BAB XV : SANG PENCARI

“Aku mengerti karena aku mencintai.”

– Leo Tolstoy –

“Ke mana Sofia?” tanya Damian yang perlahan mencoba duduk dengan dibantu Kaspar.

“Berbelanja ke Garbushka – pasar murah – ditemani Valentina.”

“Siapa Valentina?”

“Penjaga Dachas ini. Salah satu pelayan keluarga Sofia.”

“Seorang putri bangsawan berbelanja?”

“Sekarang dia bukan putri lagi. Sebentar lagi Kaisar Alexis IX[1] pasti cabut seluruh haknya dan dia hanya jadi orang biasa.”

“Apa menurutmu kita bisa bawa dia keluar dari negeri ini?”

“Kita punya dua skenario Damian, skenario pertama kita temui Master Mahan, aku tanyai dia mengenai masalahku kemudian aku akan minta dia bawa kita keluar dari negeri terkutuk ini.”

“Dan skenario kedua?”

“Kita akan bawa dia terus ke tenggara.”

“Tenggara itu wilayah Kekaisaran Dai Nippon! Mereka takkan mau menerima orang Slavia seperti kita!”

“Menghadapi macan masih lebih baik daripada menghadapi ular. Dan di wilayah itu sudah bukan wilayah ‘Void’.”

“Baiklah, dari wilayah Nippon, kau mau bawa  ke mana?”

“Ke dimensi paralel. Persada namanya, tempat sekutu-sekutu kita berada.”

“Ada apa dengan Valhalla[2]?”

“Hancur, lebur, karena Helmut membunuh Skadi.”

“Ah.”

Suara seorang perempuan mengehentikan perbincangan mereka, “Damian, lain kali kalau kau mau bunuh diri, bilang-bilang dahulu.”

“Sofia?” Kaspar dan Damian menoleh ke arah pintu secara bersaman.

“Kaspar,” Sofia berujar, suaranya datar dan dalam, ada emosi yang ia pendam rupanya, “bisa tolong keluar sebentar? Aku mau bicara empat mata dengan Damian.”

“Tentu,” Kaspar baru saja beranjak keluar dari pintu ketika pintu itu ditutup dengan kasar oleh Sofia lalu terdengar suara tamparan. Penasaran dengan apa yang terjadi, Kaspar menempelkan telinganya ke tembok kamar, namun segera saja ia dapat teguran dari dalam kamar.

“Kaspar! Jangan menguping!” bentak Sofia dan Damian bersamaan.

Dua sejoli yang mengerikan! Batin Kaspar sembari bergegas meninggalkan kamar itu dan turun ke lantai bawah.

*****

Valentina dan Weizmann tampak sedang sibuk di dapur. Sesuatu yang mengejutkan bagi Kaspar. Sama sekali tak ia sangka bahwa pengawal berwajah garang itu bisa memotong-motong sayuran bak seorang koki pro.

“Kau-memasak-Weizmann?”

“Tentu Tuan Kaspar.”

“Belajar dari mana?”

“Istriku, Tuan.”

“Aku kira pengawal kerajaan cuma kenal senjata dan darah.”

“Itulah uniknya manusia Tuan Kaspar. Manusia bisa jadi mesin perang, bisa jadi seorang pengasih, bisa jadi pemburu, bisa jadi mangsa buruan, bisa jadi seekor sapi perah, bisa jadi apa saja. Itu yang membuat kita kadang mirip binatang namun di sisi lain kadang membedakan kita dari binarang.”

“Ke mana Yang Mulia, Tuan Kaspar?” tanya Valentina yang tampak mengaduk-aduk sepanci sup kental.

“Di kamar Damian, berbicara empat mata.”

“Aku akan naik dan beritahu mereka bahwa makan malam hampir siap.”

“Nona, aku tak sarankan hal itu, biarkan saja mereka turun sendiri.”

“Oh aku harus, Tuan Kaspar,” Valentina melepaskan apron merahnya lalu naik ke lantai atas dengan sedikit terseok-seok. Usia yang tak lagi muda membuat wanita itu mulai kesulitan memijakkan kakinya di tangga-tangga.

Wanita paruh baya itu kembali tak berapa lama kemudian sambil menatap Damian, “Yang Mulia dan Tuan Damian tak mau diganggu, silakan Tuan Kaspar dan Tuan Weizmann makan lebih dahulu.”

*****

Kaspar dan Weizmann menyantap hidangan di meja makan yang sebenarnya mampu menampung tiga puluh orang itu dengan penuh kecanggungan. Bagi Kaspar meja ini selalu berkonotasi dengan kata ‘formalitas’ dan ‘politik’, di mana para pejabat menyantap makanan lezat sambil berbincang mengenai politik atau sibuk bermulut manis pada para bangsawan atau kaisar, sebuah meja makan yang aura kepalsuannya menyesakkan. Kaspar tidak pernah betah berlama-lama duduk di meja seperti ini walau tugasnya selalu memaksanya hadir di jamuan makan malam seperti ini berkali-kali dalam sebulan.

Kepala meja kosong. Ada satu kursi berukir paling indah yang ditata di sana. Kursi yang diperuntukkan bagi tamu berkedudukan paling tinggi yang hadir di jamuan atau kursi bagi kepala keluarga. Weizmann menatap kosong ke arah kursi itu.

“Kenapa Weizmann? Memikirkan sesuatu?” tanya Kaspar sembari meneguk secawan wine.

“Saya memikirkan bangunan ini.”

“Hum? Soal apa?”

“Sebentar lagi Tuan Putri takkan lagi berhak duduk di kepala meja. Sang Kaisar atau bangsawan penjilat lain yang akan duduk di sana. Seluruh properti Tuan Putri akan kembali pada kaisar dan Tuan Putri akan menjadi orang biasa.”

“Ia selalu ingin menjadi orang biasa,” jawab Kaspar.

Tanpa Kaspar duga Weizmann memukul meja kuat-kuat dan mendelik ke arah Kaspar, “Anda Tuan Kaspar, tidak paham yang namanya kehilangan kehormatan! Anda lahir dari keluarga biasa, mengabdi pada kaisar, dan dari pengabdian itulah anda hidup. Anda takkan mengerti yang namanya kehilangan kehormatan! Bangsawan yang kehilangan gelarnya, turun derajatnya serendah-rendahnya derajat seorang manusia, lebih rendah daripada seorang pegawai kantor pos atau para penyapu jalanan!”

“Saya paham itu Weizmann.”

“Anda tidak paham!”

“Weizmann, anda berkata bahwa saya ini lahir di keluarga biasa itu memang benar. Tapi saya, Damian, Pangeran Karel, dan Kaisar berayahkan satu orang. Ya, kami berdua adalah anak haram kaisar sebelumnya. Di saat saudara-saudari kami yang berstatus ‘anak sah’ mendapatkan segala keistimewaan, kami harus menggigit bibir atau jari kami menyaksikan ketimpangan yang kami lihat. Para pangeran dan putri itu tak perlu bersusah payah dalam segala hal, yang perlu mereka lakukan adalah melakukan apa yang mereka suka dan beberapa hal yang diminta oleh Kaisar dan Ratu. Itu saja. Mengenai kehilangan kehormatan, saya telah mengalaminya pula. Ketika Pangeran Karel terbunuh, seorang pengawal dikenai tuduhan pembunuhan.

“Pengawal itu saya dan sehari setelah itu mereka memasukkan saya ke dalam penjara. Para sipir menyiksa dan mempermalukan saya, memaksa saya hidup dalam penjara tanpa mengenakan pakaian sehelai pun meski udara di dalam penjara sangat dingin dan lembab. Di kamar saya tak ada kakus, tak ada wastafel, tak ada baskom air. Segala aktivitas harian yang beraroma tak simpatik saya lakukan di sana. Hidup di antara kotoran sendiri, makan dengan tangan berlumur air kencing dan kotoran, meringkuk dengan tubuh telanjang tanpa selimut selama setidaknya tiga bulan sebelum akhirnya nasib baik datang.  Damian menyerahkan posisi Contra Mundinya pada saya. Membawa saya pada jendela kebebasan.”

Weizmann hanya terdiam, seolah tak percaya dengan yang baru saja ia dengar, sementara Kaspar melanjutkan, “Di luar sana, ada dunia yang menawarkan kehidupan yang cukup baik untuk orang-orang terbuang, untuk orang-orang yang kehilangan gelarnya. Di luar sana ada negeri-negeri yang mau menerima orang-orang buangan seperti Sofia. Jadi jangan kau khawatirkan nasib tuan putrimu itu, Weizmann.”

“Maaf Tuan Kaspar, aku tak mengira anda telah menerima nasib yang begitu buruk.”

Kaspar hanya tersenyum getir, “Ada teman-temanku yang mengalami nasib lebih buruk dari aku, Weizmann. Mereka yang sempat terkurung dalam neraka. Yah, penjara masih jauh lebih baik daripada neraka.”

*****

Ketika bangun keesokan paginya, Kaspar mendapati bahwa semalaman Sofia dan Damian tidak juga turun untuk makan malam. Penasaran dengan apa yang terjadi, Kaspar langsung menuju kamar Damian dan mengetuk pintu kamar saudaranya itu keras-keras.

“Bangun!” seru Kaspar.

Pintu kamar terbuka dan sosok Damian yang tengah duduk di atas kursi roda menyambutnya dengan wajah yang tampak kacau, sepertinya ia kurang tidur.

“Ada apa malam-malam kau berteriak-teriak?” tanya Damian.

“Malam-malam?” Kaspar tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan saudaranya, “Ini sudah hampir jam tujuh pagi!”

“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulut Damian.

“Oh?”

“Tampaknya kami terlalu asyik.”

“Apa yang kalian lakukan semalaman?”

“Mencari mantra yang tepat untuk melarikan diri,” sahut Sofia yang tampak duduk di antara tumpukan buku tebal bersampul kulit, “Mencari cara supaya tak ada lagi yang harus mati karena sihir darah.”

“Sebenarnya apa maksudmu dengan menggunakan sihir darah ini, Damian?” tanya Kaspar.

“Para Contra Mundi mampu memodifikasi aliran dimensi, membuat portal dimensi yang mampu menteleportasi orang dengan cepat dan jauh. Tapi negeri ini – seperti yang pernah kita bahas – adalah daerah Void, portal dimensi tak bekerja di sini. Meski begitu kami menemukan bahwa dengan sihir darah kami bisa membuka paksa portal dimensi yang menutup itu.”

“Dan itu mengancam nyawa para perapalnya.”

“Benar.”

“Berapa kali sudah kau gunakan mantra itu?”

“Tiga kali.”

“Bukan empat? Aksimu di jalan raya itu sihir darah juga bukan?”

“Itu, bukan. Itu bantuan dari seorang temanmu.”

“Temanku?”

“Ya, dan oh maafkan kealpaanku, dia titipkan pesan.”

“Pesan apa?”

“Apa yang kau cari ada di Saakhbatar. Tapi untuk ke sana kau hanya boleh ditemani seorang rekan saja.”

“Bagaimana kalau lebih dari satu?”

“Akan ada yang mati.”

Sudah terlalu banyak orang yang mati dalam perjalanan ini. Batin Kaspar, “Kalau begitu aku akan pergi dengan Weizmann.”

“Tidak!” sergah Sofia, “Aku dan kau yang pergi Kaspar.”

“Terlalu berbahaya!”

“Aku juga punya urusan dengan Master Mahan!”

“Kau bisa titip pesan untuknya pada Weizmann!”

“Apa yang hendak kutanyakan padanya sangat rahasia, bahkan Weizmann pun takkan kuberitahu.”

“Aku?”

“Kau pun tidak, Kaspar.”

Kaspar memegangi dahinya sambil geleng-geleng kepala, “Weizmann pasti akan histeris.”

*****

Kaspar benar soal reaksi Weizmann, lelaki itu langsung histeris ketika mengetahui bahwa Sofia merencanakan kepergiannya ke Saakhbatar hanya dengan ditemani Kaspar. Dan untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir ini, Kaspar menyaksikan kembali debat kusir, namun kali ini bukan debat kusir antar pejabat melainkan debat kusir antara seorang putri dan pengawalnya.

Debat kusir itu baru berakhir satu jam kemudian. Weizmann akhirnya menyerah pada keputusan Sofia meski jelas ia tidak suka keputusan itu. Keputusan yang diambil adalah meninggalkan Weizmann dan Damian di Dachas itu. Kaspar memberikan benggala cadangannya pada Damian supaya mereka bisa saling kontak sebelum ia dan Sofia berangkat pada sore harinya.

Ketika jam mulai menunjukkan pukul 15.00, Sofia dan Kaspar keluar dari Dachas itu, kemudian berjalan ke arah timur. Sofia berjalan cepat-cepat, membuat Kaspar sedikit kesulitan mengimbanginya, sebab ia tidak biasa mengenakan sepatu boot paku[3]. Dua orang itu berjalan menembus hutan pinus, yang daun-daunnya tertutupi salju tebal. Sesekali tampak elk atau rusa berlarian di sekitar mereka. Kadang-kadang tampak pula serigala, namun mereka tampak tak berani mendekati Sofia dan Kaspar.

Enam jam berjalan, akhirnya Sofia berseru pada Kaspar yang berjalan di belakangnya, “Valdai Opal!” ia menunjuk ke arah gugusan pegunungan yang membentang tidak jauh dari perbukitan-perbukitan ini, ‘hanya’ dipisahkan sebuah ngarai selebar 70 meter.

Kaspar menoleh ke arah gugusan pegunungan itu sambil mengatur nafasnya yang sudah tak beraturan. Oksigen di sini tipis, dan setelah beberapa waktu berkeliaran di daerah tropis, tubuhnya jadi tidak terbiasa dengan kadar oksigen yang tipis.

“Hufff, tampaknya ... lain kali aku harus bawa tabung oksigen kemari,” gerutu Kaspar.

Sofia tampak tidak mendengar keluhan Kaspar lalu malah menatap Kaspar dengan tatapan penuh arti.

“Apa?” Kaspar bertanya.

“Kau bisa terbang Kaspar. Bawa aku ke sana.”

“Sebentar,” Kaspar mengangkat tangannya, “aku capek!”

“Manja!” Sofia melempar segenggam salju kepada Kaspar, “Kita ini sedang buru-buru! Ayo cepat!”

Berdebat dengan gadis ini tidak ada gunanya, lagipula kau kan laki-laki Kaspar, masa kalah dengan perempuan? Dua Rajata Kaspar turut menimpali.

“Tutup mulut!” ujar Kaspar gusar.

“Apa?” Sofia mendelik.

“Maaf, itu ... tadi ... errr ... senjataku yang bicara.”

“Oh.”

“Kaspar mendekat ke arah Sofia lalu melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu, “Maaf kalau tidak nyaman.”

Tubuh Kaspar melayang ke angkasa bersama Sofia, menyeberangi ngarai tersebut kemudian mendarat di sebuah dataran batu karang yang berjarak sekitar lima ratus meter dari tempat mereka semula.

“Maaf,” nafas Kaspar masih kacau, “Aku hanya kuat membawamu sampai kemari.”

Raut wajah Sofia tampak sedikit sebal tapi akhirnya ia kembali berjalan menuruni bukit karang itu melalui jalur yang tak rata dan berbatu-batu. Langkahnya masih sama – cepat dan tegas, bahkan nyaris berlari. Di belakangnya Kaspar berlari-lari kecil, berusaha menjaga jarak dengan Sofia.

Kaspar membatin. Ada apa sebenarnya dengan Sofia? Kenapa dia begitu terburu-buru?

Dua jam berjalan, langit pun mulai gelap. Jalanan menjadi sangat gelap, sehingga batuan dan retakan tak lagi tampak oleh mata. Sofia mencoba tetap berjalan dengan menyalakan senter namun Kaspar mencegahnya.

“Jarak pandang kita terbatas! Kalau memaksa bisa jadi kita jatuh ke jurang atau terperosok ke lubang! Sudahlah! Kita bermalam di sini saja!”

“Tidak Kaspar! Kita terus jalan!”

“Sofia! Jangan bodoh! Berbahaya jika kita terus!”

“Aku bisa jaga diri, kau bisa jaga diri. Kita terus!”

Satu letusan senjata terdengar dan sebongkah batu karang di samping Sofia pecah berkeping-keping. Sofia langsung menoleh ke belakang dan melihat Kaspar tengah menggenggam salah satu pistolnya.

“Aku tak tahu apa yang jadi tujuanmu, tapi aku yakin kau juga lelah Tuan Putri. Lebih baik kita istirahat.”

“Kalau aku menolak?”

Sebentuk bola listrik menghantam Sofia dan gadis itu langsung jatuh tak sadarkan diri.

“Maka aku harus menidurkanmu,” Kaspar memasukkan kembali senjatanya di balik mantelnya lalu mulai mengumpulkan kayu bakar dan membuat api. Dikeluarkannya dua kantong tidur dari ransel yang ia sandang dan dimasukkannya tubuh Sofia ke dalam salah satu kantong tidur itu. Kemudian diambilnya dua kaleng makanan ransum dan dipanaskannya di atas api unggun.

*****

Sofia terbangun saat tengah malam. Perutnya perih dan keroncongan. Kaspar tampak sudah terlelap di sampingnya. Dalam hati gadis itu mengumpat, Berani-beraninya dia menidurkanku!

Diliriknya api unggun yang masih berkeretak lalu dilihatnya sebuah kaleng ransum yang diberi kertas bertuliskan ‘Kalau lapar, silakan makan ini.’

Sofia mendekat ke api unggun dan mengambil ransum yang sudah dingin itu lalu memakannya. Rasanya hambar dan kacau balau. Bahasa yang dituliskan di kaleng ransum itupun bukan bahasa yang ia kenal, tapi dihabiskannya juga ransum itu karena ia amat kelaparan. Sesudah makanannya habis, dirasanya kantuk masih mendera, karena itu ia kembali tidur.

*****

Sofia masih berada di alam mimpi ketika Kaspar dengan kasar membangunkannya, “Bangun!”

“Umh? Ada apa?”

“Ada sekumpulan orang yang datang. Kita harus sembunyi!”

Mendengar kata ‘sekumpulan orang’, Sofia segera bangkit dan merapatkan mantel bulunya. Lalu dengan terburu-buru ia menyambar ranselnya yang sudah dipersiapkan oleh Kaspar sementara Kaspar menggulung kantung tidurnya.

“Ayo!” Kaspar menggamit tangan Sofia dan kedua orang itu bergegas berlari menuruni lereng. Sesudah setengah jam berlari, tibalah mereka di sebuah gua.

“Sembunyi di dalam,” Kaspar menarik tangan Sofia ke dalam gua itu dan dua orang itu menunggu dengan was-was.

Beberapa saat kemudian muncul rombongan orang yang mengenakan pakaian dari kulit domba dan kulit yak[4]. Topi yang mereka kenakan pun terbuat dari bulu hewan, berbentuk mirip turban kaum Utsmani di semesta asal Haris. Masing-masing dari mereka memanggul bawaan yang cukup banyak dan sebuah gerobak – yang ditarik seekor keledai yang tampak kepayahan – juga penuh berisi aneka barang.

“Ah,” Kaspar dan Sofia menarik nafas lega.

“Orang-orang Altaic rupanya,” ujar Sofia.

“Apa mereka menuju Saakhbatar?” tanya Kaspar.

“Apa mereka mengerti bahasa kita?”

Kaspar tidak menjawab pertanyaan Sofia dan langsung berlari-lari ke arah orang-orang itu. Rombongan yang mendengar suara langkah kaki yang berdentam-dentam di belakang mereka itupun langsung berhenti dan menoleh ke belakang. Beberapa dari mereka menatap Kaspar dengan tatapan ngeri sementara seorang dari mereka yang tampaknya paling lanjut usianya keluar dari rombongannya dan menemui Kaspar.

“Salam Tuan, apa yang Tuan inginkan dari kami?” sapa pria tua itu sopan.

“Apa kalian tengah menuju Saakhbatar?”

“Saakhbatar adalah rumah kami. Tapi ada perlu apa anda ke sana? Jumlah laki-laki suku kami sedikit, jika Tuan hendak bawa seluruh lali-laki suku kami ke medan tempur, siapa yang akan menjaga wanita dan anak-anak? Jika Tuan hendak menarik pajak dari kami, maka mohon maaf, kami tak punya apa-apa selain ternak dan ternak kami pun adalah makanan kami sehari-hari.”

“Saya bukan tentara dan juga bukan utusan Kaisar, Tuan. Saya dan rekan saya kemari hendak menulis tentang seseorang dari Saakhbatar.”

“Siapa?”

“Kami tidak tahu siapa namanya, tapi kami menyebutnya Master Mahan.”

“Si Bijak dari Yang Turun Dari Matahari,” desis seorang dari mereka.

“Ah, cerita tentang itu hanyalah legenda semata Tuan.”

“Legenda itulah yang hendak kami tulis. Bisa bawa kami ke orang bijak di desamu?”

“Tentu,” pria itu nampak ragu namun akhirnya memperbolehkan Kaspar dan Sofia turut dalam rombongan mereka.

*****

Empat hari dihabiskan oleh Kaspar dan Sofia bersama rombongan orang-orang Altaic ini. Secara umum mereka cukup ramah, namun jelas sekali mereka memendam rasa takut pada Kaspar dan Sofia. Kaspar tidak terlalu heran dengan reaksi ini, sebab ibunya pernah menceritakan kisah tentang suku-suku Altaic.

“Dahulu mereka adalah suku-suku yang perkasa Kaspar, Damian. Pasukan berkuda dan para penyihir mereka tiada tandingannya. Mereka mengalahkan pasukan kaisar, menaklukkan sebagian wilayah Belgirium sebelum akhirnya Tengri memanggil mereka pulang dan memerintahkan mereka untuk tidak lagi berperang melainkan hidup damai di lembah-lembah, di antara alam, menjaga alam.”

“Tapi atas nama dendam masa lalu, begitu Kekaisaran berjaya, Kekaisaran merampas tanah orang-orang ini, menculik gadis-gadis belia, memperbudak kaum prianya. Dari situlah kebudayaan mereka mulai mundur.”

“Yang tersisa lari ke balik Valdai Opal, bersembunyi di sana. Jumlah mereka menyusut dari waktu ke waktu. Sebagian besar karena kaum prianya dipaksa wajib militer sehingga wanita dan anak-anak tiada punya pelindung. Valdai Opal adalah tempat yang berat untuk hidup. Wanita dan anak-anak takkan bertahan tanpa bantuan kaum prianya, karena itulah seiring berjalannya waktu, desa yang ditinggal kaum prianya menjadi desa mati. Wanita dan anak-anaknya mati karena sakit dan kelaparan. “

“Kenapa kami tak pernah dengar cerita ini di sekolah, Bu?” tanya Damian saat itu.

“Karena Kekaisaran takkan pernah mau anak-anak mereka dengar kisah macam ini. Kisah tentang Kekaisaran haruslah tentang Kaisar yang kuat nan heroik, bukan tentang Kaisar yang menindas dan membunuh orang-orang lemah.”

Di malam keempat, sampailah rombongan itu di sebuah desa yang pintu gerbangnya masih dibuat dari kayu. Kaspar seolah melihat kebudayaan di sini ditarik mundur sampai dua ratus tahun yang lalu. Tak ada mobil, ponsel, listrik, atau produk kebudayaan modern lainnya di sini.

Piring, sendok, dan garpu yang mereka gunakan semuanya dari kayu atau tulang hewan. Tak ada benda logam untuk kebutuhan rumah tangga. Benda-benda logam yang Kaspar lihat di sini hanyalah beberapa patung dan beberapa senjata tajam. Tak ada senjata api sejauh ini.

Si kepala rombongan tampak melapor pada seorang penjaga yurt – tenda kulit berbentuk lingkaran – yang terbesar. Penjaga itu masuk ke dalam yurt itu dan keluar tak lama kemudian. Kembali ia bicara dengan si kepala rombongan lalu kepala rombongan itu mendekat ke arah Kaspar, “Tetua suku ingin bertemu denganmu, Tuan.”

“Sendiri atau berdua?”

“Sendiri saja. Hanya pria yang boleh bertemu sesama pria.”

“Budaya patriakhi,” bisik Kaspar pada Sofia, “kau tunggulah di sini.”

“Baik.”

Kaspar melangkah masuk ke dalam yurt itu. Yurt itu cukup luas, aneka senjata terpajang di dinding-dindingnya yang dilapisi kulit hewan, sementara di tengahnya tampak seorang pria tua, berambut tipis dan sudah beruban seluruhnya, serta berjanggut cukup panjang tengah duduk menatap Kaspar. Alisnya yang tebal serta matanya yang sipit membuat tatapan pria itu lumayan menyeramkan.

“Salam Tetua,” sapa Kaspar sembari mengatupkan kedua tangannya.

“Namaku Urok, kepala suku Sakhbataar. Siapa nama anda Tuan?” pria itu bangkit dari duduknya.

“Kaspar Deas Meyer.”

“Dan nama ibumu Borte?”

Kaspar mengernyit, “Dari mana anda tahu nama ibu saya?”

“Sebelum kau datang kemari, Nak,” ia mengangkat selembar lempengan tulang yang tampak sudah retak di sana-sini, “aku telah meramalkan kedatanganmu.”

“Ramalan tulang?”

“Ya dan aku tahu apa yang kau cari.”

“Anda tahu soal Master Mahan?”

“Di sini kami menyebut dia Bai Ulghan dan ya, ia adalah orang yang kau cari.”

Mata Kaspar tampak berbinar, “Anda tahu di mana dia sekarang?”

“Aku tak tahu persis di mana ia tinggal, tapi aku bisa membawamu ke tempat ia terakhir kali muncul.”

“Kapan terakhir kali ia muncul, Tetua?”

“Saat usiaku 10 tahun.”

“Dan usia anda sekarang?”

Pria itu terkekeh sejenak, “Seratus lima tahun.”

*****

Bicara soal probabilitas bertemunya dia dengan Master Mahan, Kaspar berharap ilmu bernama statistika itu tak pernah ada di muka bumi. Master Mahan terakhir kali muncul 95 tahun yang lalu, artinya tak ada jaminan pasti bahwa ia bisa bertemu dengan Master Mahan ini.

Marah, kesal, dan kecewa, Kaspar masuk ke dalam sebuah yurt yang disiapkan untuk dirinya dan Sofia lalu langsung membanting dirinya ke tempat tidur. Sebuah kesalahan karena tempat tidur itu tak lebih dari balok kayu yang dilapisi kain belaka. Tindakannya tadi justru menyakiti dirinya sendiri.

“Aku baru mau bilang kalau kasurnya keras,” Sofia berkomentar.

“Sekarang kau tak usah bilang. Aku sudah tahu,” jawab Kaspar sembari menggosok-gosok punggungnya yang sakit.

[1] Gelar Matthayas

[2] Kepada pembaca : Xaxes – markas lama Contra Mundi – author ubah namanya menjadi Valhalla, mengikuti mitos Skadi yang asli.

[3] Di lereng-lereng bersalju, pendaki biasanya mengenakan sepatu boot berpaku supaya tidak mudah tergelincir.

[4] Yak, hewan mirip sapi namun kulitnya berbulu, hidup di dataran tinggi Rusia, Mongolia, dan Cina.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top