BAB IX: PEMEGANG KANISTARA

 

Alam Semesta Valhalla

            Tampak dua orang tampak bertarung di sebuah padang rumput yang dihembusi angin sepoi-sepoi. Yang satu adalah seorang pria berwajah Timur Tengah sementara yang satu adalah seorang pemuda berwajah Melayu. Kedua orang itu tampak saling beradu pedang. Sang pria Timur Tengah tampak memegang sebuah scimitar yang seluruhnya berwarna hitam sementara lawannya tampak memegang sebuah sundang lurus yang bilahnya dipenuhi ukiran-ukiran tulisan Sansekerta.

            KLANG!  Kedua senjata itu beradu dan memercikkan pijar-pijar api yang langsung padam begitu menyentuh tanah. Kembali lagi kedua senjata itu berbenturan lalu sekali lagi dan sekali lagi. Sekilas saja orang pasti sudah bisa melihat bahwa si pemuda Melayu itu sedang terdesak.

            “Ayo Nandi! Ayunkan senjatamu lebih kuat lagi! Jangan kau bertarung seperti anak gadis perawan!”

            “Pedang ini berat sekali Haris!”

            “Tentu saja berat. Ini kan senjata perang! Bukan mainan!”

            “Otot-otot tanganku serasa mau putus. Sudah empat jam aku menggenggam pedang ini. Boleh aku istirahat?”

            “Tidak!” sang pria Timur-Tengah kembali melancarkan sebuah tusukan ke arah Nandi, kali ini senjata itu sukses menembus bahu Nandi, membuat pemuda itu meringis menahan sakit sebelum akhirnya sebuah tendangan mengenai dagunya dengan telak.

            “Kalau kau bertarung dengan cara seperti itu, aku jamin tak sampai satu jam, lawanmu akan membunuhmu!”

            Nandi tidak menjawab, masih dengan memegangi bahunya yang luka, ia bangkit berdiri dan mengarahkan ujung pedangnya sekali lagi pada Haris.

            “Oke … tetap melawan? Setidaknya ini permulaan yang bagus!” tandasnya sembari menghujani Nandi dengan sabetan-sabetan scimitar-nya yang menari-nari anggun.

Alam Semesta Versigi

Taman Umum Gatot Subroto, Surabaya, 23 Agustus 2012.

 

            Seorang pemuda berusia 20 tahunan dengan rambut panjang yang dikuncir ekor kuda duduk bersama dengan seorang remaja berseragam SMA. Mereka adalah Sumitra dan Wima, kedua pemuda itu duduk-duduk di sebuah taman, taman yang penuh pepohonan, di tengah kota Surabaya. Taman itu bernama Taman Gatot Subroto, sebuah taman kota dengan patung Jendral Gatot Subroto di tengahnya. Suasana taman itu cukup ramai sore ini.

            “Apa yang hendak kau bicarakan, Kak?” tanya Wima.

            “Sesuatu … yang seharusnya kita beberkan kepada dunia sejak lama. Sesuatu yang tersimpan di dalam rumah kita, sesuatu yang begitu berharga.”

            “Apa itu?”

            “Itu adalah dokumen …,” kata-kata Sumitra tak sempat selesai ketika ia dan adiknya melihat seluruh manusia yang hadir di taman itu tiba-tiba ambruk satu demi satu. Pada akhirnya hanya mereka berdua sajalah yang masih tersadar.

            “Kenapa mereka?” tanya Wima.

            “Aku tidak tahu,” jawab Sumitra yang langsung menghampiri seorang bapak yang tubuhnya tersandar di sebuah pohon. Ditekannya 3 jarinya ke leher bapak tersebut.

            “Masih hidup,” ujar Sumitra spontan.

            “Tapi kenapa …?” sahut Wima yang langsung terpotong oleh kata-kata seseorang.

            “Terkejut, anak-anak?” tukas seorang lelaki berkepala plontos.

            Kedua saudara itu langsung memalingkan wajah mereka ke arah pria yang menghampiri mereka itu.

            “Siapa anda?” tanya Sumitra.

            Tapi orang itu tak berkata apa-apa lagi. Secara tiba-tiba orang itu sudah berdiri di hadapan Sumitra.

            “Namaku Calya,” ujar Calya yang langsung mencengkeram kerah baju Sumitra dan menghempaskan tubuh pemuda itu ke batang sebuah pohon beringin.

            “Kau harusnya jadi anak baik yang sekedar pergi kuliah dan tidur di rumah saja, Nak. Tak perlu turut serta dalam ajang-ajang demonstrasi macam yang kau lakukan tempo hari. Demonstrasimu kemarin itu sangat menyinggung perasaan Tuanku. Dan …,” Calya tersenyum keji, “Tuanku ingin namamu tertulis di batu nisan marmer sementara dokumen itu hancur dibakar api.”

            “Kau mengancamku, Tuan?” jawab Sumitra sengit.

            “Aku tak pernah mengancam, Nak. Aku bertindak!” Calya kembali menyeringai keji.

            “Lepaskan dia!” jerit Wima sambil membawa sebuah tongkat kayu, yang ia pungut di jalanan.

            “Ow … ow … ow, rupanya si kecil ini juga mau bertarung? Kalian anak-anak Adhibratha Mursito memang seperti ayah kalian, seluruhnya seorang pemberani. Kakak kalian, Sanjaya, juga seorang pemberani. Tapi tahukah kalian apa nasib mereka? Mati di tanganku! Ha .. ha .. ha!!” Calya tertawa keras-keras.

            KRAK!

            Wima memukulkan tongkat kayu itu pada pelipis Calya, tapi pukulan itu sama sekali tidak meninggalkan bekas. Lecet pun tidak.

            “Kurang keras, Nak!” Calya menyeringai ke arah Wima dan sesaat kemudian ia membanting tubuh Sumitra ke tanah dan membenturkan kepala Sumitra ke pavingstone berkali-kali dengan kekuatan yang luar biasa.

            “Tidaaak!! Kak Sumitra!” Wima melayangkan sebuah pukulan ke perut Calya tapi Calya segera berbalik, menghadap ke arahnya dan mengibaskan pukulan remaja SMA itu serta menendang Wima tepat di ulu hati hingga ia terjengkal.

            “EGH!” Wima mengerang kesakitan.

            “Keluarga Adhibratha Mursito… semuanya merepotkan. Ayah dan anak sama saja. Sebaiknya … kuhabisi saja kalian semuanya di sini,” Calya kembali melempar seringai liciknya.

            “DOR!” suara sebuah pistol terdengar di area taman itu. Suara itu seharusnya menjadi pertanda terakhir kehidupan Wima Tirtabhani. Tapi ternyata tidak. Sebuah dinding batu telah terbentuk di hadapan Wima dan melindunginya dari terjangan peluru tersebut.

            “Siapa …?” Calya terkejut bukan kepalang melihat ada sebuah dinding batu yang terbentuk seperti itu.

            DOR!! suara sebuah tembakan terdengar dari belakang Calya. Sebuah peluru menembus kepalanya.

            “Arrggh! Sialan! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?”

            “Aku!” jawab sosok yang keluar dari balik pepohonan.

            “Kak Nandi!” mata Wima melotot tidak percaya melihat sosok yang muncul di hadapannya.

            “Kau sudah kelewatan, Calya!” sahut Nandi yang masih menodongkan sebuah revolver P3 pada Calya.

            “Mantel itu … seperti milik Elang Hitam,” sahut Calya.

            “Benar Calya, mantel ini miliknya begitu juga revolver ini.”

            “Dan siapa kau?”

            “Namaku Mahija Nandi, dan aku kemari untuk membunuhmu!”

            “Membunuhku? Ha ha ha! Bisa apa bocah macam kau? Dan apa urusanmu dengan bocah-bocah ini, hah?”ejek Calya.

            “Barangkali telingamu sudah tuli, Calya. Atau kau adalah seorang iblis yang amat bodoh. Tapi baiklah kutegaskan saja : jauhi saudara-saudaraku!”

            “Saudara-saudaramu? Aaahh! Kau si anak haram itu ya?”

            “Pergilah sekarang, dan kau tak akan kubunuh!”

            “Bahkan Elang Hitam pun tak akan bisa membunuhku! Tak ada manusia yang bisa membunuhku! Justru kau … yang akan jadi santap malamku hari ini!”

            “Aku meragukannya,” ujar Nandi sembari menghunus sebuah pedang yang sedari tadi tergantung di pinggang kirinya.”

            Calya memijit-mijit dagunya selama beberapa saat, “Hooo? Kau punya pedang yang bagus, Nak!”

            Empat detik kemudian Calya langsung maju dan menghantam pedang Nandi dengan kepalan tangan kanannya. Tabrakan energi kinetik Calya dengan energi potensial milik Nandi menghasilkan suatu ledakan yang melemparkan Calya sejauh dua meter.

            Nandi menatap ke arah Wima, “Wima! Panggil bawa Kak Sumitra pergi dari sini dan panggil ambulans!”

            Wima yang masih meringkuk ketakutan langsung menjawab, “I … iya!” remaja itu langsung memapah Sumitra yang tak sadarkan diri dengan luka-luka di wajahnya itu pergi dari tempat itu.

            “Hei! Mau ke mana kalian?” hardik Calya yang langsung melempar sebuah pisau ke arah Wima. Wima pun langsung memejamkan matanya, pasrah akan nasib. Tapi dua detik kemudian terdengar suara sebuah logam yang saling berbenturan. Wima membuka matanya dan dilihatnya Nandi sudah menangkis serangan Calya dengan pedangnya itu.

            “Lari Wima!” seru Nandi.

            “Ba .. baik!” sahut Wima yang langsung berusaha berlari sambil tetap memapah Sumitra.

            “Kau … kurang ajar! Apa itu tadi?” bentak Calya yang mulai marah. Wajahnya memerah, tanda bahwa dia sangat murka.

            “Kau tidak perlu tahu, Calya!” jawab Nandi dengan sorot mata tajam dan nada datar.

            “Baiklah … sepertinya aku harus melakukan ini ….,” Calya kembali mengucapkan mantra-mantra yang ia pakai untuk melawan Sanjaya.

Wahai kekuatan malam

Aku memanggilmu

atas dasar hak yang diberikan padaku

O segel 6 kekuatan semesta

Cyric, Agator, Azuth, Siamorfi, Hass, dan Zorn

kembalikanlah padaku apa yang menjadi hakku

supaya sejak malam ini hingga sepanjang abad

jeritan musuhku akan tertelan kelamnya …

wujud asliku.

 

            “Bagus! Itu yang sudah kutunggu-tunggu!” gumam Nandi dalam hatinya.

            Sosok Calya kini berubah sosok setinggi 4 meter dengan kuku-kuku panjang yang tumbuh dari ujung-ujung jarinya. Tangannya yang pucat, kurus dan keriput kini berubah menghitam, dari punggungnya muncul dua buah sayap seperti sayap kelelawar sementara kepalanya terbelah menjadi dua dan dari dalamnya muncul kepala baru dengan wujud yang amat mengerikan, sebuah sosok seperti wajah manusia yang sudah rusak tanpa mata dan hidung-digantikan oleh sebuah lubang hitam yang seakan hendak menyerap jiwa siapapun yang menatapnya. Mulut wajah tersebut layaknya bibir seorang wanita tetapi hitam kelabu, kulit wajahnya pun turut pula menjadi kelabu layaknya abu sisa pembakaran.

            “Mati kau!” teriak Calya sembari menyabetkan tangan kanannya ke arah Nandi.

            “Bangun … Kanistara!” ujar Nandi sesaat sebelum tangan itu mencapai dirinya.

            “EAAAAA!!!!!” sosok Calya yang telah berubah menjadi iblis itu menjerit-jerit ketika tangannya menghantam sebentuk batu cadas yang sisi-sisinya dipenuhi bebatuan tajam mirip pisau.

            Nandi menghujamkan pedang yang ia panggil Kanistara tadi ke dalam tanah dan sekejap kemudian timbul sebuah retakan di atas tanah yang Calya pijak, sehingga tubuhnya terperosok sampai pinggang. Belum sempat Calya pulih dari rasa terkejutnya itu, Nandi maju dan mengayunkan Kanistara ke arah tangan kanan Calya sehingga tangan itu putus, jatuh berdebam ke aras tanah.

            “Eargh! Siapa kau sebenarnya?” wajah mengerikan itu tampak meringis.

            “Aku? Aku adalah pria yang akan membunuhmu!”

            “Sebentar anak muda. Bisakah kita buat perjanjian? Aku mengincar mereka bukan karena dendam, tapi karena tuanku memerintahkanku. Jika aku kau lepaskan maka aku janji tidak akan memburu mereka lagi.

            “Tuanmu dan dirimu sama saja, Calya. Tidak beda dalam sifat, hanya beda dalam wujud dan kekuatan. Kau abdikan dirimu padanya untuk kau nikmati jiwanya suatu saat nanti bukan? Kau bunuh ayahku dan Sanjaya karena kau menyukainya bukan? Kau menyukai darah dan jantung orang-orang benar yang melawan. Kau selalu nikmati momen-momen saat mereka mati dalam derita. Dengan kondisi semacam itu … sangkamu aku akan biarkan kau melenggang pergi begitu saja? Maaf Calya, perjalanan hidupmu … cukup sampai di sini saja,” ujar Nandi yang mengangkat Kanistara tinggi-tinggi dan langsung ia hantamkan ke tanah di hadapannya sehingga timbul sebuah patahan di tempat Nandi berpijak. Patahan itu meninggi, membentuk suatu pijakan yang lebih tinggi daripada permukaan sekitarnya, dan baru berhenti saat Nandi sudah dapat mencapai kepala Calya.

            “Selamat tinggal, Calya, Si ‘Siluman Malam’!” Nandi bersiap menyabetkan Kanistara untuk memenggal kepala iblis itu namun …., sebuah bola api menyambar punggungnya dari belakang dan membuat Nandi terjatuh dari pijakannya.

            Tubuh pemuda itu mengantam permukaan pavingstone yang keras, menimbulkan rasa nyeri di tulang belakangnya. Didongakkannya kepalanya ke atas untuk melihat siapa yang sudah menembaknya. Ia mendapatkannya, sesosok pria dalam zirah warna perak dan empat sayap mirip sayap garuda namun terbuat dari bahan semacam logam telah melayang dengan angkuh di hadapannya.

            “Ooohh, para Contra Mundi telah mengirimkan petarungnya,” ujar sosok itu yang tak lain dan tak bukan adalah Agara.

            “Agara, Za’in Versigi, mau apa kau menghalangi urusanku dengan iblis itu?” hardik Nandi dengan mata melotot. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasakan amarah yang luar biasa meluap-luap dalam dadanya. Rasa amarah pada Calya atas kematian orang-orang yang ia kasihi dan pada Agara yang sudah menyela pertarungannya dengan Calya.

            “Aku masih ada urusan dengan Calya. Karena itu kau tak boleh membunuhnya,” jawab Agara tenang namun dengan kesan angkuh terselip dalam setiap intonasinya.

            “Berarti aku harus menyingkirkan dirimu dahulu ya?” ujar Nandi sambil menuding Agara dengan pedangnya.

            “Aku terima tantanganmu, …. Contra Mundi.”

            Nandi segera mengambil kuda-kuda lalu menyerang ke posisi kiri Agara. Disabetkannya Kanistara ke arah tangan kiri Agara, namun Agara secara tak terduga, dengan tenang mengulurkan telapak tangan kirinya ke hadapan bilah pedang Kanistara. Kanistara seolah membentur dinding yang tak terlihat.

            Nandi yang sadar melihat kondisi seperti itu cepat-cepat melangkah mundur untuk mengantisipasi serangan balasan. Tapi Agara dengam cepat melayangkan pukulan yang amat telak ke ulu hati Nandi dan membuat pemuda itu terlempar cukup jauh sebelum membentur sebuah pohon.

            “Huk … uhuk!” Nandi terbatuk-batuk sesaat, darah segar mengalir dari mulutnya, dan dadanya kini terasa amat nyeri. Dihujamkannya Kanistara ke tanah untuk membantunya menumpu dirinya saat mencoba bangkit.

            Ketika ia sudah berdiri, pandangan matanya menerawang ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Agara. Tapi tidak dilihatnya lagi malaikat itu. “Nandi! Pakai Mata Saklas!” sebuah suara terdengar dari dalam Kanistara yang langsung dipatuhi oleh Nandi.

            Tapi meski ia sudah mengaktifkan indra istimewanya itu, Agara tetap tidak ia temukan sampai ketika ia berbalik badan barulah ia sadar … Agara sudah ada di belakanganya dan dengan senyum sinis kembali melancarkan hantaman tangan kanannya yang mematikan itu. Nandi menghindar dengan cara berguling ke kanan dan usahanya ini berhasil. Segera ia cabut revolver P3-nya dan ia tembakkan seluruh isinya ke arah Agara sambil berjalan mendekatinya.

            Agara yang disibukkan dengan rentetan tembakan itu tidak menyadari bahwa Nandi telah mendekat. Terkejut ketika ia sadar Nandi sudah berada di hadapannya, dihunusnya pedang bertipe claymore miliknya dan disabetkannya pedang itu ke arah Nandi. Tapi terlambat … Kanistara sudah berhasil menusuknya tepat di perutnya. Namun di sisi lain, senjatanya berhasil melukai Nandi dari bahu kanan sampai ke perutnya.

            Agara mundur dengan terhuyung-huyung lalu dengan marah berkata, “Aku tidak terima dengan kekalahan ini, Contra Mundi! Tunggulah! Pada saatnya nanti akan kucabik setiap serat ototmu dari tulangmu dan akan kusebarkan setiap serpihnya di kandang-kandang anjing!”

            “Heh! Banyak bicara kau!” ujar Nandi yang kondisinya sebenarnya tidak lebih baik.

            “Awas kau!” itulah kata-kata terakhir Agara sesaat sebelum menghilang.

            “Nandi melongok ke arah lubang tempat dia mengurung Calya tadi dan … lubang itu kosong. Calya sudah kabur entah ke mana.

            “SIIIIAAAALLL!!!! Kabur ke mana kau? Pengecut! Kembali kau!” jerit Nandi histeris di antara pepohonan Taman Gatot Subroto itu.

            “Nandi!” Kaspar tiba-tiba muncul di belakangnya.

            “Calya kabur dan Agara juga!” umpat Nandi kesal.

            “Aku tahu! Tapi lukamu harus segera diobati. Mari … aku bantu kau kembali ke Sarai.”

            “Tidak usah,” Nandi menampik tangan Kaspar, “Aku bisa jalan sendiri.”

            “Uh … oke kalau begitu. Ayo kembali. Helmut pasti sudah menunggu kita.”

            “Bagaimana kondisi Wima?”

            “Dia selamat. Seorang polisi sudah menemukannya dan membawanya ke Rumah Sakit.”

            “Syukurlah,” Nandi mencoba tersenyum, tapi rasa sakit di sekujur tubuhnya malah membuat senyumannya lebih mirip seringai.

            “Ayo!” ajak Kaspar.

            Kedua pemuda itu pun menghilang, masuk ke dalam gerbang dimensi.

*****

Alam Semesta Versigi

Hotel Satelit, Surabaya, 23 Agustus 2012.

            “Anak itu benar-benar telah menghajarmu, Calya,”  ujar seorang pria yang tengah menghisap sebatang rokok.

            Lawan bicaranya, seorang pria botak langsung bangkit dari dipan tempat ia berbaring, dipandanginya sebelah tangannya yang buntung dan sekujur tubuhnya yang penuh luka. Lalu dialihkannya pandangannya kepada sang pria yang tengah menghisap rokok, “Siapa anak itu sebenarnya?”

            “Kau pernah mendengar mengenai Contra Mundi, Calya?”

            “Contra Mundi?”

            “Berapa usiamu?”

            “Aku? 20.000 tahun, Agara.”

            “Tidakkah di tempat asalmu kau belajar mengenai eksistensi Contra Mundi?”

            “Tidak, aku bahkan tidak tahu siapa itu.”

            “Baiklah, Contra Mundi adalah entitas baru. Entitas yang terdiri dari manusia-manusia yang mencoba menghentikan penghancuran sebuah semesta. Dari setiap siklus kami memanen tujuh semesta. Kalian – legiun dunia bawah, bertugas memicu kehancuran siklus ini; sementara kami bertugas melakukan pemanenan. Tapi… jika Contra Mundi turut campur, kehancuran sebuah semesta bisa saja tertunda.”

            “Kenapa?” dahi Calya mengernyit.

            “Karena jika Contra Mundi turut serta dalam hal ini, maka kami harus menghadapi dahulu para Contra Mundi tersebut sebelum memulai ‘Panen Jiwa’.”

            “Dengan kekuatan kalian… aku rasa hal itu bukanlah masalah. Dia sendirian bukan?”

            “Sendirian ya, tapi ia tak akan semudah itu disingkirkan,” Agara berbalik menghadap Calya dan menunjukkan sebuah luka menganga di perutnya. Luka itu tak henti-hentinya mengeluarkan darah berwarna putih keperakan, yang menetes-netes di atas lantai kayu yang dilapisi karpet merah.

            “Dia menghajarmu juga ya?” Calya menyeringai ke arah Agara.

            “Ya!” jawab Agara datar.

            “Dia itu apa?”

            “Contra Mundi, seperti yang sudah aku katakan.”

            “Maksudku, apakah dia itu Nephilim[1] atau setengah-iblis?”

            “Dia manusia, masihlah manusia.”

            “Apa? Tak mungkin! Manusia itu lemah! Tak berdaya! Mana mungkin mereka bisa melukai makhluk-makhluk abadi macam kita?”

            “Kau salah, Calya. Manusia sebenarnya punya kekuatan setara kita, namun hal itu tak mereka sadari. Contra Mundi… adalah sedikit dari mereka yang menyadari kekuatan tersembunyi dalam diri mereka. Lagipula… Contra Mundi yang kita hadapi ini berbeda dari Contra Mundi dari Semesta lainnya.”

            “Ada lagi orang-orang seperti dia?”

            “Seharusnya ada 6 Contra Mundi lainnya.”

            “Uh… ada kabar dari kawan-kawan Za’in-mu?”

            “Kau mau dengar kabar baik atau kabar buruk dahulu?”

            “Kabar baik dahulu.”

            “Kabar baiknya : Za’in Arvanda dan Versigi masih hidup dan dalam keadaan cukup baik.”

            “Oke, dan Za’in Versigi kini berada di hadapanku sekarang. Kabar buruknya?”

            “Kabar buruknya adalah, para Contra Mundi telah mengalahkan Za’in Etria, Jara, Kasha, dan Avesta. Dan seperti yang kau tahu, Ahu-Tarakh, Za’in Sambala telah tewas di tangan Titik Nol.”

            “Astaga!” Calya bergidik ngeri.

            “Dan lebih buruk lagi… Contra Mundi yang kita hadapi ini adalah Pemegang Rajata[2]!”

[1] Setengah malaikat

[2] Rajata adalah senjata bernyawa, senjata yang memiliki sebuah ‘jiwa’ di dalam tubuhnya dan memiliki kekuatan di atas senjata-senjata normal. Dalam beberapa mitos Rajata disebut-sebut sebagai senjata para dewa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: