BAB IV : NIRVATAKA

Alam Semesta Versigi

Tanah Abang, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 9 Agustus 2010.

Setelah insiden 'pengusiran' dirinya oleh ibu tirinya yang selama ini ia anggap ibunya sendiri itu, Nandi memutuskan menumpang sementara di sebuah minimarket 24 jam milik kenalannya. Di sana ia tidur sambil duduk di atas kursi sembari menunggu pukul 4 tiba. Ketika jarum jam telah menunjukkan pukul 4 dan bus kota-bus kota mulai berlalu lalang, Nandi menaiki sebuah bus menuju Terminal Purabaya dan dari sana menaiki bus menuju Jakarta.

Perjalanan menuju Jakarta memakan waktu 40 jam. Menaiki bus ekonomi yang penuh sesak dan tanpa AC pula. Mula-mula ia naiki bus Mira menuju Caruban, dilanjutkan dengan bus Kencana menuju Yogyakarta dan terakhir bus Palapa menuju Terminal Pulogadung Jakarta.

Nandi tidak tahu kenapa ia memilih Jakarta sebagai tempat singgahnya, baru ketika ia turun dari bus barulah ia mengingat bahwa Om Juru, adik ayahnya tinggal di Tanah Abang. Nandi berpikir dapatlah ia menumpang satu-dua malam di rumah pamannya itu sembari menunggu ibunya tenang. Nandi pun tidak tahu apakah ibunya yang ternyata bukan ibu kandungnya itu mau menerimanya kembali. Hatinya hancur ketika mendengar bahwa ia adalah anak haram yang lahir dari perselingkuhan ayahnya dengan seorang wanita penghibur, hendak mencari ibu kandungnya pun percuma karena ibu tirinya jelas-jelas mengatakan bahwa ia sudah wafat, hendak tetap tinggal di Surabaya pun ia merasa sudah tidak berharga. Dengan gontai Nandi memutuskan mengisi perut dahulu di sebuah warung dan setelah itu pergi meninggalkan area terminal dan berjalan tidak tentu arah.

Nandi tiba di sebuah kuil Paravandaah dan di sana seorang Matriakh sedang berkotbah di pinggir jalan raya di depan kuil, mengingatkan orang-orang akan pahala dan karma yang akan mereka panen dari perbuatan mereka. Nandi memasuki pintu gerbang kuil, melepas alas kakinya di depan kuil kemudian dengan khidmat berjalan perlahan ke hadapan altar di mana sebuah patung wanita bertangan enam yang melambangkan Sang Penabur Benih terpajang.

Nandi berlutut pada sebuah bantalan merah di depan altar lalu dengan khidmat memulai doanya, "Wahai Penabur Benih Kehidupan Yang Agung, hamba di sini memohon petunjukmu atas jalan yang harus hamba tempuh setelah ini. Apakah hamba harus meneruskan perjalanan hamba dan menemukan sebuah keluarga baru? Ataukah haruskah hamba kembali dan memohon ampun atas kedurhakaan hamba pada ibu yang selama ini hamba anggap sebagai ibu kandung hamba? Berilah petunjukmu kepada hamba. Sebab hamba hilang arah, tak mengerti ke mana kaki ini harus melangkah, tak mengerti ke mana kepala ini harus menoleh."

Seorang Patriakh berusia lanjut yang baru saja selesai berdoa melihat Nandi yang sedang khusuk berdoa. Patriakh itu duduk di sebuah bangku panjang persis di belakang tempat Nandi berlutut. Dilihatnya baik-baik pemuda itu, tidak pernah dilihatnya pemuda itu sebelumnya dan di sini jarang sekali atau bahkan hampir tidak pernah ia lihat sosok pemuda atau pemudi yang berdoa di hari-hari biasa selain hari Sabtu dan Minggu.

Setelah Nandi selesai berdoa, Patriakh itu menghampiri Nandi dan menepuk pundaknya. Nandi yang terkejut langsung menoleh dan melihat Patriakh berusia lanjut dan berjanggut putih itu melempar seulas senyum padanya. Nandi pun membalas senyuman Sang Patriakh lalu dengan hormat mencium punggung tangan Sang Patriakh sembari berkata, "Terpujilah Sang Penabur Benih dan seluruh Dewan Agung[1] yang telah memberikan Abba[2] kesehatan serta saya ucapkan terima kasih atas kemurahan hati Abba memberikan penghiburan batiniah pada diri saya yang tak berharga ini."

"Anakku, aku melihat ada sebuah beban berat menggantung di benakmu. Ceritakanlah segala permasalahanmu padaku dan mungkin aku bisa membantu," kata Sang Patriakh dengan suara yang lemah lembut.

Nandi meragu untuk sesaat. Ragu untuk bercerita mengenai persoalannya kepada pria di hadapannya ini. Namun karena hatinya sudah perih menyimpan segala duka, Nandi pun memutuskan untuk menceritakan seluruh perjalanan hidupnya, mulai dari kematian ayahnya, penemuan fakta bahwa ia adalah anak haram, sampai dengan 'pengusiran' dirinya 2 hari yang lalu. Patriakh itu hanya manggut-manggut mendengar cerita dari Nandi. Tepat setelah Nandi menyelesaikan ceritanya, ponsel Nandi berbunyi nyaring. Nandi cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dan hendak mematikannya sebab ini adalah tempat ibadah tetapi Patriakh itu memberinya isyarat untuk menjawab panggilan itu.

Nandi pun bangkit berdiri lalu mohon pamit kepada Sang Patriakh, "Maaf Abba, saya permisi dahulu."

Patriakh tersebut mempersilakan Nandi untuk keluar dan tetap duduk di situ, menunggu Nandi sementara Nandi menerima panggilan telepon. Ketika sudah sampai di luar, dipencetnya tombol 'Answer' pada ponselnya dan di seberang sana terdengar suara Sumitra, "Nandi!"

"Ada apa, Kak?" tanya Nandi keheranan.

"Begini ... mengenai Mama ... ."

"Kenapa dengan Mama?" Nandi mulai mengkhawatirkan ibunya itu.

"Aku, Pak RT dan dokter Bianto sepakat memasukkan Mama ke RSJ kemarin."

Nandi sebenarnya terkejut bukan kepalang, namun ia berusaha menahan-nahan emosinya.

"Menurut psikiater yang kutemui Mama sudah mengalami depresi berat pasca kematian Papa. Seharusnya Mama tetap melakukan kontrol rutin setiap sebulan sekali karena beliau masih dalam masa terapi. Tapi sudah 4 ini tahun Mama tidak pernah melakukan kontrol lagi, tampaknya beliau berusaha sendiri mengatasi kehilangannya. Tapi kematian Kak Sanjaya kali ini membuat beliau menjadi lebih depresi daripada sebelumnya. Dokter Bianto dan psikiater yang kutemui menyarankan agar aku memutuskan memasukkan Mama ke RSJ karena melihat perlakuan Mama yang lepas kontrol kepadamu kemarin. Arrrgghh!! Semenjak kematian Kak Sanjaya aku berulang kali mengkhawatirkan kesehatan mental Mama, berulang kali aku khawatir Mama tidak akan kuat menyangga beban mental yang sebegitu dahsyatnya! Ternyata dugaanku benar dan aku tak bisa berbuat apa-apa!" Sumitra menjelaskan panjang lebar.

Sumitra segera menyambung penjelasannya, "Tapi aku yakin sebenarnya Mama tidak membencimu Nandi, jika saja bukan karena masalah gangguan jiwa ini aku yakin Mama akan tetap menganggapmu anaknya sendiri."

Nandi terdiam, tidak yakin akan kebenaran kata-kata Kakaknya itu lalu mengalihkan pembicaraan, "Kak, bagaimana kalian berdua menunjang hidup kalian?"

"Kita masih punya uang pensiun dari Papa kira-kira 2 juta sebulan. Aku akan mengelolanya supaya kuliahku bisa terus jalan dan Wima bisa tetap sekolah. Di samping itu aku juga akan mencari pekerjaan sampingan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari kami berdua dan ... biaya perawatan Mama. Tapi ... aku mohon maaf Nandi untuk dirimu ...," Sumitra tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya, di seberang sesekali terdengar suara Sumitra menahan isak tangisnya supaya tidak pecah.

"Aku tahu Kak. Aku tahu," kata Nandi mencoba menenangkan kakaknya, "Aku mungkin akan mencari pekerjaan untuk sementara waktu ini.

"Di mana kau sekarang?"

"Jakarta. Daerah Tanah Abang."

"Kamu sudah coba hubungi Om Juru?" tanya Sumitra.

"Belum tapi akan segera kulakukan. Aku akan hubungi kau lagi nanti. Terima kasih atas kabarnya, Kak."

"Jaga dirimu Nandi."

"Kamu juga Kak, sampaikan salamku untuk Wima."

Pembicaraan itu pun kemudian berakhir, Nandi memasukkan kembali ponselnya di saku celananya kemudian dipandanginya orang dan kendaraan yang berlalu lalang di depan kuil tersebut hingga tanpa ia sadari Patriakh yang tadi berbincang-bincang dengannya sudah berdiri di sampingnya. Nandi yang terkejut bukan kepalang buru-buru berdiri dan memberi salam pada Patriakh tersebut, "Abba!"

Patriakh tua itu kemudian bertanya dengan lembut, "Anakku? Maukah kau melayani kuil ini sebagai Nirvataka[3]?"

Nandi diam untuk sejenak, menjadi Nirvataka untuk beberapa saat mungkin adalah pilihan yang bagus. Dengan ini ia tidak perlu menumpang dan merepotkan orang lain, kebutuhan sehari-harinya pun lumayan terjamin, "Dengan senang hati Abba," jawab Nandi yang akhirnya mengiyakan saja tawaran Patriakh itu.

Patriakh tua itu mengulurkan tangannya kemudian bertanya, "Namaku Sumarsono dan siapa namamu Nak?"

"Mahija Nandi."

"Bagus, kau silakan temui Nirvataka Sahere di paviliun. Dia pasti senang akhirnya dapat tenaga bantuan," ujar Sumarsono.

*****

Dan mulai saat itu Nandi mengabdikan diri sebagai Nirvataka di kuil tersebut, ia membantu Nirvataka kuil sebelumnya yakni Antonius Sahere, seorang pria asal Pulau Flores yang mengabdi sebagai Nirvataka semenjak 15 tahun yang lalu. Sahere adalah seorang pria paruh baya berusia 60 tahunan. Ia sendiri sudah cukup tua ketika menjadi Nirvataka. Ketika itu ia sudah berusia 50 tahun ketika pertama kali mengabdi di sini. Ia mengabdi di sini karena kehilangan anak-istrinya dalam sebuah kecelakaan kapal, meninggalkan ia sendiri masih hidup namun sebatang kara. Dalam masa hidupnya yang sudah renta dan tanpa sanak saudara ini ia memutuskan mengabdi sebagai Nirvataka untuk mencari nirwana sekaligus mencari tempat berlindung di hari tuanya ini.

"Aku mengabdikan diriku di sini agar diriku selalu dekat dengan Maina[4] dan ketika ajalku sudah tiba nanti aku tak perlu menunggu dua kali terbenamnya Bagaskara[5] untuk menunggu berkat dari Patriakh ataupun Matriakh sehingga aku bisa langsung menghadap Maina," begitu Sahere selalu berucap.

Sahere dan Nandi, meski usia keduanya terpaut jauh namun keduanya boleh dibilang adalah kombinasi yang hebat dalam merawat kuil. Nandi sangat piawai dalam hal kelistrikan dan membersihkan tempat-tempat tinggi. Urusan seperti mengganti lampu dan memperbaiki kabel ekstensi serta membersihkan ukiran-ukiran pada balkon-balkon kuil yang tingginya ada yang mencapai 17 meter itu diserahkan Patriakh Sumarsono dan rekannya, Matriakh Sara, kepada Nandi. Pemuda itu mampu memanjat sampai ketinggian macam itu dengan lincah nan cekatan tanpa pernah merasa pusing atau gemetar. Sementara Sahere adalah tukang kebun yang tangkas dan handal. Ia mampu memotong rumput pada halaman yang seukuran lapangan futsal hanya dalam tempo satu jam dan hasilnya selalu rapi.

Alam Semesta Versigi

Tanah Abang, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 16 Agustus 2011.

Setahun sudah Nandi mengabdi menjadi Nirvataka di kuil ini. Tugasnya sebenarnya boleh dibilang lebih sebagai pekerja kasar daripada pelayan para pendeta. Pukul 4 pagi ia dan Pak Sahere sudah harus bangun, membasahi kain pel lalu mulai menyapu dan mengepel pelataran dalam dan altar kuil dilanjutkan dengan pelataran luar kuil. Setiap dua bulan sekali ia harus melepas karpet merah yang membentang sepanjang jalan dari pintu masuk menuju altar. Itu berarti ia harus melepas lakban perekat yang merekatkan karpet itu dengan lantai satu per satu dilanjutkan dengan menggulung karpet dan kemudian merendamnya dengan air sabun, menyikatnya dengan sikat ijuk lalu membentangkannya di pelataran depan kuil sampai kering.

Untuk urusan peliharaan kuil, ia harus memberi makan 4 ekor anjing bastar yang dipelihara oleh Patriakh Sumarsono dan Matriakh Sara. Terkadang Nandi bisa saja menghabiskan waktu istirahat siangnya hanya untuk memberi makan dan bercanda dengan keempat anjing itu. Adapun untuk urusan perawatan tanaman dan kebun sayuran yang berada di belakang kuil diurus sendiri oleh Patriakh Sumarsono dan Matriakh Sara. Kedua pendeta itu tetap menjalankan kode etik mereka yakni tetap bekerja layaknya umat biasa, suatu hal yang sudah jarang ditemui Nandi pada Patriakh dan Matriakh di tempat lain.

Kau masih memuja cahaya, Nandi?

Cahaya suci dari Ilah-Ilah yang tidak jelas keberadaannya itu.

Cahaya suci yang diagung-agungkan oleh para Patriakh dan Matriakh!

Nandi masih ingat ketika ia dan Sanjaya berdebat soal 'memuja cahaya' di depan pusara ayah mereka. Nandi merenungkan bahwa Sanjaya ada benarnya juga, tidak semua pendeta jujur, sebagian arogan dan ada pula yang korup. Investigasi Sanjaya mengungkapkan bahwa Patriakh yang memimpin upacara pemakaman ayah mereka juga terlibat dalam sebuah kasus yang melibatkan ayah mereka sebagai saksi ahli. Pada akhirnya karma buruk tetaplah terpanen juga. Patriakh itu kini bukan lagi Patriakh, statusnya dicabut dan kini ia mendekam di balik jeruji besi khusus pengkhianat ajaran Paravandaah.

Tetapi di sini semuanya berbeda, Patriakh Sumarsono dan Matriakh Sara menunjukkan bahwa masih ada pendeta yang mengikuti kode etik dengan hidup sederhana dan turut pula merasakan penderitaan umat biasa dengan bekerja keras. Kedua pendeta ini pun dengan jujur dan terbuka mengakui bahwa sifat buruk seperti ketamakan dan arogansi sudah memasuki tatanan hierarkis Paravandaah, bahkan hingga Majelis Agung[6] dan Patriakh Pertama[7].

Nandi memutuskan untuk seterusnya mengabdi sebagai Nirvataka, sebab ia merasa nyaman bekerja di sini meski gajinya kecil tapi batinnya tenang. Di sini ia lebih banyak bisa berdoa pada Tuhan, berkumpul dengan muda-mudi yang mengikuti kegiatan kerohanian setiap Sabtu dan Minggu serta bermeditasi bersama para Kadhara[8] yang kebetulan berada di kuil tersebut untuk menjalani ritus akhir[9]. Alasan lain kenapa Nandi memutuskan tetap menjadi Nirvataka adalah kematian pamannya, Om Juru, tiga hari pasca kedatangannya di Jakarta ini. Janda Om Juru yang harus menghidupi dua anak, membuatnya ingat kembali pada ibu tirinya yang berjuang menghidupi empat anak sepeninggal ayahnya - dan karena hal itu pula ia tak mau menjadi beban bagi istri Om Juru dengan menumpang di sana.

Siang ini udara amat terik, Nandi dan Sahere baru saja selesai menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekeliling pekarangan kuil. Tepat pukul 12 kegiatan itu selesai sudah, Nandi dan Pak Sahere pun berteduh di pelataran depan kuil sambil sesekali mengibas-ngibaskan pakaian mereka yang kuyup oleh peluh. "Panas sekali hari ini," ujar Sahere mengomentari cuaca Jakarta yang memang panas sekali.

"Benar sekali, Pak," komentar Nandi.

"Kuil ini sudah punya 10 pohon besar semenjak 10 tahun yang lalu dan saat itu tidak pernah ada hawa sepanas ini!"

"Sepertinya masih ada es batu di dapur, Pak. Mau saya buatkan es teh?"

"Wah asyik itu Nandi. Tolong buatkan deh!"

Nandi bangkit dari duduknya lalu menuju dapur dan mulai membuat dua gelas teh manis hangat, kemudian diambilnya 6 balok es batu dari kulkas dan dicelupkannya ke dalam dua gelas teh tadi masing-masing tiga balok lalu dibawanya ke depan untuk dinikmati bersama Sahere.

Di tengah-tengah mereka berdua minum teh, Sahere melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12.30, "Sudah saatnya istirahat siang Nandi, kamu mau ke perpustakaan?"

"Ya Pak. Saya permisi dahulu."

Nandi pun pamit dan berjalan ke arah sebuah perpustakaan di dekat situ. Perpustakaan itu cukup besar dan lengkap, bukan perpustakaan milik pemerintah namun amat lengkap. Nandi mendorong pintu masuk yang terbuat dari kaca itu dan masuk ke dalamnya. Udara dingin dari AC yang terpasang dalam ruangan itu langsung menyegarkan tubuhnya yang kepanasan. Di sana seorang wanita yang tak lain penjaga perpustakaan itu langsung berdiri menyapanya, "Selamat datang Nirvataka Nandi, ada yang bisa saya bantu?"

"Saya hendak mengembalikan buku, Mbak," ujar Nandi seraya menyerahkan dua jilid novel yang dipinjamnya 2 hari yang lalu.

"Ada lagi yang mau dipinjam, Nirvataka?" tanya wanita itu ramah.

"Apa buku 'Aku Binatang Jalang - Chairil Anwar' dan 'Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1' sudah kembali Mbak?" tanya Nandi sambil menengok kanan kiri melihat deretan buku-buku bertopik politik dan sastra.

"Sejarah Nasional Indonesia Jilid I - Edisi Kebudayaan Megalitik ada di lantai 2 sementara yang satunya belum kembali . Apakah Nirvataka ingin saya mengambilkannya?"

"Biar saya ambil sendiri saja Mbak," jawab Nandi sambil tersenyum.

Nandi menaiki tangga ke lantai dua. Di sana ia langsung menuju rak buku-buku keluaran terbaru. Diambilnya buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid 1- Kebudayaan Megalitik itu lalu dibukanya halaman buku itu satu per satu, memeriksa apakah ada halaman yang cacat ketika pandangan matanya menangkap sesuatu. Nandi menoleh ke kanan dan di sana dilihatnya seorang gadis ekspatriat yang kira-kira seusia dirinya sibuk menelusuri satu demi satu buku-buku di sebuah rak. Sampai akhirnya ia menemukan buku yang tampaknya ia cari namun letak buku itu tinggi sekali, di puncak rak yang tidak bisa ia jangkau. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, mencari kursi atau sesuatu yang bisa ia jadikan pijakan ketika Nandi mendekatinya dan menyapanya, "Good afternoon, may I help you?"

Gadis itu terkejut dengan kedatangan Nandi namun akhirnya membalas sapaan Nandi, "Oh Good Afternoon! I am sorry I didn't see you before. Err, sorry may you pick that book for me?"

"Sure!" jawab Nandi sambil tersenyum dan meletakkan sebuah kursi di bawah rak tersebut lalu langsung memanjat kursi itu hingga ia dapat menggapai buku-buku di tumpukan paling atas.

"Which one I must pick?" tanya Nandi pada gadis itu.

"The Rubaiyat of Ommar Khayyam!" jawab gadis itu cepat.

"Here you are!" kata Nandi saat turun sembari menyerahkan buku itu. Dadanya bergemuruh melihat gadis ini. Baginya ia amat cantik dengan mata biru, kulitnya yang kemerahan, rambut pirang yang diikat ekor kuda serta kacamata bacanya. Tapi segera ditepisnya pikiran itu.

"Thank you very much!" gadis itu berterima kasih sambil tersenyum ramah, senyumnya makin membuat detak jantung Nandi tidak karuan.

Nandi dan gadis itu berjalan beriringan menuju tangga dan ketika sampai di ujung tangga, ia persilakan gadis itu untuk turun terlebih dahulu sementara ia menyusul di belakangnya. Ketika gadis itu telah selesai tiba di kasir ia kembali melempar senyum pada Nandi yang membuat Nandi makin salah tingkah karena dari tadi sibuk memandangi gadis itu meski pada akhirnya ia juga balas melemparkan senyum.

Saat gadis itu sudah pergi, Nandi bertanya pada wanita penjaga perpustakaan, "Siapa dia?"

"Oh, dia Helena Meer, siswa pertukaran dari Belanda yang belajar di sini. Ada apa Nirvataka? Kok sepertinya anda tertarik dengan dia? Apa anda mau mengakhiri masa-masa Nirvataka anda[10]?"

"Tidak, cuma penasaran," jawab Nandi tersipu lalu langsung kembali ke kuil.

Alam Semesta Versigi

Koa Tua, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 19 Februari 2011.

Museum Kota Tua tampak lengang, lampu-lampu di wilayah itu tiada satupun yang menyala oleh karena travo listrik untuk area itu terbakar. Sesosok pria muda botak dalam balutan jaket kulit hitam tebal berjalan di pelataran museum yang hanya diterangi cahaya rembulan. Dilihatnya kiri dan kanan dan didapatinya semua orang yang ada di sekitar museum ini tampak tertidur, ia dekati seorang satpam yang wajahnya tertempel di atas meja, diangkatnya kepala satpam itu dan betapa terkejutnya dia melihat satpam itu telah tewas. Mata satpam itu melotot dan dari dalam mulutnya keluar sekumpulan belatung disertai bau busuk yang menyengat.

Pria itu meletakkan kembali kepala satpam itu di atas meja kemudian mencabut sebuah revolver yang sedari tadi terselip sarung pistol di sabuk kanannya. Matanya menerawang tajam, mewaspadai setiap gerak-gerik yang ditangkap matanya sampai ketika sebuah suara tiba-tiba memecah kesunyian, "Masukkan pistol itu, Bung! Kau membuatku takut."

"Siapa kau? Tunjukkan dirimu!" hardik pria botak itu.

"Calya, Calya! Biasanya kau sangat humoris, tapi kenapa kali ini kau sangat beringas?" ledek seorang pria yang mengenakan mantel jas hitam dan topi berlogo sebuah merk pelumas - yang tiba-tiba muncul dari balik kegelapan.

Calya memasukkan kembali revolvernya ke sarung pistolnya dan berjalan mendekati orang misterius itu, "Kau membuatku kaget Agara! Ada apa gerangan sampai seorang malaikat datang kemari dan menemuiku?"

"Ada apa sebenarnya gerangan? Halloo? Menurutmu apa yang terjadi kalau aku sampai menemuimu Calya? Bahkan sampai menghabisi semua orang yang berada dalam radius 1 kilometer dari sini!"

"Perasaanku tidak enak. Ada yang tidak beres di sini," Calya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan resah.

"Tenang! Tidak ada garnisun malaikat surga dari tingkat berapapun di sini," ujar Agara menenangkan Calya.

"Apa yang terjadi, Agara?" Calya bertanya dengan panik.

"Titik Nol mengamuk," jawab Agara datar.

DEG! Mendengar nama itu Calya sampai mundur beberapa langkah. Kakinya gemetaran mendengar nama itu. Bukan hanya itu, terdengar pula giginya gemeretak tidak karuan.

"Aku tahu ini bakal jadi berita buruk bagi kita semua," ujar Agara lagi.

"Siapa yang menjadi korbannya?" tanya Calya masih menggigil ketakutan.

Agara menunduk lesu sebelum mulai menjawab pertanyaan Calya, "Ahu-Tarakh. Titik Nol menyerap seluruh kekuatannya dan mengubahnya menjadi manusia. Tapi tak berapa lama kemudian orang-orang yang pestanya dihancurkan Ahu-Tarakh memukulinya dan kemudian membunuhnya."

"Menurutmu Titik Nol juga memerintahkan mereka untuk membunuh Ahu-Tarakh?"

"Mungkin saja, Calya. Kita tahu bahwa sudah lebih dari 20.000 tahun Titik Nol tidak muncul ke permukaan. Tapi kini dia muncul lebih cepat meski periode siklus belum berakhir."

"Ia bahkan muncul sebelum waktu kita memanen semesta, Agara! Itu berarti sebentar lagi akan ada .... ."

"Kekacauan besar? Kalian berdua terlalu berlebihan!" tiba-tiba suara seorang bocah lelaki muncul di hadapan mereka berdua. Bocah itu tak lain adalah Alasdair.

Agara dan Calya hanya melongo melihat Alasdair muncul di hadapan mereka. Calya langsung berujar pada bocah itu, "Hei Nak! Aku tidak tahu siapa kamu tapi ini saranku : jangan pernah ikut campur urusan orang."

Di lain pihak Agara kini mulai resah, dalam hatinya timbul suatu pertanyaan, Bukankah seluruh manusia dalam areal ini sudah mati? Kenapa anak ini tidak terpengaruh?

Alasdair tersenyum mengejek sembari berujar, "Heran kenapa aku tetap hidup Agara, Calya? Bukankah malaikat dan iblis pun tak akan mampu melawan Titik Nol?"

Sebentuk petir nyaris menyambar kepala Calya dan Agara malam itu. Kedua malaikat dan iblis itu terkejut bukan kepalang menyadari bahwa bocah itu adalah Titik Nol. Calya semakin ketakutan dan secara diam-diam sudah mengucapkan mantra-mantra tertentu untuk melarikan diri dari situ.

"Heh, mau membuka portal dimensi Calya?" tanya Alasdair.

Pertanyaan Alasdair makin membuat kedua makhluk itu berdiri terpaku di tempat mereka masing-masing menjadikan suasana tempat itu semakin hening sampai akhirnya Alasdair mulai berucap kembali, "Aku membunuh Ahu-Tarakh karena dia merusak pesta seseorang yang sangat aku sukai. Jangan khawatirkan mengenai malam perjanjian. Sekarang belum saatnya. Calya, silakan kau kembali membunuh musuh-musuh dari manusia yang mengikat perjanjian darah denganmu. Agara, silakan kau kembali ke garnisunmu," dan sekejap kemudian Alasdair telah menghilang dari hadapan mereka.

Malaikat dan iblis itu saling berpandangan dan Agara mulai berujar terlebih dahulu, "Aku tidak percaya pada Titik Nol. Ia sedang merencanakan sesuatu dengan siklus ini."

Calya mengangguk dan kemudian menyahut, "Aku setuju denganmu kali ini, Agara. Menurutmu siapa yang bakal menjadi calon korban silih jika malam perjanjian akan benar-benar diadakan?"

"Berikan tanganmu, Calya!"

Calya mengulurkan tangan kanannnya dan kemudian Agara meletakkan tangan kirinya di atas telapak tangan Calya, "Aku membaca dan melihat ribuan nama. Dari sekian ribu nama manusia yang kau bunuh ada satu dari antara darah mereka yang akan menjadi korban silih."

"Siapa korban silihnya?"

"Darah sang ayah kau tumpahkan, darah anaknya pun kau tumpahkan, dan sekali lagi darah sang anak akan ditumpahkan. Apa kata-kata itu memiliki arti bagimu?"

"Tidak. Aku tak dapat mengingatnya. Terlalu banyak yang aku bunuh. Dan apa pula artinya itu?"

"Aku pun tidak tahu, Calya. Barangkali kau harus menelusuri memorimu kembali. Yang pasti jangan sampai 'Dia' datang kembali. Selamat tinggal," dan Agara pun meninggalkan tempat itu, hilang bersama angin meninggalkan Calya seorang diri. Dan sesudah Agara pergi, listrik di daerah itu pun menyala kembali. Kali ini Calya sudah pergi meninggalkan tempat itu pula.

Alam Semesta Versigi

Tanah Abang, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat, 20 Februari 2012.

Pagi ituPatriakh Sumarsono bangun lebih pagi daripada biasanya, dalam gelapnya pagi buta tanpa sinar matahari ia mengetuk pintu kamar Nandi yang berada di sebelah timur kuil.

TOK .. TOK ... TOK!!! suara ketukan itu membangunkan Nandi yang masih terlelap di atas dipan kayunya. Ya dipan kayu, seluruh penghuni kuil Paravandaah pantang tidur di atas kasur, tidak boleh memakai bantal ataupun guling, hanya selembar selimut atau sehelai sarung.

Dengan malas Nandi yang saat itu hanya dalam balutan kaus tipis dan celana pendek membukakan pintu dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Patriakh Sumarsono sudah berada di depan kamarnya.

"Astaga!Ada apa Abba pagi-pagi buta begini mendatangi saya?" tanya Nandi.

"Bergegaslah mandi dan temui aku di pintu gerbang. Aku akan memberimu pelajaran yang pastinya akan berguna bagimu."

Patriakh itu langsung pergi sementara Nandi dengan segera mengambil gelas, sabun, shampo dan pasta gigi lalu langsung menuju kamar mandi yang berada di bagian belakang kuil. Ia mandi cepat-cepat, kembali ke kamarnya, berpakaian rapi dan kemudian dengan terburu-buru mengenakan sepatunya menuju gerbang kuil. Di sana dilihatnya Sang Patriakh dalam balutan jubah coklat panjang dengan simbol matahari dan bulan pada dadanya sudah menunggunya.

"Ayo kita jalan," ajak Sumarsono.

Patriakh tua itu berjalan dengan cepat menyusuri gang-gang yang sepi dengan kecepatan berjalan yang boleh dibilang sangat cepat bahkan pemuda 19 tahunan seusia Nandi pun kesulitan mengikutinya. Nandi harus berlari-lari kecil untuk mengikuti irama jalan Sang Patriakh. Pada suatu persimpangan jalan yang masih sepi Patriakh itu menunjuk ke arah para pasukan kuning yang rata-rata terdiri dari ibu-ibu paruh baya sedang menyapu jalanan dari dedaunan kering dan sampah plastik bekas makanan dan minuman. Sumarsono bertanya pada Nandi, "Apakah yang dikatakan oleh Sakitabha[11] soal itu, Nak?"

"Mereka yang bekerja siang-malam untuk sesamanya lebih tinggi derajatnya di mata Maina. Oleh karena itu selayaknya wahai kalian para pemimpin memperlakukan mereka sebaik-baiknya menurut pandangan Maina," jawab Nandi.

"Tepat! Dan menurutmu berapa besar bayaran yang mereka dapat dari pekerjaan ini?"

"Nirvataka mendapat jauh lebih banyak dari mereka. Dari sisi nominal memang kami mendapat lebih sedikit, tapi mereka pasti membiayai keluarga mereka. Gaji mereka menjadi makanan untuk banyak orang, membuat mereka sendiri terkadang harus membanting tulang di tempat lain serta mengorbankan keinginan pribadi mereka akan suatu hal, demi kebutuhan anak-anak mereka."

"Dan apa kesimpulannya?"

"Dari sisi mana, Abba ingin saya mengambil kesimpulan?"

"Dari sisi manapun yang kau anggap benar."

Nandi menghela nafas sebelum menjawab,"Paravandaah, sebagai penerus kejayaan Maina dan Pari-Pari seharusnya dapat mendesak pemerintah-pemerintah untuk membantu orang-orang seperti mereka."

Sumarsono melipat kedua tangannya di dada lalu berujar, "Apakah hanya sampai di situ saja kesimpulanmu?"

"Benar Abba."

"Kalau begitu mari kita lanjutkan."

Kedua orang itu kembali melanjutkan perjalanan mereka setelah sebelumnya memberi salam kepada para petugas kebersihan tersebut. Setelah sekian lama, Patriakh Sumarsono berhenti di depan sebuah gedung perkantoran yang megah. Patriakh tua itu menunjuk ke arah gedung itu dan bertanya, "Apa yang kau lihat?"

"Sebuah gedung perkantoran."

"Hanya itukah?"

"Sebuah gedung perkantoran dengan halaman yang luas dan banyak tingkat. Gedung itu dapat memuat manusia lebih banyak daripada kuil tempat kita tinggal. Fasilitas di gedung itu amat lengkap, dibuat untuk membuat para pekerja itu betah menyelesaikan segala tanggung jawab mereka."

"Dan apa pendapatmu soal mereka?"

"Kebanyakan dari mereka merasa tidak bahagia di sana. Gedung itu layaknya sebuah penjara dengan 'Raja Tega' bernama deadline pekerjaan."

"Dan apa yang mereka cari dari sana?"

"Penghidupan yang lebih baik."

"Dan seperti apa penghidupan yang lebih baik itu?"

"Sesuatu yang tidak memliki batas yang jelas. Setiap manusia punya parameter tertentu dan sewaktu-waktu pula parameter itu bisa berubah."

"Apakah setelah mendapatkan apa yang sesuai dengan parameter kebahagiaan itu mereka puas?"

"Kebanyakan malah memalingkan kebahagiaan yang mereka capai dengan mengejar target kebahagiaan berikutnya."

"Dan apa kata Sakitabha?"

"Ayah hutan bersabda : makhluk bernama manusia itu punya lubang di dada mereka, lubang itu tidak akan pernah bisa mereka tutup dan semakin mereka mencari cara menutup lubang itu semakin bernafsu mereka mengeruk kekayaan dari tanah dan hutan. Sang Penabur Benih, kenapa kau ciptakan mereka? - Dan Sang Penabur Benih pun menjawab : Aku menciptakan mereka atas sabda Maina. Selayaknya semesta lain memiliki penguasa, manusia akan menjadi penguasa semesta ini. Selama manusia masih mengingat Maina, lubang itu akan tertutup dan ia akan menjadi manusia arif lagi bijaksana."

"Hemmmm, pengetahuanmu lumayan juga," komentar Patriakh Sumarsono manggut-manggut.

"Ayo kita lanjutkan lagi." ajak Sumarsono pada Nandi.

Sekali lagi kedua manusia itu berjalan beriringan melewati blok-blok pertokoan hingga tibalah mereka di sebuah penjara. Papan nama besar terpampang di atas pintu gerbang penjara itu, "Lembaga Pemasyarakatan Kebon Melati."

"Kau lihat LP yang baru saja selesai dibangun ini Nandi?"

"Ya, Abba."

"Menurutmu layakkah para penjahat itu dimasukkan ke dalam sana?"

"Menurut Abba?"

"Aku bertanya padamu!" Sumarsono menujukkan ekspresi sebal.

Nandi menunduk malu atas kelancangannya, "Sebagian ... ya dan sebagian ... tidak,"

Sumarsono menyorot Nandi tajam lalu mendekati pemuda itu, "Kenapa kau tidak yakin akan jawabanmu sendiri?"

"Karena memang begitu adanya."

"Aku tidak bertanya mengenai alasan jawabanmu, aku bertanya mengenai nada bicara dalam jawabanmu!" kali ini suara Sumarsono menggelegar, "Kenapa kau tidak yakin atas jawabanmu sendiri? Apakah kau mau berdusata di hadapanku? Ataukah kau menjadi Nirvataka hanya karena kau takut pada dunia? Karena kau kehilangan sosok-sosok pelindung sehingga kau menjadikan Nirvataka sebagai alasan bagimu untuk melarikan diri dari masalah dunia, hah?"

"Bukan begitu, Abba!"

"Lantas kenapa?" hardik Sumarsono.

"Keraguan saya dalam jawaban tadi ... Abba, karena saya tidak mau menjustifikasi para napi di dalam sana dengan prinsip hitam dan putih. Apakah mereka benar-benar melakukan tindakan yang dituduhkan pada mereka? Ataukah mereka hanya menjadi korban permainan hukum?"

"Itu tidak menjawab satu pertanyaan, mengapa ... kamu ... mengiyakan tawaranku menjadi Nirvataka?" kali ini suara Sumarsono melembut.

"Saya mengiyakan tawaran Abba sebab saat itu saya tidak punya tempat lagi bagi raga saya untuk tinggal sementara jiwa saya goncang oleh perdebatan antara cahaya dan kegelapan."

"Perdebatan macam apa?"

"Kakak sulung saya memuja kegelapan karena ia berpikir itu melindunginya dari musuh-musuhnya oleh karena profesinya sebagai pembunuh bayaran. Saya terpaku pada Paravandaah saat itu hanya karena takut akan paham nirwana dan neraka, saya takut jika Maina kelak memasukkan saya ke neraka jika saya tidak memujanya."

"Lalu, selama setahun ini apa yang kau dapatkan?"

"Selama setahun ini ... Abba, saya mengetahui bahwa di zaman ini kita tidak bisa hanya memuja salah satunya. Jika kita terlalu memuja cahaya maka kita tak akan menyadari bahaya yang bisa saja muncul di balik kemilaunya sementara jika kita hanya memuja kegelapan, lambat laun kemanusiaan kita akan menghilang dan hanya menyisakan insting. Dan dari sekian insting, insting membunuh dan membalas dendamlah yang paling berbahaya."

Maina menyuruh kita mengasihi semua manusia, penjahat sekalipun. Bukankah mengurung mereka di balik jeruji besi ini bukan merupakan wujud kasih?" tanya Sumarsono lagi.

"Abba, jika kita biarkan para pelanggar hukum ini bebas ... bukanlah kasih yang kita tunjukkan. Sebab pelanggar hukum sedikit banyak akan menyakiti orang lain. Jika mereka dibiarkan bebas bukankah kita malah menambah penderitaan di dunia ini? Tetapi dalam jeruji, mereka diberi kesempatan untuk merenungi perbuatannya dan apabila tidak bisa juga ia disadarkan dalam hal ini saya merasa bahwa otot dan bedil merupakan solusi adil untuk mencegah lebih banyak lagi jatuhnya korban hasil kekejaman mereka."

Sumarsono terpukau oleh penjelasan Nandi, ia melihat anak itu memiliki pandangan yang melampaui seorang calon Patriakh yang menjalani ritus akhir. Anak ini tidak sepolos dan senaif yang aku kira. Gumam Sumarsono dalam hati.

"Ayo jalan!" ajak Sumarsono sekali lagi.

Mereka berjalan dan berjalan lagi hingga sampai di Stasiun Gambir. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00, Patriakh Sumarsono menuju loket tiket KA dan membeli dua buah karcis KRL menuju Lebak Bulus. "Ada apa di Lebak Bulus, Abba?" tanya Nandi.

Patriakh Sumarsono hanya tersenyum simpul, "Sesuatu yang menarik dan akan menjadi pelajaran berharga bagimu, nanti."

Patriakh Sumarsono dan Nandi menaiki tangga menuju peron 1 dan 2 lalu menunggu KRL itu tiba ketika Nandi mendengar perutnya berbunyi minta diisi. "Belum makan?" tanya Patriakh itu tanpa menoleh ke arah Nandi.

"Belum Abba," jawab Nandi lemah.

"Kau kularang makan dan minum sebelum genta Paravandaah lima kali dibunyikan."

"Eh? Tapi saya bukanlah Kadhara[12] ataupun Rabbi[13] Abba. Bukankah ...," Nandi tak sempat menyelesaikan kata-katanya karena Sumarsono langsung memasang ekspresi angker.

"Kau lembek dan rakus! Kerjamu hanya makan dan tidur saja di kuil. Tak pernahkah kau mencoba ikut bertirakat layaknya kami?" Patriakh itu memarahi Nandi habis-habisan.

Nandi menunduk lesu tapi kali ini ada rasa murka dan amarah membara dalam hatinya, Orang tua ini menyangka pekerjaan membersihkan kuil itu pekerjaan enteng apa? Makan dan tidur katanya? Lalu apa pula yang mereka lakukan saban harinya? Bukankah beban mereka lebih ringan daripada Nirvataka, taruhlah mereka berpuasa seminggu empat kali pun tidak masalah untuk mereka. Tapi masa kami sebagai Nirvataka hendak diminta melakukan tirakat macam mereka?

"Ada apa?" tanya Sumarsono masih dengan ekspresi angker, "Kau marah? Jika kau marah maka pulanglah sana ke kuil dan cari makan!"

Nandi tak habis pikir dengan kelakuan aneh Patriakh ini hari ini, sekali waktu tampak lembut tapi di waktu lain amarahnya meledak-ledak. Amarah Nandi nyaris mencapai ubun-ubun tapi ditekan-tekannya perasaan itu. Ketika KRL itu tiba, masuklah Nandi ke dalam kereta mengikuti Sang Patriakh tanpa bersuara.

Dalam KRL yang penuh sesak oleh manusia itu Nandi harus berdiri berdesakan bersama ratusan orang yang hendak berangkat kerja ataupun bersekolah. Sebagian dari orang-orang ini sibuk melihat jam tangan mereka, sebagian lagi sibuk berbicara dengan seseorang melalui handphone mereka, sebagian yang lain tertidur pulas - barangkali karena kelelahan.

KRL itu sempat berhenti di Stasiun UI dan tiba-tiba Patriakh Sumarsono menyeret tangan Nandi dan mengajaknya turun, "Ayo turun!"

Stasiun UI ramai oleh sekumpulan orang, sebagian adalah anak-anak muda yang kemungkinan besar adalah mahasiswa UI sementara sebagian lagi adalah pria dan wanita dalam balutan pakaian profesional yang kemungkinan besar adalah dosen atau staff UI. Sumarsono mengajak Nandi ke sebuah sudut yang sepi dan duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari aluminium.

Patriakh Sumarsono menunjuk sebuah spanduk yang terpampang di jendela stasiun. Spanduk itu memuat info mengenai seorang calon anggota legislatif beserta visi dan misinya. "Kau lihat calon legislatif itu Nandi?"

"Ya?"

"Apa yang bisa kau simpulkan dari visi dan misi yang terpampang di sana?"

Nandi memicingkan matanya, mencermati satu demi satu visi dan misi yang terpampang dalam spanduk itu, "Dia berjanji terlalu banyak."

"Apakah dia betul-betul akan berusaha memenuhi janjinya?"

"Abba, aku rasa tidak."

"Kenapa?"

"Sudah begitu banyak yang menjanjikan kemulukan pada rakyat tanpa ada hasil tapi tidak ada satupun yang berhasil."

"Jadi dia berbohong?"

"Ya, Abba."

"Atas alasan apa kau menghakimi dia berbohong?"

"Semua politikus adalah penipu."

"Picik sekali pikiranmu ternyata," gerutu Sumarsono sembari mengelus-ngelus janggutnya.

"Kalau Abba merasa lebih bijak kenapa tidak Abba jelaskan sendiri makna-makna dari perjalanan kita ini semenjak tadi? Kenapa Abba sedari tadi menyalahkan diriku? Aku Nirvataka bukan Kadhara, bukan pula Patriakh," nada bicara Nandi mulai meninggi.

"Kenapa hari ini kau banyak membantah dan melawan Nandi?" bentak Sumarsono.

Kemarahan Nandi memuncak, "Dan kenapa hari ini Abba aneh sekali? Membangunkan saya pagi-pagi, mengajak saya berjalan tidak tentu arah lalu mengajak saya berdebat dan berfilsafat pula!"

"Hoo, aku baru tahu kalau kau juga bisa marah."

"Memangnya kenapa?" sahut Nandi masih emosi, tidak peduli dengan pandangan heran penumpang stasiun padanya. Memang bukan hal yang lazim di dunia ini jika seseorang sampai bertengkar dengan Patriakh atau Matriakh sebab konsekuensinya pasti berat.

"Bagus Nandi," Sumarsono mengacungkan kedua jempolnya.

"Bagus?" Nandi bingung setengah mati, "Ada apa sebenarnya hari ini, Abba?"

"Pertama : aku hendak mengetahui apakah kau masih manusia, dan kedua : aku hendak melihat apakah kau akan layak untuk suatu tugas dari pengurus region Paravandaah."

Nandi menjadi semakin tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Patriakhnya ini, "Apa maksud Abba?"

"Aku hanya pernah melihat kau sedih, gembira, dan takut. Aku tidak pernah melihat dirimu marah. Manusia yang tidak pernah marah bukanlah manusia, tetapi di sini aku melihat kau masihlah manusia. Kau masih memiliki amarah, itu bagus. Selamat karena kau masihlah manusia. Yang kedua berkaitan dengan tugas dari Paravandaah, kau berani berdebat denganku bahkan menegurku atas kelalaianku meski aku seorang Patriakh, bahkan Patriakh kepala kuil yang bisa saja mengusirmu dari kuil jika aku tidak suka denganmu, itu menandakan bahwa kau masih berpikir objektif. Kau tidak menjilat dan berpura-pura di hadapanku, kau berkata apa adanya."

Sumarsono kembali menunjuk ke arah spanduk caleg itu, "Sekarang jelaskan padaku kenapa kau tidak mempercayainya? Anggaplah dia orang baik dengan tindakan terpuji serta taat pada ajaran Maina? Bukankah dengan itu ia bisa melakukan perubahan?"

"Tapi ia akan sendiri dan ketika bahaya datang padanya tak akan ada yang membantunya!"

Sumarsono manggut-manggut, "Tepat seperti apa katamu Nandi. Orang baik seringkali sendiri. Teman-teman mereka akan tercerai berai ketika lawannya datang dan dia harus berjuang seorang diri. Maina dan Dewan Agung memang perkasa, tetapi untuk suatu alasan mereka tak pernah memberikan bantuan secara langsung pada orang-orang ini. Apakah Maina ingin kita berjuang sendiri ataukah ia sudah bosan dengan kita?"

"Aku rasa Patriakh dan Matriakh lebih tahu jawabannya dari kami."

Sumarsono menghela nafas panjang, "Tidak juga Nandi, dari masa ke masa Patriakh dan Matriakh semakin kehilangan panduan. Banyaknya kitab-kitab yang hilang pada masa-masa perang membuat kami harus membuat dogma-dogma sendiri atas suatu perkara terlepas dari apa yang dikatakan Sakitabha. Jika para sarjana dan ilmuwa mulai mempertanyakan keabsahan ajaran Paravandaah mereka tak sepenuhnya salah. Banyak sekali missing link dalam ajaran kita sementara dokumen-dokumen mengenai dogma itu telah lama hilang. Apakah dokumen itu sekarang sudah bersatu dengan bumi ataukah ada di tangan para kolektor kita tidak tahu dan tidak akan pernah tahu. Terkadang kami tidak punya argumen kuat untuk melawan para cendikia itu sehingga yang keluar dari mulut kami adalah pembelaan dogmatis ... ya pembelaan dogmatis. Kita mengkultuskan dogma sehingga dogma itu setara dengan Maina dan Dewan Agung! Untuk mempertahankan Paravandaah dalam jangka pendek hal itu masih mungkin, tapi jika jangka panjang ..."

"Abba berbicara seolah-olah Paravandaah itu sesuatu yang salah."

Sumarsono menghela nafas panjang sekali lagi, "Tidak, aku tidak berbicara begitu. Tapi jika aku boleh bicara secara gamblang ... Paravandaah sedang menuju kehancurannya. Zaman sudah terlalu maju untuk Paravandaah dan kebanyakan Patriakh serta Matriakh menolak berdamai dengan zaman, terpaku pada dogma-dogma yang dahulu mereka buat sendiri. Dengan kondisi ini akhirnya Abaravand menjadi pilihan bagi para cendikia yang meragukan ajaran Paravandaah."

"Tapi masih ada Patriakh seperti Abba dan Matriakh seperti Amma Sara bukan?"

"Bisa kau hitung berapa jumlah orang macam kami, Nandi?"

Nandi memejamkan matanya, tampak berpikir, mengingat-ingat watak sejumlah Patriakh dan Matriakh yang pernah ia temui langsung atau ketahui dari media massa, "Err ... tidak banyak."

"Tepat sekali! Patriakh dan Matriakh adalah manusia biasa pula. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi sebagai imam dari para umat, kami haruslah selalu berwatak terpuji, kami haruslah berperilaku 'sempurna' layaknya para dewa. Tapi kami ini pun manusia, beberapa dari kami pun akhirnya terpaksa menyerah pada godaan duniawi. Bisa kau hitung berapa banyak Patriakh yang punya kekasih gelap, Nandi? Atau mungkin berapa banyak yang menyelewengkan dana persembahan, atau mungkin berbicara omong kosong di muka umum?"

"Tapi aku yakin tidak semua pendeta seperti itu."

"Tidak Nandi! Kakakmu Sanjaya benar, cahaya telah menyilaukan kami sehingga kami tidak melihat kegelapan bersembunyi di balik cahaya itu."

Sumarsono menutup mukanya dengan kedua tangannya, seolah-olah ingin menutupi matanya agar tidak menatap dunia. Nafas panjang dihelakannya berkali-kali, seperti ada suatu beban berat yang ia panggul. Nandi sendiri memilih berdiam, menunggu Patriakh di sampingnya selesai menenangkan diri. Berpuluh-puluh menit mereka berdua terdiam tanpa saling berbicara satu sama lain. Dua pasang mata itu hanya memperhatikan kereta yang berlalu lalang di hadapannya tanpa beranjak sedikitpun dari tempat duduk mereka.

Setelah 1 jam terdiam tanpa melakukan apa-apa, Sumarsono mulai berkata-kata kembali, "Kau lihat anak pengamen itu?"

Nandi memperhatikan pengamen cilik yang berusia 5 atau 6 tahun sedang menyanyikan lagu-lagu anak muda zaman sekarang dengan suara yang 'serak-serak kering'. Suaranya tidak merdu, chord gitar kecilnya tidak pas, dan jangan pertanyakan juga falsetonya. Nada tinggi ia tabrak saja dengan main hantam kromo sehingga bukan suara merdu yang dihasilkan melainkan suara melengking seperti banshee[14] Irlandia. "Ya, Abba," jawab Nandi sembari menutup kedua telinganya dengan tangannya.

"Bukalah telingamu lebar-lebar dan jangan ditutupi, dengarkanlah jeritan kekesalannya yang terpuruk dalam nasib yang kurang beruntung itu. Kita sebagai umat Paravandaah tidak boleh menutup telinga atas suara orang-orang yang menderita.

Nandi melepascan tangannya yang menutupi telinganya dengan ekspresi terpaksa dan dalam lima menit ke depan ia harus mendengarkan suara-suara menyakitkan itu. Lima menit kemudian anak itu berhenti bernyanyi, dalam hati Nandi ada ungkapan syukur yang berlimpah ruah untuk Sang Maina karena anak itu berhenti bernyanyi. Sumarsono menepuk bahu Nandi dan bertanya, "Apa yang hierarkis Paravandaah lakukan pada mereka?"

"He?" sahut Nandi

"Apa yang teman-temanku dan harusnya aku katakan pada mereka?"

"Err, bergembiralah kalian meski kalian miskin ataupun lapar. Sebab kelak Maina akan menganugerakan pada kalian tempat yang baik di Nirwana. Tempat kalian mungkin akan lebih baik daripada tempat-tempat yang disediakan bagi para maharaja sekalipun."

"Dan apakah mereka akan mempercayainya?" tanya Sumarsono lagi.

"Kurasa tidak. Jumantra ....," Nandi terdiam.

"Ah ... Jumantra. Anak itu ya," Sumarsono manggut-manggut, "Dia datang 3 hari yang lalu dan bersumpah di hadapan kita semua bahwa ia akan menjadi Abaravand."

"Dia tidak seharusnya ...," kata-kata Nandi langsung dipotong oleh Sumarsono.

"Ya, secara teoritis ia tak seharusnya berkata macam begitu. Tapi jika aku menjadi dia ... mungkin saja aku akan mengatakan hal yang sama.

"Abba?"

Sumarsono menghelakan nafas panjang, "Aku berkata jujur, Nandi. Anak itu kehilangan ayahnya pada usia 3 tahun, menjalani hidupnya sebagai pedagang asongan. Sehari-hari ia berjualan di jalanan, tidak bersekolah, dan seringkali hanya makan sekali sehari. Dan sekarang ... ketika anak itu menginjak usia 12 tahun, ibunya direnggut dari hidupnya."

"Tapi akan ke mana dia sekarang? Bukankah di kuil kita masih bisa menyisihkan makanan untuk dia?"

"Bukan kita tapi kamu. Kamulah yang menyisihkan jatah makanmu untuk dia. Tapi itu berarti kau menolong dia secara personal, sementara kami dan Sahere? Hanya diam termangu tak bisa berbuat apa-apa. Aku sendiri pun tak bisa memberinya pekerjaan. Memalukan ya?"

"Abba ...! Kenapa Abba bicara seolah Abba sendiri yang salah?"

"Ketahuilah Nandi, masa kecil dan remajaku menyenangkan sekali. Aku memiliki orangtua yang baik dan taat beribadat, aku memiliki seorang kakak yang pengayom serta seorang adik yang baik. Pendidikanku terjamin sampai Sekolah Menengah Atas, sebelum aku memutuskan menjadi Patriakh. Jujur saja Nandi, aku mungkin tak akan pernah mengetahui beratnya hidup di dunia ini jika aku tidak menjalani ritus akhir menjelang penobatanku."

"Apa yang Abba jalani?"

"Para Patriakh senior menempatkanku dalam sebuah gua yang gelap dan mengharuskanku bermeditasi selama seminggu, tanpa makan dan minum. Ketika tiba hari kedelapan, aku harus mencari sendiri jalan keluarku dalam kegelapan. Dan kau tahu? Aku baru bisa keluar dari gua itu di hari kesembilan, karena aku menggali terowongan yang salah. Pada hari itu ... untuk pertama kalinya aku benar-benar belajar bagaimana menghargai makanan, menghargai cahaya, dan menghargai hidup."

Nandi terkesiap, tak menyangka bahwa ritus akhir menjelang penobatan para pendeta akan seberat itu. "Kau terkejut Nandi?" tanya Patriakh itu.

"Aku tidak menyangka menjadi Patriakh itu sulit."

"Tidak semuanya menjalani ritus itu, Nandi."

"Eh?"

"Tidak semua Patriakh maupun Matriakh menjalani ritus itu. Sebagian besar tak lagi menjalaninya. Kau tahu bahwa Paravandaah kini kekurangan Patriakh dan Matriakh, untuk memenuhi kuota yang banyak lowong itu tidak ada cara lain bagi kami selain memperlunak ujian masuk serta melonggarkan aturan hidup kami. Tapi ... perubahan itu berefek samping buruk. Kini kita berhasil memenuhi kuota tersebut, tapi banyak dari kami yang tak lagi bisa berempati pada penderitaan umat. Kami tutup mata atas penindasan orang-orang jahat pada umat dan ketika umat itu datang pada kami, kami hanya bisa memberikan penghiburan ... tak lebih dari itu. Nandi ... dunia ini dipenuhi oleh para bajingan dan kami tak bisa berbuat apa-apa. Abaravand semakin banyak dan kami hanya bisa mengutukinya tanpa bisa berbuat apa-apa sebab sadar atau tidak, semua masalah ini bersumber dari kami sendiri."

Nandi memandangi sebuah KRL yang baru saja memasuki stasiun dan berhenti di peron satu. Mulutnya terkunci tapi setiap sel otaknya berusaha mencerna kata-kata Patriakh Sumarsono. Kedua orang itu terhanyut dalam hening selama beberapa saat sebelum Nandi mulai bertanya, "Apa tujuan Abba mengajak saya dalam perjalanan ini?"

"Kau punya pemikiran yang bijak untuk anak seusiamu. Itu tak kau sadari, tapi aku sadar. Aku mengajakmu kali ini bukan sebagai Nirvataka, melainkan sebagai teman yang sederajat. Aku juga ingin melihat sesuatu dalam dirimu dan itu sudah kutemukan."

"Apa itu, Abba?"

"Kau sudah siap untuk menantang dunia, Nandi. Mengenai apakah kau akan tetap mengabdi di kuilku ataukah kau kembali ke dunia nyata terserah padamu. Aku hanya ingin menyampaikan satu hal saja: Pikirkan baik-baik keputusanmu," kata Sumarsono sembari berjalan memasuki gerbong sebuah KRL jurusan Gambir. Nandi mengikutinya dari belakang.

******

Malam itu Sumitra menelepon Nandi saat ia beristirahat di kamarnya. Diangkatnya panggilan dari kakaknya itu dan dari sana suara kakaknya yang sudah lama ia rindukan menyapa dia dengan kehangatan yang sama sekali tidak berubah selama setahun ini, "Nandi, bagaimana kabarmu?"

"Baik-baik saja, Kak. Bagaimana dengan Wima?"

"Dia masih terguncang karena mengetahui Mama sekarang seperti itu."

"Eh? Kenapa dengan kondisi Mama?"

Sumitra mendesah, "Semakin buruk Nandi. Saban hari ia hanya menatapi foto Papa dan Kak Sanjaya, mengelus-ngelus foto mereka, memeluknya dengan erat, lalu menggigit jarinya sampai berdarah sambil menangis tersedu-sedu."

DEG!Hati Nandi seakan diiris oleh belati mendengar kabar itu. Ia rasakan air matanya mulai meleleh di pelupuk matanya. Ia terdiam beberapa saat, tak bisa berkata apa-apa.

"Nandi?" tegur Sumitra.

"Oh ya! Apa Kak?"

"Kamu tidak apa-apa?"

"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Nandi cepat sambil menyeka air matanya.

"Bagaimana kehidupanmu sebagai Nirvataka?"

"Menyenangkan," jawab Nandi singkat namun segera ia sambung, "Tapi rasanya berbeda, sepi sekali di sini. Aku rindu akan keluargaku yang dulu."

"Kamu kan bisa tinggal sama Tante Dahlia? Bukankah beliau tinggal hanya berdua dengan Siska pasca meninggalnya Om Juru?"

"Aku tidak enak jika merepotkan orang."

"Oh ya, aku dan Wima akan mengunjungi Tante Dahlia besok siang. Kami sudah sampai di Yogyakarta sekarang. Apa kamu mau ikut?"

"Tentu saja!"

"Oke kalau begitu sampai jumpa di sana. Nanti kuhubungi lagi jika kami sudah tiba di Jakarta."

"Oke, dadah."

"Sampai ketemu, Nandi."

*****

Di dalam kamarnya Patriakh Sumarsono didatangi oleh sesosok gadis Eropa, berambut hitam pendek dan bermata biru dengan tinggi sekitar 175 cm. Kulitnya seputih marmer dan mengenakan tunik dan rok panjang berwarna biru, sekilas ia seperti seorang Matriakh muda.

Gadis itu mulai berbicara, "Apakah Mahija Nandi benar-benar orang yang tepat untuk membantu kita mengakhiri siklus ini?"

"Aku rasa ya. Anak itu memiliki hati yang bersih dan lembut, tapi juga bisa keras seperti karang. Ia bisa saja keluar dari profesinya sebagai Nirvataka, tapi aku tidak melihat ia berniat seperti itu. Ia anak yang baik hanya saja kurang pengalaman, beri ia kesempatan menantang dunia sekali lagi maka ia bisa saja akan menggoncangkan dunia."

"Apakah kau tidak menilai anak itu terlalu tinggi, Pak Tua?" sindir gadis itu.

"Aku menilai berdasarkan apa yang aku lihat baik dari sisi mata fisik maupun mata hatiku. Aku yakin pilihanku kali ini tidak akan mengecewakan kalian."

"Tapi jika dia berhasil maka seluruh hierarkis Maina yang kalian percayai akan runtuh. Akankah kau siap dengan segala konsekuensinya?"

"Untuk memulai suatu yang baru, suatu pengorbanan itu wajib dilakukan. Paravandaah sudah ada di semesta ini cukup lama. Barangkali sudah saatnya masa kami berakhir, sama seperti saat masa Pemuja Arcapada dahulu berakhir. Segala sesuatu berawal dan berakhir baik itu cepat maupun lambat. Kita tak bisa menghindarinya."

Gadis itu tersenyum penuh arti lalu berkata lagi, "Jika ia berhasil ... menurutmu jalan mana yang akan ia pilih?"

Patriakh Sumarsono tersenyum bijak dan menjawab, "Bukan hakku untuk menjawabnya."

"Ah! Jalan apa yang akan ia pilih akan membawa hasil akhir yang sama. Aku rasa aku sudah cukup lama berada di sini, persiapkanlah anak itu Sumarsono. Saatnya sudah dekat bagi dia dan bagi kita. Sampai jumpa di Malam Perjanjian."

"Sampai jumpa, Olivia."

Dan gadis itu pun menghilang bersama tiupan angin.

[1] Dewan Agung terdiri dari : Ibu Bumi, Ayah Hutan, Putra Langit, Raja Laut dan beberapa sesembahan lainnya.

[2] Abba : panggilan untuk para Patriakh.

[3] Nirvataka adalah pelayan / penjaga kuil, sama seperti koster gereja atau garin masjid di dunia kita. Nirvataka bertugas melayani kebutuhan sehari-hari para Patriakh dan Matriakh serta menjaga kebersihan kuil. Nirvataka tidak menikah selama menjalani pekerjaannya.

[4] Maina : Causa Prima, Tuhan dalam kepercayaan Paravandaah

[5] Bagaskara : matahari

[6] Dewan Patriakh dan Matriakh, bertindak sebagai penasihat Patriakh Pertama. Setiap negara yang ada di dunia diwakili oleh seorang Patriakh / Matriakh Agung yang ditunjuk oleh Sidang Para Pendeta.

[7] Patriakh Pertama (Yang Mulia Patriakh Agung-Wakil Maina di muka bumi), semacam pemimpin pusat kepercayaan Paravandaah seperti Paus dalam struktur Gereja Katolik Roma dan Dalai Lama dalam agama Budha

[8] Calon pendeta

[9] Ritus akhir : Para pemuda/i calon Patriakh atau Matriakh harus menempuh pendidikan ilmu rohani selama 4 tahun dan pada setahun berikutnya mereka harus hidup di sebuah kuil dalam pengawasan Patriakh atau Matriakh yang menjadi kepala kuil untuk menentukan layak/tidaknya mereka menjadi pendeta. Jika gagal maka mereka harus pulang kembali ke rumah mereka.

[10] Nirvataka dilarang untuk berpacaran dan berkeluarga selama mereka masih menjadi Nirvataka

[11] Kitab suci Paravandaah

[12] calon Patriakh / Matriakh

[13] Patriakh / Matriakh yang menjadi pertapa

[14] Hantu wanita dari legenda Irlandia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: