terbuka lebar. Bayu mengetuk-ngetuk pintu rumah tersebut dan dari dalam terdengar suara seorang pria, “Masuk!”
Bayu dan seorang rekannya yang tak lain adalah Agni memasuki rumah tersebut, sementara seorang lagi memilih tinggal di teras rumah. Bayu dan Agni memasuki ruang tamu rumah itu. Sebuah ruang tamu yang dihiasi oleh aneka lukisan surealis dan abstrak dari pelukis-pelukis kenamaan negeri ini,
“Selamat datang, Nak Bayu dan Nak Agni!” sapa Samsul yang langsung berdiri ketika mengetahui tamu yang ditunggu-tunggunya telah tiba.
“Sudah lama tak berjumpa, Om Sam. Bagaimana kabar Om?” Agni balas menyapa dan menyalami tangan pria tua itu, Bayu menyusul beberapa saat kemudian.
“Kabar Om baik-baik saja. Oh ya, ini adalah Bapak Burhan, Menteri Perdagangan,” Samsul mempersilakan Agni dan Bayu untuk saling bersalaman.
“Ah, Pak Burhan pemilik PT. Borneo Khatulistiwa bukan?” tukas Bayu.
“Ahahaha, benar sekali Pak Bayu,” jawab Burhan dengan senyum dan tawa yang dipaksakan.
“Jadi… ada urusan mendesak apa yang perlu kita bicarakan, Om?” tanya Agni sembari menatap Samsul dengan tatapan tajam.
“Mari duduklah dahulu, kita bicarakan sambil minum,” ajak Samsul.
Agni dan Bayu pun duduk di sofa empuk berwarna krem yang menghiasi rumah itu. Sejenak kemudian, tampak seorang pelayan menyuguhkan pada mereka minuman untuk masing-masing orang.
“Kemarin, ada seorang anak… mahasiswa Universitas Airlangga turut serta dalam unjuk rasa di depan Istana Negara. Pada kesempatan itu… ia turut serta dalam rombongan mahasiswa yang diajak berdialog.”
“Hmm… lalu apa masalahnya? Bukankah mahasiswa yang berdialog dengan menteri itu sudah biasa?” celetuk Bayu.
“Masalahnya… pemuda itu menuntut penyelesaian kasus Adhibratha Mursito, dan dia datang membawa seluruh kopi barang bukti yang mendukung argumentasinya. Dari mana ia tahu soal ini? Bukankah semua saksi dan orang-orang yang tahu perihal ini sudah dibungkam?” tukas Burhan dengan nada penuh emosi.
“Calya!” Agni memanggil Calya, dan sang pembunuh itupun turut masuk ke dalam ruangan itu.
Samsul mendelik, menunjukkan ekspresi kaget, “Calya sudah ada di sini? Aku pikir Calya tidak turut serta. Kenapa dirimu tidak masuk dari tadi?”
“Saya hanya akan masuk jika Tuan Agni dan Tuan Bayu sudah memerintahkan saya untuk masuk,” jawab Calya.
“Calya… kenapa bisa hingga saat ini masih ada orang yang mengetahui perihal kematian dokter Adhibratha Mursito?” tanya Bayu sambil memainkan jari-jari tangannya.
“Sebenarnya… beberapa tahun yang lalu… saya sempat bertemu dengan Elang Hitam, Tuan,” jawab Calya.
“Elang Hitam? Si pembunuh bayaran yang membunuh para tersangka korupsi dan beberapa elit politik itu?”
“Benar Tuan. Dan daripada dikatakan pembunuh bayaran… ia lebih tepat dikatakan sebagai vigilante. Pada dirinya saya temukan berkas-berkas mengenai Adhibratha Mursito dan… ketika saya telusuri lebih lanjut… ternyata dia adalah putra sulung dokter Adhibratha Mursito, Teguh Harimurti Sanjaya.”
Seolah-olah ada petir dari langit yang menyambar kepala empat orang yang hadir di sana. Kabar yang dibawa oleh Calya itu benar-benar membuat mereka terkejut bukan main.
“Kenapa tak kau beritahu kami, Calya?” tegur Bayu penuh emosi.
“Benar! Itu info yang sangat krusial! Kenapa kau diamkan saja?” sambung Agni.
“Saat itu saya biarkan info itu tersimpan dalam kepala saya sebab Tuan berdua sedang sibuk bertarung di kancah politik. Saya tak ingin konsentrasi Tuan Agni untuk menjadi Gubernur Bank Indonesia dan Tuan Bayu menjadi Gubernur Jakarta kandas karena harus mengurus masalah semacam ini,” jawab Calya sopan.
Sementara itu Burhan mengeluarkan sebuah netbook dari dalam kopernya. Cepat-cepat ia nyalakan laptop mini itu dan tampaklah ia sibuk menekan berbagai tombol. Tak berapa lama ia berpaling pada Calya dan menunjukkan sebuah foto, “Calya, apakah dia juga putra Adhibratha Mursito?”
Seluruh yang hadir di sana memandang ke arah foto yang terpampang di netbook milik Burhan, tak terkecuali Calya. Agni bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah netbook itu “Ada foto lainnya? Yang menampilkan pemuda ini tentunya,” tanya Agni.
“Ada!” Burhan segera mencari beberapa foto dan akhirnya ia tunjukkan foto pemuda berkuncir ekor kuda itu dari tampak depan.
“Anak ini… Sumitra Ankara!” ujar Agni tertahan.
“Siapa?” Samsul mendelik kaget.
“Sumitra Ankara… putra kedua Adhibratha Mursito!” seru Agni.
“Arrghhh!!! Kenapa ayah dan anak sama-sama merepotkan?” Bayu meremas-remas tangannya dengan penuh rasa kesal.
“Siapa lagi putra-putri Adhibratha Mursito?”
“Sebentar, Tuan,” jawab Calya yang mengeluarkan sebuah notes kecil berwarna hitam dari saku jasnya, “Adhibratha Mursito memiliki 3 orang putra. Teguh Harimurti Sanjaya, Sumitra Ankara, dan Wima Tirtabhani. Beberapa bulan yang lalu istri almarhum dimasukkan ke RSJ karena menderita depresi berat. Jadi dua anak itu kini sendirian di rumah mereka di Surabaya.”
“Nyonya itu bukan lagi halangan, Calya… kali ini bunuh seluruh putra Adhibratha Mursito! Pastikan tak ada lagi anak-turunannya yang akan mengganggu kita lagi!” perintah Bayu.
“Akan segera saya laksanakan, Tuan. Tapi itu akan saya lakukan sesudah saya menghabisi 4 target saya kali ini.”
“Sebentar… kalau tidak salah ia punya 4 putra. Kenapa hanya kau sebutkan tiga?” tukas Agni tiba-tiba.
“Oh? Mahija Nandi? Dia memang putra Adhibratha Mursito tetapi putra dari hasil perselingkuhannya dengan seorang wanita.”
“Bunuh dia juga!” ujar Samsul.
“Mahija Nandi sekarang bekerja sebagai Nirvataka Kuil Paravandaah Tanah Abang, dan anda tahu sendiri apa jadinya jika sampai kita membunuh seorang Nirvataka.”
Semua yang hadir di sana kembali terdiam, hanyut dalam pikirannya masing-masing. Keheningan ini berlangsung cukup lama hingga akhirnya Samsul memecahkan keheningan, “Jika kita bisa culik Nirvataka itu diam-diam… dan kita berhasil bunuh dia, masalah kita akan selesai.”
“Mahija Nandi jangan dipikirkan. Dia itu prioritas terakhir kita. Sekarang yang terpenting ialah mencari keberadaan Sumitra Ankara dan Wima Tirtabhani. Ketika kau temukan mereka… pastikan mereka bertemu ayah mereka, Calya,” sebuah senyum licik tersungging di mulut Agni, diikuti dengan tiga pria lainnya.
“Akan saya laksanakan, Tuanku!” jawab Calya yang langsung bangkit berdiri dan keluar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top