BAB XIX : MAHAKALA

Kami adalah kala, aliran waktu yang tak terbendung.

–Nataraja –

 

Alam Semesta Uzair.

Ketika kakinya kembali menjejaki tempat ini, Nandi langsung teringat bagaimana ia mati di tempat ini, bagaimana saat itu ia sungguh tak menyangka akan dikhianati, bagaimana ia begitu tak berdaya saat Helmut, Olivia, dan Haris menghabisi nyawanya. Kenangan itu sangat menyakitkan, meski tidak menyakitkan pengalamannya di neraka sana. Ia sebenarnya marah kepada segenap Contra Mundi, namun atas bujukan Helena, ia kemudian hanya memfokuskan kemarahannya pada Helmut seorang – dan Saklas.

Tanah lapang ini masih saja gersang dan berbatu-batu. Tak satupun kehidupan nampak kecuali dirinya dan Sitija. Tapi di tengah padang ini kini tampak sebuah altar yang dulu tidak ada. Nandi dan Sitija bergegas mendekat ke arah altar yang terbuat dari batuan obsidian, marmer, dan emas. Sisi-sisi altarnya dipenuhi relief marmer yang menggambarkan sosok manusia bersayap dan tiga orang lainnya tengah menghabisi sesosok pemuda.

“Kematianmu digambarkan di sini,” ujar Sitija.

“Apa dia tidak punya hal lain untuk digambarkan di atas batu ini?” Nandi menendang relief itu dengan kesal sehingga satu bagian relief itu hancur. Beberapa saat setelah Nandi melakukan itu, sebuah pilar cahaya datang dari langit yang tampak selalu mendung ini. Dari dalam pilar cahaya itu keluarlah sosok Saklas.

“Kalian!” matanya menatap marah ke arah Nandi dan Sitija, “Mau apa kalian kemari?”

“Yah,” Sitija mencengkeram tanah di hadapannya dan menarik keluar sebuah lembing yang terbuat dari besi, “datang juga akhirnya.”

“Kembalikan Kanistara!” seru Nandi sembari menarik keluar Salaya.

“Oh, Rajata itu,” Saklas tampak memijit-mijit dagunya dengan ekspresi menantang, “Coba saja ambil kalau kau bisa,” ia menarik keluar sebilah pedang yang tak lain adalah Kanistara. lalu menghujamkannya ke tanah di hadapannya. Sepasukan prajurit bersenjata lengkap yang tersusun dari tanah dan batu langsung terbentuk dan bersiap untuk menyerang.

“Kau urus Saklas, aku akan urus prajurit-prajurit tanah itu,” ujar Sitija sembari maju dan langsung menusuk salah satu prajurit tanah tersebut.

Nandi sendiri langsung menerjang maju, menyabetkan sundangnya ke kepala salah satu prajurit tanah dan membuat prajurit itu hancur menjadi serpihan pasir. Satu prajurit mengayunkan kapak bermata dua ke arah Nandi. Nandi memijak tanah di hadapannya dan membuat dinding cadas mengelilinginya sehingga senjata prajurit itu tak mampu mengenainya. Kemudian dengan satu pijakan kuat, Nandi melayang dan turun kembali ke tanah sambil menyabetkan senjatanya ke arah prajurit itu.

Dua prajurit tanah sudah hancur, namun masih ada puluhan lagi yang menghadang langkah Nandi. Mereka memposisikan diri mereka bak benteng yang melindungi Saklas. Dengan geram Nandi menancapkan Salaya ke tanah lalu menyabetkannya kuat-kuat hingga menimbulkan retakan pada tanah yang berada di hadapannya. Retakan itu segera meluas ke arah Saklas dan akhirnya membentuk jurang menganga yang langsung menelan puluhan prajurit tanah tersebut.

Saklas langsung tanggap dan membentangkan sayap peraknya untuk terbang. Melihat lawannya sudah melayang di udara, Nandi pun turut melayang menyusul Saklas. Kanistara dan Salaya pun akhirnya berbenturan – menimbulkan percikan api dan suara dentuman menggelegar serta gelombang energi yang menghancurkan beberapa prajurit tanah yang dibuat Saklas.

Nandi dan Saklas beradu senjata untuk beberapa saat lamanya. Suara denting bilah pedang milik keduanya terdengar riuh sebelum akhirnya Saklas mendorong Nandi dengan kekuatan telekinesisnya, menyebabkan Nandi jatuh tersungkur kembali ke permukaan tanah.

“Kembalilah kau ke dunia orang mati, Bocah!” Saklas lantas melemparkan sebuah bola api raksasa ke arah Nandi. Nandi yang merasa tidak sempat menghindar akhirnya meleburkan dirinya ke dalam tanah. Bola api itu sendiri akhirnya membentur permukaan tanah dan menciptakan badai api yang membuat permukaan tanah di tempat itu menjadi sangat panas. Sitija yang merasa pertarungan menjadi semakin tidak menguntungkan akhirnya turut meleburkan menjadi butiran pasir dan masuk ke dalam tanah.

Melihat lawan-lawannya bersembunyi di dalam tanah, Saklas melemparkan Kanistara ke atas permukaan tanah sambil berseru, “Goncangkan bumi ini, Kanistara!”

Kanistara menghujam kuat di atas tanah berbatu tersebut dan seluruh bumi pun bergoncang beberapa saat kemudian. Sosok Nandi dan Sitija terlempar keluar dari sebuah retakan yang ditimbulkan oleh gempa tadi dan terhempas ke tanah kering berdebu.

Sitija langsung berdiri, menarik lagi sebuah senjata dari dalam bumi, kali ini sebuah gada besi. Sementara itu Saklas kembali turun ke permukaan tanah, satu jari tengahnya ia naikkan – membuat posisi jarinya seolah seperti umpatan kasar yang ditujukan kepada Nandi dan Sitija, namun bersamaan dengan itu, sebentuk ular raksasa yang tersusun atas pasir dan batuan segera terbentuk dan menerjang ke arah Nandi dan Sitija.

Melihat kehadiran ular batu itu, Nandi yang belum sempat berdiri langsung mencengkeram tanah di hadapannya dan membentuk ular batu yang serupa dengan milik Saklas meski ukurannya lebih kecil. Dua ‘binatang jejadian’ itu segera beradu, menimbulkan suara berderak keras, hasil gesekan antara batu dan tanah yang menjadi penyusun tubuh mereka. Kedua ular itu bergelung dan menggelepar sebelum akhirnya sama-sama hancur ketika Sitija melemparkan gadanya ke arah dua ular itu.

Saklas segera menyibakkan debu pasir dan serpihan tubuh kedua ular itu dengan hembusan angin kuat yang timbul setelah ia menyapukan sebelah tangannya. Nandi langsung memungut senjatanya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya terjatuh tadi dan langsung maju ke arah Saklas. Saklas, yang menyadari bahwa Nandi tengah menuju ke arahnya menarik kembali Kanistara dengan kekuatan pikirannya dan dua sosok itu kembali beradu pedang.

Sitija hendak membantu namun dengan satu sapuan tangan Saklas, sosok pria berzirah perak itu langsung direpotkan oleh kehadiran sulur-sulur tanaman berduri raksasa yang timbul dari dalam tanah dan menyerangnya.

“Apa yang kau cari dari Kanistara, Nandi?” tanya Saklas di tengah-tengah pertarungannya dengan Nandi.

“Aku hendak menyatukan kembali dua senjata yang terpisah ini,” sebuah sentakan kuat dari senjata Nandi, membuat Saklas sesaat limbung namun dengan segera, ia dapat menguasai dirinya kembali.

“Sermion dan Helmut berkata bahwa kehadiranmu di dunia ini adalah bencana, semula aku tak yakin tapi sekarang aku yakin mereka benar!” Saklas kembali menyabetkan senjatanya dan Nandi dengan susah-payah berhasil menangkis serangan Saklas sekali lagi, meski getaran yang timbul dari peraduan dua senjata mereka kini membuat tangannya kejang.

“Tahu apa mereka soal diriku?!” Nandi – yang sebenarnya sudah kelelahan – mendorongkan senjatanya sehingga Saklas mundur sejauh beberapa langkah sebelum berhenti karena malaikat itu balik melawan dorongan Nandi.

“Kami tahu lebih banyak daripada yang kau tahu! Itu sebabnya kami dahulu membunuhmu! Memberimu kekuatan sebagai wahana adalah sebuah kesalahan, membiarkan seorang gadis nekat mengembalikan jiwamu ke dunia orang hidup adalah kesalahan yang lebih besar lagi. Jika saja Helmut tetap membiarkan dirimu hidup sebagai Nirvataka, ini semua takkan terjadi.”

“Aku tak pernah meminta ini semua, Saklas! Aku juga tak pernah meminta matamu untuk menjadi kekuatanku! Apa kesalahanku? Apa kesalahan hidupku dalam tatanan semesta yang kau lihat? Berhentilah menjawab dengan berbelit-belit.”

Saklas menyentakkan senjatanya kembali sehingga senjatanya lepas dari tautan senjata Nandi. Kemudian ia mencengkeram pundak Nandi dan bersalto ke belakang tubuh Nandi kemudian menusukkan Kanistara tepat di jantung Nandi. Nandi terkesiap, rasa letih yang menderanya akhir-akhir ini tiba-tiba saja terasa berlipat ganda, melumpuhkan seluruh otot geraknya. Pemuda itu langsung jatuh dalam posisi berlutut sementara Saklas yang ia punggungi menatap angkuh di balik helm zirah peraknya. “Aku harap membunuhmu dua kali sudah cukup. Aku tidak ingin membunuhmu lebih dari ini.”

“Bangsat!” tangan kanan Nandi yang gemetar mencengkeram tanah di hadapannya namun kekuatannya terasa sirna. Keputuasaan kembali melandanya, namun di balik keputusasaan itu, semangatnya untuk tetap hidup masih berkobar, dan di sisi lain ada ruang baru untuk sebuah perasaan : rasa marah yang semakin menguat. Beberapa detik kemudian Nandi merasakan bahwa amarah ini tiba-tiba memberinya kekuatan. Alam pikirannya langsung dipenuhi oleh perwujudan sesosok Kaum Ketiga yang menampakkan diri di hadapannya.

“Aaahh, Rancasan,” sosok makhluk itu bertubuh sangat tinggi, setinggi bangunan empat lantai dengan seluruh tubuhnya hanya tersusun oleh asap hitam pekat. Wajahnya tak nampak, hanya matanya saja yang memancarkan sinar jingga menyala. Di tangannya tergenggam sebuah senjata, sebentuk trisula yang juga berwarna hitam. “ Kita bertemu lagi.”

Sosok ini terasa sangat asing di mata Nandi, namun entah kenapa ia merasa sudah familer dengan sosok itu. “Siapa kau? Kawan si Saklas?”

“Aku? Bukan.”

“Namamu?”

“Apalah arti sebuah nama?”

“Lalu aku harus memanggilmu apa? Dan apa maksudmu menampakkan diri di hadapanku? Apa aku sudah mati?”

“Haha,” makhluk itu tertawa pelan – suaranya keras namun berwibawa – sebelum akhirnya kembali bicara, “Aku kemari karena kau memanggilku, Rancasan. Kau ingin tetap hidup bukan? Kau ingin melaksanakan perintah terakhir ibundamu bukan?”

“Kau bisa melakukannya?”

“Tentu.”

“Bagaimana caranya?”

“Takdirmu sejak lahir Mahija Nandi,” kali ini ia memanggil Nandi dengan nama aslinya, “bukan sekedar menjadi seorang pelayan sederhana yang melayani para rohaniwan, bukan sekedar menjadi budak-belian dari iblis-iblis neraka, bukan pula sekedar menjadi bulan-bulanan kaum malaikat. Pertiwi – ibumu – mengandung dan melahirkanmu untuk menjadi seorang hakim.”

“Hakim?”

“Dan seorang hakim selalu membutuhkan waktu untuk menimbang-nimbang perkara yang ia hadapi,” sosok besar itu mulai memudar dan yang mengejutkan Nandi adalah sosok itu berubah menjadi sosok yang sangat mirip dengan dirinya. Perbedaannya hanyalah mata sosok itu berwarna hitam malam seutuhnya.

“Hei! Kenapa kau berubah menjadi aku?”

“Karena aku adalah ‘kau’.”

“Maksudmu?”

“Aku adalah amarahmu. Aku bagian dari dirimu yang selama ini kau tekan dan kau tolak. Apa kau lupa akan perkataan Patriakh Sumarsono : ‘Aku hanya pernah melihat kau sedih, gembira, dan takut. Aku tidak pernah melihat dirimu marah. Manusia yang tidak pernah marah bukanlah manusia, tetapi di sini aku melihat kau masihlah manusia.’ ?”

“Itu ...,” Nandi terdiam.

“Kenapa kau menolakku, Nandi? Aku adalah kekuatanmu. Aku juga adalah kekuatan yang membantumu bertahan melawan Agara dahulu. Aku membantumu banyak kali, tapi kenapa kau tetap menolakku?”

“Amarah hanya akan membawa kehancuran,” jawab Nandi.

“Masih saja berargumen,” sosok itu tersenyum, “tapi kau punya musuh Nandi. Musuh yang dengan senang hati merintangi jalanmu dan hendak menghabisi dirimu dan setiap anggota keluargamu. Mereka adalah insan-insan kejam yang tak akan menghormati sesuatu bernama perundingan dan kesepakatan sehingga yang bisa kau lakukan hanyalah menghancurkan mereka.”

“Aku takut,” Nandi merasakan tubuhnya mulai gemetaran.

“Takut pada siapa?”

“Dirimu.”

“Kau takut padaku? Tanpa aku dirimu akan mati. Dan yah, ... kau akan menjadi objek permainan yang menarik di bawah sana,” sosok itu menunjuk ke bawah di mana pemandangan neraka mulai terbentang.

Nandi hanya diam sambil menatap ngeri ke arah bentangan neraka yang terbentuk di bawah kakinya.

“Apa itu yang kau mau Nandi?” sosok itu mulai membentak, “Menghabiskan puluhan ribu tahun hanya menjadi objek yang ditindas orang lain? SADARLAH! Aku satu-satunya pilihan yang kau punya saat ini!”

Dengan ragu-ragu Nandi mengulurkan tangannya ke arah sosok itu dan sosok itu balas tersenyum dan menyambut uluran tangan Nandi. “Jadi Bathara Rancasan, mari kita berkenalan sekali lagi. Namaku Mahakala.”

“Apa artinya itu?” tanya Nandi ketika aura gelap mulai menyelimuti lingkungan sekitarnya

Sosok itu mendekatkan kepalanya dan membisikkan sesuatu ke telinga Nandi, lalu memudar menjadi serpihan-serpihan pasir hitam dan pandangan Nandi kembali ke dunia tempat ia dan Saklas tadi bertarung.

*****

Sitija sudah sangat panik ketika menyaksikan Saklas telah mengalahkan Nandi, namun monster sulur ciptaan Saklas benar-benar membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Dicobanya melawan monster sulur ini dengan wujud garuda raksasa namun sosok ini masih terlalu tangguh untuk dikalahkan begitu saja.

Tapi kemudian sosok makhluk mengerikan itu tiba-tiba saja sulur-sulurnya mulai layu dan membusuk. Beberapa saat kemudian, sulur-sulur yang layu itu berjatuhan ke tanah gersang disusul bagian-bagian tubuhnya yang lain. Pada akhirnya sosok monster itu benar-benar hanya menjadi seonggok tanaman busuk raksasa.

Saklas yang menyadari bahwa makhluk ciptaannya tiba-tiba mengalami hal aneh langsung menatap ke arah Nandi yang kini tampak kembali berdiri.

“Bagaimana mungkin? Kau harusnya sudah mati!” pekik Saklas.

Nandi hanya diam membisu. Pemuda itu malah menarik keluar Kanistara yang menembus tubuhnya tanpa menjerit sedikitpun meski darah merah tercurah deras dari luka yang ia alami. Mata Saklas bertambah ngeri ketika ia menyadari bahwa segumpal asap hitam mulai tampak mengelilingi tubuh pemuda itu.

Nandi memungut Salaya dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya kini menggenggam Kanistara. Dirasakannya kedua Rajata itu seolah memiliki magnet yang membuat mereka terasa saling tarik-menarik jika didekatkan. Satukan kami! Suara Salaya terdengar di kepalanya.

Tidak! Jangan! Kumohon! Kau akan menyesal nanti! Kali ini suara Kanistara terdengar.

Si pengkhianat ini harus dibersihkan pikirannya, Nandi. Satukan kami! Biarkan kami bersatu lagi dalam satu jiwa! Kembali Salaya membujuk.

Merasa ia lebih bisa mempercayai Salaya daripada Kanistara, Nandi mendekatkan kedua gagang Rajata itu lalu memukulkan kedua gagang senjata itu kuat-kuat sehingga timbul percikan api dan kilatan cahaya merah yang menyilaukan mata, “Ayo bersatulah ... Nataraja!”

*****

Ketika kilatan cahaya itu memudar, Saklas langsung dibuat terpaku dengan sosok Nandi yang kini tidak lagi memegang dua buah pedang sundang, namun telah berganti menjadi sebentuk trisula hitam yang mengepulkan asap hitam pula.

“Ayo, Saklas. Majulah!” Nandi memberi isyarat tangan kepada Saklas, menantangnya untuk maju.

Saklas membentangkan kedua sayapnya dan melesat ke samping Nandi sembari menyabetkan dua pedang api ke arah Nandi. Nandi sendiri balas mengayunkan trisulanya ke arah Saklas. Kobaran pedang api di tangan Saklas langsung padam begitu berbenturan dengan Nataraja. Saklas melayang mundur, menunjuk langit dengan sebelah tangannya lalu memanggil guntur yang segera mengarah ke arah Nandi.

Guntur itu mengenai Nandi, dan segera saja merasakan sengatan panas yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Gigi Nandi bergemeletuk penuh amarah. Amarah yang dahulu berusaha ia tekan, yang dahulu ia anggap musuhnya kini telah menjadi sekutunya. Kini ia sadar betapa kuatnya dia jika ia tengah dikuasai amarah. Dengan sedikit susah payah karena guntur masih menyambar tubuhnya bertubi-tubi, Nandi memukulkan ujung bawah trisulanya ke tanah dan sebentuk kubah batu cadas terbentuk, melindungi dirinya dari serbuan guntur tersebut.

Setiap kali kubah cadas itu hancur, batuan baru segera muncul dan melindungi dirinya lagi. Saklas tampak masih belum menyerah. Ia memanggil lebih banyak guntur dari angkasa dan terus mengarahkannya ke arah Nandi. Asap hitam tebal semakin banyak keluar dari trisula yang dipegangnya itu. Sebuah suara – yang merupakan suara gabungan pria dan wanita – terdengar kembali di kepala Nandi : Dekati dia! Bunuh dia dengan ‘waktu’.

Secara perlahan Nandi melangkahkan kakinya – yang masih kebas dan terasa berat – mendekati Saklas. Menyaksikan musuhnya mendekat, Saklas mengibaskan tangannya, mengerahkan kekuatan telekinesisnya untuk menghalau Nandi. Tapi ternyata kekuatannya tak mempan, Nandi tetap saja maju mendekatinya meskipun sedikit tertatih.

Saklas kini memilih untuk melayang mundur sembari menembakkan sejumlah bola api ke arah Nandi. Nandi membalasnya dengan memutar trisulanya dengan kedua tangannya dan melumerkan bola-bola api itu menjadi percik-percik api kecil. Saklas merasa kondisi tempat ini semakin tidak menguntungkannya dan ia harus melaporkan kemunculan musuh baru ini kepada pemimpinnya. Sekali lagi ia mengibaskan tangannya dan badai taifun, topan api, serta kilatan petir kembali mengarah ke arah Nandi secara simultan. Selagi lawannya sibuk dengan serangannya, Saklas membuka portal dimensi dan diam-diam berusaha masuk ke dalamnya.

“Mau ke mana,” Nandi yang tengah mengkonsentrasikan diri untuk membuat lebih banyak dinding-dinding cadas guna menangkis serangan Saklas menyadari bahwa lawannya itu hendak kabur, ia segera mengangkat trisulanya tinggi-tinggi lalu melemparkannya ke arah Saklas bak sebuah lembing, “KAU?”

Saklas yang sadar akan datangnya bahaya, langsung membentangkan sayapnya serta membentuk sebuah tombak api dan langsung mencoba menangkis serangan trisula itu. Namun tombak api itu langsung padam begitu bersentuhan dengan trisula tersebut dan trisula itupun langsung menghujam Saklas, menembus zirah peraknya dan membuatnya terhempas dan tertancap ke sebuah bukit batu karang yang jaraknya sekitar 200 meter dari tempatnya berdiri.

Dengan satu hentakan kaki, Nandi melayang ke tempat tubuh Saklas berada. Lalu dengan penuh ekspresi benci mengulurkan tangannya ke tempat di mana jantung manusia berada, “Ada pesan terakhir, Saklas?”

“Aku gagal,” Saklas mendesah.

“Gagal membunuhku?” tanya Nandi sinis.

“Tidak, aku gagal menyelamatkan dunia. Menyelamatkan dunia dari amarahmu.”

“Amarahku adalah bagian dari diriku, aku bertanggungjawab serta berkuasa penuh atasnya.”

“Tidak. Kelak kau takkan bisa lagi mengetahui mana lawan dan mana kawanmu, Mahakala. Saat itu mungkin saja kau akan membunuh kawanmu sendiri atau lebih buruk lagi, kau akan menumpahkan amarahmu kepada dunia.”

“Kelemahan kalian Kaum Pertama,” tangan Nandi menembus zirah perak Saklas, lalu menarik keluar dari tubuh Saklas sebentuk jantung berlumur cairan warna-warni yang memantulkan cahaya dan masih berdenyut, “adalah merasa paling tahu soal kami dan manusia.”

Sorot mata Saklas pun akhirnya pudar dan jasad malaikat itu rontok menjadi serpihan tanah.

Sitija yang baru saja keluar dari sebuah kubah pasir yang ia bentuk untuk melindunginya dari terjangan badai tadi langsung berjalan mendekat ke arah Nandi , “Jadi ..., sekarang apa yang kita lakukan, Dik?”

Trisula di tangan Nandi kembali memancarkan sinar merah dan terpecah kembali menjadi Kanistara dan Salaya. Nandi menyarungkan dua Rajata itu di pinggangnya lalu menoleh ke arah Sitija, “Para Adhitya memberikan petunjuk mengenai Nataraja, ibu kita memberikan petunjuk mengenai sebuah akhir perang, dan aku sadar ... bahwa Nataraja inilah jawaban untuk mengakhiri perang ini.”

“Lalu? Jalan mana yang akan kau pilih? Apa kau akan menempuh jalan yang sama dengan yang diambil Kanda Rancasan dahulu?”

“Kanda Rancasan,” Nandi menatap lingkungan sekitarnya yang gersang dan tandus, “hanya punya satu bagian dari Nataraja. Itu sebabnya solusi yang ia ambil tidak tuntas.”

“Sekarang kau punya dua bagian. Kau pasti sudah mendapatkan jawabannya.”

“Ada satu bagian lagi yang kurang. Pengetahuan yang Kaspar cari dari Master Mahan. Kita harus tunggu Kaspar kembali ke Persada, kita harus menunggu Kang.”

“Ah, menunggu,” Sitija memijit-mijit tangannya yang sakit, “Biasanya aku tidak suka jika harus menunggu, tapi kali ini ... karena kita berdua sudah dihajar habis-habisan, kurasa istirahat beberapa saat bukan usul yang buruk.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top