BAB VI: SANG PENCERITA
Alam Semesta Versigi
Stochklom, Swedia, Ibukota Kerajaan Swedia, 29 Februari 2012 – pukul 08.00
Nandi terbangun di sebuah gudang tua, di atas sebuah kasur busa yang digelar di atas lantai semen berdebu. Begitu matanya terbuka, dipandanginya sekelilingnya yang sunyi dan senyap. Tak ada seorang pun di sekitarnya, tapi jelas sekali ia sedang tidak berada di sebuah tempat yang familier dengan dirinya. Cepat-cepat ia bangkit dan berlari menuju jendela. Dilihatnya ia berada di sebuah kota dengan gaya bangunan Eropa. Rumah-rumah dan toko tersusun atas bata-bata merah. Mobil-mobil yang berlalu lalang kebanyakan adalah Volvo, merk mobil buatan Swedia.
“Sudah bangun, Nandi?” suara seorang gadis terdengar menyapanya.
Nandi menoleh dan menatap gadis itu lekat-lekat. Gadis itu… adalah… Helena.
“Ada apa sebenarnya ini, Nona Helena?”
“Seperti yang sudah kami katakan sebelumnya, Nandi. Kau sudah terpilih menjadi bagian dari kami.”
“Dan siapakah ‘kami’ itu?”
“Kami,” tukas tiga orang pria dan seorang wanita yang memasuki ruangan tempat Nandi tertidur tadi.
“Saya Nirvataka, dan saya sudah mengikatkan diri pada Kuil Tanah Abang. Meski anda sekalian mengenal baik Patriakh Sumarsono, aku tidak kenal kalian. Hukum Paravandaah akan melarang pemindahtanganan secara paksa semacam ini.”
“Kami bukan Patriakh ataupun Matriakh, Nandi. Tapi kami punya hak untuk menahanmu di sini. Sebab kau adalah aset penting bagi kami dan seluruh umat manusia yang kau ketahui,” tukas Helmut.
“Oh? Lalu kalian siapa? Pedagang budak? Jadi aku hendak kalian jual sebagai budak sekarang?” Nandi membalas dengan nada sinis.
“Kau bukan budak, anggap saja kau sistem operasi yang sudah dipasangi Frigate versi 2.0.9,” jawab Kaspar.
“Dipasangi … apa..?” tanya Nandi kebingungan.
“Frigate, semacam aplikasi seperti Total Commander yang memberimu hak untuk melakukan manajemen file di komputer dengan sistem operasi berbasis Windows yang bla … bla… bla …. dan jika dianalogikan dengan kondisimu sekarang maka kami bisa meng-override segala macam constraint yang mengikatkan dirimu pada…. HMPPPFFHHH!!!!!!”
“Ssshhh, jangan berbicara tentang teknis komputer lagi! Kau membuat kami bosan,” kata Helena yang membekap mulut Kaspar lalu menyeretnya dengan sekuat tenaga ke pojok ruangan, membiarkan Nandi terbengong sendirian di tengah-tengah ruangan yang dingin itu.
“Maniak komputer!” umpat Helena.
“Cewek ganjen!” balas Kaspar.
“Cecunguk!” umpat Helena lagi.
“Bajingan!” balas Kaspar lagi.
“HEI!!! CUKUP!!!” bentak Haris pada dua rekannya yang saling lempar ejekan itu.
“Eh, hallo?? Apa kalian sudah lupa padaku? Ada yang bisa jelaskan garis besar masalahnya?” ujar Nandi yang terbengong-bengong melihat pemandangan di depannya.
“Um, maaf kami sudah melupakanmu, Nandi,” ujar Helmut, “Jadi bagaimana keputusanmu?”
“Aku tidak tahu. Aku belum mengenal kalian… dan lagi… apakah gedung ini kuil Paravandaah kalian? Apa kalian Patriakh dan Matriakh pertapa? Atau kalian Sarika[1]?”
“Kami sama sekali bukan pengikut Paravandaah, Nandi,” jawab Helena.
“Eh? Lalu siapa kalian?” Nandi terkejut setengah mati.
“Kami adalah para Contra Mundi,” sahut Helmut.
“Contra Mundi?” tanya Nandi.
“Musuh dunia, kalau kau mau tahu arti harafiahnya,” sahut Haris.
Nandi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Dan apa tujuan kalian membawaku kemari?”
Helmut mengulurkan tangan kanannya, “Kami ingin kau bergabung dengan kami, Nandi.”
“Untuk apa?”
“Sumarsono mengatakan bahwa kau adalah jiwa yang paling tepat untuk mengubah duniamu.”
“Mengubah dunia? Apa sih maksud kalian? Aku semakin tidak mengerti!” Nandi mulai sebal.
“Padahal Helmut sudah menjelaskannya dengan sangat sederhana,” celetuk Kaspar.
“Kalian menjelaskannya dengan sangat rumit,” komentar Nandi.
“Bagaimana kalau kita pakai cara ‘itu’?” celetuk seorang gadis tomboi dengan potongan rambut ala laki-laki dan bercelana jeans
“Sepertinya bagus juga,” komentar Helmut.
“Mari,” sahut mereka serempak, “kami bawa kau kepada kebenaran.”
Kelimanya meletakkan jari telunjuk mereka di atas dahi Nandi dan pemuda itu pun merasakan sensasi yang aneh, tubuhnya terasa ringan-tak bertenaga-seolah jiwanya melayang dari dalam tubuhnya. Sejenak kemudian dirinya sudah tak sadarkan diri.
*****
Sang Pencerita
Nandi membuka kedua kelopak matanya, menyadari kini ia melayang-layang dalam suatu suasana yang gelap, tidak berpijak pada suatu apapun, dan sekelilingnya terasa sunyi. Matanya ia picingkan, mencoba mencari setitik cahaya namun tak ia temukan. Nafasnya ia tarik dan hembuskan keras-keras, mencoba mengetahui ada tidaknya udara di sini dan memang ada. Tangannya meraba-raba, mencari sebentuk benda, apapun itu guna mengetahui tempat macam apa ini namun tak ia temukan.
“Haaallloooo? Ada orang di sini?” teriak Nandi pada kegelapan yang menghadang di depannya.
“Di sini tiada satu orang pun selain aku,” jawab seseorang yang tampaknya berdiri di balik tubuh pemuda itu.
Nandi membalikkan badan dan melihat sesosok cahaya hijau berbentuk bola berpendar-pendar mendekatinya. Sebuah orb hijau, seperti dalam legenda peri hutan. “Siapa kau?” tanya Nandi.
“Aku? Aku adalah Sang Pencerita,” jawab sosok tersebut.
“Apakah kau manusia?”
“Menurutmu?”
“Aku tidak tahu, karena itu aku bertanya.”
“Bukan.”
“Lalu kau itu apa? Roh, dewa, hantu, danyangan?”
“Siapa diriku tidak penting. Kau dikirim kemari karena kau terpilih. Terpilih dari sekian banyak manusia dari alammu untuk mengetahui kebenaran. Dengarkan apa kataku maka kau akan temukan kebenaran dan bisa kembali tapi abaikan kata-kataku dan kau akan terkurung selamanya di sini bersamaku.”
“Eh, aku tidak berniat tinggal di sini sama sekali,” Nandi melempar senyum getir, yang kentara sekali kalau dihasilkan dengan perasaan terpaksa.
“Bagus! Nah, mari kita mulai!” Sang Pencerita berputar-putar mengelilingi Nandi selama beberapa saat sebelum berhenti di depan Nandi. Sosok orb itu perlahan-lahan berubah menjadi sosok mirip manusia. Lebih tepatnya perawakannya mirip manusia, tapi tak jelas mana mata, hidung, maupun mulutnya. Kalau boleh dibilang secara gamblang lagi : mukanya rata-hijau polos.
“Pegang tanganku, Nak!” perintah Sang Pencerita.
Nandi menggamit tangan sosok itu sambil melongo. Entah ia harus takut atau bagaimana dengan sosok di depannya ini, dibilang seram ya tidak, dibilang normal ya juga tidak.
“Kita mulai,” katanya.
Nandi merasa dirinya ditarik oleh suatu pusaran berkekuatan dahsyat namun tak terlihat. Ia mencoba melawan gaya tarik itu tapi Sang Pencerita menegurnya, “Jangan takut. Santai saja.”
Entah apa sebabnya, tapi Nandi tiba-tiba saja menuruti perintah Sang Pencerita. Patuh selaiknya kerbau yang dicocok hidungnya. Ia merilekskan dirinya, membiarkan dirinya disedot oleh pusaran itu dan kemudian ia tak sadarkan diri.
“Bangun!” suara itu bergema di telinga Nandi. Perlahan ia buka kelopak matanya dan kini dilihatnya dirinya dan Sang Pencerita yang … ehm… masih dalam wujud partikel berpendar hijau berwujud manusia berdiri di sampingnya. Ia melihat sekelilingnya, didapatinya ia berada dalam suatu kondisi tanpa gravitasi, di antara kabut-kabut berwarna merah jingga yang bergerak tidak tentu.
“Di mana kita?” tanya Nandi kebingungan.
“Kita berada dalam ‘Awal’,” jawab Sang Pencerita.
“Awal?” Nandi mengeryitkan dahi tidak mengerti.
“Awal dari alam semesta, dari galaksi-galaksi yang kau kenal, dari segala bintang dan planet yang ada di jagad raya.”
“Berupa kabut?”
“Nebula kalau kalian menyebutnya. Tidaklah penting apa nama sebenarnya, yang penting kau tahu apa yang kumaksud. Baiklah, kau mau dengar ceritaku?”
“Uh, … oke.”
“Ini adalah awal semesta. Kacau, panas, berdebu, tiada kehidupan, tiada yang mengatur. Semuanya kabut panas, terdiri atas pasir dan debu yang berputar dan terus berputar.
“Oke… Big Bang?” celetuk Nandi.
Sang Pencerita melanjutkan, “Ya! Sesuatu yang kalian sebut ledakan Big Bang memencarkan seluruh partikel di sini. Tapi yang tidak kalian ketahui adalah ledakan itu tidak hanya membentuk satu semesta melainkan banyak semesta. Galaksi yang kau lihat selama ini, Nandi, hanyalah sebagian kecil dari galaksi yang ada di seluruh semesta.”
“Uh?” Nandi mengernyit bingung.
“Intinya… alam semesta ini tidak hanya memiliki satu galaksi Bima Sakti, dan juga tidak hanya memiliki satu planet bumi.”
“Jadi ada bumi lainnya di luar sana?”
“Ya! Dan kawan-kawanmu yang membawamu kemari juga berasal dari 5 dunia yang berbeda. Helmut Redeemes berasal dari Alam Semesta Etria, Olivia Palander berasal dari Avesta, Kaspar Deas Meyer dari Kasha, Haris Rasyid bin Ali Sinan dari Jara, sementara Helena Meer dari Sambala.”
“Apakah hanya ada 5 alam semesta?” tanya Nandi.
“Ditambah dengan alam semestamu, Nandi, menjadi enam. Alam semestamu adalah Arcapada, sebagaimana manusia-manusia di duniamu memanggil dunianya. Tapi kami telah lama menanggalkan nama itu. Kini kami menyebut alam semestamu Versigi.”
“Kenapa dengan Arcapada? Kurasa nama itu lebih keren.”
“Za’in[2] Arcapada yang terdahulu telah lama diturunkan oleh Za’in Agara.”
“Za’in?”
“Za’in adalah pengawas dimensi. Kau boleh menganalogikannya dengan gubernur. Mereka berada di bawah kuasa Sang Raja Tunggal. Sesuatu yang kau boleh sebut Sang Maina. Tapi dia bukan Causa Prima[3].”
“Bukan Causa Prima?”
“Mengenai itu kau akan tahu seiring dengan waktu.”
“Oke… jadi ada enam alam semesta di seluruh jagad raya ini. Dan masing-masing dari alam semesta itu diawasi oleh seorang Za’in?”
“Sebenarnya bukan hanya enam. Ada lebih dari itu. Tapi sebagian sudah berhasil dipanen sementara yang lain belum berhasil. Jika aku tidak salah menghitung… jumlah alam semesta yang belum diakhiri siklusnya sebanyak 35 alam semesta. Para Za’in dan Athir Kathana akan memanen alam semesta dalam suatu paket. Tujuh demi tujuh. Tak kurang dan tak lebih.”
“Lalu apa hubunganku dengan semua ini?”
“Kau sudah dipilih menjadi Contra Mundi!”
“Contra Mundi?”
“Contra Mundi adalah pelindung sebuah semesta. Ia dipilih dari sekian banyak manusia dalam suatu semesta. Hanya ada satu Contra Mundi di setiap semesta.”
“Hanya satu?”
“Ya, dan kaulah yang terpilih untuk itu, Mahija Nandi!”
“Kenapa aku?”
“Karena Teguh Harimurti Sanjaya telah tewas di tangan Calya.”
“Kak Sanjaya? Apa hubungan Kak Sanjaya dengan semua ini?”
“Sanjaya seharusnya menjadi Contra Mundi Versigi tapi ia sudah tewas lama sebelum para Contra Mundi lainnya tiba.”
“Tapi kenapa aku?”
“Ada sebuah ramalan berbunyi begini, Nandi.”
Sebuah bintang cemerlang akan berseteru dengan musuh
Ia berseteru dengan dia yang menumpahkan darah seorang ayah
lalu ia pun tumpahkan darah sang anak sulung
pada saat bulan biru meninggi di atas bumi
Wahai Putra Bumi!
Bangun dan ambillah diriku!
Porak-porandakan musuhmu bersama diriku
Lalu bersama-sama kita akan buka jalan baru bagi Arcapada
“Ramalan apa itu?”
“Ramalan mengenai dirimu.”
“Diriku?”
“Namamu ‘Mahija’yang berarti ‘Putra Bumi’ bukan?
“Uh? Iya. Tapi yang bernama Mahija bukan hanya aku seorang, bukan?”
“Tapi hanya kau yang menggenapi ramalan itu!”
“Sebentar! Aku sama sekali tidak mengerti dengan segala hal yang kau bicarakan barusan! Untuk apa Contra Mundi? Kenapa aku yang dipilih? Siapa yang memilih diriku?”
“Yang memilih dirimu adalah Rajata milikmu!”
“Rajata? Apa itu?”
“Senjatamu! Sekarang kembalilah.”
“Jangan dulu, Sang Pencerita! Jelaskan padaku mengapa Contra Mundi diperlukan!”
“Ah? Itu yah? Baiklah… biar aku jelaskan. Dunia yang kau kenal saat ini, bukan peradaban pertama yang ada di muka bumi. Ribuan tahun yang lalu peradaban-peradaban lainnya pernah berdiri di atas bumi. Tapi mereka sirna, hilang, lenyap, karena campur tangan makhluk-makhluk surgawi.”
“Dewata?”
“Bukan, tapi lebih tepatnya tentara langit, malaikat. Sang Pencipta menciptakan malaikat untuk menjaga surga dan dewata untuk memahat bumi dari pijar lahar dan deburan ombak. Tapi kemudian ia mengundurkan diri ke sebuah semesta lain. Kepemimpinan para malaikat diserahkan pada satu sosok bernama Sang Raja Tunggal. Dan pada suatu ketika Sang Raja Tunggal menyatakan perang kepada para dewata di bumi.”
“Sang Raja Tunggal melakukan hal itu? Untuk apa?”
“Menjawab doa para manusia yang tertindas. Manusia-manusia yang muak ditindas dewata.”
“Lalu apa yang terjadi?”
“Sang Raja Tunggal terbunuh, namun sebelum ia terbunuh ia sempat memanggil gerbang neraka di bumi. Memusnahkan setiap kehidupan yang ada di bumi.”
“Kenapa ia melakukan itu?”
“Untuk menjaga eksistensi dan keseimbangan semesta.”
“Bagaimana bisa tindakan menghancurkan kehidupan di semesta dikatakan sebagai tindakan menjaga eksistensi dan keseimbangan semesta?”
“Apa kau sudah pernah melihat sisi tergelap manusia, Nandi?”
Nandi hanya terdiam saja. Tidak menjawab satu patah kata pun. Akhirnya Sang Pencerita pun melanjutkan, “Tentu saja kau tidak pernah melihatnya. Bagaimana mungkin seorang Nirvataka yang bernaung di bawah lindungan kekuatan suci bisa melihat sisi tergelap manusia?”
“Kau menyindirku?” tanya Nandi.
“Oh, aku hanya menyampaikan kebenaran. Tak lebih dari itu,” Sang Pencerita diam untuk sesaat lalu melanjutkan kata-katanya, “Sisi tergelap manusia adalah tujuh dosa.Tujuh dosa membawa manusia pada puncak kejayaan mereka saat ini. Tapi di sisi lain tujuh dosa membuat manusia tidak lagi bisa membedakan mana hewan dan mana sesamanya. Tujuh dosa membuat manusia lupa seberapa besar batasan yang layak mereka ambil. Pada akhirnya 7tujuh dosa menciptakan tatanan dunia yang kacau seperti sekarang. Dunia yang penuh perbudakan, pembunuhan, perusakan alam, perang, dan intrik.
“Kurasa kau terlalu hiperbolis, Sang Pencerita. Dunia tidak sekelam itu!” bantah Nandi.
“Karena kau belum pernah melihat. Manusia mana yang percaya hanya oleh kata-kata. Kalau begitu… mari aku tunjukkan kepadamu kegelapan dunia.”
*****
Sang Pencerita membawa Nandi ke sebuah kamar mayat. Di sana tampak seorang dokter tengah membedah jenazah seorang pria paruh baya. Di samping dokter itu tampak seorang perawat dan seorang koas membantu jalannya pembedahan serta mencatat temuan-temuan yang dihasilkan selama pembedahan itu.
“Tampaknya tidak ada yang aneh dengan organ dalamnya, Dok. Semuanya tampak normal,” ujar si koas.
“Tapi rasanya ada yang aneh… coba kau lihat bagian ini, Sarwo,” ujar sang dokter yang menunjuk ke arah ventrikel kiri dari jantung si mati.
“Bercak hitam? Darah yang membeku?”
“Bukan… coba kau amati di bawah mikroskop, Wo!” perintah dokter itu sembari mengambil sampel jaringan.
Koas itu segera mengambil sampel itu, meletakkannya di atas kaca benda dan meneteskan larutan berwarna biru ke atas sampel itu lalu mengamatinya di bawah mikroskop. Di sana ia melihat suatu ketidakwajaran, “Dok… jaringan ini rusak total. Bukan sekedar pembekuan darah.”
“Benar, rusak total. Seperti apa coba?”
“Seperti reaksi keracunan?” tebak Sarwo.
“Atau diracun?” balas dokter itu.
*****
“Dia…,” Nandi ingin bicara tapi tiba-tiba lidahnya kelu.
“Adhibratha Mursito. Ayahmu, Nandi.”
“Dan pria yang meninggal itu…,”
“Kepala BIN tahun 1994, Andi Prawira. Kau tentu tahu apa yang terjadi padanya.”
“Bukankah beliau bunuh diri?”
“Itukah yang kau percayai? Tidak! Dia tidak bunuh diri! Ia telah dibunuh oleh seseorang.”
“Tapi pers berkata seperti itu bukan?”
“Pers terkadang dibatasi oleh janji, azas, sumpah, politik, dan uang. Mereka disanjung sebagai pengabar kebenaran. Tapi tahukah dirimu bahwa kebenaran itu ringkih di mata manusia? Mudah diputarbalikkan sesuai keinginan suatu pihak. Atau… kau sendiri menolak untuk mengetahui kebenaran itu?”
“Barangkali… ya,” jawab Nandi dengan perasaan berat.
“Dan apa alasanmu menutupi kebenaran dengan membohongi dirimu sendiri?”
“Aku takut. Aku takut jika aku tahu terlalu banyak mengenai kebenaran maka diriku tidak akan lagi bisa hidup tenang. Apatismeku pada Tuhan akan meninggi, yang akhirnya akan menghantarkan aku kepada Abaravand.
“Oh, astaga!” Sang Pencerita menepuk jidatnya keras-keras, “Tak kusangka aku harus menceritakan sebuah kebenaran pada seorang penakut dan peragu. Baiklah mari kita lihat sebuah peristiwa yang akan membuatmu merubah pandanganmu!”
Sang Pencerita menjentikkan jarinya dan terbentuklah dua buah layar di balik punggungnua. Satu layar menampilkan kemegahan dan kekayaan duniawi, sementara sisi lainnya menampilkan kemiskinan duniawi.
“Kau lihat itu, Nandi? Dunia ini penuh kemegahan dan kemewahan. Tapi di sisi lain ada pula yang miskin dan tertindas. Apa kau pikir kondisi ini akan.dapat berlangsung terus, Nandi?”
“Perubahan akan datang. Cepat atau lambat.”
“Waktunya sudah hampir habis bagi dimensimu untuk dapat menyangga kebobrokan ini!” ujar Sang Pencerita penuh emosi, “Tak sadarkah dikau bahwa segala yang terjadi di duniamu itu adalah petaka?”
“Aku tak dapat menangkap apa maksudmu, Sang Pencerita. Petaka? Petaka apa yang dapat dibawa oleh ketidakadilan selain ketidakadilan itu sendiri?”
“Bagaimana kalau aku bicara soal akhir zaman?”
“Akhir zaman?”
“Benar, Nandi! Mari aku bawa kau kepada kondisi akhir zaman.”
*****
Sang Pencerita membawa Nandi kepada sebuah dataran yang gersang. Tanahnya menghitam dan tak ada satupun pohon atau rerumputan terlihat di tanah ini. Sang Pencerita menunjuk ke sebuah arah, “Lihatlah ke sana, Nandi!”
Nandi memperhatikan dengan seksama ke arah yang ditunjuk oleh Sang Pencerita. Di sana ia melihat kumpulan bangunan-bangunan pencakar langit.
“Mari kita mendekat,” Sang Pencerita menggamit tangan Nandi dan tibalah mereka di tengah sebuah kota yang tampak sudah lama ditinggalkan. Seluruh dinding bangunan di kota ini telah menghitam. Bangkai-bangkai mobil dan kendaraan bermotor berserakan di sepanjang jalan. Beberapa dari kendaraan itu hanya menyisakan tumpukan logam yang berkarat dimakan usia.
“Di mana kita?” tanya Nandi yang melihat sekelilingnya dengan pandangan heran.
“Kita ada di alam semesta Penta. Alam semesta ini baru saja mengalami akhir zamannya sekitar 45.000 tahun yang lalu.”
“Karena perang?”
“Bukan. Karena dimusnahkan oleh Pasukan Langit.”
“Hukuman dari Nirwana?”
“Kau bisa menganalogikannya seperti itu.”
“Bukankah kitab suci sudah meramalkan hal itu?”
“Di sini ada 3 kepercayaan, Nandi. Semuanya meramalkan akan akhir zaman. Tapi… mereka hanya mau mengetahui bahwa akhir zaman itu akan datang. Sampai di situ saja. Mereka tidak melakukan apa-apa untuk menolak datangnya akhir zaman ataupun menundanya.”
“Bukankah sudah seharusnya manusia pasrah pada kehendak Sang Pencipta?”
“Jangan berpikir dengan otakmu, Nandi. Tapi pikir dengan hatimu.”
“Aku sudah berpikir dengan hatiku.”
“Tidak, Nandi. Yang kau katakan barusan hanyalah manifestasi dari emosi. Bukan suara hati. Jika kau dengarkan dengan hati maka kau akan melihat ataupun mendengar suatu hal yang sebelumnya tak kau sadari.”
“Apa yang harus aku lakukan?”
“Pejamkan matamu, akan kubawa kau ke dalam kesadaran hati.”
Nandi menuruti kata-kata Sang Pencerita, ia pejamkan kedua kelopak matanya. Sang Pencerita mendekati pemuda itu, dan menyentuhkan kedua telapak tangannya ke dahi dan jantung pemuda itu. Dalam sekejap Nandi merasa ditarik ke dalam kegelapan yang amat pekat. Lebih pekat dan mencekam daripada yang ia alami sebelumnya. Dalam kegelapan ini ia melihat sosok bercahaya. Tingginya sekitar gedung 4 lantai. Empat pasang sayap berwarna keemasan menghiasi punggungnya. Sementara tubuhnya dilindungi oleh zirah berwarna perak yang ditulisi untaian-untaian huruf yang asing bagi Nandi. Wajah sosok itu tertutup oleh sebuah cadar hitam.
“Salam, Putra Bumi.”
“Namaku Mahija Nandi, Tuan. Bukan Putra Bumi. Siapakah anda?”
“Aku? Aku adalah sosok yang bersemayam di antara kegelapan hati. Aku adalah cahaya yang tersembunyi di balik kegelapan. Dan kini aku berada dalam kegelapan hatimu.”
“Umm…,” Nandi hendak mengatakan sesuatu pada sosok ini tapi tidak tahu apa yang harus ia katakan.
Sosok itu kemudian menudingkan telunjuk kirinya ke arah Nandi, “Kau… Mahija Nandi sudah aku pilih untuk mewarisi sebuah rahasia.”
“Sebuah rahasia?”
“Ya! Dengan rahasia ini kau dapat menyelamatkan alam semestamu.”
“Apa rahasia itu?”
“Mendekatlah!”
Nandi tampak ragu mendekati sosok asing itu. Nalurinya mengatakan ada yang tidak beres dengan semua ini. Ia belum juga mengetahui siapakah para Contra Mundi, siapakah Sang Pencerita, dan siapakah sosok yang berada di depannya ini.
“Kenapa, Putra Bumi? Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Kemarilah!”
Akhirnya dengan langkah setengah diseret, Nandi berjalan perlahan-lahan ke arah sosok itu. Ketika jaraknya tinggal lima langkah dari sosok itu. Sosok itu merunduk dan menyentuh bagian di mana jantung Nandi bersemayam. “Matamu ini buta, Putra Bumi. Karena itu akan kuberikan sepasang mata baru untukmu.”
“EARRRGHHH!!!!!” Nandi menjerit sejadi-jadinya ketika merasakan sakit yang luar biasa pada kedua biji matanya. Tapi sejenak kemudian rasa sakit itu hilang. Nandi mencoba membuka kedua kelopak matanya, tapi tidak bisa. Ia hanya melihat kegelapan saja.
“Sebentar!” suara sosok itu terdengar kembali. Entah apa yang sosok itu lakukan, tak sampai semenit, Nandi sudah dapat melihat lagi. Kali ini ia melihat sosok itu terselubung oleh cahaya yang begitu agung nan cemerlang. Tiada satupun cahaya di dunia Nandi yang mampu menandingi kecermelangan cahaya itu.
“Apa anda adalah dewa?”
“Bukan, Nandi. Namaku Saklas. Itu sajalah yang perlu kau ketahui untuk saat ini. Sekarang kembalilah kepada Sang Pencerita,” ujar sosok itu yang perlahan mulai menghilang.
*****
“Selamat datang kembali, Nandi. Sudahkah kau bertemu dengan Saklas?” ujar Sang Pencerita.
“Ya. Aku bertemu dengan sosok raksasa itu tadi. Siapakah dia?”
“Kau akan mengetahuinya seiring berlalunya waktu. Itu adalah jawaban yang hanya dapat terpuaskan jika kau mencarinya sendiri.”
“Tak bisakah kau memberitahukannya sekarang? Jangan membuat saya tenggelam dalam rasa penasaran.”
“Seperti yang kukatakan tadi, Nandi. Kau akan mengetahuinya seiring waktu. Nah… kau sudah mendapatkan ‘mata baru’ dari Saklas. Sekarang lihatlah sekelilingmu. Apa yang kau lihat?”
Nandi melihat ke sekelilingnya. Dilihatnya kota ini perlahan berubah. Bukan lagi kota yang mati dengan bangunan-bangunan yang sudah menghitam akibat keterbengkelaian, melainkan sebuah kota yang megah. Kota yang berhias aneka patung dan ukir-ukiran, pepohonan yang menjulang tinggi, serta lautan manusia yang seolah tiada putusnya.
Sempat kagum sejenak akan kemegahan kota itu, pemandangan tiba-tiba berganti menjadi sebuah histeria massal. Nandi merasakan ia seolah berdiri di tengah keriuhan massa yang berlari-lari panik.
“Apa yang terjadi?” tanya Nandi pada Sang Pencerita.
“Itu yang sedang terjadi!” Sang Pencerita menunjuk ke arah sesosok monster berbentuk ular raksasa yang menyemburkan asap berwarna hitam ke arah manusia-manusia yang berlarian. Setiap kali seorang manusia terkena asap itu, otot-otot yang melekat pada tubuhnya terdegradasi sedemikian rupa dan dalam sekejap tubuh itu hanya menyisakan tulang yang rubuh ke tanah.
“Astaga!” Nandi menutup mulutnya rapat-rapat, menahan suara jeritannya yang hendak melesat keluar.,“Apa ini, Sang Pencerita?”
“Ini adalah akhir zaman, Nandi. Akhir zaman dari semesta ini.”
“Aku kira akhir zaman terjadi dengan turunnya kuda-kuda sembrani dari…,”
“Surga? Seperti kata Sakitabha? Salah besar, Nandi. Inilah yang terjadi di setiap semesta saat sesuatu bernama akhir zaman terjadi!”
“Tak peduli di semesta manapun?”
“Ya!”
Nandi tercenung. Sorot matanya menerawarang ke arah jasad-jasad manusia yang bergelimpangan di tempat itu. Sosok-sosok yang sudah berubah menjadi rangka.
“Sang Pencerita, apa yang akan terjadi pada mereka?”
“Jiwa mereka akan dibawa ke sana!” ujar Sang Pencerita sembari menunjuk ke atas.
Nandi mendongak ke atas dan melihat kumpulan jiwa-jiwa dari manusia yang terbantai ini menuju ke sebuah awan. Di atas awan itu terdapat dua buah pintu, satu berwarna hitam dan yang lain berwarna putih susu. Sebagian besar jiwa-jiwa itu memasuki pintu berwarna hitam dan sisanya memasuki pintu yang satunya lagi.
“Yang memasuki pintu hitam akan menuju ke neraka, sementara yang memasuki pintu putih akan menuju ke surga. Dan dapat kau lihat, Nandi…. pintu hitam mendapatkan jatah lebih banyak daripada pintu putih.”
“Bahkan orang-orang benar pun harus mati dengan cara sesadis itu?”
“Semua manusia… benar atau salah… akan bernasib serupa. Ketika akhir zaman dimulai dan gerbang neraka dibuka… dunia itu akan berubah menjadi taman berburu bagi para iblis. Sementara para penghuni surga…,” Sang Pencerita tidak melanjutkan kata-katanya lagi tapi jarinya menunjuk ke atas awan.
Nandi mendongak kembali, ia melihat sekumpulan manusia bersayap bersenjata lengkap berdiri di atas awan-awan. Tapi baru sebentar pandangannya tiba-tiba gelap. Ia menundukkan kepalanya, merasakan rasa pusing yang amat hebat.
“Kau belum terbiasa dengan mata itu, Nandi. Istirahatlah sebentar, lalu coba lagi.”
Nandi memijit-mijit dahinya dengan kedua belah tangannya. Setelah rasa pusing itu sedikit reda, ia melihat kembali ke arah langit. Tapi tidak dilihatnya lagi sekumpulan pasukan manusia bersayap itu.
“Konsentrasikan dahulu pikiranmu, Nandi. Konsentrasi pada apa yang ingin kau lihat!” ujar Sang Pencerita.
Nandi memejamkan matanya, mencoba berkonsentrasi dan setelah itu membuka matanya lagi kepada langit. Kali ini ia dapat melihat kembali sekumpulan pasukan manusia bersayap itu. Posisi mereka pun tetap sama, diam di tempat, tak bergeming sama sekali.
“Apa-apaan itu? Bukanlah seharusnya mereka adalah makhluk-makhluk langit? Bukankah seharusnya mereka menghentikan pembantaian di bawah sana?” seru Nandi geram.
“Bagaimana menjelaskannya ya? Tahukah kau bahwa gerbang neraka tidak bisa dibuka tanpa bantuan dari makhluk-makhluk langit?”
“Kau… kau… jangan bohong, Sang Pencerita!”
“Aku tidak bohong, Nandi. Begitulah yang terjadi pada tiap zaman. Para makhluk langit yang kalian agung-agungkan dalam puji dan sesembahan adalah kunci utama dalam menentukan nasib kalian di akhir zaman. Dan beginilah nasib alam semesta yang sudah terlalu bobrok. Iblis akan lepas di muka bumi dan membantai seluruh makhluk yang berjalan di muka bumi.”
“Bagaimana dengan alam semesta yang masih memiliki banyak orang-orang benar?”
“Maka alam semesta itu akan tetap hidup. Tetap berjalan sebagaimana mestinya.”
“Akhir zaman untuk alam semestaku sudah dekat, ya?”
“Benar, Nandi. Karena itu kau diminta datang kemari oleh kelima anak itu.”
“Untuk apa? Bahkan sekumpulan tentara hebat pun tak akan mampu menandingi para iblis itu.”
“Untuk melakukan tindakan pencegahan, Nandi. Alam semesta kalian masih bisa diselamatkan. Tapi untuk itu kau harus bergabung dengan mereka.”
“Bagaimana aku bisa menyelamatkan semestaku?”
“Dengan bergabung sebagai Contra Mundi. Setelah itu kau akan tahu apa yang harus kau lakukan. Nah, sekarang kembalilah pada mereka Nandi!” Sang Pencerita mendorong Nandi dengan tenaga yang luar biasa sehingga ia terlempar jauh sekali.
[1] Umat non-pendeta yang hidup menyendiri seperti pertapa untuk beberapa saat. Biasanya untuk menenangkan diri
[2] Pengawas dimensi
[3]Sosok Tuhan sebagai awal dan akhir dari segalanya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top