BAB XXIV : DWITUNGGAL

Siapa yang melupakan sejarah, dia akan ditakdirkan mengulanginya.

George Santayana

 “Kaspar bangun!” dalam ketidaksadarannya Kaspar menyaksikan sosok Sang Pencerita mewujud di hadapannya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.

“Di mana ini?” tanya Kaspar yang masih belum sepenuhnya sadar.

“Kau ada di alam ketidaksadaran! Lekas! Bangun! Hentikan Mahakala sebelum semuanya hancur!”

“Aku ... tidak bisa,” ujar Kaspar lirih.

“Kenapa? Apa karena kau merasa bersalah sudah ambil bagian dalam rencana kematiannya? Apa dengan itu ia dibenarkan untuk mencabut nyawa seluruh makhluk yang ada di tujuh dunia. Bangun Kaspar! Hadapi dia!”

“Kenapa bukan kau saja yang hadapi dia Sang Pencerita ah tidak ... Metatron.”

Kini Sang Pencerita terdiam, “Kau tahu darimana?”

“Dari segala kekhawatiran dan kepedulianmu terhadap manusia. Bukan sesuatu yang lazim bagi Kaum Pertama untuk bersimpati dan berempati terhadap manusia dan Kaum Ketiga. Yang membuatku berpikir bahwa kau dulu adalah manusia dan satu-satunya manusia yang pernah diangkat menjadi malaikat hanya satu orang. Metatron seorang.”

“Oke,” sosok Sang Pencerita mulai merubah dirinya menjadi sosok malaikat berzirah emas, bersayap logam perak, dan kepalanya tertutup oleh helm zirah emas, “Kau mau aku membantumu? Jauhkan Nandi dari meja takdir dan untuk saudara-saudaraku biar aku yang urus.”

Kembali sosok Sang Pencerita menghilang dan perlahan Kaspar mendapati kembali kesadarannya. Pelan-pelan matanya terbuka dan – meski masih kabur – ia menyaksikan sosok pria tengah menarikan sebuah tarian bertempo cepat mengitari ruangan Meja Takdir.

*****

Di antara layar-layar kejadian yang terpampang mengelilingi Nandi, ada tujuh layar yang bentuknya berbeda. Bentuknya seperti bola kaca dan yang ditampilkan di sana adalah segenap bencana : gempa, tsunami, tanah longsor, angin taifun dan badai, serta erupsi gunung berapi. Setiap kali Nandi selesai mengitari ruangan itu, pemandangan di ketujuh layar itu pun turut berubah. Seolah setiap kali Nandi menyelesaikan satu putaran maka satu bencana baru timbul di setiap muka bumi, mendekatkan setiap dunia pada akhir masanya.

Sementara itu Meja Takdir tampak mengeluarkan dua pilar merah membara yang mencuat ke atas langit – membuka sebuah portal berbentuk seperti pusaran air bewarna campuran keemasan dan hitam legam yang sesekali dihiasi kilatan petir – di atas langit Axis Mundi. Terlihat dalam beberapa layar dalam Ruangan Meja Takdir, pusaran itu tampak menarik sejumlah malaikat yang masih berada di Axis Mundi. Beberapa saat kemudian portal serupa tampak membuka di ketujuh dunia di berbagai tempat. Masing-masing portal itu juga menarik sejumlah besar Kaum Pertama yang masih tampak bertarung dengan sejumlah kecil Kaum Ketiga.  Para malaikat itu berteriak-teriak panik ketika portal-portal itu menyedot mereka. Para iblis yang turut serta sebagai sekutu mereka pun kini turut panik akibat peristiwa itu.

Nandi menyaksikan itu semua dengan senyum puas, “Satu kelompok beres!”

Gerak tari Nandi tampak lebih lambat sekarang. Gerak kaki menyilang yang semula melangkah dalam langkah lebar dan penuh emosi kini mulai tampak melangkah dalam langkah pendek serta perlahan. Kedua tangan Nandi tampak membuat gerakan seolah mencengkeram sesuatu berbentuk bulat di tangannya lalu benda itu seolah-olah dibanting ke tanah oleh Nandi. Gerakan itu ia ulang hingga tujuh kali sebelum Nandi mengganti gerakannya dengan melangkah mendekat ke arah Meja Takdir dan membuat gerakan seolah sedang menjunjung sesuatu dengan kedua tangannya. Ia lakukan hal itu sebanyak tujuh kali pula dan di saat yang bersamaan di ketujuh dunia tampak lubang-lubang neraka terbentuk di berbagai tempat.

Para iblis tampak berteriak-teriak panik ketika menyaksikan kemunculan lubang-lubang neraka itu dan memang wajar saja jika mereka sampai panik karena lubang-lubang itu segera berubah menjadi pusaran merah darah yang menyedot sosok-sosok mereka dari dunia yang mereka pijak. Bahkan iblis-iblis yang menyaru dalam wujud manusia serta tak turut bertempur dengan Kaum Ketiga pun turut terseret masuk. Namun yang ikut masuk ke dalam pusaran itu bukan hanya para iblis, beberapa manusia, mobil, motor, bus, dan gedung-gedung yang kebetulan berada di tempat kemunculan lubang neraka itu turut serta terseret masuk ke dalam lubang itu.

Nandi melihat itu semua, tapi ia tak berniat menghentikan tariannya meski suara panik orang-orang yang turut terseret ke dalam neraka itu bisa ia dengar. “Aku takkan berhenti,” katanya pada dirinya sendiri, “sampai seluruhnya kembali kepada ketiadaan.”

Namun tindakannya itu tiba-tiba saja diganggu oleh Kaspar yang menyergapnya dari belakang. Nandi yang memang sebenarnya sudah kepayahan langsung ambruk ke lantai sementara Kaspar mengunci gerakannya.

“Apa kau sudah gila Nandi? Kau membunuhi orang-orang yang tak bersalah!” seru Kaspar sembari terus berusaha mengunci gerakan Nandi yang sudah mulai meronta dan memberontak.

“Maksudmu ...,” Nandi akhirnya berhasil melepaskan diri dari dekapan Kaspar dan langsung memberi Kaspar hadiah gratis : sebuah tonjokan di wajah, “orang yang pura-pura tak bersalah. Yang tak acuh terhadap segala kekacauan dunia, yang di satu sisi berdoa memohon akhir dunia segera tiba namun di sisi lain terlalu takut untuk membayangkannya?”

“Itu tidak benar! Dari mana kau dengar pikiran-pikiran seperti itu, Nandi?” Kaspar masih meringis karena hidungnya berdarah – dan tampaknya patah.

“Dari mana katamu?” Nandi bangkit berdiri dan mencengkeram kerah baju Kaspar sebelum mendorongnya jatuh ke lantai, “Apa kau tidak dengar apa yang aku dengar?” Nandi menatap marah kepada Kaspar.

“Apa yang harus aku dengar!” Kaspar balas menyerang Nandi dengan satu bola petir dan Nandi langsung terjungkal ke belakang. Kaspar langsung tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan merapal sebuah mantra kilat sekali lagi yang langsung menghantam Nandi hingga ia tampaknya lumpuh sesaat.

Kaspar menoleh ke arah Nataraja yang masih terpasang kuat di atas Meja Takdir dan dengan segera melesat ke arah Nataraja lalu mencengkeram kuat batang trisula tersebut sebelum mencoba menariknya dari meja itu dengan sekuat tenaga. Usahanya berhasil, Nataraja terlepas dari tempatnya dengan diiringi teriakan panik Nandi, “Tidak! Apa yang baru saja kau lakukan?”

“Mengajakmu bicara, Nandi,” Kaspar menyeka hidungnya yang masih mengucurkan darah, “Kita berdua adalah Master Mahan, kita berdua mengetahui rahasia-rahasia yang tak diketahui orang lain. Tapi masing-masing dari kita hanya memegang separuh dari kebenaran itu. Karena itu mari sudahi segala perkelahian ini. Beritahu aku semua latar belakangmu yang membuatmu hendak menghancurkan dunia ini.”

“Dan apa yang akan kau lakukan?”

“Aku mengambil posisi sebagai pembela dunia, Nandi. Dan kau jaksa penuntutnya. Kau melempar argumen, aku melempar argumen. Siapa yang menang, dialah yang akan menentukan nasib dunia.”

“Kenapa aku harus setuju dengan caramu? Aku bisa saja memenggal kepalamu sekarang juga kalau aku mau.”

“Lalu kenapa tidak kau lakukan?”

Nandi mengangkat sebelah tangannya dengan ragu-ragu. Kaspar langsung menyambung lagi kata-katanya, “Kau tahu bukan jika keberadaan kita adalah dualitas tak terpisahkan. Dwitunggal menurut orang-orang negeri asalmu. Aku dan kau harus tetap ada apapun yang akan terjadi. Sebelum ia menemukan penerus, seorang Master Mahan tak boleh tewas. Apa aku benar?”

Nandi menurunkan tangannya lalu menatap Kaspar yang matanya berbinar penuh sorot kemenangan. Nandi sendiri hanya mendesah sesaat sebelum berujar, “Pembela dulu atau jaksa dulu?”

“Silakan jaksa dahulu.”

Nandi menundukkan tubuhnya dan menempelkan tangannya ke lantai emas di hadapannya. Sesaat kemudian ruangan itu tiba-tiba menjadi gelap gulita, dan tempat yang mereka pijak bukan lagi sebuah ruang serba emas melainkan kehampaan. Nandi menjentikkan jemarinya dan layar-layar yang tadinya berada di Ruang Meja Takdir pun bermunculan.

“Pada masa-masa yang telah lalu,” Nandi mulai bicara, “seni berperang adalah satu-satunya cara untuk melanggengkan kekuasaan. Seiring dengan berlalunya abad dan masa, pengetahuan manusia berkembang dan lahirlah politik serta diplomasi.”

Sebuah layar melayang ke hadapan Nandi dan Kaspar menunjukkan bagaimana senator-senator dari sebuah masa yang lampau duduk dalam ruang sidang dan saling beradu argumen dengan panas.

“Politik dan diplomasi, diharapkan mengurangi pertumpahan darah yang sia-sia. Tapi pada kenyataannya bumi tetap menerima jutaan liter darah yang tercurah saban tahunnya karena sesuatu bernama perang. Dan yang mereka yang mengaku beradab lakukan jauh lebih buruk daripada kematian. Budak-budak yang terpenjara oleh aturan yang mengikat, budak-budak yang mereka ambil dari negeri-negeri yang mereka jajah. Negeri yang semula damai dan tentram dan tidak mengenal perang dan pembantaian tiba-tiba saja mengenal yang namanya kekejaman. Bumi mendengar setiap keluhan, desahan putus asa, dan jeritan para budak ini. Bumi juga mendengar tangisan para ibu yang suami dan anak-anaknya dibantai oleh tentara-tentara – yang membunuh atas perintah negara. Bumi juga mendengar setiap pekikan derita yang mereka alami akibat perlakuan kejam para majikan mereka.”

Layar kembali menunjukkan beberapa adegan pada Kaspar dan Nandi. Kaspar langsung merasa mual ketika menyaksikan beberapa adegan yang tersaji di sana. Ia menyaksikan bagaimana seorang wanita diperkosa beramai-ramai sebelum akhirnya dicabik-cabik dengan pisau dan pedang bak hewan berpenyakit. Ia juga menyaksikan bagaimana seorang budak lelaki – yang semula adalah petani dengan keluarga yang bahagia – tiba-tiba saja dirampas haknya, dirantai saban harinya, dan suatu hari ia dipukuli sampai mati tanpa alasan yang jelas oleh para pesuruh tuannya.

“Bumi juga mendengar kata-kata terakhir mereka yang telah menjemput ajal dengan cara yang tidak pantas. Dengarkan!”

Suara-suara ratusan bahkan ribuan orang tiba-tiba membahana di sekeliling Kaspar. Itu adalah gabungan suara wanita, pria, bahkan anak-anak.

Aku tak ingin mati! Tak ingin mati!

Tuhan tolong!

Aku belum mau mati! Aku masih punya anak!

Tuhan jagalah keluargaku!

Sebagian suara lagi malah terdengar mengumpat-umpat kasar, mengutuki orang-orang yang membunuh mereka.

Semoga neraka jadi tempatmu nanti!

Jahanam! Haram jadah! Kalian lebih hina daripada anjing buduk!

Aku mengutuk kalian dan segenap keturunan kalian!

Kepala Kaspar terasa nyaris pecah ketika mendengar sekian banyak sahut-sahutan itu.

“Ibuku adalah Bumi, anak-anak ibuku adalah Bumi, dan akupun Bumi,” Nandi menghentikan perkataannya sejenak, “Aku mewarisi apa yang ibuku dengar, apa yang ibuku rasakan. Aku mewarisi jiwanya, aku mewarisi harapannya.”

Layar di hadapan Kaspar kembali menayangkan adegan lain. Kali ini adalah adegan yang menunjukkan sosok Pertiwi tengah menggendong seorang orok bayi di pangkuannya dan di hadapannya ada seorang pria Melayu berjanggut tipis – Adhibratha Mursito – menerima bayi itu di pangkuannya sendiri.

“Akan jadi apakah dia ini?” tanya Adhibratha.

“Apa yang kau inginkan darinya, Sayang?” tanya Pertiwi.

Adhibratha Mursito memandangi anak di pangkuannya itu selama beberapa saat, “Aku ingin dia jadi orang biasa, hidup layaknya orang biasa, dan bahagia selayaknya orang biasa.”

Pertiwi tampak tertawa, “Dia tidak akan menjadi orang biasa. Akan ada masa di mana ia akan menjadi sosok yang engkau harapkan. Ia akan menemukan ‘kebahagiaan’ tapi itu semu. Sesudah itu ia akan dipandu untuk bertemu lagi denganku, dengan saudara-saudaranya yang lain. Pada saat itulah ia akan memiliki takdir besar, takdir yang melampaui takdir semua anak yang pernah lahir di duniamu.”

“Dan apa itu?”

“Ia akan menjadi hakim. Hakim yang mengadili seluruh umat manusia.”

*****

Pemandangan itu akhirnya pudar dan layar itu pun menghilang, Kaspar melihat Nandi tengah mengamatinya dengan tatapan yang menyiratkan rasa puas dan rasa menang. Kaspar langsung menegakkan tubuhnya lagi dan menuding Nandi, “Kalau kau memang hakim, seharusnya kau malu telah mengorbankan manusia-manusia itu seenak perutmu sendiri!”

Nandi berkilah, “Menjadi hakim bukan berarti kau bisa membebaskan penjahat seenak perutmu sendiri. Jika kau melakukan itu, kau sama saja dengan orang-orang yang berlaku tidak adil di negeri tempatmu tinggal atau di setiap negeri yang ada di muka bumi.”

“Memangnya apa salah mereka Nandi?”

“Salah mereka? Mungkin mereka punya salah, mungkin mereka punya dosa, mungkin juga hanya bernasib naas karena kebetulan berada di tempat itu. Tapi jika kita menimbang salah-benar dari masing-masing jiwa maka yang kita dapati hanyalah kehancuran. Iblis dan malaikat tetap ada di bumi, merongrong keseimbangan dan pelan-pelan menghancurkan kebudayaan manusia dengan pertikaian mereka sendiri.”

“Dan kau pikir solusimu menghancurkan dunia itu adalah yang paling tepat?”

“Menurutmu bagian mana dari rencanaku yang tidak tepat?”

“Segala pertumpahan darah memang tragis, tapi bagaimana sebuah benteng pertama kali dibangun? Manusia belajar menggunakan kayu dan batu sebagai benteng dari pengalamannya diserang musuh. Dan berabad-abad kemudian struktur kayu dan batu yang semula adalah benteng itu menjadi dasar dari bangunan-bangunan yang lain : bendungan, pencakar langit, rumah ibadah, kanal dan tanggul sungai. Struktur yang memastikan manusia hidup lebih layak dari generasi pendahulunya. Ketika manusia sudah hidup layak ...,” kata-kata Kaspar disela Nandi.

“Yang mereka pikirkan adalah bagaimana mereka bisa ‘lebih’ dari orang lain. Punya lebih banyak harta, punya posisi yang lebih tinggi, dan sebagainya. Dan manusia pun mulai saling memangsa, tak ubahnya seperti hewan-hewan di alam liar. Manusia jadi tak lebih dari binatang yang berpikir.”

“Tapi dari situ mulai timbul sebuah pemikiran tentang dunia, bagaimana manusia mulai menjelajah, menemukan kebudayaan lain – yah disertai pertumpahan darah memang, dan mulai meletakkan dasar-dasar tentang ‘kemanusiaan’ lagi. Mereka mulai belajar untuk memahami perbedaan antar mereka sendiri sama seperti halnya kita, para Contra Mundi, dikumpulkan dari berbagai bangsa, aku percaya jika kita terus membiarkan mereka belajar kita akan melihat sebuah utopia. Utopia yang terwujud. Tidakkah kau menginginkan melihat hari itu datang, Nandi?”

“Tidak,” jawab Nandi tegas.

“Tidak?”

“Berapa lama lagi kita harus menunggu? Berapa lama lagi Bumi harus mendengar rintihan derita dan kucuran darah yang sia-sia? Dan berapa lama lagi kita harus melihat ...,” Nandi menjentikkan jarinya lagi dan layar itu menayangkan sejumlah orang berpenampilan ‘suci’ tengah mengucapkan kata-kata bohong bahwa dirinya adalah seorang utusan Tuhan, penyelamat dunia, “segenap Al-Masih palsu yang saling bersekongkol melawan kebahagiaan manusia?”

Kaspar sudah mulai panik, bujuk rayunya tak mampu mengubah pendirian Nandi dan ia tidak mampu melontarkan kontra-argumen yang tepat. Tapi sesaat kemudian satu ide muncul di benaknya, sesuatu yang pernah ia bicarakan dengan Master Mahan terdahulu.

“Pendahuluku berkata Master Mahan Kedua jauh lebih kuat daripada yang lain ketika pendahuluku menemui ‘dia’ sesaat sebelum ajal menjemputnya.”

“Lalu, bagaimana cara melawannya jika kita mesti berhadapan dengannya? Lari?”

“Lari mungkin ide paling bagus tapi di saat kau tidak bisa lari, cobalah ingatkan dia pada janjinya.”

“Janji apa?”

“Sang Alpha membuatnya mengucapkan tiga sumpah. Sumpah pertama : ia tidak akan menghancurkan dunia saat Master Mahan lainnya menemukan bahwa dunia masih punya harapan, sumpah kedua : ia takkan pernah membunuh sesama Master Mahan, dan sumpah ketiga : ia takkan mati sebelum ia menemukan penerus. Jadi ... jika dia hendak membunuh seseorang yang sangat penting bagimu, pastikan kau menghalanginya. Meski kau dibuatnya babak belur atau nyaris buta, kalau kau tidak bisa lari jangan lari!”

Kaspar kini bertanya, “Apa perintahmu Nandi? Apa perintah yang diucapkan Sang Alpha pada Mahakala?”

“Mengembalikan delapan semesta ke dalam ketiadaan ketika kondisi seluruh semesta mustahil untuk diperbaiki.”

“Dan apa kriteria mustahil itu?”

“Hilangnya cahaya dari muka bumi.”

“Ah, kalau begitu Mahakala, kau secara tak langsung berjanji jika kau masih melihat satu titik cahaya saja di atas muka bumi maka kau takkan menghancurkan dunia.”

“Memang demikian, dan kini aku tidak lagi melihat titik-titik cahaya di muka bumi.”

“Oh kau menyempitkan pandanganmu Mahakala. Aku masih melihat cahaya-cahaya di atas bumi.”

“Di mana?”

Kali ini Kaspar yang mengayunkan tangannya dan menjentikkan jarinya. Pemandangan tujuh semesta terbentang di hadapan mereka berdua, masing-masing dicitrakan sebagai sebuah bola dunia yang diliputi kabut gelap dengan beberapa titik cahaya berpendar lemah di beberapa tempatnya. “Masih ada harapan, Nandi,” ujar Kaspar.

“Harapan?” Nandi tampak tertawa getir, “Bagaimana aku bisa berharap jika manusia hanya menghormati yang sudah mati, dan tak pernah menghormati orang yang hidup? Mereka selalu menyanjung-nyanjung yang sudah mati tapi menghujat orang-orang ini semasa hidupnya. Menelikungnya dengan fitnah dan ancaman atau lebih parah lagi rencana pembunuhan. Bagaimana aku bisa percaya Kaspar? Bagaimana?”

“Jika kau menghancurkan seluruh dunia, akan pulang ke mana dirimu?”

Lagi-lagi Nandi tertawa getir, “Pulang? Aku tak punya tempat untuk pulang.”

“Kau punya dua saudara di rumah lamamu Nandi. Aku yakin mereka akan menunggumu.”

“Oh ya? Masa?” Nandi mengibaskan sebelah tangannya dan layar di hadapannya menunjukkan sosok Sumitra dan Wima tampak duduk berhadapan dengan serius.

“Apa maksud Kak Sumitra dengan menolak Kak Nandi seandainya dia datang kemari?” tanya Wima dengan penuh emosi.

Sumitra menjawab, “Wima, tenang dulu. Aku tidak bermaksud menolak dia sebagai saudara tapi kau tahu sendiri kan bahwa kini Nandi jadi buronan. Polisi di seluruh negara ini mencarinya dan lebih lagi Mama akan pulang ke rumah sebentar lagi dan dokter sudah mewanti-wanti aku supaya menjaga Mama dari segala hal yang menyebabkan jiwa Mama tergoncang lagi. Karena itu aku minta kau mengerti Wima. Kita tidak bisa menerima Nandi untuk sementara waktu sampai Mama benar-benar sehat.”

“Dan kapan Mama bisa sehat?”

“Aku tidak tahu, aku tidak bisa memastikan.”

“Ya ampun, Kak. Kak Nandi sudah bertaruh nyawa menyelamatkan dirimu saat diserang di Taman Gatot Subroto dahulu. Dia juga menyerahkan sejumlah uang untuk membayar perawatanmu sampai sembuh. Dan sekarang kau mau menolaknya?”

“Wima, mengertilah. Ini hanya untuk sementara.”

“Sementara eh? Jangan bilang karena satu gertakan saja jiwa demonstranmu kini gentar Kak Sumitra.”

“Aku tidak gentar, tapi kita harus menjaga keselamatan Mama kan? Biar bagaimanapun juga beliau itu ibu kita. Ibu dan Saudara, mana yang akan kau prioritaskan?”

Wima diam sejenak sebelum menjawab dengan ragu,”Ibu ... tapi ... tapi ... bukankah itu terlalu kejam buat Kak Nandi?”

“Kakakmu itu masih punya Kak Sanjaya di luar sana. Mereka pasti akan paham kondisi kita dan pastinya akan baik-baik saja.”

Pemandangan itupun lenyap dan Kaspar menatap ngeri ke arah Nandi yang tampaknya punya bahan dakwaan baru, “Polanya berulang Kaspar. Mereka bicara di belakangku dan menusuk diriku dari belakang pula. Mereka tidak menginginkan aku sama seperti yang kau dan teman-temanmu lakukan dulu. Tak ada lagi azaz yang ditaati. Tak ada lagi yang bisa aku dan kau percayai dan pada siapa rahasia pengetahuan kita bisa kita bagi di masyarakat yang perlahan sudah kehilangan keberadaban mereka?”

*****

Helmut kini merasakan yang namanya sekarat dan ketakutan akan mati. Ia sudah mendengar bagaimana di masa-masa yang lampau keberadaan Mahakala adalah dongeng menakutkan baik di kalangan malaikat maupun Nephilim. Sosok Kaum Ketiga yang dikatakan mampu menghancurkan seluruh peradaban manusia hanya dalam sekejap dan tak ada satupun malaikat ataupun Nephilim yang kembali hidup-hidup ketika bertemu dengannya.

Helmut meremehkannya dan sekarang ia menemui akibatnya. Nataraja baru saja menghujam tubuhnya dan seolah menyedot setiap tetes energi yang tersisa dalam dirinya. Beberapa malaikat mengatakan bahwa Nataraja memiliki racun di ujung bilahnya, beberapa lagi mengatakan bahwa trisula itu punya daya menghisap energi kehidupan. Tapi manapun yang benar Helmut sudah tidak peduli lagi. Ia sudah gagal melaksanakan misinya dan kini bergerak pun ia tak sanggup.

Suara langkah kaki sepatu beralas keras yang beradu dengan ubin-ubin marmer terdengar jelas di telinga Helmut. Ia memaksa diri menoleh ke arah datangnya suara itu dan di sana ia melihat seorang wanita berpotongan rambut pendek – nyaris seperti laki-laki – berjalan mendekat ke arahnya.

“Olivia,” ujar Helmut lemah.

“Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu Helmut. Aku tahu kau mengkhianati kami bukan tanpa alasan. Nah, sekarang jelaskan padaku apa alasanmu itu kalau tidak ... .”

“Kalau tidak apa?”

“Haris memerintahkanku untuk mengakhiri nyawamu sekarang juga.”

“Ha ha ... kau tidak kemari atas perintah Haris. Kau kemari karena kau merasakan kehadiranku. Benar kan?”

“Kenapa Helmut?”

“Kenapa eh? Mungkin karena aku ketakutan Olivia.”

“Ketakutan?”

“Aku sudah pernah kemari sebelum bertemu kalian semua. Aku menyaksikan sendiri betapa banyak dan hebatnya kekuatan Kaum Pertama yang akan kita tantang dengan hanya tujuh orang saja. Itu sebabnya aku gundah, aku ragu, tapi di saat itu kalian semua malah menggantungkan harapan padaku. Za’in Etria – dunia asalku – pun tak sanggup aku kalahkan. Aku tak sanggup, aku ketakutan, dan aku ragu. Di saat seperti itulah ingatan Kairos dari masa lalu muncul, menawarkan sebuah solusi : jalan tengah yang sedari dulu ia pikirkan untuk menjembatani konflik ini.”

“Yaitu mencabut kehendak bebas manusia?” tebak Olivia.

Helmut terbatuk-batuk sesaat, “Ya. Begitulah. Tapi jauh dari itu semua aku punya sebuah rencana cadangan.”

“Macam?”

“Kaum Pertama itu lupa bahwa mereka butuh izin Metatron – sang pencatat – untuk menggunakan Meja Takdir. Aku pikir jika aku berhasil menundukkan salah satu Master Mahan maka aku bisa bertemu Metatron, aku bisa menggunakan Meja Takdir untuk menarik pulang malaikat-malaikat itu, tanpa mencabut kehendak bebas manusia. Kita menang, kita bebas, dan takkan ada lagi malaikat atau iblis yang akan mengancam kita.”

“Salah satu?” Olivia memiringkan kepalanya.

“Nandi. Dia juga seorang Master Mahan.”

“Ah, jadi itu sebabnya kau membunuhnya.”

“Ya. Aku berharap dengan membunuhnya dia takkan pernah menjadi Master Mahan dan tidak akan pernah ada Mahakala baru di bumi ini.”

“Tapi dia kembali.”

“Ya, takdir berjalan sangat aneh dan ketika dia kembali dia menjatuhkan hukuman padaku sekarang. Tidak ... bukan hanya padaku ... tapi juga pada tujuh dunia.”

“Apa maksudmu?”

“Tujuan akhir Nandi hanya satu Olivia : kehancuran total. Menghancurkan seluruh peradaban untuk dibangun ulang dari awal oleh Kaspar.”

“Itu gila!”

“Tidak, tidak gila. Itu memang tugasnya. Sang Alpha memberikannya tugas itu. Tapi ... kehancuran seluruh peradaban seperti itu akan jadi kesia-siaan bukan?”

“Sangat!” Olivia menarik Ostagar yang tergantung di pinggangnya sedari tadi, “Di mana dia sekarang?”

“Kau takkan bisa menghentikannya dengan Ostagar semata Olivia,” Helmut kembali batuk-batuk kali ini disertai darah yang menghitam, “Ambil Rajataku. Pakai itu untuk melumpuhkan Nandi dan hentikan dia!” Helmut menunjuk lemah kepada kedua gladius kembarnya.

“Helmut, apa kau ...,” kata-kata Olivia tak sempat ia selesaikan karena pada saat yang bersamaan tangan Helmut yang semula menunjuk ke arah gladius kembarnya tiba-tiba jatuh lunglai tak bertenaga.

“Helmut!” Olivia berlutut dan mengguncang-guncang tubuh Helmut lalu memeriksa nafasnya. Tak ada nafas, tak ada denyut nadi ataupun jantung.

“Helmut...,” Olivia tertunduk penuh penyesalan di hadapan jenazah Helmut. Gadis itu tak berlama-lama larut dalam kesedihan. Segera saja ia menatap ke arah dua Rajata Helmut yang tergeletak tak jauh dari tempat itu. Dengan penuh kemarahan ia mengambil kedua Rajata itu.

“Halo Nona Olivia,”kedua Rajata itu menyapa Olivia.

“Ke mana Nandi pergi?” tanya Olivia tanpa basa-basi.

“Ke puncak menara. Ke ruang Meja Takdir.”

*****

“Setidaknya kau masih punya Sanjaya, Nandi,” kembali Kaspar melempar argumen, “Kau tahu? Beberapa waktu setelah Sanjaya ditarik keluar dari neraka, ia selalu menyatakan betapa menyesalnya ia telah menukarkan jiwanya dengan jiwamu. Ia berduka dari hari ke hari untukmu. Ia bahkan membangun sebuah makam untukmu di Valhalla dan saban harinya berkunjung ke makam itu. Menangis di sana lalu memukul dan mengutuki dirinya sendiri. Sanjaya tidak sedang berbohong ataupun bersandiwara Nandi. Ia memang terluka dan merasa sangat menyesal. Itu sebabnya ia begitu gembira menyaksikan kau kembali. Kumohon Nandi, tidakkah Sanjaya juga sosok penting bagi ibu tirimu itu? Tidakkah di dunia sana Sanjaya juga sedang dinanti oleh kedua saudaramu?”

“Kenapa aku harus peduli, Kaspar? Sementara dunia tidak menginginkan aku? Dan lagi jika kebiadaban ini terus dibiarkan, bukankah akan lebih banyak orang baik yang menderita akibat perkara-perkara yang tak nampak oleh mata mereka? Perkara-perkara yang dibuat oleh orang-orang yang tak taat pada azaz dan tak mampu diatur oleh hukum-hukum manusia.”

“Nandi. Tolonglah! Aku tahu betapa banyak kesempatan tak pernah datang padamu,” ujar Kaspar dengan nada memohon, “Tapi setidaknya ... bisakah kau berikan kesempatan kepada anak-anak yang lahir setelah dirimu? Anak-anak yang masih punya kesempatan untuk memperbaiki dunia? Yang masih bisa diselamatkan dengan pemahaman yang baik?”

“Apa kau bisa menjaminnya Kaspar? Menjamin mereka semua tidak membuat dunia lebih buruk dan hancur daripada sebelumnya?”

“Kau sendiri, tahukah kau apa yang akan terjadi dalam kehampaan? Kehampaan itu menyakitkan Nandi, lebih menyakitkan dibanding penyiksaan. Karena dari penyiksaan kau masih bisa ‘merasa’. Tapi dari apa yang ada di kehampaan selain hampa? Aku tahu tugasmu Mahakala, aku juga sedikit mengerti akan kemarahanmu. Tapi aku tahu kau lebih kuat daripada ini. Kau mampu menekan amarahmu selama ini bukan? Kenapa kau tidak coba menekannya sekali lagi?”

“Demi siapa?”

“Demi setiap jiwa yang masih percaya bahwa kehadiran mereka di dunia adalah untuk berbagi dengan samanya, hidup bersanding dengan alam, dan masih menjunjung tinggi standar kebaikan yang hakiki.”

Nandi terdiam sesaat sebelum bertanya, “Berapa lama?”

“Apa?”

“Berapa lama waktu yang kau minta untuk mewujudkan mimpi utopismu itu?”

Kaspar diam sejenak sebelum menjawab, “Sepuluh. Sepuluh abad.”

“Itu cukup?”

“Ya.”

“Kalau begitu,” Nandi menjentikkan jarinya sekali lagi dan suasana gelap tempat mereka berdiri tadi segera kembali menjadi Ruang Meja Takdir. Tapi baru saja mereka kembali, Kaspar sudah dipaksa menyaksikan adegan sadis sekali lagi. Dua bilah gladius tampak menembus dada Nandi membuat mata pemuda itu membeliak sebelum akhirnya jatuh terduduk di atas lantai.

“Olivia!” Kaspar secara refleks segera menyambar Nataraja yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri lalu mengayunkannya sehingga timbul pusaran angin hitam yang menghempaskan Olivia keluar dari ruangan itu, jatuh bebas keluar menara tersebut. Lalu dengan panik ia menghampiri Nandi yang mulutnya tampak berkomat-kamit menggumamkan sesuatu.

“Ce .. laka,” Nandi berujar lirih, mengekspresikan kepanikannya akan sesuatu.

“Kenapa Nandi?”

“Meja Takdir ... panggil Sang Pencerita.”

Tanpa buang waktu lagi Kaspar langsung berlari ke arah Meja Takdir di mana Damian yang tampaknya baru saja pulih kesadarannya juga tampak berjalan mendekati meja itu. Meja itu kini tampak retak dan dari retakan itu merekahlah hawa panas membara.

“Apa ini, Kaspar?” tanya Damian.

“Aku juga tidak tahu. Tapi Damian ... cepat tolong Nandi dan panggil yang lain.”

“Nandi, bukankah dia musuh?”

“Tidak lagi! Sudahlah! Cepat! Lalu panggil siapa saja asal jangan Olivia!”

“Oke,” Damian segera menghambur ke arah Nandi sementara Kaspar segera menyentuh meja itu sambil memejamkan mata, memusatkan segala konsentrasi dan inderanya guna memanggil satu entitas : Sang Pencerita.

Lima detik berkonsentrasi akhirnya tampaklah sebuah bola cahaya emas yang muncul di hadapan Kaspar dan segera mewujud menjadi sosok malaikat agung Metatron alias Sang Pencerita.

“Ada apa? Kenapa seluruh tempat ini jadi berguncang hebat?” tanya Metatron.

Kaspar juga baru sadar jika tempat itu tengah dilanda gempa hebat tapi dengan cepat Kaspar menjawab pertanyaan Metatron dengan disertai ungkapan kekesalannya pada Olivia, “Seorang dari kami dengan sangat bodohnya telah menusuk Nandi alias Mahakala dari belakang ketika aku baru saja memenangkan debat! Sesudah itu jadilah seperti ini!”

Metatron menyapukan tangannya ke Meja Takdir lalu menoleh ke arah Damian dan Kaspar secara bergantian, “Seorang Kaum Ketiga harus mengorbankan diri di sini guna menjaga Meja Takdir tetap utuh meski seluruh Axis Mundi ini runtuh. Sebab jika meja ini hancur, maka dunia kalian pun ikut hancur.”

“Mustahil! Nandi sudah menghentikan tariannya, kenapa dunia ini tetap hancur?”

“Penyelesaiannya tidak sempurna. Tarian Mahakala terdiri dari dua fase : fase penghancuran dan fase penciptaan. Mahakala baru saja menarikan fase penghancuran dan itupun tak sempurna. Untuk menghentikan fase penghancuran ia harus menarikan fase penciptaan.”

“Ungh,” Nandi mengerang, “Aku akan tinggal ... dan menyelesaikan semua ini.”

“Kau tinggal ataupun tidak, Mahakala,” Metatron menuding ke arah Nandi, “Tak akan ada bedanya. Kau tidak bisa menarikan tarian itu lagi. Dan semua ini akan jadi lebih buruk jika kau sampai mati. Tidak boleh ada satupun Master Mahan yang mati sebelum menemukan penerus.”

“Kalau begitu biar aku yang tinggal!” Damian mengajukan diri.

Kaspar langsung mendelik ke arah Damian, “Damian, kau jangan gila! Sofia membutuhkanmu!”

“Kaspar,” Damian menepuk bahu saudara kembarnya, “Aku harusnya sudah mati dua tahun yang lalu. Tapi karena kau bersedia memikul bebanku maka aku pun lolos dari takdir kematian itu. Sekarang giliranku membalas budi baikmu itu, Kaspar.”

“Damian, jangan!” Kaspar berusaha menghalangi Damian yang beranjak mendekati Meja Takdir. Metatron sendiri tampak tidak bereaksi apa-apa, tidak berusaha mencegah tindakan Damian.

“Kalau aku tidak melakukan ini, semuanya akan mati, Kaspar. Kau tahu sendiri kan?”

“Tapi Sofia ...,” Kaspar tampak berusaha membujuk saudara kembarnya itu sekali lagi.

“Aku titipkan Sofia padamu, Kaspar. Jaga dia!” lalu dengan kasar Damian menghempaskan Kaspar dan Nandi keluar dari ruangan itu dengan sebuah kekuatan telekinesis. Pintu ruangan Meja Takdir pun segera tertutup begitu Kaspar dan Nandi keluar dari tempat itu.

Kaspar langsung menghambur kembali ke pintu emas itu dan menggedor-gedor pintu itu seperti orang hilang ingatan sambil berteriak-teriak histeris, “Damian! Damian! Hei Damian!”

Guncangan di tempat itu semakin keras tapi Kaspar tak mempedulikan itu semua. Sampai sebuah tangan secara kasar menariknya dari pintu itu. “Si Profesor sudah aku dapat, Ying Go bawa kami pergi dari sini!” itu suara Sanjaya.

Detik berikutnya Kaspar tak lagi ingat apa-apa lagi karena ketika ia terbangun, ia sudah berada di sebuah dipan di Alam Semesta Persada.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top