BAB XVII : DUA INSAN DALAM CINTA DAN BENCI

Alam Semesta Avesta, Firenze (Florence), Italia

Sudah tiga kali Helena bolak-balik Persada-Avesta hanya untuk mencari Olivia. Gadis berpotongan rambut mirip lelaki itu memang berhasil menghubungi beberapa sekutu yang langsung menuju Persada namun sejak dua hari yang lalu ia tak lagi mengkontak Contra Mundi lainnya. Para sekutunya dari Avesta macam Idrun, Forseti, Vali, Magdi dan Modi – dewa-dewi Eropa Utara yang telah dilupakan zaman – sama sekali tak tahu ke mana Olivia pergi, dan Helena sebagai satu-satunya Contra Mundi yang relatif ‘menganggur’ tentu saja harus turun tangan mencarinya.

Ying Go memang hilang kontak dengan mereka sejak beberapa hari yang lalu, tapi Haris menyatakan bahwa Ying Go tidak perlu terlalu dirisaukan. Hilangnya Olivialah yang justru membuat Haris risau karena semua yang ada di kelompok itu – minus Nandi – tahu bahwa gadis itu punya ‘rasa’ dengan Helmut. Haris yang mewarisi kelompok yang kacau dan nyaris hancur karena pengkhianatan masih juga harus berkelana di daerah ‘Void’ yang cukup luas untuk mencari sekutu dari semestanya dan hal itu jelas membuat ia tak bisa mengontrol kawan-kawannya dengan efektif. Dan sekali lagi Helena dapat tugas ‘berkeliling’ tapi targetnya kali ini membuatnya sedikit frustasi.

Melacak iblis dan malaikat di ‘bola dunia’ jauh lebih mudah daripada mendeteksi Olivia. Gadis itu pandai menyembunyikan diri, dan jika tidak banyak orang yang tahu, ia mewarisi kekuatan Andraste – dewi perang bangsa Kelt – yang lihai menyembunyikan diri di antara kerumunan orang atau hutan-hutan gelap sebelum tiba-tiba menggorok leher lawannya atau dalam kasus Olivia menjerat leher lawannya dan mencekiknya sampai mati.

Helena mendesah geram, ia dan Nandi bahkan belum sempat bicara banyak pasca Nandi dibawa kembali ke dunia orang hidup. Pertiwi dan Titik Nol langsung menyodorkan sebuah misi yang harus mereka berdua selesaikan dengan cepat. Bahkan setelah Arvanda diselamatkan sekalipun, muncul tugas baru : mencari sekutu, membuat setiap dari mereka harus kembali ke semesta mereka masing-masing dan menelusuri jejak-jejak dewa-dewi yang mereka temukan lalu mengajak mereka untuk bergabung di kubu mereka sebelum pasukan Tentara Langit (atau keturunan mereka) membabat habis mereka.

Dari atas sebuah bangunan palazzo yang dinding-dindingnya dibalut marmer krem, Helena tengah meneguk secangkir kopi panas yang baru saja ia beli di mesin penjual otomatis sambil mengamati kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan yang ada di bawahnya. Lalu matanya menangkap kehadiran Olivia – yang mencoba menyembunyikan diri dengan wig coklat dan kacamata hitam serta memakai gaun putih tanpa lengan.

“Usaha yang bagus, Olivia,” Helena segera menghabiskan kopinya lalu terbang melayang ke gedung yang ada di seberangnya. Cangkir yang tadi, ia tinggalkan begitu saja di atap palazzo itu.

Ketika Helena mendarat di atap gedung seberang, beberapa merpati yang semula bertengger di atap gedung itu segera berhamburan terbang dan berpindah ke atap gedung lainnya. Helena bergegas menuju sisi lain atap dan turun ke sebuah gang sempit di antara dua bangunan lalu melirik ke arah kerumunan di mana Olivia tengah berbaur.

Tiba-tiba saja dia jadi feminin. Helena kagum juga pada hebatnya upaya Olivia untuk meniru gestur wanita biasa yang feminin, membuatnya tidak mudah terlihat jika saja Helena tidak awas.

Olivia berjalan di antara kerumunan wisatawan menuju ke arah Sungai Arno yang ada di tengah kota. Langkahnya cepat sehingga Helena sedikit kesulitan mengikutinya. Sekitar beberapa menit kemudian sebuah kerumunan muda-mudi tiba-tiba menutupi pandangan Helena pada Olivia.

“Maaf, permisi,” Helena berusaha melewati kerumunan muda-mudi itu, namun muda-mudi itu tampak tak mempedulikan kata-kata Helena, justru mereka berjalan semakin lambat dan posisi mereka pun makin melebar, sehingga menghalangi jalan Helena.

“Maaf, permisi,” Helena mengulang kata-katanya sambil mendorong pelan salah satu pemuda berbaju merah yang ada di hadapannya. Pemuda itu bergeming, menoleh ke arah Helena pun tidak.

“Ya ampun,” Helena mulai sebal dengan tingkah para muda-mudi di hadapannya ini. Akhirnya dengan sedikit kasar ia mendorong si pemuda di hadapannya ke samping. Tapi alih-alih bergerak, pemuda itu bergeming di tempatnya, kokoh tak tergerakkan.

“Kenapa buru-buru Helena?” tanya seorang dari mereka.

Helena kenal suara itu. Ditolehkannya kepalanya dan dilihatnya sosok Richard – si Nephilim – ada di antara kerumunan muda-mudi itu. Dan tak hanya itu, kini ia melihat sepasukan Nephilim tengah berdiri di atap-atap bangunan kota klasik itu.

“Tolong jangan buat gerakan yang tergesa Helena, jika tidak tempat ini akan jadi medan penuh darah.”

*****

Olivia tak menyadari bahwa dirinya telah dikuntit Helena, ia juga tidak menyadari kehadiran para Nephilim yang menghadang Helena beberapa meter di belakangnya. Keramaian tempat ini membuatnya pusing dan sedikit melemahkan indera-inderanya.

Lalu tempat ini menjadi sangat hening. Segala aktivitas makhluk hidup dalam area ini terhenti. Olivia segera menyadari bahwa selain dirinya, segenap manusia di tempat ini telah membeku. Waktu telah terhenti, dan Olivia sudah bisa menebak siapa dalang di balik peristiwa ini.

“Helmut, keluarlah!”

Di antara kerumunan orang-orang yang membeku itu, Olivia melihat sosok seorang pria berjalan melalui kerumunan orang. Mata coklatnya menatap Olivia dengan tatapan penuh arti,  yang Olivia sendiri tidak tahu apa – apakah itu tatapan seorang kawan lama yang dipisahkan oleh kondisi yang tidak tepat, apakah itu tatapan seorang yang pernah ia kagumi, atau itu tatapan seorang musuh yang gembira melihat mangsanya jatuh dalam jebakan?

“Helmut,” Olivia menatap lelaki yang rambutnya diikat ekor kuda itu lekat-lekat. Kedua tangannya terkepal kuat, bersiap untuk melakukan perlawanan jikalau Helmut tiba-tiba menyerangnya.

“Olivia, senang sekali kau mau datang.”

“Ada perlu apa?”

“Aku hanya ingin bicara.”

“Permintaanmu mencurigakan.”

“Kalau begitu kenapa kau datang?”

“Aku ingin dengar alasanmu. Alasan pengkhianatanmu dari mulutmu sendiri.”

“Pengkhianat di satu sisi bisa jadi adalah pahlawan di sisi yang lainnya. Tapi jika aku melihat dari sisi dunia, Olivia, aku tidak berkhianat. Aku hanya kembali pada jalan yang seharusnya.”

“Para Tentara Langit hendak memusnahkan dunia kita dan kau malah memihak mereka?”

“Yang hendak mereka hancurkan bukanlah dunia, Olivia. Yang mereka hendak hancurkan adalah ego manusia.”

“Maksudmu?” Olivia memiringkan kepalanya – tak mengerti apa maksud Helmut.

“Segala pertumpahan darah yang terjadi di muka bumi dikarenakan karena manusia memiliki ‘naluri bersaing’. Apa yang hendak kami capai adalah dunia tanpa naluri bersaing. Sebuah kondisi ideal sebagaimana dibicarakan para nabi dan orang-orang suci.”

“Kondisi utopia. Mustahil itu dilaksanakan.”

“Utopia bukan kondisi mustahil selama manusia tidak memiliki ‘naluri bersaing’.”

“Justru itu yang kukatakan mustahil Helmut, ‘naluri bersaing’ adalah bagian dari insting manusia untuk bertahan hidup. Ia tidak bisa dihilangkan, hanya bisa dikikis dan ditekan oleh beberapa orang yang memiliki kekuatan mental yang kuat. Mengajari seluruh manusia yang ada di muka bumi ini untuk menekan ‘naluri bersaing’ mereka butuh waktu ratusan, bahkan ribuan tahun. Lagipula, jika kaum kalian ingin melakukan itu, kenapa sampai melakukan konfrontasi dan bekerjasama dengan iblis?”

“Iblis menebarkan ketakutan sekaligus melahap orang-orang yang tidak lagi setia pada Sang Alpha, dan untuk selanjutnya kami akan datang untuk menemui orang-orang yang tersisa di muka bumi, menawarkan sebuah pembebasan dari ‘naluri bersaing; mereka. Manusia yang hidup dalam ‘rasa nyaman’ takkan pernah sadar betapa berbahayanya ‘naluri bersaing’ yang mereka miliki. Untuk membuat mereka sadar, kita harus menempatkan mereka dalam kondisi terjepit.”

“Jadi semua ini sandiwara?”

“Ya, ini sandiwara dan aku menawarimu untuk ambil peran.”

“Ada satu hal yang masih mengganjal.”

“Apa?”

“Kenapa kalian membunuhi ‘Kaum Ketiga’ – ras yang juga disebut dewa-dewi?”

“Kaum Ketiga punya ‘naluri bersaing’ yang lebih berbahaya daripada manusia. Kau pikir dari mana manusia belajar untuk saling bertentangan dengan sesamanya? Dari Kaum Ketiga, Olivia.”

“Kau juga termasuk Kaum Ketiga, Helmut.”

“Aku berbeda, aku campuran.”

“Ibumu dewi.”

“Tapi ayahku malaikat.”

“Dan karena itu, kau merasa punya hak untuk membantai seluruh ‘Kaum Ketiga’?”

“Kaum Ketiga adalah kesalahan penciptaan. Mereka terlalu kuat untuk digolongkan dalam golongan manusia tapi mereka juga tidak punya kepatuhan absolut seperti para malaikat. Keberadaan Kaum Ketiga adalah sebuah ketidakseimbangan.”

“Lalu? Apa yang akan kau lakukan padaku, Helmut? Pada Haris, Kaspar, Helena, Sanjaya, dan Ying Go ketika kau menganggap kami adalah kesalahan penciptaan?”

“Kalian dahulu adalah manusia. Kalian menjadi Kaum Ketiga karena dirasuki oleh kekuatan milik Kaum Ketiga yang sudah tewas – namun tidak rela untuk mati begitu saja. Jika kalian menyerahkan diri beserta seluruh kawan-kawan kalian yang mewarisi kekuatan Kaum Ketiga, kami akan berbelaskasih dengan mengubah kalian menjadi manusia kembali. Kalian bisa menjalani hidup kalian sebagaimana selayaknya manusia dalam supervisi Kerajaan Surga.”

“Ah, aku tahu apa muara dari semua ini. Kau ingin manusia melepaskan kehendak bebas mereka bukan?”

“Kehendak bebas memupuk naluri bersaing dan membuatnya tumbuh liar tak terkendali, menghasilkan buah-buah pertikaian sepanjang sejarah manusia.”

“Helmut! Kehendak bebas adalah hadiah dari Sang Alpha sendiri untuk umat manusia! Kau gila jika hendak mencabut hak itu secara paksa!”

“Aku tidak gila, Olivia. Sepanjang sejarah manusia di muka bumi, sudah milyaran orang memohon agar kehendak bebas ini dicabut – karena kehendak bebas memungkinkan seorang manusia bertindak jahat melampaui iblis. Kedatangan kami adalah untuk sekedar mewujudkan permohonan mereka.”

“Kalau begitu aku menolak untuk ambil bagian dalam panggung sandiwaramu, Helmut. Selama bukan Sang Alpha sendiri yang datang untuk mencabut kehendak bebas, kami akan terus melawan arogansi kalian,” Olivia mematerialisasikan sebuah cambuk rantai dari ketiadaan.

“Pilihan yang tidak bijak!” Helmut menarik keluar dua gladius miliknya dan menekuk tubuhnya, bersiap untuk menyerang.

*****

“Richard, berani-beraninya kau muncul lagi di hadapanku!” Helena tampak memandang si pemuda Nephilim itu dengan gusar.

“Helena, kenapa kau mau saja ikut campur dalam pertikaian ini? Kau bisa saja saat itu menolak bergabung dengan jajaran Contra Mundi dan kita bisa tetap bersama.”

“Demi Tuhan Richard! Waktu kau dinyatakan hilang, kupikir itu karena iblis-iblis yang tiba-tiba saja bermunculan saat itu menculikmu! Kupikir kau sudah tiada! Kupikir iblis-iblis itu memangsamu! Lalu tiba-tiba saja aku dapat kejutan besar, kau Nephilim, aku Contra Mundi! Kita ada di dua sisi yang berlawanan!”

“Maafkan aku saat itu, Helena. Aku benar-benar tidak sempat memberitahumu.”

“Wow, terima kasih sudah menceritakan soal itu Richard, meski ceritamu takkan mengubah apa yang sudah terjadi.”

“Helena, kumohon, tinggalkanlah kelompok itu. Ikutlah denganku dan akan kupastikan Sermion dan jajaran Athir Kathana takkan menghukummu.”

“Menyerahkan diri pada mereka? Oh tidak, terima kasih Richard. Aku ambil bagian dalam pembunuhan Ahu-Tarakh, Za’in Sambala. Mereka pasti akan memenggal kepalaku tanpa pikir panjang begitu aku tampil di hadapan mereka.”

“Akan kupastikan itu tidak terjadi.”

“Kau lelaki pengingkar janji. Aku takkan pernah percaya lagi padamu.”

“Kau lebih percaya pada pemuda Melayu itu, siapa namanya? Nandi?”

Raut wajah Helena yang sinis langsung berubah, “Tahu apa kau soal dia?”

“Kurasa dia sudah mati, aku baru saja menghadapinya di Muller Swachner Versigi.”

“Apa? Dia takkan mati semudah itu!”

“Masa? Cobalah panggil dia,” Richard menantang, dan muda-mudi Nephilim yang mengepung Helena tampak tersenyum keji.

Tangan Helena sedikit gemetaran saat dirinya mengeluarkan benggalanya dari balik mantelnya. Beberapa jam yang lalu ia baru saja menghubungi Nandi. Ia tak percaya pada perkataan Richard namun rasa takut jika perkataan Richard benar merisaukannya. Didekatkannya benda itu dengan mulutnya lalu dengan lirih ia berkata, “Nandi?”

Nandi langsung menjawab, “Ya Helena? Apa kau sedang dalam masalah?”

“Sebenarnya ya, seorang teman lamaku yang ternyata Nephilim baru saja mengatakan kau sudah mati.”

“Tega benar, di mana kau?”

“Firenze di Avesta.”

“Kebetulan sekali aku juga ada di situ. Apa itu kau yang sedang dikerubungi muda-mudi di dekat sungai?”

“Ya,” jawab Helena mantap sembari tersenyum menyaksikan muda-mudi Nephilim itu tiba-tiba menjadi panik karena ada musuh yang tak mereka duga kedatangannya. Mereka – termasuk Richard – langsung balik badan dan mengawasi sekitar mereka dengan tatapan cemas. Posisi tubuh mereka siaga, namun belum satupun dari mereka mengeluarkan senjata.

Tanpa mereka sadari, sebuah sundang melayang ke arah mereka dan dengan kecepatan yang tak bisa ditangkap oleh mata mereka telah menyabet leher muda-mudi itu – membuat kepala mereka menggelinding di pelataran alun-alun. Seorang wanita yang menyadari ada kepala remaja yang menggelinding di tempat itu langsung menjerit sejadi-jadinya. Suasana tempat itu langsung kacau – penuh dengan orang-orang panik. Richard langsung membentangkan sayap malaikatnya dan mematerialisasikan senjatanya berupa pedang perak panjang. Tapi belum sempat ia beraksi lebih jauh, sebuah dorongan kekuatan menghempaskannya hingga puluhan meter, membuatnya melayang dan membentur sebuah pilar bangunan.

Belum sempat ia bangkit, sebuah bogem mentah sudah mendarat di kepalanya, lalu di perutnya, lalu di kepalanya lagi, berkali-kali hingga akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri. Pelaku pemukulan itu – Sitija – langsung mencengkeram kepala Richard dengan jari-jari tangan kanannya lalu mulai mengucapkan sederet mantra asing.

Di sisi lain, Nandi yang tadi muncul tepat di samping Helena ketika Richard hendak membalikkan badan, tampak langsung menatap khawatir ke arah seberang sungai. “Siapa yang ada di sana?” tanya Nandi.

“Olivia sedang ada di sana, tapi aku tak tahu siapa yang dia temui.”

“Yo Nandi,” Sitija tiba-tiba sudah berdiri di belakang mereka, ia tampak tidak terlalu mempedulikan hiruk-pikuk kepanikan massa yang ada di belakangnya, “Aku sudah tahu di mana Saklas berada.”

“Kau masih ada urusan, Nandi?” tanya Helena.

“Urusanku bisa kutunda nanti, tapi ...,” Nandi menunjuk ke pemandangan di seberang sungai, di mana waktu tampak berhenti – membeku, “tampaknya Olivia dalam masalah.”

“Oh ya ampun!” Helena menatap ngeri menyaksikan Olivia dan Helmut saling beradu senjata. Secara sekilas mereka berdua tampak seimbang – sama-sama kuat, namun Helena sadar jika Helmut memakai kekuatan penghenti waktunya, Olivia jelas-jelas akan kalah.

“Nandi, tolong bawa Olivia keluar dari sini!” Helena mulai mematerialisasi busurnya dan membentuk sebuah anak panah es.

“Bagaimana denganmu?”

“Aku bisa kabur cepat! Kita bertemu lagi di Semesta Persada!”

“Oke!”

“Aku akan bukakan portal dimensinya,” ujar Sitija.

Tubuh Nandi lebur menjadi pasir dan masuk ke dalam sela-sela batuan paving sementara Sitija melayang ke atap sebuah bangunan toko dan membuka sebuah portal dimensi. Helena sendiri segera melepaskan anak panahnya ke titik di antara Helmut dan Olivia. Kristal es berujung tajam segera terbentuk di antara Olivia dan Helmut. Helmut langsung menoleh ke arah datangnya anak panah tadi sementara Olivia langsung merasa seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya ke dalam tanah.

Helmut terperanjat ketika menyaksikan Olivia sudah pergi. Ia hanya bisa meraung marah sambil memperluas efek pembekuan waktunya ke atap tempat Helena mencoba kabur. Namun usahanyaitu sia-sia. Helena berhasil memasuki portal dimensi sebelum efek kekuatannya sempat membekukan Helena.

*****

Alam Semesta Persada

Dua portal dimensi terbuka di aula di istana milik Pertiwi ini. Nandi dan Olivia keluar dari satu portal sementara Helena dan Sitija dari portal yang lain. Begitu masuk kembali ke istana ibunya ini, Nandi melihat kakaknya dan para Prajapati sedang duduk muram di pojok ruangan. Pakaian kakaknya kotor dan sobek, sementara wajahnya menyiratkan kekesalan yang luar biasa.

Di sisi lain, beberapa dewa-dewi dari beberapa tempat di enam dunia sudah berkumpul di sini. Sebagian berpakaian layaknya orang-orang modern, sebagian lagi masih nyaman berpakaian sesuai gambaran tradisional masyarakat yang memuja mereka dahulu. Para Adhitya tampak berkumpul di sudut yang menjadi kamar tidur Nandi dan seorang dari mereka tampak memberi isyarat pada Nandi untuk menghampiri mereka.

Nandi meninggalkan Helena dan Olivia yang langsung berdebat setibanya mereka di sini dan menghampiri para Adhitya. “Ada apa?” tanya Nandi pada para Adhitya yang sama muramnya dengan para Prajapati.

“Prajapati diserang ketika hendak menuju kemari. Dua Prajapati tewas dan itu membuat Dyaus serta para Prajapati yang tersisa menjadi sangat terpukul,” ujar Lanjar.

“Di seluruh belahan tujuh dunia,” Indra angkat bicara, “para iblis, malaikat, dan anak-turunan mereka semakin sering berpatroli. Kaum kita menjadi semakin sulit untuk berkomunikasi. Beberapa bahkan dilaporkan terbunuh.”

“Kau sudah temui Saklas, Rancasan?” Yama bertanya.

“Belum,” Nandi menggeleng, “tapi akan segera kulakukan. Ada hal lain lagi yang perlu kuketahui?” Mereka menggeleng dan Nandi pun undur diri dari ruangan itu. Di luar Sitija tampak sudah menunggunya.

“Dapat sesuatu Mas?” tanya Nandi kepada Sitija.

“Saklas ada di Uzair, semesta yang sama di mana teman-temanmu dulu membunuhmu,” jawab Sitija.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top