BAB XVI : ADHITYA DAN DEWI LANJAR

“Setiap pejuang bisa kalah dan terus-menerus kalah tanpa kemenangan, dan kekalahan itulah gurunya yang terlalu mahal dibayarnya. Tetapi biarpun kalah, selama seseorang itu bisa dinamai pejuang dia tidak akan menyerah. Bahasa Indonesia cukup kaya untuk membedakan kalah daripada menyerah.”

(Pramoedya Ananta Toer – Prahara Budaya)

Alam Semesta Versigi, Pegunungan Muller Swachner, Kalimantan

Rizal dan Randi hanya bisa menatap takjub dan terpaku tanpa suara ketika stupa-stupa itu mulai membuka satu demi satu, batu-batuannya mulai bergeser dari posisinya dan berguguran ke tanah. Sosok-sosok pria dan wanita berbalutkan kain kasar dan diselubungi cahaya kuning keemasan mulai tampak di hadapan empat orang itu. Sementara sosok anak di stupa pertama yang telah hancur itu mulai memudarkan pancaran cahayanya. Hadirnya sosok itu benar-benar di luar dugaan Sanjaya dan Nandi.

“Titik Nol? Kenapa kau ada di sini?” tanya Nandi.

“Kenapa?” Alasdair hanya tersenyum kecil, “Sanjaya memanggilku. Sanjaya memanggil semua Prajapati, itu artinya termasuk diriku.”

“Dyaus,” sosok-sosok Prajapati lainnya mulai bicara bersamaan, “Jadi kau sudah menyadari bahwa jalan damai adalah hal yang tidak mungkin?”

“Dyaus yang lama sudah mati, dan aku Dyaus yang baru,” Sanjaya mengarahkan senjatanya ke arah para Prajapati, “Aku memanggil kalian untuk berperang.”

“Dan apa tujuan perangmu, Dyaus? Memusnahkan yang tersisa dari antara kita?” tanya seorang Prajapati yang lain.

“Tujuan perang ini adalah mempertahankan hak yang diberikan Sang Alpha pada manusia. Hak yang hendak dirampas oleh para Athir Kathana. Hak manusia untuk tetap eksis dan hidup.”

“Dyaus,” Alasdair mulai buka suara, “setiap rencana punya rencana cadangan. Apa rencana cadanganmu saat kita ini gagal?”

“Kenapa kita harus punya? Pilihan kita hanya dua, mati bersama dunia yang dihancurkan atau melawan para Tentara Langit.”

“Kau lupa pada rencana yang dicanangkan oleh Rancasan?” seorang Prajapati wanita menimpali.

Semua mata yang hadir di sana langsung melirik ke arah Nandi.

“Apa yang kalian maksud?” tanya Nandi penuh keheranan.

“Oooh, jadi Rancasan yang baru ini belum tahu rupanya,” seorang Prajapati berjanggut putih tampak mengelus-elus janggutnya.

“Rancasan,” Alasdair menuding ke arah Nandi, “kau harus temui para Adhitya.”

Sebuah portal dimensi langsung terbuka di belakang punggung Nandi.

Ayo masuk ke sana Rancasan. Pinta Salaya.

“Kenapa tak kalian beritahukan saja apa yang harus aku tahu?” tanya Nandi pada para Prajapati.

Alasdair menjawab pertanyaan Nandi, “Karena kami menghormati para Adhitya, Rancasan. Biarkan para Adhitya yang menjawab hal ini untukmu.”

“Berbelit-belit,” Sanjaya menimpali, “Katakan saja!”

“Kami semua terikat sumpah, Dyaus, bahwa rahasia yang kami pegang dan ajarkan adalah kebijaksanaan dan keadilan. Strategi dan jalan-jalan di luar keadilan adalah pengetahuan milik Adhitya.”

Jangan berdebat lebih jauh lagi Rancasan. Masuk saja. Jangan kau letakkan kutuk pada para Prajapati karena mereka terpaksa langgar sumpahnya. Lagipula menemui Adhitya juga salah satu permintaan terakhir ibumu. Kembali Salaya berujar.

“Kalian –,” Sanjaya hendak mendebat lagi namun Nandi memberinya isyarat untuk diam dan menerima saja.

“Aku pergi dulu,” Nandi melambaikan tangannya lalu masuk ke dalam portal dimensi berbentuk pusaran cahaya kebiruan itu dan menghilang di dalamnya.

Begitu portal itu menutup, seorang Prajapati berwujud pria muda kurus berkulit cerah menatap pintu masuk kompleks kota kuno itu dengan tatapan awas, “Saudara-saudariku, kita kedatangan tamu.”

Sanjaya langsung menoleh ke arah pintu masuk dan di sana ia dapati sekumpulan anak muda yang menenteng aneka senjata berjalan dengan angkuh memasuki kota itu. Di barisan paling depan ia melihat sosok iblis yang sudah ia kenal sebelumnya.

“Abaddon!” Sanjaya berseru marah sembari menunjuk iblis berpakaian norak itu dengan senjatanya.

“Ah, ternyata harapanku belum pupus seutuhnya. Sanjayaaa, kau masih hidup rupanya,” Abaddon berseru-seru bak orang sinting.

“Kalian berdua,” seorang Prajapati wanita menyentuh pundak Rizal dan Randi, “harus segera pergi dari sini.”

Sebuah portal dimensi terbentuk di hadapan Rizal dan wanita itu segera mendorong Rizal dan Randi masuk ke dalam portal itu.

“Prajapati,” Sanjaya mengangkat pisau emasnya tinggi-tinggi, “waktunya bertempur!”

*****

Alam Semesta Versigi, Pantai Slamaran Pekalongan

Nandi muncul di sebuah pantai yang garis pantainya dipenuhi oleh jajaran batu-batu pemecah gelombang. Suasananya cukup lengang, hanya ada satu-dua orang yang tampak berjalan-jalan di taman yang ada di sekitar pantai. Tapi ada satu orang yang menarik perhatian Nandi.

Seorang gadis mengenakan pakaian kebaya berwarna hijau dengan rok jarik bermotif batik paduan warna coklat dan hitam tengah duduk di dinding pemecah gelombang, menatap lautan lepas. Kulitnya langsat, bentuk tubuh maupun wajahnya sempurna, dan matanya hitam jernih. Rambut gadis itu panjang sepinggang, dibiarkan tergerai bebas – hanya diikat pada pangkal rambut semata. Tapi di balik wajah muda dan ayunya Nandi merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu semacam ... kewibawaan.

Kanggo naon anjeun dongkap dieu Rancasan? – Untuk apa kau datang ke sini Rancasan?” tanya gadis itu tanpa menoleh ke arah Nandi.

Nandi cukup terkejut mendengar bahasa dari tanah kelahirannya itu, “Urang ieu aya di taneuh Jawa, nanging anjeun nyarios kalawan nalika Sunda. Anjeun tangtos sami sepertos abdi – Kita ini ada di tanah Jawa, tapi kau bicara dengan bahasa Sunda. Kau pasti sama seperti aku.”

Abdi ngajenan taneuh kawit anjeun, Rancasan – Aku menghormati tanah asalmu Rancasan. Margi eta pisan abdi nganggo nalika taneuh kawit anjeun – Karena itulah aku memakai bahasa tanah asalmu.”

“Siapa kau?”

“Ibumu kenal aku dan aku kenal ibumu.”

Dia Varuni – dewi lautan. Ujar Salaya.

“Kau Varuni.”

“Ya, itu namaku. Tapi orang-orang di sini lebih sering memanggilku Lanjar, Dewi Lanjar.”

“Mana yang lain, atau Adhitya hanya sisa kau seorang?”

Lanjar bangkit berdiri dan menatap Nandi dengan tatapan penuh arti, “Adhitya yang tersisa masih cukup banyak, namun yang muncul di dunia permukaan hanyalah aku seorang. Yang lain bersembunyi.”

“Di mana?”

Mari kuantar kau,” sebuah portal dimensi dibuka oleh Lanjar. Dewi berpenampilan gadis remaja itu kemudian menggamit tangan Nandi dan menuntunnya masuk portal itu bersama-sama dengannya.

*****

Alam Semesta Versigi, Telaga Biru, Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.

Lanjar dan Nandi keluar di sebuah telaga kecil yang ukurannya kurang lebih hanya lima hektar. Warna air telaga itu biru cerah – benar-benar biru cerah – bukan biru jernih.  Telaga itu sepi, tak seorang pun nampak di sana kecuali mereka berdua.

Lanjar maju beberapa langkah kemudian mencelupkan tangannya ke dalam air telaga, “Adhitya, Rancasan telah tiba. Waktunya bagi kalian untuk keluar!”

Air telaga itu pun kemudian bergejolak, memunculkan rupa setidaknya tujuh bola bercahaya yang menyebar ke segala penjuru.

“Sekarang kita menunggu,” Lanjar melirik ke arah Nandi.

“Berapa banyak yang akan hadir?”

“Aku mengundang tujuh, entah berapa yang akan datang.”

Tak sampai setengah jam kemudian tujuh sosok datang dan mendarat di tempat itu. Dibandingkan dengan Lanjar, Nandi jelas-jelas melihat bahwa tujuh Adhitya lainnya ini mengenakan pakaian seperti orang modern. Dan tujuh Adhitya ini kesemuanya lelaki.

“Lanjar,” seorang Adhitya berpakaian serba merah – kemeja, topi, dan celananya semua merah – buka suara sambil melirik Nandi dengan tatapan meremehkan, “Siapa bocah ini?”

“Dia Rancasan, Agni. Rancasan yang baru.”

“Atas dasar apa Rancasan memilihnya sebagai penerus?” seorang Adhitya lain – berkulit legam dan berotot, yang di mata Nandi nyaris mirip Bomasrawa namun dalam balutan pakaian yang lebih modern – jaket kulit coklat, t-shirt hitam, dan celana jin biru kusam – turut bertanya.

“Bayu, dia juga putra Pertiwi,” jawab Lanjar.

Bayu dan Agni. Nandi merasa ini sebuah kebetulan yang keji. Dua orang ini meremehkan dan memandang rendah dirinya sama seperti dua orang manusia yang mengikat janji dengan Calya itu. Secara mendadak Nandi merasa ada ledakan amarah dalam dirinya, naik dari perut sampai ubun-ubunnya. Tapi ditahan-tahannya amarah itu. Berkali-kali ia katakan dalam hatinya, Sabar-sabar. Kau sudah pernah menerima sesuatu yang lebih buruk daripada ini, Nandi.

“Apa Dyaus Pita sudah kembali?” seorang Adhitya yang memegang vajra yang nyaris sama dengan senjata Ying Go bertanya.

“Ia sudah kembali. Titik Nol – atau kita memanggilnya Vishvakarman – pun telah kembali.”

“Pertiwi?” tanya Adhitya itu lagi.

Dada Nandi langsung sesak mendengar pertanyaan Adhitya yang satu itu.

“Pertiwi sudah tewas, tak lama setelah ia menemuiku, saudara-saudara.”

Semua Adhitya itu kemudian terdiam. Keheningan itu baru berakhir ketika seorang Adhitya berpakaian serba hitam mendekat ke arah Nandi dan berbisik ke telinganya.

“Aku berduka untuk kematian Pertiwi Matta – Ibu Bumi, wahai Mahija – Putra Bumi. Prajapati pasti berujar tentang sebuah rahasia yang musti kau tahu. Aku Dharma, sang hakim, dan aku akan beritahukan rahasia itu padamu,” ia membisikkan beberapa kata lagi yang membuat ekspresi Nandi langsung tegang.

“Sudah selesai dengan nasihatmu, Dharma?” tanya Agni.

“Kapan kita maju?” Bayu menimpali.

“Dyaus Pita menunggu kalian di Alam Semesta Persada,” ucap Nandi sebelum mengibaskan sebelah tangannya dan membuka portal dimensi.

“Mau ke mana kau Rancasan?” Indra – Adhitya yang memegang vajra itu – bertanya.

“Ada sedikit urusan,” ujarnya singkat sebelum menghilang di dalam portal dimensi itu.

“Baiklah,” Lanjar menatap satu-demi-satu para Adhitya di hadapannya, “kita ditunggu di Persada.”

Kedelapan Adhitya itupun segera memasuki sebuah portal dimensi yang dibentuk Lanjar di tengah-tengah telaga. Tak sampai semenit kemudian telaga itu kembali senyap seperti sediakala.

*****

Alam Semesta Versigi, Kota Tua, Jakarta.

Di sebuah sudut bangunan tua yang tak lagi terpakai, Nandi keluar dari portal dimensi dan langsung menyandarkan punggungnya ke sebuah dinding yang catnya sudah mengelupas di sana-sini. Tubuhnya merosot ke lantai tanpa tenaga. Rasa sesak di dadanya semakin kuat, sehingga ia harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak menangis.

Terdiam selama beberapa saat, akhirnya Nandi berhasil bangkit berdiri dan mengeluarkan benggalanya yang ia simpan di balik bajunya, “Kaspar,” panggil Nandi.

“Um, uuuhh, hoam,” jawaban dari seberang sana menandakan bahwa Kaspar baru saja ia ganggu tidurnya, “Ada apa Nandi?”

“Bagaimana caramu melacak kehadiran satu musuh kita secara spesifik?”

“Biasanya sih *hoahem* aku pakai bola dunia, seperti yang aku pakai di Valhalla maupun di Persada. Siapa dari sekian banyak musuh kita yang mau kau cari, Nandi?”

“Saklas.”

Di seberang sana Kaspar langsung batuk-batuk tidak karuan, “Ap-Apa? Kau serius mau cari malaikat yang satu itu?”

“Kau tahu di mana dia Kaspar?”

“Mau apa kau dengan dia?”

“Merebut Kanistara.”

“Untuk apa?”

“Kaspar, tolong jangan bertanya lebih jauh. Aku baru saja kehilangan ibu untuk kedua kalinya. Para Adhitya tampak tidak percaya padaku, dan seorang dari antara mereka yang cukup jujur membenarkan soal itu. Aku muak jadi anak bawang yang tak dianggap Kaspar. Aku muak menjadi orang yang tidak berdaya apa-apa. Sekarang katakan saja di mana aku bisa temukan Saklas.”

“Aku tak bisa membantumu secara langsung. Daerah tempat aku berdiri saat ini adalah daerah Void. Tak bisa membuka portal dimensi dari sini.”

“Lalu?”

“Aku sarankan kau mencari Saklas di Alam Semestra Etria, tempat asal Helmut. Tempat itu penuh dengan malaikat dan Nephilim.

“Bagaimana aku bisa ke sana? Aku tak pernah punya gambaran tempat monumental di semesta itu.”

“Kau bisa minta tolong pada yang lain ... errr .... Olivia atau Haris.”

“Oke. Terima kasih Kaspar.”

“Tapi,” Kaspar menyergah.

“Kenapa?”

“Olivia tengah menghilang dan saat ini Helena tengah melacaknya dan ... oh sial, aku harus pergi Nandi, tuan rumahku memanggilku.”

Perbincangan itu putus begitu saja, Nandi mendesahkan nafas panjang berkali-kali sebelum akhirnya memutuskan mengontak Helena, “Helena.”

“Oh, halo Nandi,” jawab Helena, “Ada apa?”

“Sedang mencari Olivia, aku sudah mengitari Kopenhagen setidaknya sepuluh kali dan tidak juga menemukan dia.”

“Apa kau sempat bertemu Helmut?”

“Tidak, tapi dengan beberapa suruhannya iya. Sempat menawan satu di antara mereka. Kenapa Nandi?”

“Aku mencari Saklas, aku butuh Olivia atau Haris.”

“Ah itu masalah.”

“Kenapa?”

“Olivia tengah menghilang dan Haris tampaknya tengah berada di daerah yang bukan hanya menghalangi portal dimensi tapi juga menghalangi komunikasi kita dengannya.”

“Ah, kalau begitu sudahlah. Terima kasih atas bantuanmu, Helena.”

“Hei Nandi.”

“Ya?”

“Saat ini semua berakhir, kita harus sempatkan diri bersantai di entah pantai mana. Aku bosan dengan tempat dingin.”

Bayangan sosok Helena dan Richard yang tengah bercumbu, kembali menggelayuti benak Nandi. Rasa cemburu dan emosi itupun mulai muncul kembali, namun kembali Nandi menekan emosinya kuat-kuat.

“Tentu,” jawab Nandi sebelum mengakhiri percakapan itu.

Kau tidak bisa membawaku ke Etria, Salaya?

Maaf Rancasan, semesta itu asing bagiku. Meski Rancasan yang terdahulu pernah beradu tanding dengan Kairos dari Etria, tapi mereka melakukannya bukan di Etria.

“Baiklah.”

“Mau ke mana kita sekarang Nandi?”

“Selagi kita ada di sini, ada tempat yang ingin kukunjungi..”

*****

Sudah lama Nandi tidak menggunakan yang namanya kaki untuk berjalan jauh di dunia orang hidup. Kekuatan portal dimensi memungkinkan ia berpindah tempat dengan cepat, praktis dan hemat waktu tapi ia jadi kehilangan esensi dari berjalan kaki : perenungan. Jalan-jalan kota tua membuat pemuda ini bisa merenung kembali setelah sekian lama hidup dalam suasana serba tergesa. Jalan-jalan kota tua ini mengingatkannya kembali pada sosok seorang yang sudah seperti ayah baginya : Patriakh Sumarsono.

Lama termenung tanpa terasa ia tiba di sebuah kompleks tanah lapang yang penuh dengan batu-batu nisan berwarna putih dan kelabu, sebuah kompleks pemakaman. Mata Nandi menangkap sosok seorang pendeta berpakaian putih dengan sedikit pola setrip jingga tengah berdiri di depan sebuah batu nisan. Rasanya ia mengenali sosok itu sehingga ia melangkah mendekati batu nisan yang tengah dihadapi sosok itu.

“Selamat malam,” sapa Nandi ketika jarak antara dirinya dan sang pendeta hanya tinggal beberapa langkah.

Pendeta itu menoleh, menampilkan sosok yang tak Nandi duga sebelumnya.

“Kadhara Santi?”

“Nandi?”

“Sedang apa anda di sini?”

Santi tak menjawab, hanya menyalakan senter kecil dan mengarahkannya ke batu nisan di hadapannya. Nama SUMARSONO jelas tercetak di nisan tersebut.

“Oh ya ampun,” Nandi segera bersimpuh di hadapan makam itu.

“Aku dulu hendak memberitahumu soal makam Patriakh Sumarsono, Nandi. Tapi pasca insiden ‘itu’ kau tak pernah muncul lagi. Alih-alih kau, justru Sanjaya yang muncul di hadapanku.”

“Kak Sanjaya tidak bilang apa-apa soal aku?”

“Ia bungkam soal keberadaanmu. Ke mana saja kau Nandi?”

“Dunia orang mati,” Nandi kembali berdiri dan menatap kadhara wanita itu lekat-lekat.

“Astaga, jadi ... .”

“Ya.”

“Kalian berdua, kakak-beradik, benar-benar terlibat dalam takdir yang aneh.”

“Aneh dan lucu,” ujar Nandi getir. Kembali ia ingat bahwa ia yang dahulu sudah mati kini ia ada di dunia orang hidup. Helena, Sitija, dan Pertiwi telah menolongnya, memberinya kesempatan kedua setelah setahun lamanya berada dalam dunia derita tanpa akhir. Dan setelah kesempatan kedua itu ia dapatkan juga kesempatan ketiga oleh pengorbanan Pertiwi. Dewi itu ibunya, ibu yang ia cari dan dambakan selama belasan tahun terakhir ini, namun dengan cepat pula ibunya pergi meninggalkan dia, sama seperti halnya Patriakh Sumarsono dan orang-orang yang dekat dengan dirinya.

“Seolah aku ditakdirkan untuk hidup sendiri.”

“Ada apa Nandi, kau tidak sendiri kalau kau punya masalah kau bisa –,” tangan Santi berusaha meraih wajah Nandi namun pemuda itu segera menepis uluran tangan Santi.

“Kadhara Santi, akan lebih baik jika anda tak menemuiku lagi.”

“Kenapa?”

“Karena setiap orang yang berdekatan denganku pasti mati.”

“Nandi, kau jangan berpikir seperti itu.”

“Patriakh Sumarsono hanya satu dari antara orang-orang yang mati karena berhubungan denganku dan beliau bukan yang terakhir. Aku sudah temukan ibu kandungku Kadhara Santi, dan ia mati karena menolongku.”

“Sebentar Nandi –,” Santi berusaha melemparkan argumen namun seorang pria kekar berkumis tipis tampak menepuk pundak Nandi dari belakang.

Nandi menoleh dan dia melihat sosok Bomasrawa yang telah mengganti zirah perangnya dengan pakaian ala preman.

“Nandi, aku mau bicara!” suaranya bergetar, ada amarah dalam nada suaranya.

“Kadhara Santi,” Nandi memberi isyarat pada wanita itu untuk pergi, “Pergilah.”

Santi tidak membantah, segera saja ia naikkan tudung kepalanya dan berjalan meninggalkan kompleks pemakaman itu, cepat-cepat. Begitu wanita itu tak tampak lagi, Bomasrawa dengan kasar memutar tubuh Nandi dan memaksa pemuda itu menatap matanya.

“Kau!” Bomasrawa menudingkan telunjuknya ke wajah Nandi, “Seharusnya tidak pernah lahir!”

“Kenapa Kangmas Bomasrawa bilang seperti itu, apa karena – ?”

Bomasrawa bahkan tidak menunggu Nandi menyelesaikan perkataannya, sebuah pukulan langsung mendarat telak di pipi Nandi. Nandi terhuyung ke belakang dan satu hantaman siku menghantam lehernya sehingga ia rubuh telentang di tanah.

“Diam kau ANAK SIAL! Kau sudah merampas nyawa Kanda Rancasan!” Bomasrawa dengan kasar melemparkan tubuh Nandi ke sebuah nisan sehingga nisan itu remuk diterjang tubuh Nandi.

Nandi meringis ketika mencoba untuk berdiri lagi namun sebuah kaki bersepatu boot menahan geraknya dengan menginjaknya tepat di leher, “Dan belum puas juga kau dengan nyawa Kanda Rancasan sampai-sampai kau rampas pula nyawa ibu kita!”

“Aku ... tidak ... berniat begitu.”

“Owh, tidak berniat?” Bomasrawa semakin menguatkan injakannya, membuat Nandi merasa tercekik hebat sehingga ia terpaksa mulai melawan. Tangan kirinya mencengkeram tanah berumput di sampingnya dan sebuah tiang batu melengkung segera menghantam Bomasrawa. Bomasrawa terhuyung ke belakang beberapa saat.

“Percayalah,” Nandi terbatuk-batuk sesaat, “aku sama sekali tak bermaksud mengorbankan ibunda kita.”

“Pembohong! Palsu! Dusta!” jari-jemari Bomasrawa berkerotok seram sebelum akhirnya ia mematerialisasikan sebuah gada emas dari ketiadaan.

Bomasrawa serius! Nandi! Lawan dia! Terdengar suara panik Salaya di benak Nandi.

Aku tidak bisa, bagaimanapun juga ia saudaraku.

Dia hendak membunuhmu!

Maka biarlah itu terjadi.

Nandi! Kau bodoh! Lawan!

Tidak.

“Kau mau membunuhku Kangmas?” Nandi merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, “Lakukanlah!”

Bomasrawa yang sudah gelap mata segera menerjang ke arah Nandi. Gada emasnya sudah siap ia ayunkan namun hanya sesenti sebelum gada itu menghantam kepala Nandi, sebuah perisai tak terlihat menghalangi laju gada itu.

“Apa ini?” Bomasrawa tampak tercengang menyaksikan gadanya membeku, tak bisa ia gerakkan. Sesaat kemudian dirasakannya seluruh ototnya juga membeku, tak bisa bergerak. “Apa yang kau lakukan bocah sial?”

Tiga detik kemudian Bomasrawa terpental cukup jauh sehingga membentur sebuah pohon kamboja besar yang tumbuh di pemakaman itu.

“Cih! Kau!” Bomasrawa sudah bersiap untuk melemparkan gada di tangannya ke arah Nandi yang masih berdiri diam namun seekor burung garuda raksasa menyambar tubuhnya dan membuatnya tersungkur di jalanan berpaving.

“Bomasrawa,” sosok garuda itu berubah wujud menjadi Sitija yang masih mengenakan zirah perak tanpa lengannya, “Apa kau sudah gila?”

“Dia membunuh ibu kita, Kanda!”

“Bukan dia yang bunuh ibu kita, Bodoh! Ibu kita mengorbankan diri dengan menelan racun yang mengelilingi lehernya supaya ia tetap hidup.”

Nandi berjalan mendekati Sitija dan Bomasrawa yang masih saling bertatap-tatapan, “Ayo Kangmas, kenapa kau tak segera bunuh aku?”

Sitija langsung melonggarkan cengkeramannya pada Bomasrawa lalu berjalan ke arah Nandi dan menamparnya. Tamparannya tidak terlalu keras, tapi cukup telak karena Sitija menampar pipi yang barusan dihantam oleh Bomasrawa.

“Nandi,” Sitija mencengkeram dua bahu Nandi dan menatap mata pemuda itu lekat-lekat, “Tatap aku dan bersumpahlah kau takkan pernah menginginkan kematian konyol lagi!”

Nandi hanya diam dan Sitija melanjutkan, “Seorang ibu takkan pernah tega melihat anak-anaknya hidup dalam penderitaan, termasuk ibu kita. Karena itu ia lebih memilih jalan perundingan ketika perang antara kaum kita dan Tentara Langit berlangsung ribuan tahun yang lalu, karena itu pulalah ia mengeluarkan jiwamu dari Neraka, karena itu pulalah ia mewariskan kekuatan Rancasan padamu. Dan ya, aku paham apa yang telah terjadi. Segala rintihan orang-orang yang menderita selalu terdengar di telinga Kanda Rancasan dan itu pula pasti terjadi padamu bukan? Kau adalah orang yang tahu namanya penderitaan, kau adalah orang yang empati pada para penderita, tapi kadang rasa itu bisa menjadi beban, beban mental yang kelak akan menghancurkan dirimu sendiri.”

“Dik,” Sitija menepuk pipi Nandi sekali lagi, “Ibu memberimu tugas dan Dharma sudah menjelaskan soal tugas itu. Kamu tahu harus menuju ke mana sekarang bukan?”

“Aku harus temukan Saklas.”

“Aku tahu di mana dia. Biarkan aku membantumu.”

“Jangan.”

“Kenapa?”

“Karena ... bisa saja kau mati, Kang.”

“Karena apa? Karena aku membantumu? Karena aku berdekatan denganmu? Nandi, dengar! Kalau aku mati, kalau ibu kita mati, kalau Sanjaya dulu sempat mati, kalau pria baik bernama Sumarsono itu mati, itu semua bukan salahmu. Itu semua adalah takdir, bagian dari hukum alam. Semua yang hidup akan mengalami yang namanya mati. Kuulangi, itu bukan salahmu. Kau tetap berhak hidup, kau boleh tetap hidup. Tak ada yang boleh menentukan kau tidak berhak hidup, bukan aku, bukan Bomasrawa, bukan seluruh orang yang hidup di dunia ini, bukan pula dirimu. Kau hidup karena usaha dan pengorbanan banyak orang. Hargai itu dengan tidak menyia-nyiakan nyawamu.”

Kemudian mata Sitija beralih kepada Bomasrawa yang kini hanya berdiri diam meski matanya masih menyiratkan kebencian, “Bomasrawa, kembali ke Persada dan tunggu kami di sana!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top