BAB V : MALAM PERJANJIAN
Alam Semesta Versigi
Tanah Abang, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 22 Februari 2012.
Sumitra menghubungi Nandi pagi itu, mengatakan padanya bahwa ia sudah berada di Terminal Pulogadung dan akan segera meluncur ke BSD (Bumi Serpong Damai). Tidak menyangka bahwa Sumitra akan tiba sebelum pukul 8 pagi, Nandi bergegas memohon izin pada Matriakh Sara untuk izin satu hari, “Amma[1], saya mohon izinnya untuk tidak menjalankan tugas Nirvataka hari ini.”
“Ada apa gerangan Nandi?” tanya Matriakh Sara.
“Saudara satu ayah saya tiba di Jakarta pagi ini dan kami berjanji untuk bertemu dengan mereka di rumah seorang kerabat. Saya mohon izinnya Amma, sebab sudah setahun ini saya tidak bertemu mereka.”
“Baiklah Nandi, tapi pastikan kau kembali sebelum pukul 22.00. Aku membutuhkan bantuanmu untuk memasang lilin-lilin ini untuk upacara api[2],” kata Matriakh Sara.
“Baik Amma, saya akan kembali sebelum itu.”
Nandi bergegas keluar dari gerbang kuil, berlari ke arah sebuah terminal bus dan menaiki bus kota menuju Stasiun Kota. Sesampainya di sana dikejarnya KRL Serpong yang hampir saja berangkat meninggalkan dia. Dalam KRL yang tidak terlalu penuh tersebut, Nandi duduk di kursi penumpang yang empuk sambil meregangkan badannya yang pegal-pegal akibat berdesak-desakan di bus kota tadi. Sejenak kemudian, matanya menangkap pemandangan seorang Patriakh dalam jubah merah membawa sebuah tongkat kayu di tangan kanannya sementara tangan kirinya menggenggam sebuah kitab, wajahnya tertutup tudung kepala warna merah pula. Melihat Patriakh itu berdiri, tidak duduk sama sekali Nandi pun berinisiatif berdiri untuk memberikan tempat duduknya pada sang Patriakh, tetapi ketika ia menengok kembali ke arah orang itu … sosok Patriakh berjubah merah itu telah menghilang.
Ketika Nandi turun di Stasiun Rawa Buntu, Serpong dilihatnya kembali Patriakh berjubah merah itu sudah berada di Stasiun tersebut. Dan kemudian … ia merasakan hal yang aneh … waktu seolah berhenti. Sosok pedagang asongan yang tadi berteriak-teriak menawarkan dagangannya kini diam mematung sambil memegang beberapa botol minuman. Sosok seorang petugas keamanan KA yang hendak menaiki kembali KRL tampak terdiam dengan satu kaki menginjak lantai stasiun sementara kaki satunya ada di lantai gerbong KRL.
Hanya Nandi dan Patriakh berjubah merah itu yang masih tampak hidup. Nandi pun berjalan mendekati Patriakh berjubah merah tersebut dan bertanya, “Salam ya Abba. Apa gerangan yang terjadi? Kenapa seolah waktu berhenti mengalir?”
Patriakh itu pun menjawab, “Waktu kuhentikan karena aku harus berbicara empat mata denganmu Nandi!”
“Apa yang hendak Abba bicarakan?”
“Waktunya sudah hampir tiba. Siklus ini membutuhkanmu. Temui Patriakh Sumarsono lusa malam dan berangkatlah bersamanya ke kota tua. Kami menunggumu,” kata Patriakh misterius itu sambil berjalan menjauhi Nandi.
“Eh, apa maksud Abba? Menunggu apa?” tanya Nandi yang mencoba mengejar Patriakh misterius tersebut. Tapi itu sudah terlambat, Patriakh berjubah merah itu sudah menghilang dan waktu pun kembali mengalir.
Nandi hanya terdiam bengong melihat Patriakh itu tiba-tiba menghilang. Ditengoknya kanan kiri tapi tak jua ia temukan Patriakh berjubah merah itu. Kali ini ia coba mencubit tangannya, “SAKIT!” pertanda ia sadar 100%.
Nandi melongok ke arloji tuanya, pemberian seorang umat pada Matriakh Sara yang diberikan kepadanya. “Sudah pukul 10.00,” ujar Nandi sembari mempercepat langkahnya keluar dari Stasiun Rawa Buntu.
Di luar stasiun dilihatnya pangkalan ojek di depan stasiun kosong melompong, tak ada satupun tukang ojek terlihat. Sebal merasuk dalam hati Nandi, “Ke mana tukang ojek-tukang ojek itu?”
Dilihatnya arlojinya sekali lagi, “Sudah pukul 10.05.”
Merasa kesal menunggu ojek, Nandi berjalan kaki menuju jalan raya di depan Gang Rawa Buntu dan berlari-lari menuju arah barat, menuju pintu gerbang sebuah perumahan ketika seseorang menawarinya ojek, “Ojek Bang?”
“Ya Pak, tolong alamat ini!” Nandi menunjukkan sebuah alamat yang tertulis pada secarik kertas.
*****
Sumitra dan Wima sudah menunggu Nandi di kediaman Tante Dahlia, janda Om Juru, paman mereka dari pihak ibu. Ketika ia tiba di depan rumah besar itu, rasa canggung merasuk dalam dirinya. Nandi terdiam di depan rumah itu sampai beberapa saat. Ia mendengar Sumitra dan Wima sudah berada di dalam rumah itu serta sedang bercakap-cakap dengan Tante mereka, tapi entah kenapa Nandi merasa tempat ini tidak berhak ia masuki.
“Hei! Anak haram kakakmu itu sudah datang!” sekonyong-konyong suara seorang perempuan paruh baya membuyarkan lamunan Nandi.
Nandi mendongak dan melihat sosok seorang perempuan tua, berusia sekitar 60 tahunan berammbut ikal yang disemir dan digelung serta memakai kacamata tebal telah berdiri di pintu rumah. Sudah lama ia tidak menjumpai perempuan itu. Perempuan itu adalah ibu dari ibu tirinya, Chandrawati.
“Nenek Chandrawati,” Nandi mendekati perempuan lanjut usia itu dan mencium telapak tangannya.
“Kami sudah menunggu lama, anak haram. Masuklah! Jangan biarkan diriku ini mati menunggumu untuk melangkahkan kaki yang malas itu ke dalam rumah.”
Nandi hanya senyam-senyum saja, sama sekali tidak tersinggung dengan ucapan Chandrawati, sebab memang begitulah cara wanita tua itu bertutur kata. Nandi masih ingat ketika kakeknya masih hidup, panggilan sayang si nenek untuk si kakek adalah : ‘bajingan’.
“Halo Nandi!” sapa Sumitra yang langsung bangkit dari sofa.
“Halo Kak Sumitra. Halo juga Wima,” Nandi bersalaman dengan kedua saudaranya.
“Ayo duduk Nandi,” ujar Dahlia yang datang dengan membawa nampan berisi 5 gelas minuman.
“Apa kabar Tante Dahlia?” sapa Nandi.
“Ah,baik-baik saja. Bagaimana kabarmu?”
“Puja dan Puji Dewata. Baik sekali.”
“Aku tidak bisa mengerti kenapa kau memilih menjadi Nirvataka, Nandi. Bukankah kau bisa saja tinggal di sini?” kata Dahlia yang sudah duduk di sofa.
“Aku tidak mau merepotkan Tante dan Nenek,” jawab Nandi.
“Kau tidak akan merepotkan, Nandi. Jika kau merasa segan ada di sini oleh karena masalah dengan Rahayu, kami sama sekali tidak mempermasalahkannya,” ujar Chandrawati yang sudah duduk di sofa.
“Kenapa?”
“Kau adalah anak dari Mursito, karena itu kau juga termasuk cucuku!” balas Chandrawati.
“Ayolah, Nandi. Sampai kapan kau hendak menyesali diri atas sesuatu takdir yang tak pernah kau rencanakan? Atas suatu takdir yang tidak pernah kau rencanakan? Atas suatu kesalahan ayah kita yang sebenarnya tak pantas kau pikul?” bujuk Sumitra.
“Dosa ayah yang tak tertebus ditanggung oleh sang anak,” ujar Nandi.
“Aduh, Nandi! Saya benar-benar tidak mengerti akan jalan pikiranmu!” kata Dahlia sambil menepuk jidatnya.
“Aku paham, Dahlia,” tukas Chandrawati tiba-tiba, “Aku paham apa yang Nandi rasakan. Aku paham mengapa ia memilih jalan ini.”
Semua yang hadir di ruangan itu mendelik kepada wanita lanjut usia itu.
“Jadi maksud Nenek, kita harus biarkan Nandi sehari-hari menjadi buruh kasar di kuil?” ujar Sumitra sedikit emosi.
“Bukan buruh kasar! Nirvataka! Sepicik itukah pandangan kalian terhadap Nirvataka? Aku adalah mantan Khadara dan aku sangat mengerti akan segala macam ketenangan batin yang tidak akan kita dapatkan di luar kuil! Nandi, kau merasa nyaman di sana bukan? Tak bisakah kalian biarkan dia bahagia? Tegakah kalian menyeret saudaramu yang sudah menemukan kebahagiannya bersama dengan dewa-dewi ke dalam dunia yang pernah menderanya sampai nyaris membawa dia ke titik terbawah?”
Sumitra terdiam, sementara di sampingnya Wima yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara, “Apa Kak Nandi benar-benar bahagia di sana? Ataukah Kak Nandi hanya takut menantang dunia lagi?”
Kau sudah siap untuk menantang dunia, Nandi.
Lagi-lagi kata-kata itu lagi. Kepala Nandi penuh dengan pertanyaan. Mengapa orang-orang yang dekat dengannya selalu saja mengatakan tentang ‘menantang dunia’?
*****
Nandi akhirnya kembali pulang ke kuil dengan menaiki KRL jurusan Jakarta Kota di stasiun Rawabuntu tepat pukul 13.55. Di kepalanya kini berkecamuk berbagai macam pikiran. Kemunculan Patriakh aneh di Stasiun Rawabuntu serta kata-kata Wima dan Patriakh Soemarsono mengenai ‘menantang dunia’. Nandi merasakan sesuatu yang aneh dan di luar nalar terjadi padanya saat ini. Tampaknya Maina dan Dewan Agung memberinya sebuah petunjuk akan suatu hal yang harus ia lakukan.
*****
Ketika Nandi hendak beranjak pergi dari rumah itu, Wima bergegas menyusul Nandi.
“Ada apa Wima?”
“Ada yang hendak aku sampaikan.”
“Apa itu?”
“Kak Nandi! Bulan Juni nanti aku diwisuda. Apa Kakak bisa datang?”
“Juni? Hmmm,” Nandi tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk, “Aku pasti datang.”
“Janji?”
“Aku janji!”
*****
Baru saja Nandi menyudahi lamunannya mengenai Wima, tiba-tiba Nandi merasakan bahwa waktu kembali berhenti. Nandi langsung bangkit dari tempat duduknya, melihat ke kanan dan ke kiri. Lalu mencubit pipinya.
“Sakit!” gumamnya, “Ini bukan mimpi!”
Nandi melihat bahwa seluruh penumpang membeku di tempatnya masing-masing. Masih tidak percaya, Nandi berjalan menuju ke gerbong berikutnya dan mendapati suasana serupa. Seluruh penumpang telah membeku dan jarum jam tidak berhenti.
“Ada apa ini sebenarnya?” gumam Nandi.
Sebuah suara terdengar dari balik punggungnya, “Masih berlindung di bawah naungan cahaya, Nandi?”
“Siapa?” Nandi segera membalikkan tubuhnya dan melihat seorang pria berwajah Timur Tengah - berjanggut tipis, dan berkemeja coklat - tengah berdiri di antara penumpang-penumpang kereta yang diam membeku.
“Anda siapa?” tanya Nandi.
“Aku adalah kawan.”
“Kawan?”
“Dan aku kemari hendak menyampaikan satu pesan,” pria Timur Tengah itu sembari berjalan mendekati Nandi.
“Pesan? Apa maksud anda?”
“Pesan!” jawab pria itu datar sembari menyentuh dahi Nandi dengan tiga jari tangan kanannya, “Bangunkan kembali indra yang tertidur itu, Mahija Nandi! Lalu lihatlah sendiri!”
Nandi merasakan sensasi seakan jiwanya ditarik paksa dari tubuhnya dan masuklah ia ke sebuah tempat penuh cahaya. Dilihatnya Wima dan Sumitra, kedua saudaranya, sedang duduk santai di sebuah taman dan berbincang. Tapi… sesaat kemudian datanglah seorang pria botak berpakaian hitam-hitam mendatangi kedua saudaranya dan… menembak mereka berdua tepat di kepala. Jasad mereka berdua ambruk tak bernyawa sementara darah dan otak mereka berhamburan mengotori sebuah batang pohon dan rerumputan di bawahnya..
“Tidak! Tidak! Ini… tidak mungkin!” pekik Nandi yang berlari ke arah kedua saudaranya itu. Namun langkahnya terhenti oleh seringai licik sang pembunuh. Wajah itu… wajah yang ia kenali bertahun-tahun yang lalu. Wajah pria yang menabrak ayahnya di Kebun Binatang Ragunan. Wajah itu… memancarkan aura membunuh dan kekejian yang luar biasa. Nandi terpaku dalam ketakutan yang menjalari seluruh tubuhnya dan…
“Stasiun Grogol! Stasiun Grogol!” Nandi terbangun ketika seorang satpam meneriaki para penumpang bahwa mereka sudah tiba di Stasiun Senen.
“Mimpi?” gumam Nandi sembari menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangannya.
“Bukan mimpi, Nandi,” ujar suara yang seolah berasal dari dalam kepalanya. Suara yang sama dengan pria di dalam mimpinya. Nandi melihat ke arah pintu keluar dan mendapati pria Timur Tengah yang ditemuinya dalam mimpi tadi melambaikan tangan padanya.
“Hei!” Nandi bergegas keluar dari kereta, hendak mengejar pria tersebut, namun pria itu sudah menghilang.
“Ke mana gerangan dia?” gumam Nandi, tapi belum sempat ia berpikir kembali, operator sudah menyerukan pengumuman bahwa KRL yang Nandi tumpangi itu sudah hendak berangkat lagi. Maka bergegaslah Nandi masuk kembali ke dalam kereta.
*****
Alam Semesta Versigi
Tanah Abang, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 22 Februari 2012, pukul 23.00
Nandi dan Sahere baru saja selesai menata lilin-lilin di ruang upacara bersama Sahere sebagai persiapan untuk upacara api. Seusai meletakkan lilin terakhir, Sahere tampak duduk di sebuah bangku dan bersandar santaidan tak sampai semenit kemudianterdengar suara dengkur dari mulut pria paruh baya itu.
Nandi yang masih sibuk membersihkan karpet dengan sapu pendek segera bangkit begitu mendengar suara dengkur Sahere. Ia berjalan ke sisi selatan kuil dan mengambil sehelai selimut dan kembali menuju tempat rekan kerjanya itu tertidur. Ia selimuti tubuh pria tua itu supaya terlindung dari dinginnya udara malam hari lalu meneruskan menyapu karpet.
“Masih terjaga, Nandi?” suara seorang wanita paruh baya terdengar dari arah pintu masuk. Orang itu adalah Matriakh Sara.
“Karpet ini belum bersih benar, Amma.”
“Tak usahlah kau bersihkan karpet itu sampai lunas. Kurasa karpet itu sudah cukup bersih. Tidurlah!”
“Saya belum dapat memejamkan mata, Amma.”
“Kau ada masalah, Nandi?”
“Tidak… tidak ada, Amma. Hanya belum dapat memejamkan mata saja,” Nandi berbohong kepada Sang Matriakh.
“Oh begitu… cepatlah tidur jika kau sudah mengantuk! Kau boleh temani Sahere tidur di sini jika kau mau.”
“Baik, Amma.”
“Selamat malam, Nandi.”
“Selamat malam juga, Amma.”
Sepeninggal Matriakh Sara, Nandi menghadap ke arah altar kuil. Perlahan-lahan ia dekati altar itu lalu bersimpuh di hadapan altar sambil menitikkan menangis. Bulir-bulir air mata dan peluh berjatuhan ke karpet merah di bawahnya.
Wahai Maina Yang Agung
dan Sang Penabur yang menciptakan manusia
Tunjukkan padaku jalan mana yang harus aku tempuh
Aku tersesat dan buta. Aku hilang arah.
Dan aku sama sekali tidak tahu harus ke mana.
Kurasakan bahaya mendekat. Mendekat dan makin mendekat.
Mendekati keluargaku. Sang iblis itu kembali!
Aku memohon kepada
Ayah Hutan yang menaungi segala pepohonan,
dan Ibu Bumi yang memahat dataran-dataran
lindungilah aku dari segala serangan dan bujuk rayu para iblis
sebab aku ini hina dan lemah
tiada kekuatan dalam diriku.
Aku berdoa kepada Putra Langit
lindungilah segala yang tersisa dari keluargaku.
Jangan sampai ‘ia’ datang kembali.
Tidak padaku dan tidak pada dua saudaraku.
Alam Semesta Versigi
Tanah Abang, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 24 Februari 2012, pukul 20.00
Patriakh Sumarsono mengetuk-ngetuk pintu kamar Nandi, mengejutkan pemuda yang sedang sibuk membaca sebuah buku itu. Ia segera menutup bukunya dan berjalan ke arah pintu gubuknya lalu membukakan pintu bagi Sang Patriakh.
“Ada tugas untukmu, Nandi. Dan tugas ini sangat rahasia. Kenakan pakaian terbaikmu dan ikuti aku!” ujar Sang Patriakh.
Nandi mengernyit bingung, “Tugas? Apa maksud Abba?”
“Dunia ini membutuhkanmu. Sekarang diamlah dan ikuti aku.”
“Sebentar Abba,” Nandi segera menutup pintu gubuknya, melepas pakaian yang ia kenakan dan menggantinya dengan setelan sebuah T-shirt hitam dan celana panjang hitam. Ia ambil pula sebuah jaket abu-abu miliknya yang telah lama tidak ia pakai kemudian keluar menemui Sang Patriakh.
“Rapi sekali!” komentar Soemarsono.
“Sungguhkah itu, Abba?”
Patriakh itu hanya tersenyum saja lalu segera berbalik badan dan berjalan ke arah gerbang kuil diikuti Nandi di belakangnya.
Alam Semesta Versigi
Wilayah Kota Tua, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 24 Februari 2012, pukul 23.00
“Kota tua?” celetuk Nandi ketika bus Trans Jakarta yang mereka tumpangi menurunkan mereka di halte Kota Tua.
“Di sinilah kau akan menentukan takdir dunia ini ke depannya, Nandi,” ujar Soemarsono yang langsung berjalan cepat ke arah Museum Jakarta.
“Takdir dunia?” tanya Nandi yang sudah menyusul Soemarsono.
“Dunia ini sedang menghadapi ancaman terbesarnya, Nandi. Tidak akan ada satupun insan yang mampu menghentikan bencana itu. Tidak dengan para Patriakh dan Matriakh, para politikus, dan para prajurit-prajurit tangguh dari medan perang.”
“Ancaman apa yang Abba maksud?”
“Aku tak bisa menjelaskannya lebih jauh. Merekalah yang akan menjelaskannya kepadamu,” Soemarsono menunjuk ke arah sekelompok orang bertudung yang berdiri di seputaran alun-alun kota tua.
“Kita bertemu lagi… Mahija Nandi!” ujar salah seorang dari antara mereka yang mengenakan tudung merah.
Mata Nandi sedikit membelalak melihat sosok itu. “Patriakh… Berjubah Merah!” gumam Nandi dalam hati.
“Ya, aku adalah yang menemuimu di Stasiun Rawabuntu.”
“Siapa kalian?” tanya Nandi penuh kecurigaan.
“Mungkin kau juga mengenaliku, Nirvataka Nandi?” ujar seorang dari antara mereka yang menyibakkan tudung kepalanya, menampakkan sesosok gadis Eropa yang tak lain adalah Helena.
“Helena Meer?” seru Nandi tak menyangka akan bertemu gadis itu kembali.
“Jadi dia orangnya?” ujar salah seorang dari antara mereka.
“Errr… dalam bayanganku dia jauh lebih tua dan keren,” timpal seorang yang lain lagi, seorang pemuda berkacamata.
Nandi melirik ke arah Soemarsono, “Sebentar Abba. Bisa tolong Abba jelaskan apa maksud semua ini?”
“Sudah kukatakan bukan? Mereka yang akan menjelaskan perihal ini padamu.”
“Siapa sebenarnya mereka ini? Para Prajurit Dewa Paravandaah[3]?”
“Bukan siapa-siapa,” pria berjubah merah itu langsung mendekati Nandi lalu membekap mulut dan hidung pemuda itu dengan sapu tangan.
“HMPFFFF!!!!” Nandi meronta, mencoba melepaskan diri, namun akhirnya ia terkulai lemas, tak sadarkan diri.
“Terima kasih atas bantuanmu, Patriakh,” pria berjubah merah itu menundukkan kepala dengan penuh rasa hormat.
“Aku hanya melakukan yang aku dapat. Untuk selanjutnya aku serahkan semuanya pada kalian.”
[1] Panggilan untuk Matriakh.
[2] Upacara api : bagian dari peribadatan Paravandaah, Agani, di mana sisi-sisi kuil akan dihias oleh lilin-lilin yang terus dijaga untuk tetap menyala selama peribadatan. Peribadatan ini adalah pemujaan terhadap api sebagai simbol energi dari semesta.
[3] Prajurit militer yang berada di bawah Hierarkis Paravandaah. Sama seperti Knight Templar pada masa Perang Salib
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top