BAB VII: CONTRA MUNDI

Alam Semesta Avesta

Stochklom, Swedia, Ibukota Kerajaan Swedia, 29 Februari 2012 – pukul 14.00

           

            Perlahan-lahan Nandi membuka kelopak matanya. Kini ia dapati dirinya terbaring di lantai semen yang berdebu itu. Cepat-cepat ia bangkit berdiri dan membersihkan jaket dan celananya yang penuh debu itu. Pandangan matanya menangkap kehadiran kelima muda-mudi yang mengaku bernama Contra Mundi itu di sudut ruangan.

            “Hei, sudah bangun rupanya. Bagaimana perjalananmu? Menyenangkan?” tanya Helmut.

            “Cukup menyenangkan,” jawab Nandi datar.

            “Kau masih ada pertanyaan?” tanya Helmut sembari berjalan mendekati Nandi dengan diikuti keempat rekannya.

            “Kenapa alam semesta ini hendak dimusnahkan? Apa sudah sedemikian rusaknya perilaku kami sehingga alam semesta ini mesti hancur?”

            “Tidak sebegitu parah sebenarnya. Tapi tampaknya ada beberapa pihak yang ingin penghancuran semesta ini dipercepat,” jawab Haris.

            “Dan apa yang bisa aku lakukan?”

            Helmut mengulurkan tangannya kepada Nandi, “Kau bisa menyelamatkan semestamu dengan membantu kami, Nandi.”

            Nandi terdiam sesaat, tampak ragu apakah ia akan menerima ajakan Helmut atau tidak.

            “Tapi jika kau menolak kesempatan ini… maka riwayat semestamu sudah tamat. Kedua saudaramu akan dibunuh oleh Calya… dan darah orang-orang benar akan tertumpah sia-sia di atas bumi Versigi.”

            “Jika bergabung dengan kalian… apa yang musti aku lakukan?”

            “Kami akan menunjukkanmu beberapa hal yang musti kau lakukan. Tapi sebelum itu… kita harus menunggu sampai malam tiba.”

 

Alam Semesta Avesta

Stochklom, Swedia, Ibukota Kerajaan Swedia, 29 Februari 2012 – pukul 21.00

            “Bangun Nandi!” Helena mengguncang-guncangkan tubuh Nandi yang terlelap di atas sebuah peti, “Sudah saatnya.”

            “Eh?” mata Nandi mengerjap-ngerjap, kesadarannya belum pulih seutuhnya.

            “Ayo kita keluar,” ajak Kaspar.

            Nandi menurut saja pada kata-kata para Contra Mundi ini. Walau hatinya masih ragu, entah kenapa ia tidak bisa menolak kata-kata para Contra Mundi. Seperti ada sesuatu dalam hatinya yang mengatakan ia bisa mempercayai mereka.

            “Kaspar! Buka portalnya!” perintah Helmut.

            “Roger, Bos!”

            Sebuah lingkaran cahaya berwarna ungu tua berputar-putar di dalam gudang itu. Bagian tengah lingkaran itu lebih gelap daripada pinggirnya, membuat lingkaran itu tampak seperti sebuah lubang hitam dengan  pinggir yang cerah.

            “Apa itu?” tanya Nandi bingung.

            “Ini adalah portal dimensi,” jawab Kaspar.

            “Uh… aku harus masuk ke sana?”

            “Tentu saja!”

            “Tidak, tidak, aku tidak mau masuk.”

            Haris berjalan tanpa suara dan sejenak kemudian sudah berada di belakang. Sebuah senyum tersungging di bibir pria Timur Tengah itu, ia melirik ke arah rekan-rekannya, mengedipkan sebelah matanya dan secara tiba-tiba ia mendorong Nandi masuk ke dalam portal tersebut.

            “WOOAAAA!!!!” Nandi berseru kaget ketika ia sudah masuk ke dalam portal itu. Ia seperti memasuki lorong  jet-coaster yang membawanya ke suatu tempat dengan kecepatan tinggi. Namun ia tak berada lama dalam lorong itu, tak sampai 20 detik ia sudah jatuh terhempas di sebuah padang rumput. Dirasakan isi perutnya bergejolak hebat sehingga ia sempat muntah-muntah. Beberapa detik kemudian para Contra Mundi juga sudah tiba di sana, namun mereka mendarat dengan mulus, di atas kaki mereka.

            “Wah, dia belum terbiasa rupanya,” celetuk Kaspar sambil tertawa.

            “Aku jadi ingat ketika pertama kalinya kau melakukan teleportasi, kau sempat mengompol di celana, Kaspar,” balas Olivia.

            Raut wajah pemuda berkacamata itu langsung berubah cemberut, sementara kawan-kawannya hanya terkikik geli.

            Helena maju meninggalkan teman-temannya. “Hei, Nandi! Kau tidak apa-apa?” ujarnya sambil menepuk-nepuk punggung Nandi.

            “Yah… aku rasa… sekarang sudah tidak apa-apa.”

            “Ayo, Nandi. Sekarang kami hendak menunjukkan sesuatu padamu.”

            Helena membantu Nandi untuk berdiri. Sejenak kemudian, Helmut memanggil Nandi untuk mendekat ke dirinya.

            “Di sini… kita akan mulai pelajaran pertamamu.”

            “Di mana kita sekarang?”

            “Kita berada di Stockhlom, Swedia.”

            “Apa yang hendak kalian tunjukkan?”

            “Mari, kita turun sejenak.”

            Keenam muda-mudi itu pun menuruni bukit itu dan tiba di sebuah gang yang gelap, becek, dan kumuh. Tampak di sana sekelompok muda-mudi tengah merokok, beberapa dari mereka tampak pula teler dan mabuk. Nandi secara spontan mengatupkan kedua tangannya dan mulai berdoa.

            “Kau kenapa?” tanya Kaspar.

            “Berdoa,” jawab Nandi singkat.

            “Pada siapa dan untuk siapa?”

            “Pada Maina untuk keselamatan orang-orang ini.”

            “Kau yakin ia akan dengarkan doamu?”

            Sejenak Nandi tiba-tiba merasa ragu dan Kaspar melanjutkan lagi, “Yang akan kau lihat setelah ini tak akan bisa kau lawan dengan doamu.”

            “Apa yang akan aku lihat?”

            “Salam Ivet!” seru Helmut di tengah kerumunan muda-mudi tersebut tanpa memandang secara jelas siapa sebenarnya yang ia panggil.

            “Sudah lama tidak ada pria tampan yang memanggil nama asliku,” ujar sesosok wanita gemuk yang muncul dari sebuah sudut gelap dengan diikuti oleh enam orang pria bertubuh kekar. “Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Manis?” wanita itu menyentuh pipi kiri Helmutdengan telunjuk kanannya walau segera ditepis oleh Helmut.

            “Aku butuh informasi… siapa pemimpin legiun di Versigi?”

            “Hmm, kau menanyakan informasi yang mahal harganya. Dan siapa kau? Bukan orang biasa pastinya?”

            “Kalau kau tidak menjawabnya… hari ini akan menjadi hari terburuk untukmu, Nona.”

            “Ah, kau mengancam. Sebenarnya aku tak tega menghancurkan wajahmu dan teman-temanmu ini. Tapi… sudahlah.”

            “Apa maksud pimpinanmu berbicara seperti itu? Tanya Nandi pada Kaspar.

            “Aktifkan ‘Mata Saklas-mu’ Nandi, lalu katakan apa yang kau lihat.”

            “Uh?” hanya itu yang keluar dari mulut Nandi sebelum ia memjamkan matanya untuk sesaat.

            Ketika ia membuka kembali matanya, dilihatnya sosok-sosok di hadapannya dikelilingi aura hitam dan gelap. Menimbulkan suatu kesan dan nuansa yang menyesakkan. Siapa mereka? gumam Nandi dengan hati penuh tanya.

            “Anak-anak, habisi mereka!” perintah Ivet pada keenam pengawal prianya.

            Enam pria berotot itu langsung saja menerjang ke arah Nandi dan kelima Contra Mundi tersebut.

            “Hei?” seru Nandi kaget ketika seorang pria datang kepadanya dan melayangkan serangkaian pukulan. Tapi entah bagaimana, Nandi dapat melihat seluruh gerakan pria tersebut. Ketika pukulan itu hanya tinggal berjarak sejengkal dari tubuhnya, waktu seolah-olah melambat, sehingga ia dapat menghindari serangan fatal tersebut.

            Sementara itu para Contra Mundi juga tengah sibuk menghadapi serangan beruntun dari lima pria lainnya. Kaspar terlihat sangat gesit menghindari serangan dari lawannya. Berkali-kali lawannya menyarangkan tinju dan tendangannya ke tembok dan membuat tembok itu retak atau berlubang, namun tak satupun yang mengenai dirinya.

            “Hei, Mahija Nandi! Jangan membahayakan kesehatanmu dengan mencoba menerima serangan mereka barang sekali saja!” ujar Kaspar di sela-sela kesibukannya menghindari serangan lawannya.

            “Tak bisakah kau tolong aku hadapi pria besar ini?” balas Nandi panik. Seumur hidupnya baru kali ini ia bertengkar dengan orang lain.

            “Selamat datang di kehidupan nyata, Mahija Nandi!” jawab Kaspar tanpa menghiraukan permohonan Nandi.

            Lawan Nandi terus menyerang Nandi dengan bertubi-tubi. Meski Nandi berhasil menghindari semua serangan lawannya, ia mulai merasakan tubuhnya mulai letih. Gerakannya mulai melambat dan tidak selincah gerakannya pada awal pertarungan tadi. Tampaknya lawannya juga menyadari hal itu sehingga segera saja ia melancarkan sekepal bogem mentah ke arah wajah Nandi.

            Bogem mentah itu nyaris mengenai pipi Nandi ketika Nandi tiba-tiba berguling menghindari serangan itu dengan menyergap pria tersebut. Pria itu jatuh di aspal yang becek dan segera memukul Nandi tepat di perut kirinya. Nandi terjatuh ke samping kiri pria itu, tapi dengan segera ia melihat sebuah pipa besi berkarat sepanjang 1 meter tergeletak di dekat situ. Ia langsung bangkit dan berlari memungut pipa itu. Lawannya juga sudah bangkit dan segera menerjang ke arah Nandi. Nandi mengayunkan pipa besi itu sejenak lalu menghujamkan pipa itu ke arah lawannya. Pipa itu mengenai selangkangan pria itu dengan telak, tembus sampai pantat dan membuat pria itu menjerit meraung-raung.

            “Hahahaha, ternyata dia punya insting bertarung juga,” komentar Haris yang sedang menangkis serangan-serangan lawannya dengan kaki dan tangannya.

            “Kurasa kita sudah cukup melihat seberapa besar potensinya, Ketua. Tidakkah kau rasa ini waktu yang tepat untuk mengakhiri semuanya?” sambung Olivia yang sudah berhasil mematahkan leher lawannya.

            “Kau benar, Olivia,” Helmut segera menarik sebuah pedang – yang sebetulnya lebih mirip keris panjang lurus bertatahkan hiasan-hiasan ular naga berwarna keemasan – sepanjang120 cmdari balik jubahnya dan menusukkannya ke lambung lawannya. Sementara di dekat Nandi, Kaspar menarik sebuah revolver dari pinggang kanannya dan menembaki lawannya tiga kali.

            “Nah? Semua anak buahmu sudah takluk, Ivet!” Helmut melempar seringai mengejek kepada perempuan gemuk itu.

            Ivet melirik ke arah muda-mudi yang mabuk dan teler di sekitaran gang itu. Tampaknya mereka sudah terlalu teler sehingga tak menyadari baru saja terjadi keributan di tempat itu. Wajahnya tampak panik, “Siapa sebenarnya kalian?”

            “Entitas yang kalian sebut… Contra Mundi,” jawab Helmut datar.

            “Contra Mundi… sial!” perempuan gemuk itu segera merentangkan kedua tangannya ke arah yang berlawanan. Dari jari-jarinya muncullah sulur-sulur hitam yang dengan cepat menusuk dada seluruh muda-mudi yang hadir di sana. Tampak sebuah aura hitam mengalir keluar dari tubuh muda-mudi tersebut.

            “Hei! Apa yang kau lakukan?” seru Nandi terkaget-kaget.

            “Mereka sudah menjual jiwanya padaku. Dan sekarang adalah waktunya bagiku untuk memakai jiwa-jiwa mereka!” seru Ivet dengan suara menggelegar.

            Tubuh wanita itu tiba-tiba membesar menjadi dua kali lipat ukurannya semual, kakinya berubah menjadi seperti kaki katak sementara tangannya berubah menjadi sekumpulan sulur-sulur tanaman. Adapun warna tubuhnya sendiri berubah, tidak lagi berwarna selayaknya kulit manusia melainkan hitam seperti kulit ular mamba.

            “Yaik! Apa ini?” komentar Nandi saat melihat makhluk di hadapannya itu.

            “Ucapkan salam perkenalan pada iblis, Nandi,” jawab Kaspar.

            “Sekarang kalian harus mati di sini!” seru Ivet sembari mengayunkan sulurnya ke arah enam muda-mudi tersebut. Para Contra Mundi segera menghindar dan melesat menjauh dari tempat itu, tapi sial bagi Nandi, kakinya terbelit oleh salah satu sulur berwarna hitam itu dan sulur itu segera menariknya ke hadapan wajah seekor monster.

            “Wohoo, kau manis sekali, anak muda. Apa kau mau menjadi kekasihku?”

            “Dalam mimpimu, iblis!” bentak Nandi.

            “Aaahh, kenapa seorang pemuda manis macam dirimu bergabung dengan mereka? Jadilah milikku, maka akan kupuaskan segala keinginanmu.”

            “Lepaskan aku, iblis!” bentak Nandi sekali lagi.

            “Nandi! Tangkap ini!” Helmut melemparkan pedang yang ia pegang sedari tadi ke arah Nandi.

            Nandi berhasil menangkapnya. Saat gagang pedang itu terpegang oleh tangannya, tampak sebuah sinar jingga cerah memancar dari gagang pedang itu. Tanpa pikir panjang, Nandi segera memotong sulur-sulur yang membelenggu dirinya. Ia berhasil terbebas dari belitan monster tersebut sekaligus sukses mendarat dengan tidak mulus di atas aspal yang keras.

            “Pendaratan yang cukup bagus,” ujar Kaspar sembari mengacungkan jempolnya.

            “Habisi dia, Nandi!” seru Helmut sementara Ivet masih meraung-raung kesakitan.

            “Bagaimana caranya?”

            “Ikuti instingmu!”

            “Apa?”

            “Ikuti instingmu!”

*****

Kanistara

            Sebuah kondisi gelap seperti yang sudah-sudah kembali terjadi pada Nandi. Kali ini ia kembali melihat Saklas berdiri dengan gagah di hadapannya.

            “Saklas, bagaimana aku bisa mengalahkan iblis itu?”

            “Gunakan senjatamu!”

            “Bagaimana caranya?”

            “Bicara padanya.”

            “Eh? Haruskah aku bicara pada sebuah benda mati?”

            “Tidak, ia bukan benda mati. Ia adalah senjata dengan ‘jiwa’ di dalam dirinya. Bicaralah padanya maka kau akan memenangkan pertempuran ini.”

            Sosok Saklas perlahan menghilang. Sementara itu sebuah sinar berwarna jingga pucat tiba-tiba muncul di hadapan Nandi. Sinar itu berputar-putar di sekeliling Nandi sebelum berhenti tepat di hadapan wajah Nandi.

            Jadi kau yang memanggilku? Terdengar sebuah suara dari dalam sinar tersebut.

            “Uh… siapa kau?” tanya Nandi kebingungan.

            Aku adalah sebuah Rajata. Senjata bernyawa.

            “Milik siapakah kau? Helmut?”

            Helmut? Bukan, anak muda. Aku bukanlah milik siapapun. Aku adalah Rajata yang dapat dipegang oleh siapapun yang layak memegangku. Apa kau pikir dirimu layak untuk menggunakanku, Nak?

            “Uhm, aku tidak yakin soal layak tapi ... bolehkah aku minta bantuanmu untuk mengalahkan iblis yang sedang kuhadapi?”

            Baiklah, Nak. Tunjukkan kemampuanmu! Namaku Kanistara, panggil namaku dengan benar jika kau inginkan bantuanku!

*****

            Nandi kembali kepada dunia nyata, di hadapannya kini tampak Ivet yang mengamuk dan melancarkan serangan sulur-sulurnya ke arah Nandi. Tapi seolah tidak takut dengan bahaya, Nandi malah menancapkan pedang itu ke tanah sambil berbisik, “Ayo… Kanistara!”

            Sebuah pilar-pilar batu tiba-tiba muncul menghalangi sulur-sulur itu mencapai Nandi. beberapa detik kemudian pilar-pilar itu terpecah menjadi ribuan batu berujung tajam yang melayang-layang di sekitar Nandi. Nandi menarik keluar Kanistara dan dengan cepat mengayunkan pedang itu seolah-olah sedang menebas sesuatu. Ribuan pecahan batu itu langsung menyerang Ivet tanpa henti sehingga menimbulkan beberapa luka-luka menganga di sekujur tubuhnya.

            Iblis wanita itu makin mengamuk. Tapi ketika ia hendak menghantam Nandi dengan sulur-sulurnya, Haris sudah mendarat di pundak kanan iblis itu dan memotong tangan kanannya dengan sebuah scimitar. “GRUAAAKHH!!” iblis itu menjerit dengan suara mengerikan seiring jatuh berdebamnya sebuah tangan raksasa berwarna hitam ke atas aspal. Haris kemudian melayang di angkasa dan sambil mengayun-ayunkan scimitar-nya berseru, “Telan dia… Telal!”

            Sebuah lubang hitam terbentuk di atas kepala Ivet dan dalam sekejap tubuh iblis wanita itu tersedot ke dalamnya. Sekali lagi terdengar suara jeritan mengerikan dari dalam lubang tersebut. Beberapa saat kemudian keluarlah sekumpulan tulang belulang  berukuran raksasa yang masih ditempeli daging dan darah.

            Melihat potongan-potongan daging dan tulang yang berserakan di hadapannya, Nandi merasakan isi perutnya hendak tumpah keluar. Cepat-cepat ia berlari ke sebuah sudut jalanan dan mengeluarkan segala macam makanan dan minuman yang sempat ia telan tadi siang.

            “Wah-wah… rupanya dia tidak terbiasa dengan bau darah,” ledek Kaspar.

            “Sama seperti dirimu dulu, Kaspar,” sambung Olivia.

            “Kau tidak apa-apa, Nandi?” tanya Helena yang langsung menghampirinya.

            “Urgh… aku tak apa. Terima kasih sudah bertanya,” jawab Nandi yang langsung menyeka bibirnya dengan punggung tangannya. Ia berdiri dan memandang ke arah onggokan daging dan tulang itu dengan pandangan ngeri. “Astaga… kita baru saja membunuh….”

            “Iblis!” sambung Helmut cepat, “Iblis yang selama ini hanya kau dengar dari cerita, buku, dan film sungguh ada di dunia ini, Nandi. Mereka berjalan di sekitar kita, menjadi pembisik, dalang segala huru-hara, dan sumber segala petaka.”

            “Aku kira iblis tidak bisa memasuki dunia manusia.”

            “Manusia memang punya bibit-bibit kejahatan dalam hatinya, tapi segala kejahatan itu tak akan terjadi jika iblis masih berdiam di luar dimensi manusia. Ketahuilah, Nandi. Mereka kini berbaur dengan kita. Hidup serupa dengan kita dalam wujud daging dan darah, seperti yang baru saja kau lihat.”

            “Jadi tujuan Contra Mundi adalah membasmi mereka? Para iblis?”

            “Lebih dari sekedar itu, Nandi. Iblis menyebabkan ketidak-seimbangan pada dunia sementara para makhluk-makhluk langit – alih-alih peduli – mereka malah memutuskan untuk mengakhiri setiap kehidupan di sebuah dunia yang telah kacau tatanannya. Padahal masuknya para iblis ke dunia ini juga tak lepas dari ketidak-bertanggungjawaban mereka!”

            “Jadi kita berdiri sebagai pihak ketiga?”

            “Ya!”

            “Bukankah berarti kita berdiri di pihak yang kalah?”

            “Benar, kita akan dijauhi serta dimusuhi oleh semua pihak. Baik itu iblis, makhluk langit, ataupun manusia. Karena itulah kita disebut Contra Mundi, musuh dunia.”

            “Jika kita berjuang sendiri… siapa yang akan membantu kita?”

            “Selalu ada yang akan membantu kita, Nandi.”

            “Seberapa banyak sekutu yang kita miliki?”

            “Bukan hanya banyaknya sekutu yang menentukan kemenangan, Nandi. Ada banyak sekali faktor yang menentukan kemenangan. Sekarang tak usahlah kau pikirkan itu dahulu. Duniamu sekarat dan di ambang kehancuran. Maukah kau menyelamatkan duniamu? Atau kau lebih memilih mati ditelan kekejaman duniamu?”

            “Apa maksudmu?”

            “Iblis yang membunuh ayahmu… kini mengincar kedua saudaramu dan dirimu. Kau hanya punya waktu 3 kali matahari terbit untuk menghentikannya, Nandi.”

            “Putra Langit akan melindungi mereka!”

            Nada suara Helmut berubah menjadi tegas, “Tidak ada yang namanya Putra Langit, Ibu Bumi, dan Ayah Hutan, Nandi! Jikapun ada ilah-ilah itu tak akan bisa menolongmu! Maina, Sang Causa Prima mungkin saja ada. Tapi apakah ia menolong ayahmu? Apakah ia menolong kakak sulungmu? Apakah ia menolong ibu tirimu? Tidak! Tidak sama sekali, Nandi! Kaulah yang harus menolong dirimu sendiri juga kedua saudaramu.”

            “Bagaimana, Nandi? Ini mungkin satu-satunya kesempatan yang diberikan padamu untuk menyelamatkan kedua saudaramu,” sambung Olivia.

            Nandi menunduk, otaknya berpikir keras. Ia merasa ada sesuatu yang salah di sini. Hati kecilnya menolak bergabung dalam kelompok ini. Menjadi insan yang dimusuhi segenap makhluk? Beban itu dirasanya terlalu berat untuk dirinya. Tapi dirinya juga tak akan kuat berdiri di depan pusara kedua saudaranya. Hati pemuda itu kini diliputi kebimbangan yang luar biasa.

            “Pasti sakit sekali rasanya melepaskan ikatan kepercayaan yang sudah digenggam setelah sekian lama,” bisik Kaspar pada Helena.

            “Kita semua mengalaminya. Kita semua merasakannya. Itu adalah keputusan terberat bagi kita semua.”

            “Baiklah! Aku akan bergabung dengan kalian!” Nandi mendekat ke arah Helmut dan mengembalikan pedang yang sedari tadi digenggamnya.

            “Keputusan yang tepat, Nandi!” bisik Helmut di telinga Nandi.

            Sekali lagi sebuah portal bercahaya ungu terbuka di hadapan keenam muda-mudi itu. Helmut menoleh ke arah Nandi dan rekan-rekannya sambil berkata, “Ayo masuk!”

            Keenam muda-mudi itu pun memasuki portal itu dan hilang di tengah kekelaman malam.

 

Alam Semesta Valhalla

Kastil Haxet, 2 Umbrino 781

 

            “Nah, kita sudah sampai!” ujar Kaspar kepada Nandi yang lagi-lagi mengalami masalah dengan perutnya, tapi kali ini ia berhasil menahan isi perutnya untuk tidak keluar.

            “Selamat datang di Sarai – istana – kami, Sarai Haxet!” sambung Helmut.

            Nandi menengadahkan kepalanya, dilihatnya sebuah kastil bergaya Gothic Eropa yang terbuat dari batu marmer putih, menjulang tinggi di atas sebuah bukit yang hijau. Sekeliling bukit ini adalah padang rumput yang hijau. Angin sepoi-sepoi berhembus dengan tenangnya, membawa dedaunan maple kering menari-nari di udara dan seolah akan dibawa ke ujung langit.

            “Ayo kita masuk!” ajak Helmut.

            Keenam muda-mudi itu pun berjalan menuju gerbang kastil. Sebuah parit selebar 1,5 meter dan sedalam 6 meter memisahkan bangunan kastil dengan padang rumput itu.

            “Turunkan jembatannya!” Helmut berseru entah kepada siapa.

            Sebuah jembatan dari kayu akhirnya diturunkan dan Nandi melihat suatu makhluk seperti manusia yang mengenakan bahan metal tampak memutar roda-roda katrol yang membuat jembatan itu turun secara perlahan dan akhirnya menghubungkan antara bangunan kastil dengan padang rumput itu.

            Helmut berjalan mendahului rekan-rekannya ke dalam kastil. Sementara itu Nandi tertegun melihat makhluk yang disangkanya manusia tersebut ternyata lebih mirip sebuah robot. Gerakannya kaku tapi cepat, tidak seperti robot pada umumnya.

            “Uh, kalian membuat robot di sini?” tanya Nandi.

            “Mereka bukan robot, Nandi. Mereka itu Automata,” jawab Kaspar.

            “Automata?” Nandi kebingungan.

            “Semacam robot yang digerakkan sihir. Itulah Automata,” balas Olivia.

*****

            Keenam muda-mudi itu berjalan melalui lorong-lorong istana yang mewah dan mempesona. Seumur hidupnya baru kali ini ia melihat interior-interior semewah ini. Lukisan-lukisan berukuran besar terpajang di sepanjang lorong, dibingkai dengan kuningan. Karpet merah nan halus terbentang di sepanjang lorong dan berakhir di sebuah ruangan yang luasnya sama dengan ruang aula pertemuan di hotel-hotel berbintang lima. Di sana ada sebuah meja bundar yang terbuat dari kayu dan bertuliskan aneka macam huruf dan simbol yang sama sekali tidak dimengerti Nandi. Ada 15 bangku yang berjajar di sekeliling meja tersebut. Di salah satu bangku tampak duduk seorang wanita berusia 40 tahunan yang mengenakan jubah kebesaran berwarna putih salju, layaknya ratu-ratu di negeri dongeng. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat sepanjang 40 cm yang tak pernah ia lepaskan sedetik pun sedari tadi.

            Ketika wanita itu melihat enam muda-mudi itu memasuki ruangan, ia segera bangkit dari duduknya dan menyambut mereka, “Selamat datang kembali Contra Mundi.”

            “Sudah menunggu lama, Skadi?” tanya Helmut.

            “Aku sudah menunggu kalian selama 12.000 tahun, menunggu selama sebulan bukanlah sebuah masalah besar bagiku.”

            “Bagaimana dengan alam semesta ketujuh?”

            “Kalian sudah mendapatkan Contra Mundi keenam?”

            “Yang kau cari ada di sana,” Helmut menunjuk ke arah Nandi.

            “Oh, selamat datang Contra Mundi Versigi!” wanita itu membungkuk dan memberi hormat sementara Nandi hanya bisa terdiam bengong karena terlalu terpesona dengan isi istana ini.

            “Hei, Nandi!” Helena menyikut Nandi dengan kesal.

            “Oh, um, ya… terima kasih atas sambutannya Yang Mulia… errr…”

            “Skadi!” bisik Helena.

            “Yang Mulia Skadi.”

            “Oh, panggil saja aku Skadi, Mahija Nandi.”

            “Skadi…,” gumam Nandi dalam hati. Nama itu rasanya pernah ia dengar di suatu tempat.

            “Kau pernah mendengar namaku ya?”

            “Uh… dari mana anda mengetahuinya, Skadi?”

            “Aku bisa membaca pikiranmu, Nandi,” Skadi tersenyum.

            “Membaca pikiran? Yang benar saja!” gumam Nandi dalam hati.

            “Kau meragukan kebenaran kata-kataku ya?”

            “Bagaimana mungkin seorang bisa membaca pikiran seorang yang lain?”

            “Itu bisa saja dilakukan dengan mudah, Nandi. Suatu saat kau akan tahu caranya.”

            “Uhm, Skadi. Kapan kita bisa memulai ritual inisiasi?” sergah Helmut tiba-tiba.

            “Malam ini, Helmut. Akan kupersiapkan ruangan untuk itu,” jawab Skadi.

            “Nandi, ikutlah dengan kami. Akan kami ajak kau mengelilingi tempat ini,” ajak Kaspar dan Helena.

           

*****

            Dalam aula itu kini hanya tinggal Skadi dan Helmut yang berdiri menatap padang rumput dari sebuah balkon.

            “Jadi dia yang akan membuka kunci ke Semesta Arvanda?”

            “Ya.”

            “Tidakkah dia terlalu… lemah untuk tugas itu, Helmut?”

            “Dia adalah pilihan terbaik kita untuk saat ini.”

            “Menurutmu ia akan berhasil?”

            “Kita hanya bisa berharap.”

*****

            Malam telah tiba di atas Sarai Haxet. Suara burung mirip gagak berkoak-koak di atas atap-atap kastil. Dalam sebuah ruangan yang gelap dan hanya diterangi oleh sebuah obor raksasa yang menyala-nyala serta memancarkan nyala api merah membara, Skadi maju ke tengah-tengah  ruangan membawa sebuah cawan emas berhias aneka ukiran yang asing. Skadi mengambil sebuah botol berisikan cairan hitam dari saku gaunnya, menuang isi botol tersebut ke atas cawan, lalu menyerahkannya kepada Helmut.

            Helmut menerima cawan itu dengan khidmat, menggulung lengan kiri bajunya lalu tanpa disangka-sangka memotong urat nadi pergelangan tangannya dan meneteskan sejumlah darah ke dalam cawan itu. Setelah beberapa saat Skadi mendekap tangan Helmut dan luka di tangannya menutup dengan sendirinya.

            Sesudah Helmut, cawan itu diserahkan pada Haris yang melakukan hal serupa, dilanjutkan dengan Olivia, Kaspar, dan terakhir Helena. Ketika Helena sudah selesai menumpahkan darahnya ke dalam cawan itu, Skadi berjalan ke tengah ruangan lagi dan menuangkan air susu ke dalam cawan itu.

            “Majulah Nandi!” panggil Skadi.

            Ragu-ragu, Nandi melangkahkan kakinya ke tengah ruangan. Skadi menyerahkan cawan itu kepada Nandi yang kemudian diterima pemuda itu dengan tangan gemetar.

            “Minumlah Nandi!” ujar Helmut sementara keempat Contra Mundi lainnya membentuk sebuah formasi lingkaran.

Ketika Nandi bersiap-siap mereguk cairan dalam cawan itu, kelima Contra Mundi dalam ruangan tersebut mulai mengucapkan suatu sajak.

 

Mari Saudara

Minumlah dari cawan ini

Cawan yang berisi darah kami berlima

Dengan meminum ini

Kau menjadi saudara sedarah kami

 

Minumlah ini Saudara

Cawan Air Argax

Dengan ini, jadilah titik tertinggi di antara manusia

sebab kau akan beroleh kekuatan di luar anganmu,

gunakan itu untuk selamatkan duniamu

 

Mulai saat ini kau adalah Penantang Takdir

Kau adalah Penantang Dunia

Jika takdir berbicara maka ia harus menghadapimu

Hidup dan mati duniamu ada di tanganmu

Hidup dan mati Sang Takdir ada di tanganmu

            Nandi meneguk cairan dalam cawan itu dalam sekali teguk. Suatu sensasi rasa panas tiba-tiba menyeruak di tenggorokan dan perutnya. Tak berapa lama rasa panas itu berubah menjadi rasa sakit yang luar biasa. Suatu sensasi seolah tubuhnya dicabik-cabik menjadi ratusan potongan kecil tiba-tiba menghampirinya, membuat cawan yang ada di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai. Rasa panas itu pun kembali muncul, membuat tubuhnya serasa dibakar oleh api yang membara.

            “Aaahhh!! Aaahh!!!” pemuda itu menjerit-jerit serta berguling-guling di lantai akibat didera rasa sakit yang luar biasa itu. Selama 5 menit ia terus menerus berguling-guling di lantai dengan posisi setengah meringkuk, memegangi setiap sudut tubuhnya yang nyaris seluruhnya didera rasa sakit. Ketika masa 5 menit itu telah lewat, pemuda itu terkapar di lantai dengan kesadaran yang sudah hilang.

            Kelima Contra Mundi mendekat ke arah pemuda itu dan memandanginya selama beberapa saat, sebelum Kaspar berlutut dan memeriksa denyut nadinya.

            “Bagaimana?” tanya Helmut.

            “Well, dia akan hidup,” jawab Kaspar.

            “Setidaknya kita tak perlu lagi menjaga Versigi,” sambung Olivia.

            “Versigi sudah mendapatkan Contra Mundi-nya,” tukas Haris.

            Kaspar membetulkan letak kacamatanya yang sedikit miring, “Mari kita berharap saja agar dia bisa mendapatkan sigil Za’in Versigi.”

            Helmut melirik ke arah sebuah pedang yang tadi ia berikan pada Nandi kini tampak melayang-layang dan terselubung oleh sinar biru redup dan transparan, “Rajata Kanistara tampaknya memang cocok untuk dia bawa.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: