BAB XXI : SIDANG AKBAR
“Di balik setiap kehormatan mengintip kebinasaan. Di balik hidup adalah maut. Di balik persatuan adalah perpecahan. Di balik sembah adalah umpat. Maka jalan keselamatan adalah jalan tengah. Jangan terima kehormatan atau kebinasaan sepenuhnya. Jalan tengah—jalan ke arah kelestarian.”
― Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah ―
Satu demi satu para Dharmapala diikuti oleh Damian turun kembali ke bumi. Kaspar berniat menghampiri mereka tapi tampaknya ia sudah menggunakan kekuatan di luar ambang batasnya sehingga kini kakinya terasa tak bertenaga bahkan untuk sekedar berdiri saja. Damian – yang sudah tidak lumpuh lagi – tanggap melihat kondisi saudaranya itu dan segera berlari ke arah Kaspar. Tapi sebelum Damian tiba, Kaspar sudah ambruk ke tanah. Kehilangan kesadaran.
Kaspar selalu menyimpan perasaan ‘tidak suka’ pada kakak kembarnya itu sejak mereka masih kecil. Ayah tirinya – seorang yang mewariskan marga Deas Meyer sebagai nama belakang mereka, juga ibu mereka – Borte – selalu saja memuji kejeniusan Damian kapanpun mereka dapat. Kaspar tak bisa menolak fakta bahwa Damian lebih kuat, lebih pandai, dan lebih hebat daripada dirinya. Di saat mereka masih 5 tahun saja Damian sudah berhasil membuat lingkaran sihir rumit untuk menyembuhkan seekor cerpelai malang yang terluka.
Ketika mereka belajar di akademi, Damian selalu lebih unggul dalam berbagai hal. Ilmu pasti, ilmu sosial, ilmu politik, dan terutama lagi penguasaan ilmu sihir. Menyaksikan itu semua, Kaspar mulai merasa sakit hati pada Damian dan perlahan tapi pasti hubungan mereka berdua mulai merenggang. Mereka tak lagi bicara satu sama lain kecuali di saat-saat tertentu saja. Bahkan saat pemakaman ibu dan ayah tiri mereka, Damian hanya berujar satu kalimat pada Kaspar, “Hidup harus berjalan terus!”
Lalu muncullah gadis itu, Sang Putri bernama Sofia Alexeevna yang turut belajar di akademi yang sama dengan mereka sebagai adik kelas mereka. Damian – yang dengan kejeniusannya telah menjadi seorang Magistraat, menyalip Kaspar – langsung saja pasang aksi untuk membuat Sang Putri terkesan. Ia menawarkan diri menjadi mentor pembimbing Sang Putri dan Magisteriya – dewan tinggi – pun tak keberatan dengan proposal Damian. Kaspar sendiri hanya bisa gigit jari karena ia tak pernah punya kesempatan untuk dekat dengan Sang Putri.
Sampai ketika Zakazat’ Maga menahannya atas tuduhan membunuh putra mahkota, Kaspar baru bertemu dengan Sofia secara langsung. Gadis itu, di luar dugaan Kaspar, berusaha mati-matian dengan segala pengaruh politiknya untuk membebaskan Kaspar dari penjara dan cukup sering mengunjunginya, setidaknya 3 kali dalam sebulan.
“Kenapa anda selalu kemari, Tuan Putri? Apa yang anda lihat dalam diri hamba?” Begitu Kaspar pernah bertanya.
“Aku melihat orang yang tak bersalah sedang dikambinghitamkan oleh seorang yang punya kuasa besar,” begitu Sang Putri menjawab pertanyaan Kaspar.
“Apa hanya itu?”
Ia menghela nafas panjang beberapa kali sebelum menjawabnya, “Kau mau jawaban jujur? Melihatmu babak-belur Kaspar, seperti aku melihat Damian disiksa di hadapanku. Aku tak tahan.”
Dari jawaban itu ada dua perasaan merasuk ke diri Kaspar. Yang satu adalah perasaan senang karena masih ada yang memperhatikannya di saat saudaranya sendiri tak pernah datang mengunjunginya, sementara perasaan yang satu lagi adalah perasaan duka mengetahui wanita di hadapannya ini telah menjadi milik orang lain.
Tapi perasaan duka atas Sofia dan dendamnya pada Damian seketika pupus ketika di suatu malam Damian muncul di selnya dalam kondisi luka parah dan membawanya ke sebuah tempat persembunyian melalui portal dimensi. Di tempat persembunyian itu, dengan nada memohon yang disertai ekspresi ketakutan Damian menyerahkan sebuah pistol Rajata kepada Damian, “Ambil ini! Ambil Lorës të déri! Aku tak lagi butuh ini!”
Begitu Kaspar mengambil senjata itu, seluruh tanggung jawab Damian sebagai seorang Contra Mundi berpindah kepadanya. Untuk pertama kalinya ia merasa lebih unggul daripada Damian dan itu membuatnya bahagia. Dan Sofia? Sofia tetap ada di sisi Damian. Mereka berdua tetap menjalin hubungan asmara rahasia mereka sampai waktunya memungkinkan bagi mereka untuk mengumumkan hubungan mereka. Tapi kali ini Kaspar tak lagi bersedih ataupun sakit hati pada mereka. Kaspar kini menyadari bahwa di balik keangkuhan dan kejeniusan Damian, saudaranya itu rapuh. Ia butuh sesuatu untuk menopang kerapuhannya dan itu adalah Sofia. Maka sejak itulah ia memutuskan bahwa ia akan bertarung terutama untuk dunia yang lebih baik bagi dua insan itu, meski rasa cemburu sesekali mengusik dirinya.
Kilas ingatan itu segera sirna berganti dengan kemunculan sosok yang tak asing lagi.
“Yah ... kau lagi,” Kaspar memasang ekspresi cemberut kepada Sang Pencerita.
“Kita bertemu lagi,” Sang Pencerita tampak menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya dan menurut Kaspar ia tengah membalas memandangi dirinya dengan tatapan tidak suka pula – meski Kaspar tidak melihat ada organ mata di wujud Sang Pencerita, “Kaspar.”
“Aku lebih senang jika kita tidak bertemu lagi. Sebenarnya.”
“Sama! Tapi apa dayaku, karena Bai-Ulgan – yang terdahulu maksudku – malah menunjukmu sebagai Master Mahan alih-alih membantu kalian secara langsung.”
“Ah, kau tak usah bersandiwara, Sang Pencerita. Sebenarnya kau senang kan jika aku yang menjadi Master Mahan?”
Sang Pencerita tampak memiringkan kepalanya ke kanan lalu berjalan mondar-mandir mengelilingi Kaspar, “Siapapun yang menjadi Master Mahan tidak pernah kupermasalahkan. Yang kukhawatirkan adalah hukum keseimbangan yang terjadi di dunia ini.”
“Stop!” Kaspar mengangkat sebelah tangannya, “Biar kutebak, soal Master Mahan Kedua?”
“Ya! Kekacauan melahirkan keteraturan dan keteraturan melahirkan kekacauan.”
“Kau tahu siapa dia?”
“Aku hanya tahu jika dia sudah hadir di dunia ini, tapi ... demi Tuhan ... aku sama sekali tidak tahu siapa dia dan di mana dia sekarang!” Sang Pencerita terdengar amat frustasi.
Kali ini giliran Kaspar yang memiringkan kepalanya, “Hei? Masakan kau, seorang Kaum Pertama – yang kutebak termasuk golongan superior – tidak tahu siapa Master Mahan yang satu lagi?”
“Kaspar, apa kau bisa menebak kapan seorang akan terjangkit influenza, HIV, dan segala penyakit lainnya?”
“Tidak,” Kaspar menggeleng.
“Master Mahan boleh dibilang adalah teknisi dunia, dokter dunia, atau sebutlah profesi apapun yang kau suka. Kalian berdua ada untuk memulihkan dunia dari segala kebiadabannya saat dunia dalam kedaan genting. Tapi kalian berdua punya dua solusi yang amat berlawanan. Kau Kaspar, solusimu adalah mengedukasi ulang masyarakat, mengenalkan kembali budaya-budaya yang sudah hilang dan terlupakan sehingga masyarakat yang telah berkembang sampai sejauh ini mau belajar dari kesalahan yang sudah-sudah.”
“Dan ‘dia’? Apa yang akan dia lakukan untuk memulihkan dunia?”
“Andaikan dunia itu sebuah komputer, yang akan ‘dia’ lakukan adalah menginstall ulang dunia, atau jika boleh aku perjelas : dia akan mendaur-ulang dunia ke keadaannya yang semula. Peradaban manusia akan ia tarik mundur ke zaman primitif, membiarkan siklus alam yang pernah terjadi terulang kembali.”
Kaspar memijit-mijit dagunya sejenak, “Wow, apa itu artinya dia akan turut menghidupkan kembali dinosaurus dan hewan-hewan purba yang telah punah?”
Sang Pencerita terdengar agak kesal, “Kaspar, fokus!”
“Ah ya, maaf. Aku hanya menganggap mereka itu ... sangat eksotis.”
“Cukup eksotis untuk membiarkan seluruh peradaban manusia ditarik mundur ke zaman purba, eh?”
“Hei, aku kan sudah minta maaf,” Kaspar merengut sesaat, “Tapi ... aku baru ingat. Kau menemuiku lagi. Apa ada petunjuk yang hendak kau berikan padaku?”
“Menurutmu bagaimana Master Mahan Kedua ini akan mengatur-ulang dunia?”
“Tidak,” Kaspar menggeleng.
“Sama dengan caramu untuk menarik paksa Kaum Pertama dan Kedua dari tujuh semesta.”
“Meja Takdir?”
“Ya,” Sang Pencerita mengangguk, “Jangan pernah biarkan dia mendekati meja takdir.”
“Sebentar! Bagaimana aku bisa hentikan dia jika dia benar-benar sudah sampai di Meja Takdir?”
“Kalian berdua Master Mahan. Ajaklah dia berdebat, dan menangkan debat itu! Kalau tidak ... ,” Sang Pencerita Terdiam.
“Kalau tidak?”
“Ia akan meluluhlantakkan segenap kebudayaan manusia dalam hitungan 2 x 24 jam.”
Kaspar! Terdengar suara beberapa orang memanggil namanya.
Sosok Sang Pencerita langsung sirna dari hadapannya, berganti dengan pemandangan dunia nyata yang samar-samar memasuki kelopak matanya yang perlahan membuka.
Alam Semesta Persada
“Ah syukurlah!” terdengar suara seorang wanita yang tampaknya berada sangat dekat sekali dengannya.
Ketika mata Kaspar benar-benar sudah terbuka, ia mendapati sesosok gadis berambut pirang dengan kulit wajah berbintik-bintik yang tak lain adalah Helena tengah duduk di samping tempat tidurnya dan tengah menyelubungi dirinya dengan selubung air transparan. Metode yang biasa gadis itu pakai untuk menyembuhkan luka-luka mereka sejak gadis itu bergabung dengan mereka.
Kaspar menoleh ke arah tangannya yang semula terpapar luka bakar parah namun kini mulai sembuh sedikit demi sedikit. Pakaiannya pun kini sudah berganti, tidak lagi pakaian lamanya yang sudah koyak terbakar itu melainkan satu setel kemeja hitam berlurik putih, sebuah celana jeans biru terang, dan ada pula sebuah jaket kulit putih polos tersampir di sebuah bangku tak jauh dari sana.
“Terima kasih sudah mengganti pakaianku,” ujar Kaspar.
“Oh, Nandi yang mengganti pakaianmu tadi. Itu pakaian milik Sanjaya. Mungkin agak kebesaran buatmu tapi apa boleh buat, toh tas ranselmu sudah ikut terbakar habis di Sakhbataar.”
Mendengar kata Sakhbataar, kekhawatiran Kaspar muncul lagi, “Sofia? Bagaimana dengan Sofia?”
“Dia aman,” sahut Nandi yang duduk di sebuah bangku tak jauh dari dipan tempat Kaspar terbaring, “dan sekarang sedang bersama Damian.”
Kaspar beranjak bangun dari dipannya, kepalanya masih sedikit pening dan ia merasa haus luar biasa, “Helena, minta air.”
Helena mengambilkan segelas air dingin dan menyodorkannya kepada Kaspar. Begitu menerimanya pemuda berkacamata itu langsung minum dengan rakus lalu meminta segelas air lagi. Kembali Helena mengisi gelas itu dan sekali lagi Kaspar minum air itu dengan rakus, setelah itu barulah dahaganya terpuaskan.
“Jadi Master Mahan,” Nandi bangkit dari tempat duduknya, “Ketua ingin bicara banyak dengan dirimu.”
*****
Nandi dan Helena menggiring Kaspar melalui lorong-lorong yang berhiaskan mural warna-warni dengan warna dominan cerah. Mural-mural yang dalam ingatan Kaspar mirip relief bangunan-bangunan candi di Asia Tenggara meski yang ini berwarna. Lorong itu sangat panjang dan di kanan-kirinya terdapat banyak ruang yang kini penuh oleh sejumlah besar Kaum Ketiga dari berbagai kebudayaan.
“Rasanya dulu Persada tidak sebesar ini,” celetuk Kaspar.
“Kami Putra-Putra Pertiwi bisa mengatur alam semesta ini sesuka hati. Kami bisa memperbesar atau memperkecilnya sesuka kami. Beberapa waktu yang lalu aku dan Kanda Sitija memperbesar semesta ini agar bisa menampung semua sekutu kita,” jawab Nandi.
“Efektif sekali.”
“Ibu kami bisa mengaturnya lebih efektif, sayangnya beliau sudah tiada.”
“Eh?” Kaspar tampak terkejut mendengar kabar itu, “Bukankah beberapa waktu yang lalu ia masih bugar?”
“Ada insiden ...,” Nandi terdiam sejenak, “dengan Abbaddon saat kami hendak membangunkan para Prajapati.”
“Aku turut berduka.”
“Terima kasih, tapi kita tak ada waktu untuk sekedar berduka bukan?” tanpa disadari mereka sudah tiba di sebuah pintu logam berukir yang menjulang setinggi lima meter, “Kita ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan.”
“Aku setuju,” ujar Kaspar.
Nandi berjalan mendekati pintu dan menarik salah satu daun pintu itu hingga timbul suara berderak. Ketika daun pintu itu sudah terbuka cukup lebar, Kaspar melihat seluruh teman-temannya sudah berada dalam ruangan itu.
Ruangan itu dilapisi materiam emas berkilauan baik lantai maupun pilar-pilarnya. Ada patung-patung raksasa yang menggambarkan sosok Prajapati dan Adhitya – lengkap dengan mahkota mereka – berjajar di sepenjuru ruangan yang sekaligus berfungsi sebagai pilar penopang langit-langit.
Di tengah ruangan itu ada sebuah ceruk perapian yang menyala-nyala. Di depan perapian itu berdirilah Haris dengan mimik wajah penuh kekhawatiran dan kecemasan. Sesuatu yang tidak wajar, karena biasanya ia berpembawaan tenang meski masalah-masalah yang ia hadapi pelik.
“Selamat datang Master Mahan,” Haris, Sanjaya, Olivia, Ying Go, Helena, dan Nandi memberikan salam hormat kepada Kaspar, membuat Kaspar menjadi sangat kikuk.
“Euh, tak usahlah memberi hormat seperti itu. Aku masih Kaspar, jadi Master Mahan atau tidak aku tetap Kaspr oke? Jadi panggil aku Kaspar saja. Seperti biasanya.”
Kaspar memperkirakan mereka semua akan melontarkan ledekan atau semacamnya tapi ternyata tidak. Wajah mereka semua tetap tertekuk, kaku, dan tegang. Sesuatu yang serius tampaknya telah terjadi selagi ia tak sadar.
“Um, ada masalah apa?”
Haris mengambil sebuah mangkuk tanah liat berisikan serbuk hijau dan kuning lalu melemparkannya ke perapian. Segera saja timbul suara mendesis dan letusan kecil seperti petasan lalu ruangan itu segera dipenuhi asap hijau dan kuning yang membumbung ke langit-langit. Asap itu berputar dan berkumpul secara tidak alami sebelum akhirnya menampakkan citra-citra sebuah kota yang bangunan-bangunannya menjulang tinggi ke angkasa serta berlapis emas.
“Axis Mundi!” desis Kaspar.
“Ya,” Haris mengangguk, sembari menyeka rambutnya yang bergelombang dari depan matanya, “Setelah berulang-kali percobaan akhirnya kami menemukan ramuan dan mantra yang tepat untuk menilik tempat ini. Sayangnya kondisi di sana sedang tidak bagus.”
Pemandangan kota itu tampak mendekat ke sebuah lubang yang ada di tengah kota. Lubang itu berbentuk kolam air berwarna merah darah. Para Contra Mundi terus menatap permukaan air itu selama beberapa waktu dan setelah itu air dalam kolam itu mulai tampak menggelegak kemudian muncullah sesosok iblis berwujud mirip singa dengan tubuh menjulang setinggi bangunan tiga lantai dan tubuh diselimuti api. Tak berapa lama muncullah sepasukan iblis lagi, kali ini berwujud kerangka-kerangka manusia berseragam prajurit masa Perang Dunia I dan II, menenteng senjata berupa senapan-senapan mesin, senapan berbayonet, dan pelontar api. Masih banyak lagi iblis-iblis yang keluar dari lubang itu namun Haris segera mengibaskan tangannya dan buyarlah kepulan asap itu.
Begitu kepulan asap itu buyar, seluruh Contra Mundi itu memandangi Kaspar lekat-lekat, “Ying Go bilang kau punya strategi untuk mengalahkan mereka?”
“Ya,” Kaspar berjalan maju dan meminta mangkuk berisi bubuk itu dari tangan Haris kemudian melirik ke kanan dan ke kiri sebelum meminta teman-temannya untuk mundur beberapa langkah, “Bisa kalian mundur sedikit?”
Teman-temannya menuruti permintaan Kaspar dan Kaspar pun mengambil sejumput bubuk itu, meremas-remasnya hingga bubuk itu perlahan tampak berkilau memantulkan sinar dari perapian. Ketika dirasanya sudah cukup, Kaspar melemparkan bubuk itu ke dalam perapian. Kali ini terdengar letusan yang agak keras disertai kepulan asap tebal berwarna keemasan yang menyebar ke sepenjuru ruangan.
Kaspar mengibaskan tangan kanannya dan asap-asap itu mulai membentuk gambaran bola-bola dunia sebanyak tujuh buah. Kemudian ia kibaskan tangan kirinya dan kali ini terbentuklah citra bangunan-bangunan Axis Mundi. Dengan satu jentikan jari Kaspar menempatkan citra Axis Mundi di tengah ruangan dan tujuh dunia yang tersisa mengelilinginya.
“Tujuh dunia ini adalah rumah kita. Kaum kita sudah berada lebih lama di dunia ini daripada Kaum Pertama ataupun Kedua. Itu artinya akan lebih menguntungkan bagi kita untuk melawan mereka di tempat kita masing-masing daripada melawan mereka di Axis Mundi. Sayangnya ... sangat sulit bagi kita untuk memancing teman-teman malaikat dan iblis kita ini untuk masuk ke dalam portal dimensi secara sukarela. Karena itulah kita butuh Dharmapala sebagai umpan untuk memancing mereka masuk ke portal dimensi yang kita buat.”
“Itu berarti portal dimensinya harus sangat besar. Apa ada yang sanggup membuat portal sebesar itu?” tanya Olivia.
“Helena, teman-teman Loa-mu sudah terkumpul semua?” Kaspar menoleh ke arah Helena.
“Sebagian besar sudah,” jawab Helena.
“Bagus, Loa bisa membuat portal dimensi sebesar itu lebih cepat daripada kelompok lainnya. Kita akan menggunakan Dharmapala sebagai umpan, Loa sebagai pembuat portal dimensi, dan kelompok lainnya sebagai barisan pemukul.”
“Apa kau yakin dengan rencana ini Kaspar? Apa kau yakin dengan ini kita bisa memusnahkan mereka semua?” tanya Sanjaya.
“Siapa yang bilang kita akan memusnahkan mereka, Sanjaya?”
“Maksudmu?” Sanjaya memiringkan kepalanya, tak mengerti.
“Kita akan memulangkan paksa ‘teman-teman’ kita ini ke rumahnya masing-masing. Dan untuk itu aku harus mencapai sebuah ruangan yang ada di ...,” Kaspar mengibaskan tangannya sekali lagi dan memperbesar citra menara yang tampak menjulang paling tinggi di Axis Mundi tersebut, “tengah menara ini. Aku harus mencapai meja takdir dan melakukan sebuah ritual di sana. Karena itu aku butuh pengawal.”
“Aku bersedia,” Nandi mengangkat tangannya, menyatakan kesediaannya.
“Aku juga,” Sanjaya menyusul.
“Aku juga bersedia,” Olivia pun turut serta menyatakan kesediannya.
“Tidak Olivia,” Haris menyergah, “Aku butuh kau di barisan pemukul. Yang mengawal Kaspar cukuplah Nandi dan Sanjaya saja.”
“Apa kita punya denah lengkap tempat ini?” tanya Sanjaya.
“Aku punya, Bai-Ulgan – yang terdahulu maksudku – sudah menjelaskannya padaku,” jawab Kaspar.
“Bisa kau gambarkan denah itu dan untuk menjelaskan rencana kita malam ini juga?” tanya Haris.
“Beri aku waktu 3 jam, Ketua.”
*****
Sudah tiga jam berlalu sejak Kaspar membuat denah Axis Mundi yang sempat dijelaskan oleh Master Mahan sebelumnya. Selama tiga jam itu pula ia tidak menyadari adanya sekerumunan Kaum Ketiga yang lalu-lalang di depan kamarnya. Baru setelah ada tangan dingin yang menepuk bahunya, ia menghentikan dari pekerjaannya.
Kaspar menoleh dan mendapati bahwa ternyata itu Nandi, “Hai Nandi, ada apa?”
“Semuanya sudah menunggumu di Aula Utama,” jawab Nandi.
“Ah baiklah, aku juga baru selesai,” Kaspar meregangkan tubuhnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya bangkit berdiri dan membawa bergulung-gulung kertas yang menggambarkan denah dan strategi penyerangan ke Axis Mundi.
Nandi mengikuti Kaspar dari belakang, menuntunnya ke Aula Utama, tempat mereka tadi berkumpul. Keduanya tengah berjalan menyusuri lorong yang hening dan senyap ketika Nandi tiba-tiba menanyakan sesuatu, “Kaspar, menurut pendapatmu apakah manusia layak dibiarkan hidup?”
Kaspar menoleh ke arah Nandi dan menatap pemuda itu dengan tatapa heran, “Ada yang layak dan ada yang tidak layak. Kenapa Nandi?”
“Aku hanya bertanya.”
“Mari kita berdikusi soal itu setelah kita selesai dengan ini semua Nandi. Maaf, aku lelah,” Kaspar memalingkan mukanya dan berjalan dengan tempo lebih cepat daripada semula. Nandi pun turut mempercepat langkahnya, menyamakan kecepatan langkahnya dengan kecepatan langkah Kaspar.
Kedua daun pintu Aula Utama tampak telah terbuka lebar. Suara riuh dan ribut terdengar dari dalamnya. Tampaknya tengah terjadi perdebatan panas di dalam sana.
“Ada apa ini, Nandi?” Kaspar menoleh ke arah Nandi.
“Aku belum bilang ya? Mereka tidak mau menerima Haris sebagai pemimpin mereka.”
“Ah,” Kaspar mendesah kesal.
“Lagu lama kan?” ujar Nandi, “Dahulu kita juga kalah karena kita berpecah seperti ini.”
*****
Di dalam aula itu memang tengah terjadi perdebatan keras. Beberapa Kaum Ketiga menolak dan memprotes peran Haris sebagai pemimpin Contra Mundi – yang secara tidak langsung menjadi pemimpin tertinggi mereka semua.
“Angra Mainyu tidak layak menjadi pemimpin!” seru seorang Kaum Ketiga berpenampilan seperti penduduk Eropa Tengah.
“Dewa kekacauan hanya akan membawa kekacauan! Tak mungkin ia membawa keteraturan!” sahut yang lain.
“Turun kau!”
“Turun atau kami paksa kau turun!”
Haris masih berdiri di atas mimbar batu – yang entah dia dapat dari mana – dengan mimik wajah datar tanpa ekspresi. Ditatapinya seluruh hadirin sebelum akhirnya ia berdehem dan mulai bicara, “Jika ada dari kalian semua yang hendak menjadi pemimpin kita semua, tunjuk satu orang!”
Nandi melihat mereka semua mulai berdebat satu sama lain. Ego masing-masing kelompok mulai mencuat. Masing-masing kelompok memiliki jagonya sendiri. Hanya kelompok Prajapati, Adhitya, dan Dharmapala yang tidak ribut. Mereka yang semula mencecar Haris kini mulai mencecar antar kelompok. Beberapa Kaum Ketiga yang berpenampilan seperti orang Viking sudah angkat senjata dan bersiap mengacau kalau saja Helena tidak sigap membekukan tangan-tangan ‘nakal’ itu dengan anak panahnya.
Sekian lama mereka saling ribut dan riuh Haris akhirnya bertepuk tangan sambil berujar, “Luar biasa! Luar biasa! Kaum Ketiga yang dulu disembah sebagai para bijak tempat manusia mengadu kini saling adu mulut demi sebuah posisi ‘terhormat’. Memalukan! Dengar? Memalukan!”
Semuanya kini terdiam, tapi ternyata Haris belum selesai dengan ucapannya, “Jika kalian – yang merasa diri layak memimpin kelompok ini – sungguh-sungguh layak, maka aku tanya kepada kalian semua : ‘Ke mana kalian selama ini?’. Kami, Contra Mundi notabene selalu bertarung sendirian, mungkin ada yang dibantu oleh beberapa orang dari kalian, tapi banyak yang tidak. Tapi aku lihat mereka yang pernah membantu kami sekalipun tak ada satupun yang memperdebatkan siapa yang menjadi pemimpin kami. Mereka tidak memprotes saat kami dipimpin oleh Helmut, maupun ketika dipimpin olehku pasca Helmut berkhianat. Dengar! Musuh kita jumlahnya 10 kali lipat jumlah kita, kalau kalian tidak bisa sementara saja membuang ego kalian maka yang akan kita dapatkan adalah kehancuran total seluruh kebudayaan umat manusia. Dengar? Jika tidak ada lagi kebudayaan maka tidak akan ada tempat lagi bagi kalian untuk bernaung. Kalian akan kehilangan arti diri kalian dan akhirnya hanya bisa menunggu untuk mati oleh segenap Kaum Pertama dan Kedua.
“Dan pahamkah kalian apa artinya jika kita tidak ada? Kaum Pertama dan Kedua akan dengan bebas bertarung di tempat tinggal kita, di rumah yang sudah kita huni selama jutaan, ribuan, atau puluhan tahun semenjak kita dilahirkan. Oh, ayolah! Apakah kalian rela rumah kalian hancur dan binasa begitu saja?”
Hadirin terdiam selama sesaat sebelum seorang dewi berkata lirih, “Tidak.”
“Tidak,” seorang dewa mengikuti perkataan rekannya itu.
“Kami tidak rela,” ada lagi yang menyahut.
Dan satu demi satu mereka memberi jawaban serupa.
“Jika kalian tidak rela,” kata Haris lagi, “Maka dengarkan baik-baik tujuanku berada di sini. Di sini aku tidak bertindak sebagai raja, atau ketua bagi kalian semua. Itu semua hanyalah formalitas! Aku di sini berdiri sebagai prajurit utama yang akan berdiri di garis terdepan, membimbing kalian semua ke medan tempur dan memastikan sebanayak mungkin dari kalian kembali dengan selamat. Apakah kalian mau menerimaku dan membantuku mencapai tujuan itu?”
“Yaaa!!”
Nandi menyikut lengan Kaspar, “Sekarang kau bisa maju. Mereka akan mendengarkanmu sekarang.”
“Ehm baiklah,” Kaspar masih terkesima dengan cara Haris menenangkan massa itu. Ia maju dengan perlahan ke atas panggung batu yang ada di tengah aula. Semua mata memandang Kaspar dalam keheningan, siap menerima apa saja yang akan pemuda itu katakan.
Singkat cerita, Kaspar mengulang kembali semua strategi yang sudah ia sampaikan bersama Contra Mundi lainnya tadi. Para hadirin pun tak ada yang memprotes, mungkin sadar akan kebenaran kata-kata Haris, mungkin juga sadar bahwa mereka tak punya strategi lain untuk dijalankan.
“Kita akan menyerbu Axis Mundi besok pagi,” ujar Kaspar meneruskan perkataan Haris.
Nandi yang mendengar kata-kata Kaspar itu langsung mengulum senyum penuh arti, “Nasib dunia akan ditentukan besok. Ya, besok.”
Catatan Pengarang :
Halo temen-temen, author mau survey nih. Temen-temen biasanya pakai ponsel apa? Tablet Android, HP Android, IPhone, atau yang lainnya?
Makasih sebelumnya :))
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top