BAB III : FAKTA

Alam Semesta Versigi

Jl. Embong Malang Gg V, Surabaya, Daerah Administratif Khusus Ibukota Region Barat, 4 Mei 2010.

Nandi membuka selubung peti mati saudara tertuanya itu, lalu meletakkan telapak tangannya ke tangan jenazah kakaknya sembari berdoa dalam hati, "Ibu Bumi, terimalah jasadnya dalam dekapanmu dan tuntunlah jiwanya dari dunia ini kepada Danarmawa, jalan bagi para arwah. Ayah Hutan, bimbinglah jiwanya ketika ia tersesat di Hutan Jiwa. Putra Langit jagalah jiwanya dari dekapan musuh-musuhnya."

Nandi melihat ke arah ibunya. Wanita paruh baya itu sedang dihibur oleh ibu-ibu tetangganya. Tidak tega ia melihat wanita itu sejak semalam terus menangis akibat kepergian anak kesayangannya. Ya, Nandi tahu bahwa kakak sulungnya adalah anak yang paling disayangi ibu mereka setelah Wima si bungsu. Nandi melihat kembali ke arah jenazah kakaknya yang sudah terbujur kaku dalam peti mati.

Tangan Nandi mengepal keras dan dalam hati ia menjerit-jerit, "Bodoh kau, Kak! Bodoh! Kau langgar janjimu!"

Di antara riuh rendah keramaian rumahnya Nandi menatapi sebuah lemari kaca yang ada di tengah ruang tamu rumah ini, sebuah lemari kaca setinggi 2 meter yang penuh akan kertas piagam, serenteng medali dan piala-piala kejuaraan. Lemari itu memiliki 3 tingkat, setiap tingkat memuat piala, medali, dan piagam milik masing-masing anak. Dari atas ke bawah ia baca satu per satu nama-nama yang tertera di sana, "Teguh Harimurti Sanjaya, Sumitra Ankara, Wima Tirtabhani ...., " dan ia tidak menemukan namanya di sana.

"Nandi!" panggil ibunya.

"Ya, Ma?" jawab Nandi.

"Jemput Wima di sekolahnya sekarang!" perintah ibunya.

"Ya Ma," jawab Nandi yang langsung mengambil kunci motornya.

Nandi membuka pintu garasi, mengeluarkan sepeda motornya lalu memacunya ke SMPN 2 Surabaya. Di sana ia lihat seorang remaja lelaki berusia 14 tahun yang tampaknya menunggu seseorang.

"Naik!" ajak Nandi pada remaja lelaki tersebut.

"Kak Nandi, ada apa kok Mama minta aku cepat pulang?" tanya Wima.

Nandi terdiam, tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan adiknya ini. Hatinya tidak tega untuk membeberkan fakta menyedihkan yang terjadi, otaknya mengatakan lebih baik jika ia sembunyikan dahulu fakta itu dari adiknya.

Pada akhirnya Nandi hanya menjawab, "Nanti di rumah Mama akan jelaskan semuanya."

Wima merenggut sebal, ia paling tidak suka ada rahasia-rahasiaan, namun melihat kakaknya memasang muka serius membuatnya mengurungkan niat untuk berdebat dengan kakak ketiganya ini. Sepeda motor itu pun melaju melalui aliran kendaraan bermotor menuju sebuah rumah di kawasan Embong Malang.

Di sana tampak sanak keluarga dan tetangga-tetangga mereka berkumpul di dalam rumah membuat Wima keheranan. Tapi tak butuh waktu lama bagi para sanak keluarga dan tetangga untuk membuat tangis Wima pecah siang itu.

Tiga bulan kemudian

Ujian negara dan pengumuman kelulusan sudah berakhir. Nandi sudah menyelesaikan pendidikan tingkat tiganya[1] dan kini ia berencana mengikuti pendidikan sarjana di sebuah sekolah tinggi.

Nandi menghadap ibunya di ruang tamu. Tampak wanita paruh baya itu sedang membolak-balik koran dan di sana Nandi mulai memberanikan diri bicara, "Ma, saya sudah menyelesaikan pendidikan tingkat tiga saya di sini. Apa pendapat Mama jika saya memasuki Sekolah Tinggi Ekonomi Citrapata yang ada di Jalan Arjuna itu?"

"Hmm? Kamu mau mengikuti pendidikan tinggi?" tanya ibunya, ada nada sinis di dalam suaranya.

"Ya Ma."

"Tidakkah kamu kasihan melihat aku ini sudah banting tulang untuk kalian bertiga? Sekolah kalian itu berat, apalagi Sumitra masih semester lima. Dan sekarang? Kamu mau minta kuliah pula!"

"Tapi Ma ..." Nandi mencoba mendebat pendapat ibunya.

"Mama tidak mau dengar apa-apa. Setelah ini Mama sarankan kamu cari kerja! Kerja apapun Mama tidak peduli! Mama sudah capek mengurus kamu!"

Seolah ada petir menyambar hati Nandi saat itu, perasaannya campur aduk antara marah, sedih, dan kecewa. Tapi tak mau ia tunjukkan perasaan itu di depan ibunya oleh karena itu ia mohon pamit untuk keluar, tapi sebelum kakinya sempat beranjak keluar rumah ibunya memanggilnya.

"Nandi!" panggil ibunya.

"Ya, Ma!" jawab Nandi.

"Panggilkan saudara-saudaramu di rental! Sudah waktunya mereka pulang!" perintah wanita itu kasar.

"Baik Ma."

"Dan jangan kembali sebelum mereka pulang!" bentak wanita itu lagi.

Nandi bergegas keluar, berjalan menyusuri gang-gang sempit di pemukiman padat ini lalu memasuki sebuah tempat di mana banyak berkumpul anak-anak dan remaja mulai dari usia SD hingga Mahasiswa, tempat itu adalah sebuah rental playstation. Nandi menepuk bahu seorang pemuda yang tampaknya berusia 20 tahunan, berkumis dan berjanggut tipis yang tampak asyik memainkan sebuah game sepakbola. Pemuda itu sedikit gusar karena permainannya terganggu. Tanpa menoleh ia bertanya, "Ada apa Ndi?"

"Kalian berdua dipanggil Mama," jawab Nandi santai.

"Aaahhh bentar deh! Lagi asyik dan belum 1 jam juga lagee!!" jawab pemuda itu.

"Iya nih, Kak Nandi. Baru juga 20 menit kita main di sini," celetuk anak remaja yang bermain di samping pemuda itu yang tak lain adalah Wima.

"Sekali-sekali kalian berdua korbanin berhenti main PS kenapa sih? Masa aku harus balik ke rumah lalu bilang kalian berdua sedang main PS?" gerutu Nandi sebal.

"Yee, cemburu dia!" ledek si pemuda.

"Bukan begitu Kak Sumitra! Aku ....," sergah Nandi tanpa sempat menyelesaikan kata-katanya.

"Dilaaaraaang Maaamaaa pulaaang sebeluuummm kaaaamiii!" sambung Wima dengan ekspresi nakal nan menyebalkan.

Nandi pun dengan terpaksa menunggu kedua saudaranya selesai bermain. Ia memilih untuk tidak pulang dahulu sebab ibunya pasti akan memarahinya atas 'kegagalannya' membawa kedua saudaranya pulang.

"Kak Nandi kok sudah lama nggak main PS?" tanya Wima.

"Dia dilarang Mama main PS," jawab Sumitra.

"Loh kenapa? Kita kok masih boleh?" selidik Wima.

Sumitra memencet tombol pause pada stik PS-nya, dipandanginya wajah Wima dan Nandi secara bergantian lalu ia berkata, "Cukup sekian hari ini."

Sumitra meletakkan stik PSnya kemudian berjalan menuju kasir dan berbicara pada si penjaga rental, "Piro Cak- Berapa Mas?"

"Tigang Ewu - Tiga Ribu Rupiah[2], Mas," jawab si penjaga rental.

Sumitra mengeluarkan uang senilai tiga ribu rupiah dan kemudian memberi isyarat pada Wima dan Nandi untuk ikut keluar. Setibanya di luar Sumitra mulai berbicara kembali, "Nandi, aku heran mengenai hubungan dirimu dan Mama."

"Kenapa?" tanya Nandi datar.

"Setelah kematian Papa, Mama ... Mama ... seolah menjelma menjadi orang lain. Ia memperlakukan kamu berbeda dengan kita bertiga. Kami berdua masih diperbolehkan bermain sesuka hati sementara kamu tidak. Kami dikursuskan bahasa asing sementara kamu ... tidak. Kami sering diajak Mama berbelanja ke mall sementara kamu ... jarang sekali. Oke prestasi akademis dan non-akademismu memang tidak sehebat kita tapi apa itu bisa jadi alasan untuk membedakan dirimu dengan kita?"

"Barangkali perasaan Kak Sumitra saja. Mama kan cuma menerapkan kedisiplinan, kalau ranking di bawah 10 maka dapat hukuman kan?" tandas Nandi.

"Perasaan? Hei! Aku bicara fakta! Nandi, aku terkadang heran terhadap perubahan sikap Mama kepadamu. Seolah-olah ... kamu bukan anak kandung Mama dan Papa."

Nandi terdiam mendengarnya dan Sumitra pun melanjutkan, "Seingatku waktu Papa masih hidup meski kamu tidak pernah dapat ranking, kamu masih sering diajak jalan-jalan. Tapi setelah Papa meninggak kok ..."

Nandi mencoba meredam kecurigaan, "Kak Sumitra kan mahasiswa psikologi, seharusnya Kak Sumitra lebih paham dong kenapa Mama seperti itu? Dalam masa hidupnya ini beliau telah kehilangan dua orang yang dikasihinya, yang pertama Papa dan yang kedua Kak Sanjaya. Tekanan batiniah yang beliau hadapi terlalu berat sehingga ...."

"Membutuhkan pelampiasan!" sambung Sumitra cepat, "Tapi itu bukan berarti kamu bisa jadi sarana pelampiasan kekesalan Mama!"

"Apalah artinya aku ini? Aku yang paling minor, aku yang tak sepandai Kak Sumitra dan Kak Sanjaya, aku yang tidak punya bakat olahraga seperti Wima dan aku yang ...."

"Cukup Kak Nandi!" potong Wima.

"Kau terlalu pengalah, Nandi, dan juga terlalu rendah diri. Apa yang sudah Mama katakan padamu selama ini?" tanya Sumitra.

"Tidak ada yang penting," jawab Nandi singkat tanpa memandang mata Sumitra. Alam pikiran Nandi menerawang ke suatu hal.

Nandi sadar, ibunya berbeda dengan ayahnya. Saat ayahnya masih hidup dahulu, ayahnya selalu memotivasinya, memberinya semangat, menunjukkan bahwa ia masih merupakan sesuatu yang istimewa. Ibunya berbeda, meski dengan segala kelebihan ibunya sebagai seorang kepala sekolah sebuah SMP Negeri, ibunya cenderung lebih memperhatikan putranya yang berprestasi dalam bidang tertentu dan selalu membanding-bandingkan dirinya dengan ketiga saudaranya yang lain terutama kakak sulungnya, Sanjaya.

==00==

Malam itu Nandi terbangun di tengah malam, didengarnya suara tangis ibunya dan suara Sumitra yang penuh amarah. Ia berjalan dari tempat tidurnya, membuka pintu kamarnya secara perlahan dan dengan berjingkat-jingkat menuju ruang tamu. Di sana disaksikannya Sumitra tampak murka pada ibu mereka.

"Jadi ... jadi ... selama ini Nandi bukan putra Papa dan Mama?" Sumitra mengacak-acak rambutnya sampai berantakan.

"Bukan Nak, ia adalah hasil hubungan gelap Papamu dengan seorang wanita penghibur. Ketika Nandi lahir, ia datang menemui Papamu dan memintanya merawat Nandi," kata Ibunya sambil terisak.

"Karena itu Mama membedakannya dari kami?"

"Ya! Dia bukan anakku! Dia adalah hasil anak haram yang lahir dari rahim pelacur! Dan ibunya mati terbunuh seminggu setelah menitipkan Nandi! Ia memang anak Papamu tetapi ibunya ... ibunya... ibunya .... merampas Mas Mursito dari diriku, merampas rasa cinta Papamu dari Sanjaya dan dirimu. Dan kini anak itu hidup bersama kita, kalau saja bukan karena wasiat dari Mas Mursito anak itu sudah aku buang jauh-jauh."

Nandi berjingkat-jingkat kembali ke kamarnya, dan setibanya dalam kamar langsung ia tumpahkan air matanya yang sedari tadi ditahannya. Rasa sesak memenuhi dadanya, ibu yang selama ini ia anggap ibu kandungnya ternyata bukan ibu kandungnya sendiri. Lebih buruk lagi ibunya sama sekali tidak mengharapkannya di sini. Kini tahulah dia mengapa semenjak kematian ayahnya, ibunya tampak membedakannya dengan putranya yang lain. Kondisi ini semakin memburuk dalam 3 bulan terakhir di mana Nandi diberi uang saku sangat sedikit daripada kedua saudaranya dan seringkali dimarahi atas suatu alasan yang tidak jelas.

Belum puas Nandi menumpahkan kesedihannya tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dengan suara keras, seperti didobrak dari luar. Nandi yang masih berlinang air mata segera bangkit dan melihat di depan kamarnya sudah berdiri ibunya yang memegang sebuah bendo[3]. Nandi terkejut melihat ibunya memegang benda tajam seperti itu dan lebih terkejut lagi melihat ekspresi wajah ibunya yang beringas seperti kerasukan setan. Dengan ganas, ibunya menubruk Nandi lalu berusaha menyabetkan bendo itu ke leher Nandi yang untungnya bisa dihindari Nandi. Nandi pun segera mencengkeram kedua tangan ibunya dan dua orang itu bergumul untuk memperebutkan benda tajam itu.

"Mama! Mama kenapa?" tanya Nandi mencoba menyadarkan ibunya.

"Berhenti kau memanggilku seperti itu! Kau bukan anakku! Kau adalah beban yang tak kuinginkan! Kenapa harus Sanjaya yang mati sementara kau ... kau ... yang anak haram Mas Mursito masih hidup? Kenapa?!!" jerit wanita itu histeris dan kalap."Dan kini Nandi sayang ... biarkanlah Mamamu ini mengirimkanmu ke tempat yang lebih baik bagimu. Ke Neraka bersama ibu kandungmu yang pelacur itu!!!!!" jerit ibu Nandi yang makin histeris dan makin kalap.

Nandi merasakan kekuatan wanita itu semakin bertambah, dicobanya untuk mendorong wanita yang sudah ia anggap ibunya sendiri itu ke dinding tapi tak dapat ia lakukan. Wanita itu sekarang seperti memiliki tenaga sekuat banteng. Perlahan tapi pasti ujung bendo itu makin mendekati pelipis Nandi. Nandi berusaha keras menjauhkan benda itu dari pelipisnya tetapi akhirnya ujung bendo itu tetap menggores pelipis kirinya hingga nyaris mencapai alis kiri. Merasa nyawanya makin terancam Nandi pun berteriak minta tolong, "Kak Sumitraaa ... Wimaaa!!!! Tolooongg!!!"

Tapi tak ada sahutan, membuat Nandi bingung ke mana kedua saudaranya itu. Sementara itu ibunya tersenyum sinis dan berkata, "Kau mencari kedua anakku? Jangan harap kau akan ditolong oleh mereka! Tak akan kubiarkan mereka menolong kau!"

Nandi mulai ketakutan setengah mati. Ia mulai melihat sekelilingnya, mencoba mencari cara menyelamatkan diri. Dilihatnya sebuah gunting di mejanya, pikiran logisnya menyuruh ia mengambil gunting itu untuk ditusukkan kepada wanita kalap di depannya. Tapi nuraninya tidak tega menyakiti wanita yang selama ini membesarkannya.

"Kalau Mama mau membunuhku dan itu menyenangkan hati Mama ... setidaknya biarkan aku mengatakan satu hal : Aku mencintai Mama dengan sepenuh jiwaku meski Mama bukan ibu kandungku," ujar Nandi dengan mata berkaca-kaca, pegangan Nandi pada tangan wanita itu mulai melonggar.

"Bagus kau mengerti anak muda! Sekarang bersiaplah bergabung bersama ibu kandungmu itu!" jerit wanita paruh baya yang sudah kalap itu.

Tapi tiba-tiba di belakang ibunya Nandi melihat Sumitra dibantu dengan Pak Wiharto - ketuaRT kampungnya - sertabeberapa pemuda kampungnya langsung menyergap ibunya. Mereka membuang bendo itu dari tangan ibunya kemudian memegangi kaki dan tangan wanita paruh baya itu. Seorang pria lainnya yang ia kenali sebagai dokter Bianto yang praktek di sebuah klinik 24 jam di sekitar situ juga datang dan langsung menutup mulut ibunya yang meracau dan menjerit-jerit dengan sehelai sapu tangan.

Tak berapa lama ibunya langsung tak sadarkan diri. Tampaknya dokter Bianto mengoleskan obat bius pada sapu tangan itu. Wima kemudian muncul dan mengulurkan tangannya pada Nandi, "Kak? Kau tidak apa-apa?"

"Tidak Wima. Terima kasih dan terima kasih pula pada Kak Sumitra dan Bapak-Bapak sekalian."

"Gila! Kenapa Bu Rahayu jadi seperti itu?" tanya Pak Wiharto

"Itu karena ...," kata-kata Sumitra tercekat di tenggorokannya.

"Itu karena Ibu membenci saya oleh karena saya bukan anak kandungnya," sambung Nandi cepat, membuat semua yang hadir di situ terdiam dan tercengang.

1 jam kemudian

Dokter Bianto sudah selesai merawat luka di pelipis Nandi yang untungnya tidak dalam. Ia segera menelepon RSUD Dr. Soetomo untuk mengirimkan ambulans guna membawa Nyonya Rahayu ke rumah sakit.

Sumitra mendekati dokter Bianto kemudian bertanya, "Apa Ibu saya mengalami gangguan jiwa Dok?"

Dokter Bianto menghela nafas beberapa kali, pria paruh baya berkepala botak itu pun akhirnya mulai berbicara. "Sepertinya begitu, Mas. Tindakan brutal dan jeritan histerisnya itu bukan sekedar histeria psikologis biasa. Setelah ibu dibawa ke RSU tolong Mas temui dokter Wahidi, psikiater kenalan saya. Nanti saya akan telepon dia dan untuk kamu ... Nandi!"

"Ya?" sahut Nandi.

"Ada baiknya kamu keluar dulu dari rumah ini. Mengungsi ke rumah saudara atau sanak famili yang jauh dari sini. Sebab saya khawatir keselamatanmu bakal terancam bila ibumu terlalu dekat denganmu," kata dokter itu menasehati Nandi.

"Jadi begitu yang dipikirkan Mama selama ini? Jika begitu adanya, bukankah lebih baik aku yang pergi sementara Kak Sanjaya yang hidup?"

"Nandi! Jangan bodoh! Takdir tak bisa dirubah!" sahut Sumitra.

"Memang tidak. Tapi seandainya bisa maka takdir itu akan lebih membahagiakan untuk kalian berdua kan?"

"Kak Nandi!"sergah Wima.

"Hari ini sudah cukup aku mendengar semuanya. Biarkan hari ini dan ke depannya, aku menentukan jalanku sendiri. Terima kasih ... untuk semua yang Mama dan Kak Sumitra serta Wima berikan padaku selama ini," kata Nandi sembari membungkuk memberi hormat.

Tak makan waktu lama Nandi mengemasi barang-barangnya, memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam ransel, mengenakan celana panjang dan jaketnya kemudian bergegas menuju pintu depan dan langsung dihadang oleh Sumitra.

"Nandi, jangan bodoh. Meski Mama bicara seperti itu aku yakin Mama masih mencintaimu sebagai anaknya!"

"Tidak Kak. Mama sudah jelas-jelas membenciku dan tidak layak bagiku untuk terus menjadi beban baginya."

"Biarkan dia pergi Mas Sumitra! Ini demi kebaikan ibumu dan kebaikan Nandi juga." kata dokter Bianto menengahi mereka.

Sumitra terdiam seribu bahasa, ia sadar bahwa ibunya sakit jiwanya. Kata-katanya sudah tak dapat dinalar dan tidak sepatutnya Nandi mendengarkan kata-kata ibu mereka .Tapi jika Nandi terus berada di sini maka tidak baik pula untuk Nandi, pada akhirnya Sumitra menyingkir dari pintu dan membukakan gerbang untuk Nandi. Nandi pun berjalan keluar dari rumah tersebut, lalu melemparkan kunci cadangan yang selama ini ia pegang pada Sumitra sembari berkata, "Barangkali aku tak akan kembali ke sini lagi."

Sumitra tetap diam, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia pun berjalan mendekati Nandi sembari merogoh saku celananya, mengambil sejumlah uang dan menyerahkannya pada Nandi. Kedua saudara satu ayah itu saling berpandangan dan tersenyum satu sama lain dan kemudian berpisah tanpa sepatah kata pun terucap dari dalam mulut mereka. Nandi pun pergi dan menghilang dalam kesunyian malam diiringi tatapan kedua saudaranya serta beberapa warga kampungnya.

Alam Semesta Valhalla

Seorang wanita paruh baya menatap dalam-dalam pada sebuah kaca di hadapannya. Kaca itu tampak seperti kaca antik berbentuk oval dengan pinggiran dari tembaga berhiaskan ornamen bunga mawar. Kaca itu tidak menempel di dinding, melainkan berdiri tegak di atas lantai dengan disangga oleh dua penyangga berbahan dasar baja berlapis krom sehingga tampak seperti terbuat dari perak.

Jika diperhatikan lebih lanjut, cermin itu tidak merefleksikan bayangan diri wanita tersebut melainkan menampilkan adegan demi adegan dari suatu peristiwa layaknya sebuah pemutar video. Dan adegan yang sedang ditampilkan oleh kaca itu adalah adegan demi adegan prosesi pemakaman Teguh Harimurti Sanjaya. Sesaat kemudian wanita tersebut mengusap permukaan cermin tersebut dengan telapak tangan kirinya lalu menghilanglah segala gambar yang tadinya ditampilkan oleh cermin tersebut. Wanita itu menaikkan tudung kepala jubahnya lalu keluar dari ruangan itu. Ia menuruni satu demi satu anak tangga dari batu di bangunan yang tampaknya adalah sebuah puri ini. Ketika ia tiba di lantai bawah di sana tampak ada 5 orang bertudung yang sudah menunggunya duduk melingkari sebuah meja kayu bundar. Salah satu dari mereka berdiri dari kursinya dan bertanya, "Bagaimana Skadi? Kau sudah menemukannya?"

Wanita itu menarik sebuah kursi yang berada di salah satu sudut meja itu lalu duduk dan kemudian menghela nafas panjang. "Ya, aku sudah menemukannya. Dia yang kita cari selama ini ternyata berada di alam semesta yang selama ini tidak pernah aku perkirakan sebelumnya."

"Oh ya? Di mana dia?" tanya seorang yang lain lagi yang dari suaranya menandakan ia adalah seorang wanita.

"Dia sudah mati. Contra Mundi Versigi sudah mati lama sekali sebelum kita sempat menemukannya," jawab Skadi lirih.

Dan seluruh manusia yang hadir di ruangan itu hening, tidak bersuara sama sekali. Dalam kepala mereka berkecamuk pikiran mereka masing-masing.

Alam Semesta Sambala

Kastil Dorah, Portsmouth, Britania Raya, Eropa, 5 Agustus 2010.

Seorang anak lelaki berambut pirang berusia 10 tahunan memandang kosong dari jendela tingkat dua kastil bergaya Gothic di daerah Portsmouth itu. Anak itu mengenakan pakaian resmi khas negeri barat, setekan tuxedo hitam, celana panjang hitam, kemeja putih dan dasi kupu-kupu. Sesuatu yang besar akan terjadi hari itu, sebuah pesta atau perhelatan akbar. Tetapi anak ini sama sekali tidak menunjukkan ekspresi senang, sedih, marah atau emosi apapun. Wajahnya berkespresi datar dan kosong.

"Alasdair, ayo turun!" seru seorang wanita dari lantai dasar yang tampaknya ditujukan pada anak lelaki itu.

Terdengar suara sepatu beradu dengan anak-anak tangga dalam tempo yang cepat, sepatu itu bermilik seorang wanita muda berbalut gaun pesta berwarna hijau emerald yang segera berada di lantai dua kastil itu.

"Ayo Alasdair, sepupumu menikah hari ini. Masa kau tidak mau menghadiri pesta pernikahan sepupumu yang selalu menemani dan mengasuhmu sejak kecil?"

Anak itu beranjak dengan malas dari tempatnya berdiri lalu menggamit tangan ibunya yang langsung membimbingnya menuruni anak-anak tangga tersebut.

Pesta itu diadakan di kebun. Para hadirin yang ada di sana tampak sekali adalah kalangan menengah ke atas. Pakaian mereka elegan nan mewah, para wanitanya menghiasi diri mereka dengan perhiasan-perhiasan mewah nan berkilau sementara kaum prianya berbalut pakaian-pakaian rancangan para desainer ternama.

Tapi suasana gembira dan bahagia itu tak berlangsung lama. Sebuah angin topan secara mendadak terbentuk di atas kepala mereka. Sekumpulan awan mendung tampak terbentuk dan hanya sejenak sebelum seluruh hadirin menyadari adanya mata badai yang mulai berputar di antara awan-awan tersebut. Tak sampai 10 menit, angin topan mulai memporak-porandakan pesta kebun itu.

Suasana pesta menjadi kacau, angin topan yang menerjang secara tiba-tiba itu menerbangkan seluruh dekorasi pernikahan yang telah ditata secara rapi dan indah sejak kemarin. Mempelai pria turut pula terseret oleh angin topan tersebut yang tidak terbawa terlalu jauh meski harus berakhir basah setelah terlempar ke sebuah kolam. Alasdair, anak lelaki yang aneh itu malah berjalan mendekati angin topan tersebut yang tentu saja disertai jeritan histeris ibu dan tamu-tamu undangan yang memperingatkannya untuk tidak mendekati pusaran itu lebih jauh. Tetapi entah mata mereka menipu atau memang sebegitu adanya, setiap kali Alasdair melangkah satu langkah, angin topan itu seolah juga mundur satu langkah. Setiap Alasdair mundur selangkah maka angin topan itu maju selangkah. Sampai pada langkah kelima anak itu menatap langit dan berbicara pada sesuatu yang tak kasat mata, "Kau, Sang Za'in Sambala tidak akan bertahta lebih lama dari pendahulu-pendahulumu. Satu kutuk besar akan terjadi, darah dari yang tak bersalah akan segera tertumpah di atas tanah api. Sesudah itu berakhirlah nyawamu dan nyawa seluruh anak keturunanmu!"

Suatu suara tanpa wujud menimpali kata-kata anak itu, "Heh? Seorang bocah? Berani sekali kau berkata seperti itu! Tidak ada satupun yang akan aku biarkan menghalangi jalanku! Apalah artinya satu atau dua korban nyawa lagi demi rajamu?"

"Satu-dua korban lagi katamu? Kau sudah melewati batasmu, Za'in Sambala!"

"Tidak ada batas yang dilewati, akulah yang menanam dan aku berhak pula menuai."

"Tidak! Kau hanyalah anak kecil yang diwarisi peternakan semut oleh ayahnya, kemudian dengan sukacita yang keji mempermainkan semut-semut yang ada di kotak kaca itu sesuka hatimu."

"Bocah? Aku tahu kemampuanmu luar biasa untuk ukuran manusia! Kau seorang indigo bukan? Kalian kaum indigo memang hebat, tapi meski dengan segala kehebatan itu, kau tetap tak layak melawan aku! Diamlah dan duduk manis seperti anak baik."

"Salah besar kau bicara seperti itu!" pekik Alasdair lagi, "Tahtamu yang terpuji akan segera berakhir. Satu kini akan jatuh ke dalam kutuk, tenggelam dalam hina dan sayap-sayap patahnya takkan mampu kembalikan ia ke langit!"

Suara tak berwujud itu pun menjawab dengan nada yang lebih mengancam, "Lancang kau padaku! Terimalah ini supaya kau bisa lebih menghargai kami!"

Sebentuk kilat menyambar tanah persis di samping kanan Alasdair dan setelah itu langit seolah terbelah, menampakkan wujud sesosok pria berbalut zirah berwarna perak dengan 4 sayap perak seperti burung elang di punggungnya tiba-tiba turun dari langit dan mendarat tepat di depan Alasdair. Seluruh mata yang hadir di situ memandang dengan ngeri pada apa yang tampak di depan mereka tetapi bocah itu tetap berdiri di sana dan tak bergeming sama sekali dari tempatnya berdiri, sorot matanya tetap tajam memandang kepada sosok yang ada di depannya.

Sosok yang berada di depannya kemudian berkata dengan angkuh, "Kau bocah, berani sekali kau menghinaku seperti itu! Kau kira siapa dirimu? Kuberitahu kau, kau hanyalah manusia biasa yang menyedihkan dan menganggap dirinya lebih superior daripada makhluk lain! Kini kubuktikan bahwa kaummu itu salah! Inilah hukuman yang akan kalian terima karena kaummu adakan pesta di wilayah pribadiku!" seru makhluk itu.

"Siapa yang menjadikan ini wilayah pribadimu?"

"Oh, Sang Raja Tunggal yang menjadikannya. Masa-masa dunia ini untuk kalian perintah sudah berakhir, sudah hampir tiba bagi kami untuk memerintah atas manusia. Dan sekarang ....," sosok itu tak lagi melanjutkan kata-katanya melainkan langsung menyerang Alasdair dengan sebuah lembing perak yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

"Matilah kau!" ujar sosok itu yang segera menghujamkan lembing itu ke arah Alasdair namun... anak itu sudah tak ada di sana.

"Hei? Lama sekali kita tidak bertemu... Contra Mundi," sosok manusia bersayap itu menoleh ke kanan dan mendapati Alasdair sedang berada dalam dekapan seorang gadis muda berambut panjang dan bermata biru yang mengenakan sebuah mantel merah dengan sebuah busur panah otomatis tersandar di punggungnya.

"Ahu-Tarakh!" gumam gadis itu geram.

"Nah! Sekarang kita berada di area yang benar, Contra Mundi! Area pertarungan di mana hanya boleh ada aku dan kamu. Apa kau ingin memulainya sekarang?"

"Kau sudah melewati batas, Ahu-Tarakh!" pekik gadis itu yang segera maju menerjang ke arah Ahu-Tarakh dengan sebuah belati berwarna keperakan terhunus di tangan kanannya.

Ahu-Tarakh terbang ke arah gadis itu dan mengayunkan lembingnya, hendak memukul kepala gadis itu. Namun gadis itu dengan gesit melompat ke atas lembing Ahu-Tarakh dan menendang dagunya sebelum akhirnya bersalto sejauh satu meter ke arah yang berlawanan.

"Lumayan!" ujar Ahu-Tarakh sambil mengelus-elus dagunya. Tak sampai dua detik, malaikat itu sudah melemparkan lembingnya ke arah gadis itu.

Gadis itu mengatupkan kedua tangannya, membaca entah sebuah doa atau mantra yang membentuk sebuah selubung energi berwarna biru di sekelilingnya. Lembing perak itu gagal mengenai dirinya, tapi seolah punya nyawa, lembing itu berputar-putar di sekelilingnya dan menghantam selubung energinya berkali-kali, seolah mencari celah masuk. Melihat gelagat itu, si gadis segera membentuk sebuah medan air di kedua tangannya dan membungkus lembing Ahu-Tarakh dengan selubung air yang segera membeku menjadi sebuah bongkahan es dan jatuh berdebam ke tanah.

"Hahahahaha! Ini menarik!" Ahu-Tarakh terbang mendekati gadis itu lalu mencoba mencengkeram kerah mantel gadis tersebut. Namun gadis itu segera melayang sejauh 1 meter ke belakang, menghindari tangan sang malaikat.

"Kau pikir kau bisa membelenggu senjataku semudah itu?"

"Nyatanya sudah kulakukan!"

"Jangan pikir dirimu hebat, Helena!"

"Oh, bukankah kami diciptakan untuk menandingi kalian?" gadis yang dipanggil Helena itu melempar seringai pada Ahu-Tarakh, "Tentu saja kami hebat."

Sementara itu para hadirin pesta dan kedua mempelai hanya bisa diam terpaku melihat kejadian yang terjadi di hadapan mereka. Tak ada yang berani bergerak bahkan jika mungkin mereka juga tak akan berani bernafas. Kaki-kaki mereka gemetar namun tak ada satupun yang tidak berdiri tegak di sana. Sang ibu dari anak bernama Alasdair itu memandang ke arah putranya yang berdiri diam di suatu tempat berjarak 30 langkah di hadapannya. Ia ingin menghampiri putranya itu namun entah kenapa kakinya seolah dipaku ke tanah dan tak bisa ia gerakkan sama sekali.

Helena dan Ahu-Tarakh saling menatap tajam satu sama lain dan akhirnya kedua insan itu saling berlari mendekat satu sama lain dengan sebuah tinju terkepal di masing-masing tangan mereka. Mereka hanya punya satu tujuan : mengalahkan lawan mereka! Tinju Helena dan Ahu-Tarakh saling berbenturan dan membentuk sebuah pusaran tornado. Ahu-Tarakh mengatupkan kedua tangannya, membentuk sebuah pusaran tornado api lalu menembakkannya ke arah Helena. Sementara Helena sendiri membentuk pusaran tornado berlemen air yang ia tembakkan pula ke arah Ahu-Tarakh. Kedua elemen yang saling berlawanan itu pun bertemu dengan dahsyatnya sehingga menimbulkan efek gaya dorong yang membuat baik Helena maupun Ahu-Tarakh terpental. Tapi mujur bagi Ahu-Tarakh, dengan sayapnya ia bisa berputar di udara dan mendarat di atas kedua kakinya. Sementara Helena tetap terpental hingga ia menabrak sebuah pohon pinus dan jatuh ke tanah setelah sebelumnya beberapa dahan pinus membuat pakaiannya robek dan kulit wajahnya lecet.

"Uh! Dia kuat!" gumam Helena yang langsung mendongakkan kepalanya. Tapi Ahu-Tarakh sudah tak ada lagi di tempat ia berdiri semula.

"Mencari aku?" sahut Ahu-Tarakh yang sudah berdiri di belakang Helena. Tanpa pikir panjang gadis itu segera merogoh ke dalam saku mantelnya dan menarik sebuah belati perak sepanjang 40 cm dan menghujamkannya ke arah Ahu-Tarakh namun malaikat itu sudah tak ada lagi di sana.

"Contra Mundi, kau memang punya kemampuan di luar manusia normal. Tapi... itu belum cukup untuk menghadapi Athir Kathana macam diriku," sahut Ahu-Tarakh yang tak tampak wujudnya sama sekali.

"Di mana kau? Jangan sembunyi layaknya pengecut, Ahu-Tarakh!"

"Pengecut? Pikir lagi Contra Mundi Helena. Bukankah diri kalian sendiri juga para pengecut? Menyerangku bersama-sama di Versigi saat itu? Kenapa musti kau bawa seluruh pasukanmu, Helena? Kau takut?"

"Bah! Apa yang harus kutakutkan dari sosok malaikat gila kuasa macam dirimu?"

"Kematianmu," jawab Ahu Tarakh dari belakang Helena.

"Eh?" Helena secara refleks langsung melemparkan belatinya ke arah Ahu-Tarakh, namun belati itu ditangkap Ahu-Tarakh dengan mudah.

"Menyerah sajalah, Contra Mundi! Dirimu tidak cukup kuat untuk melindungi semesta ini!" ujar Ahu-Tarakh yang tiba-tiba sudah berada di hadapan Helena dan mencengkeram leher gadis itu.

"Ergh!" Helena meronta, mencoba melepascan diri namun cengkeraman Ahu-Tarakh begitu kuatnya. Bahkan tubuhnya kemudian terhempas ke atas tanah akibat dorongan tenaga Ahu-Tarakh.

"Biarkan saja kami memanen semesta ini!" bisik Ahu-Tarakh di telinga Helena.

"Dalam mimpimu!" seru Helena sembari membentuk sebuah pisau air di tangannya yang ia tusukkan ke dahi Ahu-Tarakh, namun malaikat itu bergeming. Helena akhirnya melancarkan sebuah tendangan sekuat tenaga ke arah punggung malaikat itu sehingga malaikat itu terlempar sejauh empat langkah walau dengan cepat ia dapat bangkit kembali.

"Kalian sekarang bertarung tanpa Rajata. Bagaimana kalian bisa memenangkan pertarungan ini tanpa Rajata?" Ahu-Tarakh tersenyum sinis.

"Setidaknya tiga dari antara kami memilikinya," jawab Helena yang sudah bangkit berdiri walau tampak sekali ia susah payah melakukannya.

"Dua! Rajata ketiga belum dapat kalian gunakan! Kalian masih belum menemukan Putra Bumi!"

"Kau tahu banyak juga Ahu-Tarakh!"

"Dan sedikit sekali yang kau tahu, Helena!" ujar Ahu-Tarakh yang memukulkan kepalan tangan kirinya ke tanah.

"Apa yang hendak kau lakukan, Ahu-Tarakh? Menghentak-hentak bumi?" sindir Helena yang mempersiapkan busur otomatisnya dan membidik Ahu-Tarakh.

"Tidak!" jawab Ahu-Tarakh sambil tersenyum penuh arti, "Coba kau lihat ke bawah, Contra Mundi!"

Helena melihat tanah tempatnya berpijak kini dikelilingi oleh sebuah lingkaran cahaya. Dari dalam lingkaran-lingkaran cahaya itu muncullah benang-benang emas yang langsung menjerat dan mengikat tubuhnya hingga ia tak bisa bergerak.

"Ukh!" Ia mencoba melepascan diri dengan menyentakkan seluruh anggota tubuhnya namun benang-benang itu tak mau putus. Benang-benang itu tipis dan kuat, seperti senar, membuat anggota tubuhnya yang terjerat lecet setiap kali meronta.

"Sialan kau Ahu-Tarakh!" umpat gadis itu dengan pandangan berapi-api.

"Dan sekarang...," Ahu Tarakh mengibaskan tangan kanannya dan lembing miliknya yang terkurung dalam balok es itu tiba-tiba melesat keluar dan terbang menuju ke tangan kanannya dengan anggun, "Ini saatnya dirimu mati,... Contra Mundi!"

Helena terus menerus meronta dalam jeratan senar-senar emasi itu. Tapi usahanya sia-sia. Ketika ia mencoba membentuk pisau-pisau air, pisau-pisau itu langsung hancur menjadi butiran-butiran air kembali. Tampaknya lingkaran cahaya ini meniadakan kekuatannya.

Ahu-Tarakh berjalan perlahan menuju Helena dengan lembing perak di tangan kanannya. Selangkah setiap satu setengah detik, tapi bagi Helena waktu itu berjalan dua kali lebih cepat daripada biasanya. Ia tahu apa yang bakal menimpa dirinya. Ahu-Tarakh akan membunuhnya! Helena yang sudah penat dan menyerah hanya bisa diam tertunduk dalam jeratan benang-benang emas itu. Dirasakannya kekuatannya perlahan menghilang dan kakinya mulai tidak kuat menumpu tubuhnya lagi.

"Maafkan aku, teman-teman. Aku gagal," gumam Helena.

"Hei! Minggir kau!" hardik Ahu-Tarakh tiba-tiba. Helena membuka matanya dan melihat bocah lelaki bernama Alasdair itu menghalangi Ahu-Tarakh mencapai dirinya.

"Hei, Dik! Apa yang kau lakukan di sana?" seru Helena, namun Alasdair hanya diam.

"Nak! Cepat pergi dari sana!" seru wanita yang tak lain adalah ibu dari bocah lelaki itu, panik.

"Diamlah perempuan!" seru Alasdair kasar. Membuat baik ibunya maupun Helena diam ternganga.

"Apa yang hendak kau lakukan di sini, Nak? Menghalangiku?" ujar Ahu-Tarakh.

"Ya!" jawab Alasdair dingin.

"Kenapa kau lindungi Contra Mundi itu?"

"Karena kau sudah keterlaluan, Ahu-Tarakh."

"Keterlaluan? Aku raja kalian!"

"Siapa pula yang mengangkat dirimu menjadi raja?"

"Sang Raja Tunggal!"

"Aku tak mengenal-Nya."

"Kalau begitu turutlah mati bersama perempuan itu!" Ahu-Tarakh menghujamkan lembing itu ke arah Alasdair.

Tetapi Alasdair dengan santai menyentuh gagang lembing itu dengan ujung jari telunjuknya dan lembing itu hancur berkeping-keping.

Sosok malaikat itu terkejut bukan main dengan kejadian tersebut dan secara tiba-tiba Alasdair sudah berada di belakangnya, mengejeknya, "Waktunya aku untuk mati? Heh, tapi sayangnya aku masih hidup sekarang! Kenapa Ahu-Tarakh? Bukankah di kerajaan Sang Raja Tunggal kaulah yang paling berani di antara semua prajurit surga? Kenapa gentar dirimu karena hancurnya sebuah tombak?"

Sosok yang dipanggil Ahu-Tarakh itu menoleh ke belakang dan dengan cepat melancarkan sebuah bogem mentah ke wajah anak itu. Namun alih-alih menghindar, Alasdair dengan santai mengibaskan serangan Ahu-Tarakh seolah serangan itu hanyalah sebuah kapal-kapalan kertas yang melaju ke arah dirinya. Alasdair menyeringai, seringainya bukan seringai manusia biasa, seringainya membuat Ahu-Tarakh merasa takut, rasa takut yang tidak pernah ia rasakan selama ribuan tahun. Dalam hatinya ia bergumam, "Siapa anak ini?"

"Kau lemah tanpa Af-Radjium bukan, Ahu-Tarakh?" ledek Alasdair.

"Dari mana kau tahu namanya? Tak ada satupun makhluk fana yang tahu nama senjata para malaikat!" seru Ahu-Tarakh terkejut.

"Kau salah besar jika mengira aku adalah manusia Ahu-Tarakh!" jawab Alasdair sembari tersenyum simpul.

Alasdair mengangkat tangannya, jari telunjuknya menunjuk ke arah Ahu-Tarakh kemudian ia berkata, "Aku TITIK NOL! Dan kau tahu sendiri bahwa dalam wilayahku tak ada satupun makhluk-tak peduli sekuat apapun dia-dapat gunakan kekuatannya."

Tampak kaki Ahu-Tarakh gemetar mendengar nama itu dan kemudian Alasdair langsung melanjutkan kembali, "Musnahlah kau Za'in Ahu-Tarakh, biarlah yang tersisa darimu adalah jiwamu dalam jasad yang makhluk paling kau hina, ... manusia!"

Sebuah sinar ungu terang jatuh dari langit, menyelimuti tubuh Ahu-Tarakh dan dari dalam sinar itu terdengar jerit kesakitan yang amat memilukan dan sesudah itu lenyaplah sosok malaikat tersebut, menyisakan sebuah area berupa lingkaran hitam dan sesosok telanjang seorang pria berjanggut tipis dan berambut pirang sebahu terbaring tak sadarkan diri di sana.

[1] SMU

[2] Tiga ribu (Bahasa Jawa)

[3] Bendo adalah senjata tajam berupa golok yang ujungnya melengkung keluar, biasanya digunakan untuk memotong dahan pohon.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: