BAB XX : ARAHAT - Kesempurnaan

“Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.”

–Pramoedya Ananta Toer–

 

Setelah memperbincangkan berbagai hal, Bai-Ulgan membawa Kaspar keluar dari yurt itu menuju sebuah gua yang terletak di atas sebuah tebing.

“Ke mana kita?” tanya Kaspar ketika mereka mulai menaiki jalan menanjak itu.

“Kekuatan datang dalam berbagai rupa, Kaspar. Kekuatanmu adalah pengetahuan, tapi kita tahu sendiri di tengah-tengah medan perang seorang filsuf takkan banyak berguna, karena itulah aku hendak mempertemukanmu dengan seseorang.”

“Siapa?”

“Kau akan segera tahu.”

Kedua orang itu menaiki jalan menanjak itu selama sekitar empat puluh menit sebelum akhirnya mereka tiba di sebuah gua.

“Huff, huff, huff, kenapa sih kau suka sekali tinggal di pegunungan seperti ini?” Kaspar tampak kehabisan nafas ketika mereka tiba di mulut gua itu, sementara Bai-Ulgan tampak tenang-tenang saja.

“Di sini sepi, tenang, bebas dari gangguan manusia sehingga resiko dilaporkan keberadaannya kepada para Kaum Pertama oleh para manusia menjadi lebih kecil. Nah, kita sudah sampai. Ayo, kita masuk!” Bai-Ulgan berjalan mendahului Kaspar memasuki gua itu dan di dalam gua berbatu cadas putih keabu-abuan itu, Kaspar menyaksikan ada sesosok mumi disandarkan dalam posisi duduk ke dinding batu. Kulit mumi itu kelabu-pucat, rambutnya coklat kemerahan, sementara pakaiannya ditenun dari wol warna-warni.

Menyaksikan mumi itu, Kaspar langsung bertanya-tanya : Siapakah dia?

“Aku ingin kau berjabat tangan dengannya,” ujar Bai-Ulgan.

Kaspar mendelik, “Hah? Kau tidak serius kan?”

“Aku serius.”

“Kenapa?”

“Kamu ingin mati konyol di tengah-tengah medan tempur Kaspar? Kalau ya silakan terus menolak, kalau tidak jabat tangan mumi ini.”

Kaspar menelan ludah berkali-kali sebelum akhirnya memberanikan diri menyentuh tangan mumi itu. Sebenarnya dulu dia tak takut dengan mayat, tapi karena pernah tanpa sengaja menyentuh jasad yang tanpa ia ketahui dirasuki roh jahat – dan berakhir dengan kejar-kejaran antara dirinya dan roh jahat itu, ia jadi sangat malas jika disuruh berurusan dengan jenazah yang sudah lama mati.

Apa yang diduga Kaspar ternyata benar. Mumi itu bisa bergerak dan menyambut uluran tangan Kaspar lalu mencengkeram tangan Kaspar keras sekali sehingga Kaspar nyaris menjerit. Sedetik kemudian Kaspar merasakan aliran listrik bertegangan tinggi mengalir deras memasuki tubuhnya.

Kondisi itu berlangsung selama beberapa menit sebelum akhirnya mumi itu lebur menjadi onggokan pasir – hanya menyisakan pakaiannya semata.

“Dia … kenapa?” tanya Kaspar dengan nada gemetar.

“Ia sudah lama mencari penerus dan hari ini ia sudah temukan penerusnya.”

“Siapa dia?”

“Kami memanggilnya Ayanga[1], sang guntur, ia yang berbicara atas nama Tengri.”

“Apa semua dewa-dewi selalu berakhir seperti ini?”

“Siklus hidup Kaum Ketiga, Kaspar, tidak akan berakhir dengan kematian mereka. Saat kami mati, kekuatan kami akan tetap ada. Kekuatan ini akan mencari penerus, sehingga jumlah Kaum Ketiga akan selalu stabil. Itulah hukum yang selalu berlaku bagi kami.”

“Tapi … bukankah selalu ada kemungkinan penerusnya tidak menggunakan kekuatannya dengan bijak?”

“Kemungkinan itu selalu ada, bahkan orang bijak sekalipun pasti suatu saat akan membuat keputusan yang keliru. Tapi bukankah itu yang membuat dunia ini menjadi dinamis? Stagnansi hanya akan menghasilkan dunia yang penuh dengan kebosanan.”

“Oke jadi sekarang apa? Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan dan …,” ucapan Kaspar terhenti oleh sekelebat bayangan yang melintas di kepalanya. Di sana ia tampak melihat Chayim – yang masih hidup meski tubuhnya penuh luka bakar – tampak berbaris bersama sekumpulan maga menuju ke Saakhbatar.

“Saakhbatar dalam bahaya!” ujar Kaspar panik ketika gambaran yang ia dapat berakhir.

“Ya,” Bai-Ulgan mengangguk tanpa ekspresi.

“Aku harus kembali ke sana.”

“Tidak, kau harus mencari temanmu.”

“Bai-Ulgan! Di Saakhbatar ada … .”

“Aku tahu. Gadis itu bukan? Gadis yang diam-diam kau sukai meski ia akhirnya memilih kakak kembarmu?”

“Ah,” Kaspar tak menyangka kalau Bai-Ulgan tahu rahasia yang ia pendam selama bertahun-tahun. Rahasia yang bahkan ia rasa Damian dan Sofia pun tidak tahu.

“Kami akan menahan Chayim untuk beberapa saat. Tapi untuk sekarang … kamu harus pergi ke tempat yang sudah kita bicarakan tadi,” Bai-Ulgan menarik sebuah tongkat kayu dari ketiadaan lalu menghantamkannya kepada Kaspar sehingga Kaspar terlontar ke dinding karang yang ada di belakangnya. Namun anehnya, tubuhnya menembus dinding itu dan terus terlempar ke dalam sebuah tempat yang sangat gelap, tanpa cahaya satupun.

Tavatimsa Bhumi

“Kau harus menemui para Dharmapala di Tavatimsa Bhumi,” begitu Bai-Ulgan berkata padanya.

 

“Apa itu Dharmapala? Apa itu Tavatimsa?” Kaspar balas bertanya.

 

“Dharmapala adalah kelompok Kaum Ketiga selain Prajapati dan Adhitya yang punya visi yang sama tentang perdamaian antar kaum pertama dan kaum ketiga. Mereka pasif dan tidak gemar berkonflik, tapi sekali saja diprovokasi mereka takkan segan bangkit dan melawan. Mereka tinggal di antara manusia tapi mereka menguasai kemampuan unik : Tavatimsa Bhumi – bentuk gabungan dari dimensi buatan dan portal antar dimensi namun lebih sulit digunakan meski waktu tempuh antar dimensi menjadi lebih cepat dengan menggunakan Tavatimsa.”

 

“Kenapa aku yang harus menemui mereka? Kenapa bukan kau saja?”

 

“Karena mereka takkan mau bicara denganku, Kaspar.”

 

“Kenapa?”

 

Tapi Bai-Ulgan hanya diam, tidak menjawab.

 

Setelah beberapa lama mata Kaspar menjadi agak terbiasa dengan kegelapan yang ada di tempat ini. Telinganya sayup-sayup juga mendengar suara dentang senjata logam yang beradu di kejauhan.

Perlahan Kaspar mendekati tempat terjadinya denting suara itu. Semakin dekat dengan tempat itu, pemandangan di sekitar Kaspar mulai berubah. Perlahan mulai timbul sedikit cahaya di depan Kaspar dan pada akhirnya ia melihat sekumpulan manusia, laki-laki dan perempuan tengah saling beradu senjata dalam formasi yang berbentuk lingkaran, menggelilingi sosok seorang pemuda yang sudah Kaspar kenal.

“Ying Go!” Kaspar berseru senang ketika menyaksikan sosok yang ia kenal itu. Tapi di luar dugaannya, Ying Go hanya diam saja, ia sama sekali tidak menanggapi perkataan Kaspar.

“Ying Go?” Kaspar mengulang kembali perkataannya tapi kawannya itu tetap tidak menjawab.

“Siapa kau, kenapa kau bisa datang kemari?” sang bhikku bersenjatakan dua bilah pedang itu maju bersama seorang pria berjanggut tebal dan bertubuh kekar.

“Bai-Ulgan mengutusku,” jawab Kaspar.

“Ah ... dia,” si kekar itu menyeringai seram ke arah Kaspar, membuat Kaspar merasa pria ini punya gelagat tidak baik. Kaspar langsung meraih dua rajatanya dan bersiap menyerang.

 Si kekar itu kembali melempar senyum mengejek kepada Kaspar lalu langsung menyerang Kaspar dengan guan dao bermata pisau bulan sabit. Kaspar menghindar dan balas menembak si kekar dengan dua peluru kilat yang langsung menghantam tubuh si kekar tapi si kekar tampak tidak terpengaruh serangan Kaspar itu, malahan ia menjadi semakin brutal dan cepat.

Kaspar berkali-kali menghindar, berguling, dan menjatuhkan diri, berusaha menghindari setiap serangan yang dilancarkan si kekar. Sabetan-sabetannya cepat dan kuat, sangat berbahaya untuk keselamatan hidup manusia manapun yang berhadapan dengannya.

Kaspar menoleh ke arah Ying Go yang masih saja menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi, “Hei! Ying Go! Bantu aku!”

Kali ini Ying Go menjawab meski jawabannya bukan jawaban yang ingin Kaspar dengarkan, “Maaf Kaspar, aku tidak bisa.”

“Kenapa?” tanya Kaspar lagi sembari berguling ke samping guna menghindari sapuan setengah lingkaran dari senjata milik si kekar.

“Apa kau tidak dengar?” Ying Go malah balas bertanya. Kaspar jadi sebal bukan main karena di saat ini Ying Go malah berteka-teki.

Jangan naik darah Kaspar. Dua rajatanya berujar dalam kepalanya. Mereka memang dari tadi mengatakan sesuatu.

 

Oh ya, apa itu? Semacam kode morse?

 

Tidak. Mereka bicara jelas sekali dengan bahasa universal. Apa kau belum bisa dengar Kaspar?

 

Aku tidak dengar apa-apa! Ah sudahlah, bagaimana pula aku harus hadapi gorila ini? Kaspar mulai meragukan kata-kata Bai-Ulgan yang sempat menyatakan bahwa mereka tidak akan membahayakan keselamatannya.

Kompilasi segala pengetahuan. Rajatanya kembali berujar.

Apa? Kaspar tampak kebingungan.

Ingat-ingat setiap perkataan Bai-Ulgan.

 

Ingat-ingat apa? Dharmapala punya keistimewaan dalam hal manipulasi realitas. Lalu?

 

Manipulasi realitas adalah bakat yang dimiliki banyak Kaum Ketiga. Kembali Rajatanya memberi petunjuk.

Inti dari manipulasi realitas adalah pikiran. Kaspar mengulangi perkataan Bai-Ulgan.

“Pikiranku adalah kenyataanku!” tiba-tiba Kaspar teringat akan frasa itu. Segera saja ia memusatkan pikirannya untuk mengimajinasikan bahwa guan-dao itu terbuat dari karet. Lalu ia diam, berdiri menantang guan-dao itu. Ketika senjata itu menyabet tubuhnya, dirasakannya senjata itu membal, persis seperti karet.

Berhasil! Kaspar bersorak girang dalam hatinya menyaksikan senjata si kekar tak lagi mempan padanya.

“Jadi ... kau sudah bisa mendengar suara kami?” tanya si wanita berbaju putih.

Kaspar berpikir sejenak dan entah dari mana asalnya, kata-kata Bai-Ulgan terngiang di benaknya. Dharmapala bicara dalam tiga tingkat bahasa –mereka bicara dalam tiga tingkat frekuensi. Dengarkan baik-baik kata-kata mereka dalam setiap frekuensi!

 

Kaspar diam sejenak, memusatkan seluruh perhatiannya pada sosok-sosok di hadapannya. Ia tak lagi berusaha menyerang, meski senjatanya tetap ia siagakan. Lamat-lamat ada suara lirih terdengar dalam pikirannya, “Jika kau datang dengan damai, jatuhkan senjatamu.”

“Kenapa aku harus letakkan senjataku? Bukankah dengan itu kalian bisa menyerangku?” balas Kaspar.

“Kami menyerang karena kau menyerang, Ayanga,” sosok-sosok itu tampaknya bicara secara bersamaan, mulut mereka kini tak tampak bergerak meski suara-suara mereka terdengar.

Kaspar akhirnya menurut dan meletakkan senjatanya. Lalu ia mulai bicara pada sekumpulan orang itu, “Kami membutuhkan kalian semua, Dharmapala. Kaum Pertama sudah hilang akal terhadap dunia manusia. Mereka sudah merencanakan sejumlah rencana ‘tidak baik’ pada kehidupan manusia.”

“Kami akan membantu Ayanga, tapi kami tidak akan membantu orang yang tidak bijak. Apakah kau cukup bijak?”

“Aku cukup bijak – setidaknya menurutku.”

“Kalau begitu dengarlah dan jawab!”

Si kekar bertanya : “Ke manakah kau ketika rumahmu menjadi panas?

Entah mengapa Kaspar langsung tahu apa yang harus ia katakan, “Aku pergi ke tempat yang tidak panas.”

 

“Bagaimana jika di sekitarmu tak ada lagi tempat yang tidak panas?”

 

“Aku akan jadikan diriku sumber panas.”

“Apakah yang ada di balik sebuah pertemuan?”

“Perpisahan.”

“Apa yang ada di samping kematian?”

“Kehidupan.”

“Dengan kata apa kau sebut kejadian-kejadian yang dilalui zaman?”

“Sejarah.”

“Siapa yang paling tahu kebenaran di balik sejarah?”

“Saksi.”

“Apakah tujuan kita hidup?”

“Mencapai Arahat – kesempurnaan pikiran.”

Bersamaan dengan selesainya Kaspar berujar, seluruh tempat itu tiba-tiba terang benderang. Kaspar yang merasa silau, menutup kedua matanya dengan sebelah tangannya dan ketika sinar itu mulai pudar. Ia melihat sosok Ying Go berdiri di hadapannya sementara para Dharmapala satu demi satu secara perlahan mulai berlutut hormat ke tanah. Tempat ini juga bukan lagi sebuah dimensi paralel, tempat ini adalah bagian dari Pegunungan Valdai Opal.

“Kami mengucapkan salam kepada Ayanga, Sang Master Mahan – yang mengetahui dan menjaga rahasia-rahasia semesta dari awal masa hingga akhir masa,” ujar para Dharmapala itu bersamaan.

“Eh?” kali ini Kaspar tampak kebingungan, “Jadi itu semua tadi ... .”

“Ilusi. Hanya sekedar ilusi,” jawab Ying Go, “kami selalu membuat ilusi guna menguji penerus Master Mahan. Aku pribadi senang sekali karena ternyata yang mereka maksud itu kau Kaspar.”

“Meja Takdir,” ujar Ying Go lagi, “adalah kunci untuk mengakhiri semua konflik yang kita alami selama ini. Tapi hanya Master Mahan yang tahu cara menggunakannya, dan dengan penjagaan Kaum Pertama dan Kedua yang seketat itu, kalian membutuhkan para Dharmapala. Sayangnya, karena di masa lalu Bai-Ulgan pernah menipu para Dharmapala dalam suatu perkara ... para Dharmapala menjauhi Bai-Ulgan dan memutus kontak dengannya”

“Burkhan Khaldun – sang dewa gunung penguasa Valdai Opal – pernah menculik salah satu dari kami, Palden Lamo,” si kekar menunjuk ke arah salah seorang dari antara mereka – seorang wanita yang tadi Kaspar lihat mengenakan pakaian sutra putih, namun kini sudah berganti menjadi wanita berpakaian sutra merah menyala, “dan berniat menikahinya secara paksa.”

“Suatu penghinaan,” sahut sang bhikku, “kami Dharmapala bersumpah takkan pernah menikah dan berkeluarga.”

“Bai-Ulgan menipu mereka semua,” sahut Ying Go, “dengan menyembunyikan Burkhan Khaldun di bawah kerak-kerak bumi. Karena itulah para Dharmapala bersumpah, dalam kondisi apapun, mereka takkan pernah mau ikut campur dalam urusan yang melibatkan Bai-Ulgan di dalamnya.”

“Jadi ... karena itulah Sang Pencerita, Pertiwi, dan yang lainnya membimbingku kemari?” Kaspar menghela nafas panjang.

“Ya, itulah sebabnya. Sebab dengan mengirimkan dirimu pada kami, ia telah menunjuk seorang Master Mahan lain. Dirimu,” tunjuk mereka, “ untuk menggantikan dirinya.”

“Sebentar,” Kaspar mengangkat sebelah tangannya, “Itu artinya Bai-Ulgan bukan lagi Master Mahan?”

“Ya, dengan melepaskan gelarnya Bai-Ulgan akan kembali menjadi Kaum Ketiga biasa.”

Kaspar terperangah ketika mendengar pernyataan itu, tapi sebuah rasa penasaran mengusik benaknya sejali lagi, “Apa kalian tahu soal Master Mahan kedua?”

“Ah itu,” Ying Go tampak menoleh ke arah sang bhante, “Dorje Shugden, kau bisa jelaskan?”

“Aku berharap tidak ada lagi orang yang ditunjuk sebagai Master Mahan kedua itu di masa ini. Sungguh! Tapi yah ... kami tahu soal dirinya.”

“Ceritakan padaku! Bai-Ulgan selalu menghindar setiap kali aku bertanya soal orang itu.”

“Tentu, tapi,” si kekar menunjuk ke arah lembah yang berada jauh di bawah puncak bukit tempat mereka berdiri, “di bawah sana ada pertempuran. Saudara-saudara kita butuh bantuan kita.”

Kaspar melongok ke bawah dan benar saja, di depan gerbang Sakhbataar tampak tengah terjadi pertempuran. Kilatan-kilatan sinar mantra serta erangan kesakitan membahana di udara. Beberapa rumah pun tampak mulai terbakar, jeritan wanita dan anak-anak yang panik sampai terdengar oleh Kaspar.

Sementara itu Dorje Shugden menarik keluar dua pedangnya dan menyilangkannya di depan dadanya, “Mulai hari ini, segala sumpah dan kutuk kita kepada Bai-Ulgan dan saudara-saudaranya berakhir! Saudara-saudariku Dharmapala, mari kita turun dan berperang!”

Ying Go mencengkeram tangan Kaspar dan kabut hitam tipis mulai menyelimuti dirinya dan Kaspar. Kaspar tampak sedikit terkejut dan bertanya, “Apa ini?”

“Moda teleportasi antar tempat bukan hanya portal dimensi Kaspar,” jawab Ying Go sambil tersenyum kalem dan kabut hitam itupun semakin tebal, menutupi sosok seluruh Dharmapala – termasuk Ying Go dan Kaspar.

Dua detik kemudian Kaspar menyaksikan dirinya dan Ying Go sudah berdiri di tengah medan tempur yang berkecamuk. Para maga Kekaisaran tampak merangsek maju ke desa sambil melemparkan mantra-mantra destruktif ke arah desa. Penduduk Saakhbatar yang punya kemampuan magi tampak membentuk selubung energi sementara yang tidak tampak menghunus senjata tajam dan mulai menerjang ke arah para maga.

Di belakang barisan para maga itu Kaspar menyaksikan sosok yang tak lagi asing. “Chayim!” Kaspar menudingkan satu jari telunjuknya ke arah sosok itu.

Sebelah wajah Chayim tampak hangus terbakar, menebarkan aroma daging hangus dan busuk yang tercium kuat di hidung Kaspar. Entah karena gusar melihat musuh lamanya atau suasana hatinya memang sedang buruk, Chayim tampak mengeluarkan suara auman seperti singa dan tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi sosok makhluk bersisik biru tua gelap setinggi 18 meter. Makhluk itu memiliki kepala berbentuk seperti reptil kadal, bertanduk empat, bermata merah, dan memiliki sayap berselaput seperti kelelawar yang berukuran raksasa.

Drako! Drako!” orang-orang Saakhbatar yang tadi tampak maju dengan gagah berani mulai ciut nyalinya ketika menyaksikan sosok Chayim yang telah berubah menjadi sosok seekor drako – naga. Mereka cepat-cepat mundur dari medan tempur namun para maga kini justru makin bersemangat mengejar dan menyerang mereka.

“Oh ya ampun!” Kaspar menelan ludahnya berkali-kali ketika menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Belum sempat ia berkomentar lebih panjang lagi, nagaitu sudah mengibaskan ekornya dan nyaris saja mengenai Kaspar jika Ying Go tidak menarik tubuhnya ke belakang.

“Jangan bengong di saat seperti ini Profesor!” tegur Ying Go yang segera menekuk tubuhnya dan melesat menghantam kepala nagaitu dengan senjatanya.

Tidak mempan, jangankan terluka, tergores pun tidak. Bahkan karena serangan itu, Chayim makin menggila. Ia meraung dan dari mulutnya ia menyemburkan api yang langsung membakar seluruh tanaman yang ada di sebuah lahan kecil beserta empat rumah yang ada di sana.

Kaspar, menarik kedua pistolnya dan mulai menembak. Tembakannya memang juga tidak mempan menembus tubuh Chayim namun itu mampu mengalihkan perhatian naga itu dari para penduduk Sakhbataar yang mulai mundur atas perintah seorang Dharmapala.

Para maga berdiri angkuh di belakang Chayim sementara Chayim sendiri tampak memelototi Kaspar dalam wujud naganya – yang menurut Kaspar cukup keren andai saja ia tidak gemar menyemburkan api.

“Contra Mundi!” suara serak terdengar dari mulut Chayim, membuat Kaspar langsung berpikir : ‘Suaranya dalam wujud manusia saja ini bahkan tidak laku untuk jadi pengamen jalanan, apalagi suaranya dalam wujud seperti ini.’

“Hei Chayim! Belum berniat pulang ke bawah sana?”

“Duniamu menyenangkan, jangan harap aku mau pulang begitu saja!”

“Tapi yah ... tetap saja di sini kau tamu, Chayim. Dan tamu seharusnya punya tata krama, sayangnya kau tidak punya tata krama, Chayim. Jadi ... bagaimana jika kau segera angkat kaki dari sini sebelum aku tendang pantatmu?”

“Haha,” Chayim terkekeh, “Apa kau mampu Contra Mundi?” dan ia kembali menyabetkan ekornya, menghempaskan sejumlah penduduk pria Sakhbataar sejauh beberapa belas meter.

Si Dharmapala kekar itu segera melesat menangkapi tubuh orang-orang malang itu sementara Sang Dharmapala wanita berbaju merah langsung melesat ke arah rombongan maga itu lalu mulai melemparkan pisau-pisaunya ke arah leher-leher para maga sehingga para maga itupun satu demi satu berguguran. Mereka mencoba melawan dengan melemparkan mantra sihir destruktif seperti kilat, tinju batu, atau bola api tapi Dharmapala itu terlalu gesit bagi mereka.

Kaspar sendiri menghindar ke belakang sejauh beberapa meter sebelum akhirnya mendarat dengan dua kakinya dan langsung melepaskan tembakan ke arah Chayim. Chayim mengibaskan lehernya sejenak sebelum balas menyemburkan api ke arah Kaspar. Sekali lagi Kaspar berkelit lalu mengumpulkan energi listrik di tangan kirinya dan menembakkannya ke arah Chayim.

Biasanya serangan mantra seperti itu hanya membuat lawan sebesar Chayim tersentak dan terdiam untuk beberapa saat. Tapi kali ini Kaspar dibuat terkejut karena serangannya itu ternyata berefek domino. Tak sekedar melumpuhkan Chayim untuk beberapa saat tapi juga membuat sekumpulan maga yang tengah bersusah-payah melawan seorang Dharmapala tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri akibat sambaran kilat yang terjadi pasca Kaspar melemparkan sebuah kilat ke kepala Chayim barusan. Efek lainnya? Kaspar sukses merusak sejumlah gugus batu granit yang sebenarnya sangat keras dan sulit sekali dipotong.

“Wow, itu ...,” Kaspar terpukau, “menakjubkan.”

Chayim hanya lumpuh selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali menyerang. Kali ini ia makin menggila dengan turut mengibaskan sayap-sayapnya yang tajam sehingga sempat membuat sebuah gugusan batu runtuh dan nyaris menimpa sekumpulan prajurit Sakhbataar yang tengah bergelut dengan beberapa maga sebelum Ying Go berhasil meremukkan seluruh batu longsor itu dengan sabetan tombaknya. Melihat kondisinya makin tak menguntungkan, Kaspar kembali berkonsentrasi, mengkonsentrasikan segala inderanya untuk memanggil kembali kekuatan yang sempat ia panggil saat bertarung dengan Helena dulu.

Satu gugus petir untuk mengakhiri semuanya! Kaspar membatin dan awan di atasnya pun mulai membentuk pusaran. Angin dingin mulai berhembus dan berputar di satu sumbu di mana tubuh Kaspar yang tengah mengalami trans tampak membumbung naik ke atasnya, seolah menjadi pusat atas segala kekuatan alam yang ada di sana.

Melihat Kaspar membumbung naik ke langit, Chayim segera membentangkan sayapnya dan melayang ke angkasa. Ying Go dan Dorje Shugden yang terlambat menyadari gelagat Chayim karena tengah bertarung dengan sekumpulan iblis yang menyaru menjadi maga tampak melirik ke atas langit, berseru-seru kepada Kaspar dan memintanya segera turun. Tapi entah kenapa Kaspar tampak tidak mendengar perkataan mereka.

Dengan satu sentakan kaki, Ying Go melesat ke arah Kaspar yang tengah didekati Chayim. Sayang ia kurang cepat. Chayim sudah tiba lebih dulu dan mulutnya telah membuka, hendak menelan Kaspar. Tapi di saat yang bersamaan ratusan kilat dan petir menghantam tubuh Chayim dan langit pun menjadi benderang akibat peristiwa itu.

Chayim tampak tidak terlalu terpengaruh akan serangan Kaspar. Sebaliknya, dengan satu raungannya membuat Kaspar dan seluruh Dharmapala yang tengah bertarung di bawahnya tiba-tiba tersentak dan terhempas oleh dorongan kekuatan suaranya yang terasa amat dahsyat.

Kaspar terjatuh di sebuah lembah granit dan menghancurkan sebagian sisi tebing yang ia hantam. Punggungnya terasa sakit tapi selain itu ia merasa baik-baik saja. Batinnya sendiri mengumpat. Sial! Masih tidak cukup!

 

Sosok naga Chayim ternyata mengejarnya dan melayang tepat di atas kepalanya dan menyemburkan api ke arahnya. Kaspar langsung berguling menghindar dan balas menembak dengan kedua senjatanya, tapi Chayim bergeming. Kembali naga itu menyemburkan apinya, kali ini nyaris mengenai Kaspar. Segera Kaspar membentuk selubung pelindung namun tampaknya usahanya ini belum cukup.

Selubung itu hanya bisa menahan serangan Chayim selama semenit sebelum akhirnya luruh dan hancur, membuat api itu membuat beberapa bagian tubuh Kaspar terbakar. Kaspar mengerang kesakitan ketika api itu menyelimuti dirinya. Tapi efek serangan Chayim ternyata tidak hanya sampai di situ.

Di antara api, Kaspar merasakan aroma busuk yang seolah menghisap tenaganya. Membuatnya tak berdaya dan tak bisa bergerak bahkan sejengkal pun. Begitu semburan api itu terhenti sekalipun Kaspar hanya bisa roboh ke tanah tanpa bisa menggeliat sekalipun.

“Kau suka wujud baruku Kaspar?” Chayim mendarat di tempat Kaspar terbaring lalu merubah dirinya menjadi sosok Chayim kembali.

“Apa itu barusan?” Kaspar yang sebagian kulitnya telah mengelupas tampak berusaha sekuat tenaga untuk sekedar mengangkat kepalanya.

“Racun, neurotoksik – racun yang merusak syaraf. Sesuatu yang cukup kuat untuk melumpuhkan Kaum Ketiga sekalipun. Racun yang sama yang digunakan Apophis untuk mengalahkan Ennead macam Amun-Ra, dan Anubis. Yang membuat peradaban mereka musnah dari ingatan segenap umat manusia,” jawab Chayim sembari menyeringai.

“Kau berubah.”

“Kami mengalami apa yang kalian sebut ... evolusi. Hanya saja jika manusia membutuhkan jutaan tahun untuk berevolusi, kami bisa berevolusi lebih cepat. Lebih-lebih jika ada campur tangan Kaum Pertama.”

“Kalian seharusnya adalah keberadaan yang saling bertentangan.”

“Ya, tapi keteraturan lahir dari kekacauan, kekacauan pun lahir dari keteraturan. Kami telah belajar Kaspar. Belajar untuk membuat keteraturan yang dimiliki Kaum Pertama bisa dengan mudah kami gunakan sebagai jalan evolusi kami. Sebentar lagi, seluruh Kaum Kedua akan memenuhi bumi. Kami akan melakukan panen dan takkan ada yang bisa kalian – Kaum Ketiga – lakukan.”

“Kalau kau memang mau melakukan panen, kenapa kau harus kemari?”

“Ha, apa kau pura-pura tidak tahu Kaspar? Di gunung ini Master Mahan bersemayam. Orang itu benar-benar menjadi duri dalam daging sebab kebudayaan manusia yang telah runtuh pun akan ia bantu untuk bangkit kembali. Kesepakatan kami dengan Kaum Pertama pun selalu batal dan diperpanjang karena hal ini! Manusia yang ia ajari akan terus memuja kehendak bebas. Tak ada persatuan! Tanpa persatuan mustahil bagi kami untuk –.”

“Menguasai dunia,” potong Kaspar yang perlahan mulai bangkit berdiri, “Kaum Pertama ingin menghilangkan kehendak bebas supaya dunia ini bebas dari segala konflik dan sebagai imbalannya mereka akan menyerahkan sebagian jiwa manusia yang mereka anggap membangkang kepada kalian bukan?”

“Ah, kau pintar. Pasti kau sudah bertemu dengannya.”

“Aku sudah tahu sejak dahulu. Melalui pengalaman setiap orang dari kami, aku menyusunnya menjadi sekeping informasi. Tapi ada satu hal yang tetap tidak aku mengerti. Apakah kalian puas hanya dengan imbalan seperti itu? Bukankah kalian adalah makhluk paling serakah yang ada di seluruh semesta?”

Chayim hanya meringis, “Tiap-tiap persatuan hanya bersifat insidental.”

“Ketika kami tak ada lagi, kalian akan melanjutkan perang ini bukan?”

“Anak Pintar,” Chayim mengangkat sebelah tangannya, bersiap untuk melontarkan sejumlah pedang bayangan yang terbentuk di sekelilingnya. Namun alih-alih melemparnya ke arah Kaspar, ia malah melemparnya ke arah belakang.

“Aku tahu kalian akan datang!” serbuan pedang bayangan itu terarah ke Ying Go meski Ying Go dengan sigap berhasil menghindari semua serangan Chayim.

Dharmpala yang lain tampak bermunculan dari kabut asap tipis dan langsung menyerang Chayim. Delapan Dharmapala melawan satu iblis. Pertarungan yang menurut Kaspar seharusnya tak mampu dimenangkan Chayim, lebih-lebih dalam wujud manusianya itu. Tapi nyatanya ia tampak tak gentar menghadapi musuh sebanyak itu.

Dengan cekatan ia membentuk sejumlah pedang bayangan dan mulai bertarung dengan para Dharmapala itu. Aksi saling hantam, saling melempar mantra, dan saling tangkis pun berlangsung selama sekian menit namun Chayim sama sekali tak tampak kerepotan dengan aksi para Dharmapala itu.

Kaspar mulai merasakan aliran listrik mengaliri tangannya kembali. Anggota tubuhnya kini sudah bisa digerakkan meski tidak sempurna karena adanya luka bakar yang mendera sekujur tubuhnya dan terasa pedih setiap kali bergesekan dengan kulit anggota tubuh yang lain. Kaspar berusaha tak menghiraukan rasa sakit itu dan melemparkan satu kilatan petir ke arah Chayim.

Para Dharmapala itupun langsung menghindar ketika menyaksikan Kaspar hendak menyerang. Serangan itu melumpuhkan Chayim, membuatnya tak bisa bergerak untuk beberapa saat. Pada saat itulah para Dharmapala secara bersamaan menghujamkan senjata-senjata mereka ke arah Chayim. Mereka berpikir ini akan mengakhiri semuanya, namun sayang perkiraan mereka meleset.

Senjata mereka tak mampu menembus tubuh Chayim. Tubuh iblis itu bak dilindungi material keras yang bahkan tak tertembus Rajata. Chayim sendiri berhasil bergerak lagi sesaat setelah senjata-senjata Dharmapala itu membentur tubuhnya dan dengan satu sapuan tangan ia memotong tangan seorang Dharmapala berpakaian satin biru. Seorang rekannya langsung membawa Dharmapala itu mundur sementara Ying Go dan Si Kekar tampak menyerang Chayim. Kaspar yang tampak masih terhuyung juga turut menyerang dengan tembakan-tembakan senjatanya meski tampaknya itu tak banyak membantu. Chayim telah menjadi jauh lebih kuat semenjak pertemuan mereka yang terakhir.

Apa sampai di sini saja? Kaspar mulai merasa takut. Ia takut akan kematian dan selalu takut untuk mati. Orang-orang menjulukinya pengecut, tapi ia sendiri merasa bahwa hidupnya selama 24 tahun terakhir ini belum punya arti dan selama arti itu belum ia temukan ia bersumpah untuk tetap hidup. Apakah menjadi seorang Contra Mundi ini memiliki arti? Mungkin ya, mungkin tidak. Dulu ia merasa punya arti ketika Damian menyerahkan tanggung jawab ini padanya. Tapi setelah ia tahu bahwa Helmut merencanakan sesuatu yang di luar dugaannya ia menjadi ragu jalan ini benar-benar jalan hidupnya?

Menjadi Master Mahan? Mungkin itu kehidupan yang menyenangkan meski ia sendiri tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengan segala pengetahuan itu, terlebih jika ia memiliki pengetahuan yang sangat ingin ia bagi namun tak bisa ia bagi karena tak ada satupun jiwa manusia yang bisa menerima pengetahuan itu. Jangankan pengetahuan yang dikuasai Master Mahan, teman-temannya membenci dan menjauhinya ketika ia terang-terangan menyatakan pendapatnya bahwa Kaisar telah dirasuki iblis – sebuah kenyataan yang ditolak oleh rekan-rekan maga-nya dan pada akhirnya membuat para maga itu mengincar nyawanya.

Dengan satu sentakan, Chayim melukai perut Si Kekar sebelum akhirnya berlanjut pada Ying Go. Ying Go tak sempat melihat ketika Chayim secara tiba-tiba sudah berada di belakang dirinya. Satu sabetan pedang hanya tinggal satu senti lagi dari leher Ying Go ketika sebuah tangan menghentikan laju pedang Chayim.

Jantung Kaspar nyaris melompat keluar karena senang ketika menyaksikan siapa sosok itu. “Damian!” Kaspar bersorak.

Damian tengah berdiri dengan kedua kakinya berpijak kuat di tanah. Satu tangannya menahan laju pedang Chayim. Matanya memancarkan bara api membara dan tubuhnya tampak diselimuti semacam aura bercahaya di samping mantel bulu tebalnya. “Kita bertemu lagi Chayim. Selalu bertemu lagi,” ada suara Bai-Ulgan terdengar dari dalam mulut Damian bersama-sama dengan suaranya sendiri.

Chayim menyentakkan pedangnya dengan kasar, membuat Damian mundur beberapa langkah. Tanpa buang waktu, Chayim mengibaskan tangan kirinya, memanggil iblis-iblis dari lubang hitam yang bermunculan di sekelilingnya. Dua puluh sosok iblis dalam wujud manusia langsung menerjang ke arah Damian. Tapi langkah mereka segera terhenti, terhalang oleh lajur kilat yang sempat menghancurkan satu dari antara mereka.

Mereka semua – termasuk Chayim – menoleh ke arah Kaspar yang sudah berdiri di bersama Ying Go tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Bunuh!” Chayim memberi perintah pada para iblis itu dan mereka pun secara serempak segera balas menyerang. Sebagian mengubah wujud mereka menjadi makhluk mirip hewan buas berukuran sebesar gedung dua lantai, sebagian lagi mengubah wujudnya menjadi iblis Tavur – iblis raksasa bersenjatakan dua bola besi berduri, sebagian lagi tetap memilih wujud manusianya dan dengan tubuh seringan kapas melemparkan mantra-mantra kutukan kepada para Dharmapala.

Satu mantra kutukan itu mengenai tangan kanan Kaspar, membuat Kaspar merasa seolah otot-otot tangannya mencair. Dengan cepat ia merapal mantra penyembuh – yang mampu menghentikan pembusukan tangannya meski tak sempurna. Seekor iblis yang mengambil wujud seekor manusia serigala dengan punggung berduri serta diselimuti oleh hawa panas api melompat tepat di depan Kaspar. Iblis itu melompat ke arah Kaspar namun Kaspar segera bergeser dari tempatnya dan kini sosok Kaspar dan iblis itu saling berhadap-hadapan.

Kaspar dan iblis itu saling berjalan mengitari lawannya, terus berhadap-hadapan, saling menimbang kekuatan dan strategi sebelum akhirnya iblis itu memulai serangannya terlebih dahulu. Ia melompat dan menyabetkan dua cakar tajamnya ke arah wajah Kaspar. Kaspar menangkisnya dengan membentuk sebuah perisai halilintar yang ternyata mampu membuat iblis itu menguik bak anak anjing yang ditendang serta terlontar sekitar satu meter sebelum akhirnya kembali berdiri dan menggeram marah ke arah Kaspar.

Kaspar melemparkan satu lajur halilintar ke arah sosok manusia serigala itu namun lawannya berkelit lincah dan balas menerkam Kaspar. Kaspar berguling menghindar dan menarik pistolnya lalu menembaki iblis itu. Dua tembakannya meleset namun satu tembakannya berhasil mengenai rusuk makhluk itu telak. Disusul dengan satu lajur kilat yang keluar dari tangan kanannya – yang sebenarnya tidak dalam kondisi baik – Kaspar berhasil membuat makhkuk itu menjadi serigala panggang yang kelewat hangus.

Sosok Chayim sendiri tampak tengah menyerang Damian dengan penuh nafsu membunuh. Tapi menghadapi sosok itu, tak satupun raut khawatir muncul di wajah Damian. Ia tampak tenang, tidak lagi panik dan ketakutan seperti biasanya. Kaspar sendiri dibuat heran dengan perubahan itu sampai-sampai ia sempat melupakan niatnya sejenak untuk membantu saudaranya itu. Damian membentuk sejumlah ilusi dirinya dan Chayim berkali-kali terjebak dengan mengira ilusi itu nyata. Sejumlah ilusi telah Chayim hancurkan entah dengan sabetan pedang atau rapalan mantra tapi Chayim belum jua menemukan mana Damian yang asli.

Tanpa menghiraukan rasa ngilu dan nyeri yang sudah mendera dirinya sejak tadi, Kaspar berlari ke arah Chayim sambil menarik picu senjatanya berkali-kali. Tembakan-tembakan Kaspar memang tidak melukai Chayim, tapi itu cukup untuk mengalihkan perhatian iblis itu dari Damian. Dan ketika perhatiannya teralihkan itulah Chayim mendapat satu serangan yang tidak ia duga sebelumnya. Satu lilitan tali cahaya yang langsung ditarik Damian sehingga Chayim jatuh tersungkur di atas tanah. Kemudian disusul dengan sambaran petir dari langit yang dibentuk oleh Kaspar.

Beberapa Dharmapala – termasuk Ying Go dan Si Kekar – tampak telah membereskan musuh mereka. Menyaksikan itu Damian tiba-tiba saja berseru, “Dharmapala, kekang Chayim selagi aku mempersiapkan pilar!”

“Pilar?” Kaspar tidak mengerti dengan kata-kata Damian namun para Dharmapala itu tampaknya mengerti betul apa maksud Damian. Para Dharmapala yang sudah membereskan musuh mereka langsung menteleportasi diri mereka ke arah Chayim, bersiap untuk mengekang Chayim.

“Tak secepat itu!” Chayim tiba-tiba saja diselimuti aura gelap dan kembali menjadi wujud naganya. Sabetan ekor dan semburan apinya mengarah ke arah para Dharmapala namun para Dharmapala segera menghindar sementara Damian tampak berbisik kepada Kaspar.

“Tahan dia dengan gunturmu, Kaspar,” begitu Damian berbisik.

“Lalu kau mau apa?”

“Sudahlah, hantam saja ia dengan serangan terkuatmu,” ujar Damian sebelum melayang ke angkasa dan hilang di balik gugusan awan.

“Hantam dengan serangan terkuat? Oke!” Kaspar kembali mengkonsentrasikan seluruh inderanya, seluruh kekuatannya, dan seluruh pikirannya guna membentuk kembali pusaran awan di langit. Pusaran itu kini tampak semakin besar dan berputar semakin cepat. Chayim yang menyaksikan tindakan Kaspar itu berusaha untuk menyerangnya, namun para Dharmapala itu kembali menyibukkan dirinya dengan menyerangnya dari berbagai arah.

“Ya!” Kaspar akhirnya membuka matanya dan mengibaskan sebelah tangannya, mengarahkan sejumlah besar guntur ke arah Chayim. Para Dharmapala pun segera berpencar ke berbagai arah sementara Chayim segera diselimuti oleh kilatan-kilatan cahaya guntur untuk beberapa saat. Ada suara derak guntur disertai bau hangus ketika guntur-guntur itu menghantam Chayim. Dan saat semuanya itu sudah berakhir, Kaspar melihat sebelah sayap Chayim telah hangus terbakar.

Tapi tak mau lagi mengambil resiko Chayim pulih, Kaspar kembali menghantam Chayim dengan lajur-lajur kilat yang keluar dari tangannya. Sementara itu, delapan Dharmapala – termasuk Ying Go – segera melayang ke arah leher Chayim dan bersama-sama mereka mencengkeram leher Chayim, seolah-olah mereka hendak memutarnya hingga putus.

“Apapun yang kalian lakukan, cepatlah!” seru Kaspar.

Selubung asap hitam kembali menyelubungi para Dharmapala, kali ini termasuk Chayim. Mereka segera menghilang dari tempat mereka semula dan muncul tepat di sebuah puncak sebuah tebing berpuncak datar yang memiliki celah sempit di salah satu sisinya. Kaspar menyaksikan bagaimana para Dharmapala itu menjepitkan kepala naga Chayim ke dalam celah sempit tersebut lalu Damian yang sedari tadi tampak melayang ke angkasa, kembali lagi dengan membawa sebuah pilar cahaya raksasa yang langsung ia hantamkan pada kepala Chayim dengan dibantu Si Kekar dan Ying Go.  

Ada pekikan keras yang keluar dari mulut Chayim sebelum akhirnya Kaspar menyaksikan bahwa kepala naga itu akhirnya terpisah dari tubuhnya. Jatuh ke dasar celah sempit itu hanya untuk digencet dengan pilar cahaya itu beberapa saat kemudian.

[1] Dibaca Ayan-ga

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top