BAB XVIII : SEBUAH AWAL, SEBUAH AKHIR, DAN SEBUAH PENANTIAN (END)
Dia yang menanam pembalasan dendam, harus menuai buahnya yang berdarah.
―Divakaruni, Istana Khayalan ―
Ketika Kaspar bangun, ia mendapati dirinya tangan kiri dan tangan kanannya tampak digips. Sesuatu yang tidak lazim karena biasanya Helena atau Sofia atau Damian mampu menyembuhkan lukanya dengan beberapa patah mantra saja. Tapi mengingat Damian ia jadi langsung panik. Ia langsung bangkit berdiri tanpa mempedulikan seluruh tubuhnya yang masih terasa ngilu dan sakit lalu berlari-lari di sepanjang koridor memanggil-manggil Damian, “Damian! Damian!”
Teriakannya baru berhenti ketika Sanjaya menghadang langkahnya. Pemuda itu tampak berdiri telanjang dada dengan tubuh penuh bilur dan luka sayat di hadapan Kaspar sambil menatap prihatin kepada Kaspar, “Damian ... tidak ikut dengan kita.”
Kaspar tampak makin panik, “Di mana dia?”
“Ia mengorbankan diri di Ruang Meja Takdir. Apa kau lupa Kaspar?”
“Ah,” Kaspar jatuh lemas ke lantai namun Sanjaya segera mencengkeram bahu Kaspar dan mencegah supaya kakinya tak terantuk lantai kasar.
“Sofia juga sudah tahu,” Sanjaya melanjutkan perkataannya, “Ia sudah diberitahu Helena.”
Amarah Kaspar tiba-tiba bangkit ketika ia ingat pada tindakan Olivia, “Mana Olivia? Mana? Biar kuhajar gadis itu!”
“Hentikan Kaspar,” Sanjaya berusaha keras menahan gerak Kaspar yang sudah tersulut emosinya, “Dia bertindak begitu karena tidak tahu, Kaspar. Dia tidak tahu jika kalian berdua sudah mencapai kesepakatan dan menikam Nandi dari belakang itu akan membawa bencana sedahsyat itu. Ia hanya tahu bahwa Nandi harus dihentikan dari sudut pandang Helmut seorang.”
“Di mana dia?! Aku tanya di mana?!!” Kaspar masih saja histeris.
“Dia sudah pergi Kaspar. Ia minta maaf telah ‘membunuh’ saudaramu dengan tidak sengaja. Nandi pun juga pergi Kaspar dan ia juga minta maaf karena tindakannya secara tidak langsung merenggut nyawa saudaramu.”
“Kaspar,” terdengar suara Helena memanggil Kaspar. Kaspar menoleh dan melihat gadis yang tengah mengenakan kemeja pink cerah itu mendekatinya dan berkata, “Sofia ingin bicara denganmu.”
“Temui dia Kaspar,” Sanjaya sedikit mendorong Kaspar untuk menemui Sofia dan Kaspar pun melangkah dengan enggan memasuki sebuah kamar tidur yang ditutupi sebuah kelambu hijau, tempat Sofia berada.
“Err ... selamat pagi Sofia,” sapa Kaspar ketika memasuki kamar itu.
“Pembohong!” Sofia melayangkan satu pukulan ke dada Kaspar dan Kaspar langsung saja merasakan nyeri hebat di salah satu rusuknya – mungkin rusuknya patah sekarang, “Pembohong! Kau bilang akan pulang, kenapa kau pergi Damian? Kenapa?” tanpa terasa Sofia kini menangis di dada Kaspar. Kaspar diam saja, membiarkan Sofia terus menangis meski rusuknya masih sakit akibat pukulan Sofia barusan.
Akhirnya setelah Sofia mulai tenang, Kaspar mulai berkata, “Damian memintaku menjagamu.”
Sofia hanya menatap Kaspar dengan tatapan tak percaya, “Kaspar, kau tidak akan sanggup menjagaku.”
“Kenapa memangnya Sofia?”
“Karena ...,” Sofia tampak mengelus-elus perutnya secara terus menerus.
Melihat itu secara spontan Kaspar bertanya, “Kau hamil?”
Sofia mengangguk, lemah, tak bertenaga.
“Lalu apa masalahnya?”
“Kaspar, anak ini butuh ayah untuk ...,” kata-kata Sofia langsung dipotong Kaspar.
“Akta lahir dan penjaga baginya kan? Lalu apa masalahnya?”
“Kau tak keberatan?”
“Sama sekali tidak.”
“Kenapa Kaspar?”
“Karena aku sudah berjanji pada Damian dan ... perasaanku padamu Sofia ... sama dengan perasaan Damian padamu.”
*****
Alam Semesta Sambala, Museum Drent, Assen – Drenthe, Nederland lima tahun kemudian
Di depan sebuah gedung Museum bercat warna-warni dan berhias bendera biru putih serta bendera tiga warna – merah, biru, dan putih – Helena tampak menekuni sebuah buku sambil sesekali melihat jam tangannya. Lima tahun berlalu sejak peristiwa itu namun penampilannya tak banyak berubah. Wajahnya masih pucat kemerahan dan berbintik, hanya rambut pirangnya kini dikuncir ekor kuda.
“Hei!” seorang pemuda menepuk bahunya dari belakang.
“Kau lama sekali Kaspar.”
Kaspar melepas topi pet yang menutupi wajahnya lalu mengambil tempat duduk di samping Helena, “Aku harus memastikan gadis kecilku tenang dulu sebelum aku bisa kemari,” Kaspar menunjuk ke arah belakang di mana Helena melihat seorang anak perempuan berambut pirang ikal dan bergelombang tengah bermain petak-umpet dengan sekumpulan anak-anak lain yang seumuran dengannya.
“Itu ... putri Damian?”
“Ya,” Kaspar mengangguk, “namanya Irina.”
“Berapa umurnya sekarang?”
“Empat tahun, hampir lima tahun.”
“Kau merawatnya dengan baik Kaspar.”
“Aku tidak sendiri, aku punya ... entah bagaimana aku harus menyebutnya. Kakak ipar atau istri?”
“Kau belum menikahi Sofia?”
“Di catatan sipil sudah resmi tapi jujur Helena, sampai detik ini pun aku masih belum merasa layak menjamahnya.”
Keduanya terdiam untuk sesaat sebelum Helena bertanya kembali, “Um soal pertanyaanku?”
“Soal Nandi? Maaf Helena, aku sudah mencoba mencarinya juga. Sitija pun juga mencoba, Sanjaya pun mencoba. Tapi sejauh ini hasilnya nihil.”
“Kenapa dia tidak kembali ke Persada, bukankah Bomasrawa sudah tak ada lagi dan dia tidak perlu lagi ragu menampakkan diri di istana itu?”
“Dia takut dikhianati.”
“Maksudmu?”
“Itu semua salah kami Helena, salahku, Haris, Olivia, dan Helmut.”
“Itu semua masa lalu, Kaspar”
“Tapi di mata Nandi masa lalu, masa kini, dan masa depan nyaris tak ada bedanya. Ia bisa menyaksikan segala kejadian yang sudah ditelan waktu dan dilupakan zaman dan kalau kau belum kuberitahu ... suara semua orang yang mati oleh kekejaman dari masa lalu mengiang terus di telinganya sepanjang hari sejak dia menjadi Mahakala. Orang biasa sudah pasti akan kehilangan kewarasannya dalam kondisi seeperti itu. Itu belum ditambah dengan fakta bahwa dua saudaranya di Versigi secara sepihak berencana menolak kedatangannya. Aku sendiri Helena, butuh waktu tiga tahun untuk berhenti menyalahkan Olivia atas kematian Damian dan selama itu pula aku harus menyembunyikan diri dari hiruk-pikuk dunia. Nandi ... mungkin butuh waktu yang lebih lama.”
“Aku sudah tahu soal itu. Dia sudah sempat memberitahu Sanjaya ... sebelum pergi.”
“Bagaimana dengan Richard? Kudengar Nephilim itu selamat.”
“Sejujurnya ... pria itu hanyalah korban dari keadaan seperti halnya kita. Aku sudah memaafkan tindakannya yang membunuhi teman-teman sekelas kami dahulu tapi aku tak bisa lagi menerimanya sebagai orang dekat. Jangankan orang dekat, teman pun tidak.”
“Hmm,” Kaspar tampak manggut-manggut sebelum sebuah tangan kecil menarik-narik bajunya.
“Hei Irina, ada apa?” tanya Kaspar pada gadis kecil itu.
“Papa, ayo kita pulang.”
“Sebentar Sayang, Papa masih ada urusan.”
“Aku bosan di sini. Teman-temanku itu semuanya sudah pulang.”
“Sebentar Kaspar,” Helena beranjak berdiri meninggalkan Kaspar selama beberapa saat. Sementara Kaspar sendiri jadi sibuk membujuk Irina untuk tetap tinggal. Tak lama kemudian Helena kembali dengan membawa tiga cup coklat panas dan tiga bungkus kue wafel[1].
“Mau coklat Irina?” Helena menyodorkan sebungkus wafel dan segelas coklat panas kepada Irina. Mata gadis itu langsung berbinar melihat makanan dan minuman manis itu lalu menerimanya dengan antusias dan pergi dari hadapan Helena setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.
“Di mana kau tinggal sekarang Kaspar?”
“Di semesta paralel yang dibentuk Pak Tua Bai-Ulgan. Ada perpustakaan besar berisi segala pengetahuan yang telah hilang di sana tapi aku berencana untuk pindah ke Belgirium dalam waktu dekat ini. Kau sendiri?”
“Aku?” Helena tertawa getir, “Semua tanah dunia yang beratapkan langit adalah rumahku. Aku tidak punya tempat tinggal tetap Kaspar. Kadang aku ada di Alor – Nusa Tenggara, kadang aku ada di Afganistan, kadang di Pakistan, kadang aku ada di Zaire, tergantung ke mana kawan-kawanku akan mengirimkan aku.”
“Berbaur dengan para relawan kemanusiaan eh? Itu cocok sekali denganmu.”
“Dan Haris? Ke mana dia?”
“Haris? Ia kembali ke negerinya, melepaskan segala gelar Emir dan Mirza-nya, lalu pergi ke sebuah oase di tengah padang gurun dan menjadi petani serta peternak di sana. Keputusan yang aneh ya?”
“Dengan membawa serta anak dan istrinya?”
“Ya. Oh ya Ying Go ... dia kembali bertugas di militer. Harusnya sekarang dia sudah jadi Mayor.”
“Ah, Dharmapala. Dari sekian banyak itu kini hanya tersisa Ying Go seorang.”
“Jumlah kita memang selalu berkurang kan? Dari yang semula nyaris dua ribu menyusut menjadi seribu, lalu sekarang hanya tersisa puluhan.”
“Apa rencanamu ke depan Kaspar?”
“Rencanaku? Aku juga masih bingung dengan apa yang hendak aku lakukan. Sepuluh abad itu waktu yang lama tapi aku khawatir dalam tenggat waktu itu aku juga tak dapat berbuat banyak untuk memperbaiki perilaku manusia.”
“Kau bisa minta bantuan kami.”
“Mungkin aku akan mempertimbangkannya. Tapi ... masing-masing dari kita baru saja menerima pukulan berat. Aku ragu kita bisa siap untuk berkumpul lagi dalam waktu dekat ini.”
“Yah,” Helena menghela nafas panjang, “Kau benar. Ah, sudah waktunya aku pulang. Anak-anak panti pasti sudah menungguku.”
“Oke, aku juga harus mengantar Irina pulang. Terima kasih atas coklat dan wafelnya Helena.”
“Aku juga berterima kasih karena kau mau datang Kaspar.”
“Tak apa, kapan-kapan berkunjunglah ke tempatku. Sofia pasti senang.”
Helena hanya melempar senyum pada Kaspar sebelum hilang di balik sebuah portal dimensi.
Alam Semesta Versigi, Pulau Belitong
Di antara tebaran batu-batu granit raksasa Pantai Belitong, Nandi duduk sendirian menatap matahari yang perlahan-lahan terbit dari cakrawala. Pantai masih sepi dan memang seperti biasanya sepi. Sejak gelombang tsunami menghantam pulau ini dua tahun yang lalu akibat ‘ulahnya’ penduduk dan wisatawan menjadi takut untuk berkunjung kemari.
Tapi bagi Nandi, kejadian itu memberikan berkah tersendiri, ia jadi punya tempat untuk menyendiri. Tempat untuk mengalihkan perhatiannya dari suara-suara masa lalu yang masih saja mengiang di telinganya. Intensitas suara itu sudah jauh berkurang dan Mahakala pun tak pernah menampakkan dirinya lagi tapi tetap saja hal itu mengganggu Nandi.
Setelah lama Nandi merenung, matahari akhirnya benar-benar muncul dari garis cakrawala. Air pantai yang biru tampak berkilau memantulkan sinar mentari, seolah menggoda siapapun yang ada di sana untuk terjun dan berenang ke dalamnya. Nandi pun akhirnya tergoda juga. Dilepaskannya jaket dan kausnya, juga celana denim hitam yang ia kenakan lalu berlari ke pantai dan menceburkan diri ke dalam laut.
Air laut terasa sedikit hangat akibat aktivitas vulkanik dari sebuah gunung berapi yang baru muncul tak jauh dari tempat itu meningkat. Satu lagi dekorasi baru bumi yang bertambah karena hasil buatannya. Nandi membalikkan tubuhnya, memposisikan kepalanya menghadap ke arah langit sambil mendesah, “Apa aku memang hanya bisa menghancurkan? Apa tidak ada tempat di mana aku tidak akan pernah lagi berpikir untuk menghancurkan sesuatu?”
Godaan menghancurkan bumi ini memang masih bergejolak hebat di dada Nandi. Sebab orang jahat ada di mana-mana dan kini ia bisa merasakan setiap kehendak yang dipikirkan orang-orang ini. Hanya sedikit yang berkehendak baik dan itu sangat menyiksanya. Ingin rasanya ia melenyapkan orang-orang itu namun ia takut ia akan melampaui batas dan sekali lagi membawa kehancuran – sesuatu yang tak ingin ia lakukan, setidaknya dalam waktu 10 abad ini.
Nandi beranjak bangkit lalu mengusap-usap tubuhnya yang penuh bekas bilur dan luka sayat sebelum akhirnya keluar dari laut menuju ke pinggir pantai. Di pinggir pantai ia dikejutkan oleh kehadiran Metatron yang sudah duduk dengan santainya di sebuah gugusan karang.
“Halo Nandi, apa kabar?”
“Mau apa kau kemari, Metatron?”
“Aku sudah dengar komplain dari Kaspar soal dirimu yang tidak bisa dicari maupun dihubungi. Jadi aku sendiri yang mencarimu.”
“Kau mampu mencariku sekarang, setelah sekian lama kau tidak sadar juga bahwa aku Mahakala?”
“Aku dapat bantuan ... dari Yang Empunya Kekuatan Tertinggi. Ia punya pesan untukmu.”
“Pesan apa?”
“Mungkin lebih tepatnya hadiah.”
“Aku sudah cukup banyak dapat ‘hadiah’ dari dirinya.”
“Ya, tapi aku yakin kau akan suka hadiah ini.”
“Apa itu?”
“Mendekatlah.”
Nandi mendekat ke arah Metatron dan malaikat itu mengeluarkan sebuah benda mirip kecambah kacang hijau yang bersinar lalu meletakkannya ke telapak tangan Nandi.
“Apa ini?”
“Hadiah pertama untuk membuat sebuah keajaiban.”
“Lalu?”
“Aku bawa hadiah kedua,” Metatron mengeluarkan sebuah bola cahaya putih dari balik zirahnya dan bola putih itu segera mewujud menjadi sosok yang pernah jadi bagian hidup Nandi.
“Papa?!” Nandi membelalak tidak percaya.
“Halo Nak,” sosok Adhibratha yang tampak bersinar dalam balutan pakaian dokternya itu mendekat lalu memeluk Nandi.
“Bagaimana ... bisa ...?” tanya Nandi terbata-bata.
“Aku dengar dari Metatron bahwa kau butuh bantuan.”
“Ah aku.”
“Kenapa kau menyiksa dirimu sendiri Nandi? Menjauhkan diri dari masyarakat, menjauhkan diri dari yang namanya cinta? Mengurung diri dengan masa lalu? Apa yang akan kau dapatkan dengan itu?”
“Tapi ... aku ... takut ... .”
“Kau takut tergoda untuk menghancurkan dunia, Nak?”
“Ya.”
“Kalau kau takut, kenapa tidak kau buat keajaiban?”
“Aku tak bisa.”
“Kau bisa, ibumu Pertiwi dulu bisa melakukannya. Kenapa kau tidak?”
“Apa Ibu mengatakan bahwa aku akan membuat keajaiban? Kurasa tidak. Aku sama sekali tidak bisa membuat keajaiban. Aku hanya bisa menghancurkan.”
“Masa? Nandi,” Adhibratha mengenggam kedua tangan Nandi, “dari atas sana aku lihat tangan ini pernah memberi makan anak-anak jalanan dan para pedagang asongan di seputar Tanah Abang. Tangan ini pernah mengelus banyak hewan dengan penuh kasih sayang, tangan ini juga pernah menenangkan seorang anak remaja yang tengah panik karena serangan Calya. Tangan ini juga yang menyelamatkan banyak nyawa saat Jakarta – dalam dimensi yang lain – diserbu. Apa menurutmu itu bukan keajaiban?”
“Ah, itu ... masa lalu.”
“Kalau begitu ulangilah masa lalu yang itu.”
“Tapi ... .”
“Nak, kau mungkin tidak bisa melupakan segala kejadiaan naas yang terjadi dalam hidupmu. Tapi aku percaya kau selalu bisa membuat keajaiban. Buatlah keajaiban sekali lagi supaya kau tetap bisa bersabar menunggu dunia ini berakhir.”
“Mursito,” Metatron tiba-tiba memotong pembicaraan ayah dan anak itu, “waktunya sudah ... hampir habis.”
“Ah ya, jadi Nak. Maaf, aku harus pergi lagi,” Adhibratha memeluk erat tubuh Nandi yang masih basah oleh air laut itu.
“Aku rindu Papa,” Nandi berusaha keras menahan air matanya agar tidak tumpah.
“Aku juga rindu padamu, Nak. Dan percayalah Nak, aku akan terus mengawasimu dari atas sana.”
“Selamat tinggal, Pa,” Nandi melepaskan pelukannya pada sosok ayahnya itu.
“Sampai jumpa lagi saat tugasmu di dunia ini selesai Nandi,” pria itu melambaikan tangannya sebelum kembali menjadi sosok sebuah bola cahaya yang dengan cepat terbang melesat ke arah langit.
“Hadiah ketiga,” Metatron menyerahkan sebuah kantong berbahan karung goni pada Nandi sebelum akhirnya menghilang ke dalam sebuah portal dimensi tanpa berkata apa-apa lagi.
Nandi bahkan belum sempat bertanya apa-apa soal isi kantong itu. Tapi begitu Nandi membuka kantong itu ia melihat sekumpulan biji kacang merah, kacang hijau, beberapa umbi kentang, dan beberapa benih lainnya.
“Untuk apa ini?” Nandi berpikir sejenak sebelum akhirnya tahu apa maksud dari perkataan ayahnya dan Metatron tadi.
Ia segera mengenakan kembali pakaiannya dan membuat sebuah portal dimensi menuju ke Persada.
Alam Semesta Persada
Istana ini tampak sepi dan lengang seolah tanpa penghuni. Beberapa struktur bangunannya tampak berubah dan menjadi lebih kecil dibandingkan saat para Kaum Ketiga berkumpul lima tahun yang lalu. Nandi memejamkan matanya, membayangkan terciptanya sebuah ladang luas di salah satu bagian istana itu dan tak berapa lama kemudian terjadilah demikian.
Nandi melepaskan alas kakinya dan menabur benih-benih itu ke sepenjuru ladang. Lalu ia mengetuk tanah di hadapannya dengan satu ketukan dan muncullah air yang merembes keluar membasahi ladang. Satu ketukan lagi, tampak benih itu mulai menyembul keluar dari tanah, satu ketukan berikutya benih itu mulai meninggi, dan beberapa ketukan berikutnya benih itu sudah muncul menjadi tanaman siap panen.
Dan Nandi pun perlahan mengulaskan senyum, “Satu keajaiban dan masa lalu yang pantas diulang.”
*****
Alam Semesta Sambala, Alor, NTT, Republik Indonesia beberapa minggu kemudian.
Akibat adanya terjangan gempa hebat beberapa tahun yang lalu kini nyaris seluruh kawasan dunia menderita hebat. Beberapa sektor ekonomi dan perdagangan lumpuh, banyak anak yang kehilangan orangtua mereka dan salah satunya adalah di tempat ini. Helena baru saja kembali dengan menggotong dua karung berisi setidaknya 10 ekor ayam – hasil sumbangan Ying Go dari semesta sebelah – untuk memberi makan sekitar 40 anak yang tinggal di panti asuhan yang ia kelola bersama para relawan lainnya. Persediaan beras dan makanan lainnya sudah menipis sehingga Helena yang kebetulan hendak menemui Ying Go akhirnya memutuskan belanja di semesta itu. Ternyata Ying Go cukup berbaik hati menyumbang sepuluh ekor ayam untuk ia bawa pulang ke tempatnya, “Yah, setidaknya ... dua hari ke depan anak-anak bisa makan.”
Tapi setibanya di depan bangunan kayu – yang juga menjadi panti asuhan itu - Helena dibuat terkejut oleh hamparan berkarung-karung kentang, bawang merah, bawang putih, dan beras yang entah dibawa oleh siapa. Helena menoleh ke kanan dan ke kiri, mencoba mencari kendaraan macam truk atau pick-up yang membawa barang-barang itu kemari. Namun ia tidak menemukannya.
“Masa mereka sudah pergi sih?” Helena tampak kebingungan karena biasanya donatur semacam ini tidak cepat-cepat pergi dan lagi ... dia baru saja pergi selama satu jam!
“Hei Nona!” seorang ibu berdaster merah dan berambut keriting tampak melambai memanggil-manggil Helena.
“Ibu,” Helena beranjak mendekat ke arah ibu itu, “Ini sumbangan dari kawan lama saya. Sepuluh ekor ayam.”
“Ah, kebetulan sekali ayamnya banyak. Jadi bisa kita pelihara untuk diambil telurnya.”
“Ibu, siapa yang bawa sumbangan ini?”
“Ah, katanya dia temannya Nona.”
“Siapa?”
“Ah, ibu juga tidak tahu siapa namanya. Tapi dia sedang ngobrol dengan Bruder Yoakim di ruang tamu sana.”
Helena langsung bergegas menuju ruang tamu, meninggalkan 10 ayam itu di tangan ibu pengurus itu yang langsung tampak kerepotan mencengkeram satu ayam yang berusaha lari dari karung.
Ketika Helena tiba di ruang tamu, ia segera mengetuk pintu kayu dengan cukup keras dan di sana seorang bruder berjubah coklat tampak langsung bicara, “Ah kebetulan sekali Nona Helena kemari. Teman Nona baru saja hendak pulang.”
“Nandi?” Helena nyaris tak mempercayai penglihatannya.
“Halo Helena,” Nandi bangkit berdiri dan menyalami Helena, “Lama tak jumpa.”
“Ah ... iya, lama tak jumpa,” Helena merasa agak canggung menyambut uluran tangan Nandi.
“Pak Nandi mau langsung pulang atau mau menginap di sini?” tanya Sang Bruder lagi.
“Ah terima kasih atas tawarannya Bruder, tapi saya benar-benar harus pulang hari ini.
“Maaf Bruder,” Helena menyergah, “kalau Bruder tidak keberatan bolehkah saya pinjam Nandi ini untuk beberapa saat?”
“Tentu. Silakan!”
Helena langsung menggamit tangan Nandi dan menyeretnya keluar menuju sebuah lembah kecil. “Kau ... ke mana saja kau selama ini Nandi?” tanya Helena penuh emosi.
“Merenung dan menyendiri.”
“Untuk apa?”
“Aku takut,” tangan dan kaki Nandi kini tampak gemetaran meski udara di tempat itu hangat. Ia mendudukkan diri di sebuah batu cadas yang terpanggang sinar mentari
“Kenapa Nandi?” Helena menatap wajah pemuda itu dengan tatapan penuh rasa khawatir sebelum menyentuh bahu pemuda itu dengan kedua tangannya.
“Aku takut jika aku tidak lagi melihat ‘cahaya’ di antara orang-orang ini aku akan ...,” ia terdiam sejenak, “aku akan ... menjatuhkan hukuman yang tidak pantas pada segelintir orang benar yang masih tersisa. Itulah sebabnya aku menjauhkan diri dari kerumunan manusia.”
“Lalu kenapa kau kemari?”
“Membagi keajaiban.”
“Maksudmu?”
“Persediaan makanan untuk anak-anak sedang tak mencukupi bukan? Aku sudah pernah ke sini beberapa kali dan aku mendengar doa yang mereka ucapkan saban malamnya. Karena itulah aku datang kemari.”
“Dari mana kau dapatkan semua itu, Nandi?”
“Kau lihat pohon itu, Helena?” Nandi menunjuk ke sebuah pohon kenari kecil yang baru tumbuh setinggi 20 cm tak jauh dari sana.
“Ya, aku lihat.”
“Sekarang lihatlah,” Nandi mengetuk tanah di hadapannya, segaris lurus dengan pohon kenari itu. Kini pohon itu tampak bertambah tingginya sebanyak beberapa senti. Nandi mengetuk lagi tanah di hadapannya beberapa kali dan kini pohon itu benar-benar membesar, menjadi pohon yang lumayan rindang untuk tempat berteduh anak-anak usia SD.
“Tapi Nandi, ada banyak sekali tempat seperti ini di dunia dan tidak hanya di duniaku saja melainkan di duniamu dan lima dunia lainnya.”
“Aku tahu, dan aku sadar aku tidak mampu menolong semuanya. Tapi seperti kata Kaspar ... kita tak boleh memupuskan harapan kita pada generasi yang akan datang bukan? Hanya dengan cara inilah aku bisa membantu, lain tidak.”
“Kau sekarang mampu melihat cahaya Nandi.”
“Belum semua.”
“Aku bisa membantumu Nandi. Biarkan aku membantumu untuk melihat cahaya-cahaya yang masih tersisa.”
“Tidak,” sergah Nandi, “adalah lebih baik jika kini kau jauh-jauh dariku Helena.”
“Kenapa?”
“Aku ... tidak pantas untuk kau kasihi. Kau bisa mencari pria lain ... yang lebih layak daripada aku. Aku datang kemari pun sebenarnya hanya untuk menyerahkan bantuan itu karena itu aku datang saat kau sedang tidak ada di tempat.”
Dahi Helena mengernyit, “Nandi,” ujarnya lembut, “Aku akan tetap mendampingimu karena aku ingin, bukan karena aku terpaksa.”
“Tapi ...,” Nandi hendak memprotes, tatapannya menyiratkan adanya rasa kecewa. Helena langsung menyadari apa yang ada dalam benak Nandi, apa maksud dari tatapan Nandi itu.
“Apa Richard berkata sesuatu tentang aku?” tanya Helena.
Nandi diam, tapi diamnya Nandi sudah membuat Helena menyadari bahwa dugaannya benar. “Kau percaya pada perkataannya?”
“Apa perkataannya benar?” tanya Nandi lagi. Sedikit asap hitam mengepul dari tangan kirinya dan kini giliran Helena yang terdiam.
“Ya,” Helena mengangguk dan tanpa ia sadari ada air mata menggenang di pelupuk matanya. Sejenak kemudian gadis itu merasa lututnya kehilangan tenaga dan ia jatuh tersimpuh di hadapan Nandi.
Tapi lututnya tak mencium tanah. Kedua tangan Nandi mencengkeram bahunya kuat – tapi tidak menyakitkan. Kedua insan berbeda jenis itu bertatap mata selama beberapa saat sebelum Helena buka suara, “Kau marah Nandi?”
Nandi tak menjawab, dijulurkannya kepalanya mendekati wajah Helena dan diciumnya bibir gadis itu. “Aku bukan Rama yang menuntut kesucian seorang gadis dan akan meminta dirimu bakar diri seperti yang sudah ia lakukan pada Sinta. Kau Helena, telah mengisi hatiku sejak kita pertama kali bertemu. Tanpa kau juga aku takkan kembali ke dunia orang hidup. Aku tak peduli apapun masa lalumu. Aku suka kamu sungguh, tapi kau kan sudah ...,” telunjuk Helena menghentikan perkataan Nandi.
“Richard adalah masa laluku. Karena itu maukah kau jadi masa depanku?”
Nandi terdiam untuk sesaat, “Kau tidak akan menyesal bersamaku?”
“Seribu saudaramu boleh saja membencimu tapi aku tidak. Aku melihat ketulusan dalam dirimu Nandi, dan pria seperti itulah yang kucari.”
Tangan Nandi mulai menjamah wajah Helena dan mendekatkan wajah Helena dengan wajahnya sendiri, “Helena,” ucap Nandi lirih sebelum mengecup bibir Helena.
“Rancasanku,” balas Helena dengan suara yang juga lirih di sela-sela kecupan mereka.
*****
“Semuanya selesai dengan baik kan Kaspar?” di atas langit Pulau Alor yang panas tampak Metatron dan Kaspar tengah mengamati dua sejoli yang tengah berciuman itu, “Seperti yang kau inginkan.”
“Ya Metatron. Terima kasih atas bantuanmu.”
“Sekarang ... bagaimana denganmu?”
“Aku akan terus mencari orang-orang yang mau mengerti. Orang-orang yang mau belajar untuk tidak saling membenci dan mau memaafkan segala peristiwa masa lalu. Dari orang-orang inilah, aku berharap dunia perlahan akan berubah.”
“Setiap satu dari antara kita benar-benar harus berjuang, Kaspar. Tapi setidaknya dengan adanya gadis itu, aku yakin meski 10 abad telah lewat sekalipun Mahakala takkan mempersoalkan itu.”
“Kini semua keputusan ada di tangan-Ny, kan?” Kaspar memandang lurus ke arah langit.
“Ya, tapi percayalah Kaspar. Ia sangat penyabar. Aku akan membujuk-Nya untuk mengirim surat perintah penundaan akhir zaman pada Mahakala kalau setelah lewat 10 abad kau masih belum bisa memenuhi janji. Sampai bertemu lagi Kaspar.
“Sampai bertemu lagi ... sobat lama.”
Metatron pun akhirnya menghilang di balik sebuah portal dimensi emas sementara Kaspar pun juga turut membuka portal dimensi lain dan turut menghilang di sana.
===00===
[1] Kue khas Belanda, berbentuk seperti wafer lunak namun renyah, biasanya berisi krim sirup maple atau kadang krim coklat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top