BAB XXIII : MAHAKALA DAN TARIAN AKHIR ZAMAN
Beda melahirkan bahasa dan membentuk hidup
―Goenawan Mohammad ―
Nandi tidak lagi menyangkal perkataan Helmut sekarang. Kata-kata pemuda Nephilim itu memang benar. Ia memang dilahirkan untuk sebuah tujuan dan tujuan itu adalah menghancurkan seluruh peradaban. Saat Kanistara dan Salaya bersatu, Kanistara sempat berontak, sempat menyatakan bahwa kelak ia akan menyesali keputusannya. Ia tak menghiraukan kata-kata Kanistara itu, ia tak lagi mempercayai Rajata itu setelah Rajata itu tega berkhianat pada dirinya.
Penyatuan dua Rajata itu membuat sosok Mahakala – yang masih mengambil sosok serupa Nandi – muncul lagi. Ia tersenyum tipis sambil menuding ke arah trisula itu, “Kau punya nyali. Yang sebelumnya sudah gemetaran ketika menyatukan dua Rajata ini.”
“Yang sebelumnya?” tanya Nandi.
“Rancasan,” jawab Mahakala, “Ia memanggil Nataraja untuk mengakhiri konflik ini tapi ia gagal. Ia ragu-ragu di saat genting dan itulah sebabnya Kairos berhasil mengambil Kanistara dari dirinya, menyisakan hanya Salaya semata.”
“Kau bohong soal kau bagian dari diriku kan?”
“Ya,” Mahakala mengangguk, “aku terpaksa berbohong supaya kau tidak shock.”
“Shock atas apa?”
“Aku membawa rahasia dan siapapun yang berhasil menemui aku mau tidak mau harus mewarisi rahasiaku.”
“Siapa kau?”
“Aku Mahakala, dan aku menjaga sebuah rahasia. Aku adalah satu dari dua Master Mahan – para pemegang rahasia – dan soal tugas utamaku ... boleh dibilang aku adalah semacam ‘protokol keselamatan’ semesta. Aku muncul ketika dunia sudah jauh dari kata ‘bisa diperbaiki’ dan sangat dekat dengan kata ‘mustahil diperbaiki’. Beberapa kebudayaan memanggilku dengan nama Izrail, beberapa lagi memanggilku sebagai Siwa. Dan ya, mereka tidak salah. Kedatanganku selalu mendatangkan kehancuran dan siapapun yang menjadi ‘aku’ – mewarisi peranku – harus sangat hati-hati supaya tidak membawa kehancuran total atau berakhir dengan tindakan pendaur-ulangan yang tidak tuntas.”
Ingatan Nandi langsung teringat pada Uzair, “Uzair, semesta itu tidak tuntas hancur bukan?”
“Ya, medan tempur terakhir antara Kaum Pertama dan Kaum Ketiga di masa lalu terjadi di Uzair. Dan Rancasan – yang kekuatannya sudah banyak berkurang – pada akhirnya tidak sanggup menghancurkan kedelapan dunia. Ia hanya sanggup menghancurkan Uzair dan karena itulah proses ‘kelahiran kembali’ tak pernah terjadi.”
“Kelahiran kembali? Maksudmu ... siklus yang berulang?”
“Ya, Sang Alpha mewariskan satu protokol padaku : setiap kali dunia hancur, hancurkan dengan sempurna, sebab jika tidak, takkan ada lagi kelahiran kembali. Setiap kali dunia hancur, ia akan terlahir kembali melalui proses alam yang panjang. Kebudayaan akan tumbuh kembali dan adalah tanggung jawab Master Mahan – yang satu lagi – untuk mengajari manusia akan kebudayaan.”
“Jadi apa aku harus menghancurkan peradaban saat ini?”
Mahakala tidak menjawab, ia hanya menjentikkan jemarinya dan ratusan layar yang menampilkan segala tindakan tak beradab manusia mulai dari yang ‘paling halus’ – fitnah dan penipuan –, pembunuhan, pemerkosaan hingga penyiksaan-penyiksaan biadab terpampang di depan mata Nandi. “Menurutmu bagaimana?” Mahakala kembali bertanya.
“Aku tahu apa yang harus aku lakukan.”
“Aha, kau cepat belajar. Kalau begitu sampai jumpa lagi, Nandi,” dan sosok Mahakala pun lenyap.
*****
Saat ini Helmut sudah menghunus kedua gladiusnya dan siap-siaga untuk menyerang Nandi. Nandi memisahkan kembali Nataraja menjadi dua sundang – Salaya dan Kanistara – lalu menatap Helmut tanpa berkedip sambil terus berjalan memutari ruangan. Suasana di tempat itu menjadi berat dan tegang dan ketegangan itu tampaknya tak bisa dicairkan dalam waktu dekat.
Sampai ketika sesosok malaikat berbalut baju zirah emas dengan tinggi menjulang empat meter menjebol tembok tempat Nandi dan Helmut tengah berhadap-hadapan. Nandi langsung melompat menghindari reruntuhan bangunan yang berjatuhan ke arahnya. Helmut pun demikian namun ia langsung melompat ke bahu sang malaikat itu dan melemparkan salah satu gladiusnya ke arah Nandi. Nandi mengangkat Kanistara, menangkis serangan Helmut namun gladius itu ternyata melaju sangat kuat dan penuh tenaga sehingga Nandi pun turut terdorong keluar dari menara hingga akhirnya jatuh di pelataran menara yang tersusun atas batu-batu pualam putih berkilau.
Malaikat raksasa itu langsung turut turun dan siap menghantam Nandi dengan tangannya yang berbalut sarung tangan logam keras. Nandi segera berguling menghindari pukulan itu sehingga malaikat itu hanya menghancurkan tatanan batuan taman yang ia pijak, sesuatu yang mungkin membuat para desainer taman akan melolong sedih menyaksikan taman sebagus itu dihancurkan.
Helmut mengembangkan sayap hitamnya dan mulai menyerang Nandi dengan menyabet-nyabetkan gladiusnya. Nandi menangkis dan sesekali mencoba menusuk Helmut, namun Helmut bergerak sangat cepat dan gesit. Sementara itu malaikat raksasa itu juga turut menghalangi gerak Nandi sehingga Nandi cukup kesulitan untuk menyerang.
“Demiurge!” Helmut memanggil nama malaikat itu, “Lontarkan dia!”
Sosok Demiurge menggeram lalu mencabut satu petak bagian lantai taman dan melemparkannya ke arah Nandi. Nandi tak sempat menghindar karena Helmut terus menerus menyerangnya sehingga gerakannya menjadi terhalang. Akibatnya jelas, petak lantai itu menghantam kepala Nandi telak dan menghempaskan Nandi sejauh beberapa meter, menembus tembok beberapa bangunan mirip barak prajurit dan tiang-tiang berwarna putih.
“Uh,” Nandi merasa sedikit pusing akibat hempasan dan benturan tadi. Demiurge – secara mengejutkan – jauh lebih kuat daripada Saklas.
“Ragu?” sosok Mahakala dalam wujud bayangan hitam muncul sesaat di samping Nandi sebelum menghilang lagi.
“Tidak,” Nandi cepat-cepat berdiri dan memungut Kanistara yang sempat terjatuh tapi saat hendak melangkah kakinya terasa seperti dilem ke tanah tempat ia berpijak.
“Apa ini?” Nandi bertanya-tanya.
Pertanyaannya belum terjawab karena Demiurge tiba-tiba saja sudah melayangkan tinjunya ke arah Nandi. Secara refleks Nandi menangkis serangan itu dengan menyilangkan dua senjatanya di hadapan Demiurge. Pukulan Demiurge menghantam dua bilah senjata itu, menimbulkan percikan api, dan kembali membuat Nandi terdorong mundur. Tapi karena kakinya terjebak di tempatnya berdiri, Nandi merasa seolah tubuh bagian atasnya hendak terpisah dari kakinya akibat dua gaya yang saling tolak menolak itu.
Belum selesai ia menahan serangan Demiurge, Helmut tampak melesat turun dari angkasa dan menyemburkan Antinencidio – semburan api berwarna biru – yang langsung menyelimuti Nandi dan sebagian tangan Demiurge. Demiurge tampak tak terpengaruh namun Nandi sangat terpengaruh.
Panas! Begitu Nandi menjerit dalam hatinya, jeritan yang tidak ia lontarkan melalui mulutnya meski kulit wajahnya sudah terbakar sebagian dan tangan kirinya sudah mulai melepuh. Ia sudah bersumpah akan melawan dan takkan pernah sekalipun merintih atau minta ampun lagi. Amarahnya kembali naik ke ubun-ubunnya. Dia! Matanya menatap benci ke arah Helmut. Semua ini gara-gara dia! Segala rasa sakit yang aku alami ini karena dia!
Dengan sekuat tenaga Nandi mendorong Demiurge yang akhirnya mendorong mundur Demiurge sebanyak dua langkah. Dan tepat saat tangan Helmut yang berkobar nyaris mengenai dirinya, waktu di tempat itu tiba-tiba saja berhenti. Tak ada angin yang bergerak, Demiurge yang tadi dipaksa melangkah mundur tampak berdiri diam dengan hanya berpijak pada satu kakinya. Langit di atas kepala Nandi dan Helmut kini tampak berwarna campuran merah darah dan putih kelabu. Hanya Helmut dan Nandi satu-satunya yang masih bergerak bebas.
“Kau menghentikan waktu!” Helmut yang terperanjat berseru kepada Nandi sembari menyabetkan gladiusnya ke arah pergelangan tangan kanan Nandi. Nandi berkelit dan berhasil melindungi pergelangan tangannya dengan menangkiskan Kanistara pada senjata Helmut. Helmut balas mengayunkan pedangnya yang satu lagi kepada Nandi dan kembali Nandi menangkisnya dengan Salaya. Terjadilah aksi saling kunci antara dua orang itu.
“Jadi menurutmu apa yang akan aku lakukan jauh lebih buruk daripada pengkhianatanmu, Helmut?” Nandi menyindir.
“Pengkhianatan yang kulakukan adalah demi keselamatan seluruh semesta.”
“Dengan mengorbankan seluruh Kaum Ketiga?”
“Kalian tidak perlu binasa jika kalian mendengarkan. Seharusnya kalian tahu bahwa seluruh masalah ini pada ujungnya berhulu pada satu masalah : manusia. Manusialah – dengan kehendak bebas mereka – yang telah mengadu-domba kita. Pada mulanya mereka mendatangkan Kaum Kedua, kemudian mereka mendatangkan Kaum Pertama dan pada akhirnya memohon Kaum Pertama untuk membinasakan Kaum Ketiga. Lalu apa? Semenjak itu yang terjadi di antara kami hanyalah permusuhan dan pengucilan. Saudara-saudara kami di surga meninggalkan kami di sini, sementara para iblis merajalela di dunia. Jumlah kami terbatas dan masih saja kalian mengganggu rencana kami.”
“Tujuan Kaum Pertama,” Nandi menyentakkan Salaya, membuat pertahanan Helmut sempat goyah meskipun senjata Helmut dan Nandi kembali beradu dan mengunci tak berapa lama kemudian, “adalah meniadakan dunia supaya kalian bisa bertarung dengan bebas tanpa halangan bukan?”
“Ah, jadi itu selama ini yang kalian kira? Salah Nandi. Dulu itu sempat menjadi tujuan kami, tapi sekarang ... tujuan kami adalah mencabut hak ‘berkehendak bebas’ manusia. Mengakhiri segala konflik yang terjadi selama 5 Milyar tahun sejak manusia pertama diturunkan di bumi.”
“Dan kalian pikir Kaum Kedua akan mau berdamai begitu saja dengan Kaum Pertama?”
“Mereka harus mau!”
“Heh,” Nandi tampak melempar senyum mengejek pada Helmut.
“Ada yang lucu Nandi?”
“Tentu ada ,” Nandi masih tersenyum, “Tapi sesuatu itu tak bisa kujelaskan dengan kata-kata Helmut Redeemes. Mungkin ...,” Nandi berbuat curang dengan melayangkan tendangan ke ‘titik pusat’[1] Helmut. Helmut tidak tampak menunjukkan raut muka kesakitan tapi tekanannya pada Nandi mengendur dan akhirnya dengan dua sentakan Helmut tampak terhuyung mundur.
Kali ini giliran Nandi yang menyerang. Sabetan demi sabetan senjata Nandi ditangkis oleh Helmut. Helmut pun sesekali balas menyerang namun belum mampu mendesak Nandi untuk mundur. Jantung Helmut pun berdegup lebih cepat. Ada ketegangan yang diselipi rasa takut merasuki dirinya. Pemuda di hadapannya ini sudah jauh berkembang melampaui dugaannya dan kini – meski raut wajahnya tidak menunjukkan seperti itu – ia tampak bernafsu untuk menghabisi nyawanya untuk membalas dendam atas segala penderitaan yang telah ia alami.
Helmut tidak tahu persis bagaimana neraka itu karena ia belum pernah ke sana oleh karena darah malaikatnya. Keturunan Kaum Pertama memang tak berhak dan tak diizinkan masuk ke neraka karena adanya rasa permusuhan antara dua kaum itu. Tapi bagi Nephilim yang sudah kehilangan nyawanya, masuk ke neraka bukan hal yang mustahil. Sebab di dalam tubuh mereka pun mengalir separuh darah manusia dan ketika mati, apa yang tersisa dari jiwa mereka hanyalah bagian-bagian manusianya. Tak ada lagi kesucian dan kekuatan malaikat dalam diri mereka.
“Sekarang kau takut, Helmut?” Nandi masih menghujaninya dengan serentetan serangan.
Helmut tak menjawab, ia masih saja sibuk menangkis serangan Nandi ketika ia menyadari bahwa Nandi kini hanya bertarung dengan satu sundang. Satu sundangnya lagi tak ada. Menyadari adanya bahaya yang mengancam, Helmut segera berguling menghindari hujaman Salaya yang melesat dari belakang, menyasar punggungnya.
Nandi menangkap Salaya kembali dan bersamaan dengan itu waktupun kembali berjalan. Helmut melihat bahwa lawannya ini tampak banjir keringat. Menghentikan waktu memang memakan banyak energi, sesuatu yang ia tahu benar karena ia juga memiliki kemampuan seperti itu. Itulah sebabnya di antara para Contra Mundi hanya Nandi yang bisa mengimbanginya sebab Nandi memiliki kemampuan yang serupa.
Ketika waktu sudah berjalan kembali, Helmut berseru kepada Demiurge, “Demiurge! Pergilah ke ruang Meja Takdir dan hentikan Kaspar!”
“Bagaimana dengan dia?”
“Aku bisa mengurusnya sendiri!”
Demiurge tidak berdebat lebih lanjut. Ia langsung mengembangkan sayap peraknya dan melesat ke arah puncak menara. Sementara itu Helmut dan Nandi kembali saling pandang dan saling menimbang kekuatan lawan.
“Tenagamu pasti banyak terkuras,” kata Helmut.
“Heh, kurasa kau pun juga tidak lebih baik,” balas Nandi.
“Mau mencoba?” tantang Helmut.
“Silakan duluan,” Nandi mengacungkan salah satu sundangnya ke arah Helmut.
Mendengar dirinya ditantang Helmut segera maju dengan dua gladius yang siap menikam dan menangkis serangan apapun yang akan Nandi lancarkan. Tapi perhitungan Helmut sedikit meleset. Alih-alih menangkis serangannya, Nandi justru menyatukan kedua Rajatanya menjadi Nataraja dan menghujamkannya ke dada Helmut.
“Akh,” Helmut merasakan seluruh energi hidupnya diserap masuk ke dalam trisula Nataraja itu dan hisapan itu tak jua berhenti meskipun ia mencoba melawannya dengan kekuatannya untuk menghentikan waktu.
“Kala adalah aliran waktu yang tak terbendung! Sebentuk Carieskinesis[2]! Absolut! Tak terelakkan! Dan segala kala itu ada dalam diriku,” ujar Nandi sebelum mencabut tombak trisula itu dari dada Helmut dan membiarkan Helmut roboh tanpa daya ke jalanan berlapis marmer itu.
Marmer yang semula putih itu kini ternoda oleh merahnya darah. Helmut merasa seluruh energi kehidupannya telah diserap habis. Bergerak pun kini ia tak mampu sehingga yang bisa ia lakukan hanya merintih dan sesekali terbatuk-batuk. Di sisi lain Nandi tampak memandangi Helmut dengan tatapan puas sebelum menendang tubuh Helmut dengan kasar supaya tubuh itu berbalik dan ia bisa melihat wajah pria yang ia benci.
“Sakit Helmut?” tanya Nandi.
Helmut tak menjawab, hanya terbatuk-batuk dan sesekali berdeguk seperti kehabisan nafas.
“Yang kaurasakan itu sama persis dengan perlakuanmu padaku di Uzair dulu!”
Lagi-lagi Helmut hanya diam, tak menjawab. Nandi pun kemudian hanya terdiam saja. Ia bahkan tak mengeluarkan serapah atau umpatan apapun kepada Helmut. Alih-alih demikian ia malah berbalik mundur dan meninggalkan Helmut sendirian, membiarkannya sekarat.
“Tunggu!” panggil Helmut lemah, tapi Nandi pura-pura tak mendengar dan terus berjalan ke arah menara.
*****
Di tempat lain Kaspar dan Damian juga tidak sedang dalam kondisi baik. Penjaga-penjaga yang menyerang mereka memang tidak seberapa kuat, tapi daun pintu menuju ruangan Meja Takdir sangat sulit untuk mereka buka. Diserang dengan mantra destruktif, yang terjadi justru mantra itu berbalik menyerang mereka, ditarik bersama-sama daun pintu yang berhias relief-relief malaikat itu tetap bergeming.
“Coba lagi!” Damian yang baru saja tersambar serangan petir milik Kaspar sehingga sebelah tubuhnya kebas masih saja ngotot mencoba meski Kaspar sendiri lebih memilih untuk berpikir sejenak.
Gagasan di kepala Kaspar itu segera ia rubah setelah ada pesan masuk ke benggalanya, “Kaspar! Apa kau sudah selesai dengan Meja Takdir itu?” itu suara Haris.
“Belum, pintunya macet,” jawab Haris.
“Lekaslah! Jumlah pasukan kita tinggal sedikit dan pembantaian terus berlanjut!”
Kaspar kini menjadi semakin khawatir akan keselamatan teman-temannya. Tapi di sisi lain ia merasa tak mampu untuk membuka pintu ini. Ia mencoba menghubungi Sanjaya tapi Sanjaya tak menjawab, ia mencoba menghubungi Nandi dan respon Nandi pun sama : tak ada jawaban.
“Yah, ayo kita coba lagi,” Kaspar beranjak mendekat ke pintu itu namun sesosok malaikat bertubuh besar – Demiurge – tiba-tiba saja merangsek ke dalam ruangan tempatnya berada dan langsung melayangkan satu tinjunya ke arah Kaspar. Kaspar berkelit dengan berlindung dan merunduk di balik sebuah pilar yang ada di dekatnya. Pilar itu hancur namun setidaknya nyawa Kaspar selamat. Begitu pilar tempatnya berlindung hancur, Kaspar langsung melontarkan satu lajur petir ke arah Demiurge. Demiurge terhenyak sesaat tapi tak sampai tiga detik kemudian ia balas menyerang Kaspar dengan menembakkan pisau-pisau bayangan yang muncul dari ketiadaan.
Damian sigap dengan ancaman pisau-pisau itu. Ia juga membentuk pisau-pisau cahaya yang serupa dengan pisau-pisau Demiurge dan balas menyerang Demiurge. Pisau-pisau milik kedua pihak itupun saling berbenturan dan saling menghancurkan di udara. Demiurge kembali menyerang, kali ini ia mengincar Damian.
Kali ini Kaspar yang sigap menolong Damian. Ia membentuk jejaring dari material listrik dan melemparkannya ke arah Demiurge. Demiurge meronta kuat dan dengan beberapa sentakan jaring itupun akhirnya koyak. Demiurge langsung menarik yang masih memegang kuat jaring itu Kaspar dan membanting pemuda itu ke sebuah tembok air terjun buatan.
Tembok itu hancur dan nyaris saja Kaspar jatuh bebas dari ketinggian seratus tingkat ini. Untungnya ia sempat berpegangan dengan sebuah patung malaikat berkepala empat – Kerubim – yang menghiasi sisi luar menara sehingga ia tak jadi terjatuh. Ketika ia memanjat lagi, ia melihat Damian tengah terdesak oleh Demiurge. Serangan tongkat cahaya Damian memang berkali-kali masuk, namun serangannya tak mampu menembus tebalnya zirah yang dikenakan Demiurge.
Kaspar menarik keluar Lorës të déri dari kantongnya lalu melemparkannya ke arah Damian, “Damian! Tangkap!”
Damian menoleh kepada Kaspar lalu berguling menghindari serangan Demiurge dan menangkap Rajata yang pernah menjadi miliknya itu. Segera sesudah Rajata itu berada di tangannya, Damian mengarahkan larasnya ke arah Demiurge dan menarik picu senjata itu enam kali, masing-masing tiga tembakan ke dua titik: kedua sayap Demiurge.
Enam tembakan tadi sukses mematahkan sayap Demiurge dan membuat malaikat itu mundur sejenak. Kaspar yang melihat adanya kesempatan langsung bergegas naik kembali ke ruangan itu meski kakinya sempat terpeleset berkali-kali. Ia terlalu lelah untuk terbang dan entah kenapa suasana di tempat ini membuatnya merasa kekuatannya melemah sementara kekuatan para malaikat dan iblis tampak berlipat ganda.
“Kalian tidak tahu apa yang akan terjadi jika kalian mengusir kami, Contra Mundi,” geram Demiurge.
“Kami tahu!” Damian bersiap menarik picu pistolnya lagi, “Dunia yang bisa kami bangun tanpa kalian.”
“Dan menyisakan kehendak bebas?”
“Kehendak bebas sudah melekat pada diri kami dan manusia sejak semula.”
“Kalian akan gagal, manusia akan memanggil kami lagi atau mungkin memanggil Kaum Kedua. Kalian akan terjebak dalam perang tanpa akhir.”
“Keberadaan kalian di sini pun tak mampu mengakhiri perang,” Kaspar yang sudah naik kembali ke lantai itu langsung menodongkan Rajatanya yang tersisa – Tiér Eradixa – ke arah Demiurge.
“Itu karena Sang Pencerita tutup mata atas proposal kami. Ia mengabaikan kami dan akan terus mengabaikan kami jika kami belum membuktikan bahwa pendapatnya salah besar,” Demiurge beranjak bangkit sambil mengepalkan kedua tangannya, “Karena itulah kami harus memenangkan perang ini. Karena itulah seluruh Kaum Ketiga yang tak mau tunduk harus dibinasakan supaya dengan itu kami bisa mendapatkan izin Sang Pencerita untuk menggunakan Meja Takdir guna mencabut kehendak bebas manusia.”
Di antara kepalan tangan Demiurge tampak sebuah pusaran hitam yang semakin lama semakin membesar. Kaspar dan Damian secara serempak menembak telapak tangan Demiurge namun tindakan mereka ini ternyata berujung musibah. Pusaran di tangan Demiurge semakin membesar, membentuk sesuatu mirip portal dimensi namun berdaya hisap kuat. Kaspar dan Damian nyaris saja terhisap masuk ke pusaran itu kalau saja Damian tidak sigap merapal mantra pelindung yang – meskipun tidak total – mampu mereduksi efek hisap dari pusaran itu.
Dengan adanya selubung pelindung ini, Kaspar segera melemparkan lajur-lajur petir ke arah Demiurge. Serangan Kaspar lumayan kuat, mampu membuat Demiurge mundur beberapa langkah.
“Terus Kaspar!” Damian membidik bagian ulu hati Demiurge dengan senjatanya dan kembali malaikat itu dipaksa mundur. Demiurge tampaknya tak mau terus-terusan terdesak. Ia akhirnya melangkah maju dengan langkah berat sambil membentuk kobaran api di antara kedua tagannya.
“Merunduk!” seru Kaspar ketika menyaksikan kobaran api itu. Damian menurut dan benar saja tak berapa lama setelah mereka merunduk dan menghindar, Demiurge memang menyemburkan lajur lidah api ke arah Damian dan Kaspar. Begitu melihat lawannya berpencar, ia mengarahkan lajur serangannya ke arah yang berbeda, ke arah Kaspar dan Damian.
Damian akhirnya membentuk kembali tongkat cahayanya dan menghantamkannya kepada Demiurge. Demiurge mundur selangkah namun secara umum Demiurge tidak terpengaruh oleh serangan Damian. Kaspar balas menembaki Demiurge lagi namun tidak jua berhasil membuat malaikat itu mundur. Alih-alih mundur, dengan satu ayunan tangannya, Demiurge sukses menghempaskan Damian keluar dari menara itu.
“Damian!” Kaspar berteriak panik dan berusaha menyusul Damian namun satu bogem mentah mendarat di wajahnya dan menghempaskannya ke sebuah tembok yang masih utuh. Wajah Kaspar kini memar dan berdarah. Pandangannya pun mulai kabur tak jelas. Kacamatanya turut hilang pasca terhantam pukulan Demiurge itu. Sekarang Demiurge – di balik helm zirahnya – tampak menatap Kaspar dengan tatapan penuh benci, “Begitu kedua Master Mahan musnah takkan ada lagi kebudayaan, tak akan ada lagi yang akan membicarakan kehendak bebas.”
Demiurge bersiap melayangkan kembali pukulannya namun Kaspar segera membentuk perisai halilintar dan dua kekuatan – otot dan halilintar – itupun segera beradu. Terdengar suara derak dan suara gesekan listrik yang sangat kuat selama beberapa saat.
“Berapa lama kau bisa bertahan Master Mahan? Perisaimu ini takkan cukup kuat untuk menahanku selamanya! Begitu tenagamu habis, habislah pula nyawamu! Jangan membuat dirimu lebih menderita lagi Master Mahan! Terimalah bahwa dirimu sudah kalah!”
“AKU-BELUM-KALAH!” Kaspar mengalirkan lebih banyak listrik ke perisainya. Sebuah usaha yang tampaknya sia-sia saja karena Demiurge sama sekali tak tampak terpengaruh. Tapi tak berapa lama kemudian ada sebilah senjata menusuk leher Demiurge – melalui sela-sela zirahnya – sehingga Demiurge pun mengalihkan pukulannya ke lawan yang menusuknya dari belakang. Kaspar pun terbebas dan pukulan Demiurge sendiri luput.
Seseorang menarik tubuh Kaspar menjauh dari tempat itu, ketika Kaspar menoleh ia mendapati kembarannya lah yang telah menariknya, “Damian? Kau selamat?”
“Nandi menolongku,” jawab Damian sembari menunjuk ke arah Nandi yang tampak menarik keluar bilah senjatanya dari leher Demiurge.
Tampaknya Demiurge benar-benar murka karena tindakan Nandi itu. Ia berkali-kali mengayunkan kepalan tinjunya ke arah Nandi, tapi selalu luput. Nandi pada sebuah kesempatan akhirnya menyusup selalui sela kaki Demiurge dan memanjat naik ke kepala Demiurge lalu menusukkan kedua sundangnya ke leher malaikat itu lagi. Demiurge menggeram dan berusaha menarik turun Nandi dari kepalanya tapi Nandi tetap bersikeras bertahan dengan menggenggam erat sundangnya meski pada akhirnya ia terlempar juga dari kepala Demiurge. Meski begitu kedua sundangnya masih juga menancap di leher Demiurge.
Damian membentuk sekian puluh pedang-pedang cahaya dan melontarkannya ke kepala Demiurge. Demiurge menyilangkan tangannya di depan mukanya, berusaha menangkis serangan-serangan Damian. Di saat yang sama Kaspar menarik picu Tiér Eradixa cukup lama sehingga terbentuklah bola energi listrik yang cukup besar di ujung larasnya. Begitu bola energi itu menghantam Demiurge, Demiurge langsung limbung dan mundur dua langkah ke belakang.
“Kaspar, tembaki terus!” Damian melemparkan kembali Lorës të déri kepada Kaspar lalu meloncat ke kepala Demiurge dan menggengam kuat kedua sundang Nandi. Demiurge kembali berusaha menarik turun pengganggu yang bertengger di kepalanya dan tengah berusaha memutus lehernya itu namun tembakan-tembakan yang dilancarkan Kaspar membuat sesuatu itu tak terhindarkan.
Dengan sekuat tenaganya, Damian berhasil memenggal kepala si malaikat. Kepala Demiurge pun jatuh menggelinding di lantai sementara Damian sendiri langsung melompat turun dengan membawa serta dua sundang milik Nandi.
“Terima kasih untuk pedangnya,” Damian menyerahkan kembali kedua Rajata di tangannya kepada Nandi.
“Sama-sama,” pandangan Nandi beralih ke arah pintu menuju ruang Meja Takdir.
“Kenapa kau tidak masuk Kaspar?” tanya Nandi.
“Pintunya tidak mau terbuka betapapun kerasnya kami coba!” gerutu Damian.
“Ya,” Kaspar menimpali, mengiyakan keluhan Damian, “seperti itulah.”
Nandi mendekat ke arah pintu emas yang ternyata berukir sosok-sosok malaikat, iblis, dan para dewa tersebut. Ukiran-ukiran itu berubah dari waktu ke waktu, beberapa ukiran tiba-tiba menghilang dan beberapa lagi muncul, begitu terus dari waktu ke waktu. Tapi Nandi segera menyadari bahwa meski ukiran-ukiran itu terus berganti ada celah kecil – nyaris tak terlihat oleh mata karena begitu berkilaunya pintu itu.
“Kaspar,” Nandi menolehkan kepalanya ke arah Kaspar, “Aku pinjam senjatamu.”
“Untuk apa?” Kaspar bertanya.
“Tampaknya celah ini cocok dengan satu atau dua senjatamu,” Nandi menunjuk ke arah celah itu. Kaspar mendekat dan mengamati bahwa memang benar demikian. Celah itu memang bentuknya mirip kedua pistol yang ia genggam. Ia mengulurkan satu senjatanya dan seperti ditarik oleh magnet, senjatanya tiba-tiba melesak masuk ke dalam celah itu.
Namun pintu itu masih juga belum terbuka sehingga Damian menyarankan Kaspar untuk memasukkan senjatanya yang satu lagi, “Coba dekatkan Tiér Eradixa.”
Kaspar mencoba mendekatkan Rajatanya yang satu lagi namun pintu itu bergeming diam.
“Coba ditarik?” usul Nandi dan kedua saudara kembar itupun setuju. Mereka berusaha menarik pintu itu dengan sekuat tenaga mereka. Hasilnya nihil, pintu itu bergeming.
“Kok begini sih?” Kaspar menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sementara benggalanya tiba-tiba bergetar dan memancarkan hawa panas.
“Kaspar! Apapun yang sedang kalu lakukan cepatlah!” terdengar suara Ying Go dari seberang sana, “Kita benar-benar sudah terdesak.”
Kaspar tidak menjawab, hatinya kesal karena apa yang ia cari sudah ada di depan mata namun pintu sial ini menghalangi dirinya dengan titik akhir tujuannya. “Sial!” Kaspar menendang pintu itu kuat-kuat namun tetap saja pintu itu bergeming.
Nandi masih mengamat-amati pintu itu sambil sesekali memijit-mijit dagunya. Namun karena tak mampu juga menyelesaikan masalah ini, akhirnya ia bertanya pada Rajatanya, “Kanistara, Salaya, bagaimana menurut kalian?”
Salaya yang menjawab, “Satukan kami lagi dan carilah tempat di mana kami bisa berpijak.”
“Eh?”
“Hanya itu yang kami tahu. Hanya itu yang kami ingat dari pesannya ketika Mahakala Pertama selesai menempa kami.”
Pandangan Nandi beralih ke lantai marmer yang ia pijak. Ada satu ubin lantai yang tampak sedikit berbeda dengan yang lainnya. Ubin itu tampak memiliki celah meskipun sempit dan Nandi pun langsung menghunus Salaya lalu mencongkel ubin itu. Benar saja, di sana ia dapati sebuah lubang dengan serangkaian mekanisme roda gigi perak yang di tengahnya terdapat lubang kecil berdiameter tiga centimeter. Ukuran yang sama dengan Nataraja miliknya. Ia menyatukan kedua Rajatanya kembali dan memasukkan Nataraja ke dalam lubang kecil itu dan memutarnya searah jarum jam.
Segera saja terdengar suara derak roda gigi yang terdengar di sepenjuru ruangan dan ketika ketiga pemuda itu melihat ke arah pintu emas itu, tampak Rajata milik Kaspar – Lorës të déri – telah berputar berlawanan arah jarum jam dan menembakkan berkas sinar kuning keemasan yang akhirnya mengalirkan semacam energi kuning menyala ke sela-sela relief pintu. Tak berapa lama kemudian terdengar suara ‘KLANG’ keras sebanyak dua kali dan pintu itupun terbuka.
“Wooo!!! Hebat Nandi! Dari mana kau tahu soal itu?” Damian yang selama ini tampak dingin tiba-tiba saja bersorak gembira sembari memasuki ruangan di balik pintu itu.
“Tunggu sebentar!” Kaspar langsung berdiri di hadapan pintu yang terbuka itu. Menghalangi Nandi untuk memasuki ruangan itu, “Bagaimana kau bisa tahu soal mekanisme itu?”
Nandi yang telah mencabut Nataraja dari kunci mekanis itu langsung mendekat ke arah Kaspar sambil melempar senyum penuh arti, “Kurasa kau sudah tahu bagaimana aku tahu soal itu kan, Master Mahan?”
“Jangan-jangan,” tangan Kaspar dengan gemetar menuding ke arah Nandi.
“Ya!” Nandi menghentakkan Nataraja ke lantai marmer di hadapannya dan langsung saja Kaspar terhempas masuk ke dalam ruangan Meja Takdir, “Aku juga sama sepertimu Kaspar. Aku juga Master Mahan.”
*****
Ruangan tempat Meja Takdir berada adalah sebuah ruangan polos tanpa hiasan ukiran, patung, ataupun gambar. Namun semua yang ada di tempat ini adalah emas murni. Tiangnya, lantainya, bahkan sebuah meja panjang – satu-satunya perabotan yang ada di ruangan itu – yang berada di tengah ruangan itupun berlapiskan emas.
Kaspar terhempas cukup jauh, sekitar dua meter dari pintu emas yang terbuka itu. Masih syok atas fakta yang ia temukan barusan, “Nandi ... adalah Master Mahan ... tidak ... mustahil.”
Damian tampak langsung sigap ketika menyaksikan kembarannya dihempaskan oleh Nandi. Langsung saja ia menyerang Nandi dengan aneka mantra dan beberapa pedang bayangan.
“Nandi, apa-apaan kau ini? Kau berkhianat?”
“Aku tidak berkhianat Damian. Aku hanya hendak menjalankan tugasku,” jawab Nandi kalem. Meskipun Damian menyerangnya secara beruntun, ia selalu bisa menghindar atau menghancurkan serangan Damian.
“Kenapa ... Nandi?” Kaspar bertanya lirih.
“Pertanyaan yang sama kuajukan kepadamu Kaspar, “ Nandi berhenti sejenak dan menuding ke arah Kaspar, “Kenapa kau mengiyakan saja rencana Helmut saat itu?” ia merujuk kepada aksi pembunuhan yang direncanakan Kaspar dan Helmut dahulu.
“Padahal kau tahu untuk apa aku berjuang, padahal kau tahu bahwa aku punya janji yang harus aku tepati, padahal kau tahu bahwa aku baru kali itu merasakan yang namanya cinta. Kenapa Kaspar? Kenapa kau menjadi satu dari sekian banyak orang yang membenci keberadaanku?”
“Itu masa lalu Nandi,” ujar Damian yang melompat mundur, mengambil posisi lebih dekat dengan Kaspar, “Damian diperalat saat itu.”
“Tidak, dia tidak diperalat. Dia percaya itu tugasnya dan memang itulah yang harus dia lakukan,” jawab Nandi, “Dan sekarang ... aku pun demikian.”
“Nandi, kumohon jangan. Pergilah dari tempat ini, biarkan aku yang mengurus semuanya. Semuanya akan baik-baik saja,” pinta Kaspar, “Aku tak ingin bertarung denganmu.”
“Maaf Kaspar, aku tidak bisa,” kembali Nandi menghentakkan Nataraja di lantai emas dan sekali lagi Kaspar dan Damian terlontar, masing-masing ke arah berbeda. Dan untuk kali ini dua bersaudara itu kehilangan kesadarannya.
Nandi berjalan ke arah meja yang terbuat dari batu yang telah dipahat halus dan berhias dengan lempengan emas itu. Disapukannya tangannya ke bagian atas meja itu dan terbentuklah gambaran-gambaran kejadian yang pernah terjadi di tujuh dunia sejak perang antara Kaum Pertama dan Kaum Ketiga berakhir dahulu. Sekali lagi ia menyapukan tangannya dan gambaran-gambaran itupun mulai keluar satu demi satu dari Meja Takdir, berputar mengelilingi ruangan dan membentuk puluhan bahkan ratusan layar adegan secara bersamaan.
Nandi beberapa kali menghela nafas dalam-dalam lalu diangkatnya Nataraja tinggi-tinggi sambil menatap ke arah langit keemasan yang terlihat olehnya melalui kaca transparan yang menjadi atap ruangan itu, “Wahai Sang Alpha, aku persembahkan kembali ketujuh dunia ini ke dalam ketiadaan.”
Nataraja ia lepaskan dari tangannya dan secara ajaib menancap kuat dan tegak di tengah-tengah meja. Sementara itu tangan dan kaki Nandi mulai membuat gerakan meliuk-liuk ritmis, sebuah gerakan tari. Tarian Akhir Zaman
[1] Baca : selangkangan.
[2] Kekuatan untuk membusukkan / merapuhkan benda organik maupun non-organik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top