BAB XI : DIKELILINGI KEMATIAN

“Every man should lose a battle in his youth, so he does not lose a war when he is old. ” — George R.R. Martin

“Adikmu itu tidak akan kenapa-kenapa kan?” tanya Rizal khawatir ketika mobil mereka menaiki tanjakan terjal, menaiki sebuah bukit.

“Tidak, jangan khawatir. Ia lebih tangguh daripada kelihatannya,” jawab Sanjaya. Ekspresinya datar meski hatinya gundah. Meninggalkan Nandi sendirian melawan para penyerang itu memang pilihan yang masuk akal, sebab hari sudah menjelang sore. Tapi dengan meninggalkan Nandi, ia memiliki perasaan aneh dalam dirinya, perasaan bahwa ia sudah melakukan kesalahan besar.

“Siapa sebenarnya kalian ini?” Randi yang tengah mengemudi bertanya dengan panik.

“Kalian biasa menyembah kami sebagai dewata,” jawab Sanjaya.

Wajah Rizal dan Randi langsung pucat. “Kau tidak sedang bercanda kan, Sanjaya?” tanya Rizal tidak yakin.

“Tidak. Sama sekali tidak,” jawab Sanjaya.

“Lalu siapa yang tadi menyerang kita tadi?” tanya Rizal lagi.

“Rizal, kau masih ingat dengan mitologi Inatiala?” Sanjaya balik bertanya.

“Dari Semenanjung Yucatan dan Italia? Tentu saja!” ujar Rizal.

“Masih ingat makhluk bernama Aggelos – Malaikat?” tanya Sanjaya.

Ekspresi di wajah Rizal tampak makin tegang, “Tolong jangan katakan kalau itu mereka.”

“Itu mereka.”

“Mustahil! Aggelos tidak mungkin eksis!” sanggah Randi.

“Percayalah Bung, kami sudah sering berhadapan dengan mereka. Berkali-kali,” sahut Sanjaya.

“Apa tujuan mereka kemari?” tanya Rizal lagi.

“Memenuhi nubuat kitab orang-orang Inatiala. Akhir zaman, kehancuran total atas bumi,” jawab Sanjaya.

“Omong kosong! Paravandaah tidak meramalkan begitu!” geram Rizal.

“Sekarang kau percaya pada ajaran Paravandaah, Zal? Mencari pegangan di dunia yang berubah dengan cepat dan penuh ketidakpastian, eh?”

“Oke, jika kau itu dewa Mas,” Randi menyahut, “Siapa kau?”

“Aku Dyaus Pita – Bapak Angkasa,” jawab Sanjaya, “Dan aku kemari untuk membangkitkan kembali para Prajapati.”

“Duh,” Rizal menepuk dahinya, “Bagus sekali! Terima kasih telah menyeret kami ke dalam pusaran konflik yang lebih ruwet daripada skandal politik dan ekonomi tahun 1997, Sanjaya.”

“Apa kau berubah pikiran untuk membantuku, Zal?”

“Tidak, aku tidak berubah pikiran. Asal –”

“Ya?”

“Kau bisa menjamin akan membawa aku dan Randi keluar hidup-hidup dari tempat ini. Janji?”

“Janji.”

“Baiklah, sebentar lagi kita sampai.”

Jip tersebut berhenti di atas puncak bukit yang datar. Seluruh penumpang jip tersebut turun dengan posisi waspada. Sanjaya menengok kanan-kiri, memeriksa kondisi sekitarnya sebelum ia tiba-tiba berseru, “TIARAP!”

Rizal dan Randi langsung menjatuhkan diri mereka ke tanah dan sebuah berkas sinar merah meluncur tepat sedetik setelah mereka tiarap.

Tangan kiri Sanjaya bersinar dan mengeluarkan berkas sinar kekuningan ke arah asal tembakan tadi. Suara dentuman terjadi, membuat beberapa ekor orangutan betina yang tengah menyusui anak-anak mereka berlarian panik menjauhi daerah itu.

Sanjaya menghunus Drestha yang sedari tadi terselip di pinggangnya, lalu melangkah perlahan menuju ke daerah di mana dentuman tadi terjadi. Namun belum sempat ia melangkah terlalu dekat, seekor makhluk berbentuk seperti babi hutan namun berukuran dua kali ukuran sapi menerkamnya. Bulunya hitam kasar, matanya merah menyala, dan mulutnya penuh dengan gigi taring yang mirip dengan gigi buaya. Air liurnya yang berbau busuk menetes dari sisi-sisi mulutnya.

Sanjaya menendang perut makhluk itu dengan lutut kanannya guna membebaskan diri dari makhluk tersebut. Tak berhasil, makhluk itu justru semakin mendekatkan moncongnya ke kepala Sanjaya. Sanjaya menahan moncong makhluk itu dengan kedua tangannya dan keduanya saling beradu tenaga.

Pisau emas Sanjaya – Drestha – terjatuh ketika disergap makhluk tadi. Sanjaya menatap ke arah pisau emas itu lalu membagi konsentrasinya antara makhluk buas ini dan pada senjatanya. Usahanya berhasil, Drestha mulai bergetar dan sesaat kemudian melesat dan menancap di kepala monster itu.

Babi hutan raksasa itu meraung marah, kaki depannya berusaha menjangkau pisau yang menancap di sisi kepalanya itu. Saat itulah Sanjaya menghantam leher makhluk itu dengan sebuah kepalan tangan dan makhluk itu mundur beberapa langkah.

“Pasti sakit!” Sanjaya kembali berkonsentrasi pada senjatanya dan pisau itupun tercabut dari kepala monster itu, kembali ke tangan Sanjaya.

Monster itu masih meraung marah namun kali ini intensitas raungannya lebih panjang dan melengking. Sanjaya masih memasang kuda-kuda, bersiap untuk segala kemungkinan. Beberapa saat kemudian muncullah sepasukan kelelawar dengan tubuh mirip manusia berdatangan mengepung Sanjaya dan dua rekannya.

“Sanjaya!” Rizal berseru panik menyaksikan sosok-sosok makhluk bukan manusia itu.

“Kau sudah kalah Contra Mundi, matahari sebentar lagi terbenam! Waktumu akan habis dan kami akan berpesta pora makan daging dan minum darahmu!” secara mengejutkan babi hutan itu berbicara.

“Tawaran yang hebat, tapi sayang aku tak bisa menerimanya.”

“Apalagi yang bisa kau lakukan, Contra Mundi? Kau sendirian! Adikmu sudah dikalahkan! Dan dua manusia yang ada di sana takkan bisa membantumu banyak!”

“Rizal, Randi,” Sanjaya berucap, “Sembunyi di balik kolong jip dan tutup mata!”

Rizal langsung menarik tangan mahasiswanya dan masuk ke bawah jip, meski tidak tahu benar apa yang akan dilakukan Sanjaya.

“Apa yang akan kau rencanakan?” tanya babi hutan itu lagi sementara sekelompok kelelawar raksasa itu mulai mencicit riuh.

Sanjaya tidak menanggapi perkataan lawannya, diputarnya pisau emasnya sebanyak empat kali lalu berujarlah dia, “Ayo bersinarlah, Drestha!”

Tubuh Sanjaya diliputi sinar terang dan sesaat kemudian sinar itu memancar ke segala arah, menghanguskan tubuh para kelelawar raksasa yang bertengger di dahan-dahan pohon. Mereka mengeluarkan suara cicit pilu sementara si babi hutan menggeram dalam kesakitan dan amarah.

Sepuluh detik kemudian intensitas cahaya yang keluar dari tubuh Sanjaya mulai pudar seiring mulai terbenamnya matahari. Bangkai-bangkai kelelawar raksasa yang hangus terbakar berjatuhan dari atas dahan pepohonan. Sementara si babi hutan raksasa hanya menderita luka bakar di separuh wajahnya.

“Sialan!” babi hutan itu kembali menerjang ke arah Sanjaya, tapi dengan cepat Sanjaya berkelit dari serangan babi hutan itu sehingga monster itu hanya menabrak sebuah rumpun pohon eucalyptus[1]. Sanjaya melirik ke arah seberang bukit, matahari sudah mulai terbenam dan hari pun mulai gelap, ia harus cepat menyelesaikan urusan ini. Segera!

Babi hutan raksasa itu menggeram ke arah Sanjaya namun secara tak terduga, Rizal menembak makhluk itu dengan sepucuk senapan. Meski peluru yang ditembakkan Rizal mental ketika mengenai kulit makhluk itu, perhatian makhluk itu berhasil teralihkan ke arah Rizal dan Randi yang masing-masing kini tengah bersiaga sambil menggengam sebilah parang.

Babi hutan itu baru saja hendak menoleh kembali ke arah Sanjaya, namun ia tampak terperanjat ketika menyaksikan Sanjaya tak ada lagi di tempatnya semula. Kepalanya menoleh ke segala arah tapi ia sama sekali tidak memperhatikan apa yang ada di atas kepalanya.

Sanjaya yang sedari tadi bertengger di dahan sebuah pohon langsung melompat dari atas dahan itu dengan kedua tangannya menggenggam Drestha. Pisaunya menghujam ke tengkuk si babi hutan itu sehingga babi itu menguik keras sambil meronta-ronta. Tapi Sanjaya bertahan sekuat tenaga di atas punggung hewan buas itu selama beberapa saat hingga akhirnya rontaannya mulai melemah dan hewan itu jatuh tersungkur di tanah. Sanjaya akhirnya mencabut pisau itu dari tubuh hewan tersebut dan sesudah itu hewan tersebut perlahan berubah wujud, menjadi sesosok manusia. Pria Melayu muda berkulit sawo matang yang mengenakan setelan jaket denim dan celana jeans biru. Ia masih bernafas meski suara nafasnya sering diiringi degukan dan bunyi mengi – bunyi nafas orang yang kambuh asmanya.

“Percuma,” pemuda itu mendesah di kala sekerat sambil mengukir senyum kemenangan di mulutnya.

“Apa maksudmu dengan ‘percuma’. Siapa kau dan apa maksudmu datang kemari?” Sanjaya mendekat dan berjongkok di dekat pemuda itu.

“Kami adalah Cambion dan kami datang dengan satu perintah : menghabisi Dyaus dan Rancasan.”

Kata ‘Cambion’ terdengar asing di telinga Sanjaya, tapi ia tidak mempedulikannya, “Tampaknya kau dan teman-temanmu gagal.”

“Separuh gagal. Apa kau tidak dengar kataku tadi Dyaus? Rancasan sudah kalah!”

“Kurasa kau berbohong.”

“Yang Mulia Abaddon ada di sini, bersiap untuk menjemput adikmu itu kembali ke dunia bawah Dyaus. Tak ada yang bisa kau lakukan. Ia telah ‘ditandai’. Ia adalah milik Yang Mulia Abaddon sepenuhnya sekarang.”

Sanjaya baru saja hendak meremukkan kepala si pemuda ketika ia menyadari bahwa pemuda itu telah mati.

“Aku harus kembali! Nandi dalam bahaya!”

“Apa? Lalu bagaimana dengan kami? Bagaimana jika kami diserang? Kamu sudah berjanji Sanjaya!”

Sanjaya geram menyadari bahwa tidak mungkin ia meninggalkan Rizal dan Randi di sini. Tapi Nandi butuh bantuannya segera. Dalam kekalutan itu terdengar suara seorang wanita dari dalam benggala yang ia kenakan.

“Dyaus!” itu suara Pertiwi.

“Pertiwi, Nandi dalam –,” kata-kata Sanjaya terpotong.

“Aku tahu,” potong Pertiwi, “tenang saja Dyaus. Aku sudah bawa Nandi ke tempat yang aman. Lanjutkan saja tugasmu. Bangunkan para Prajapati!”

Sanjaya takjub dan penasaran bagaimana cara Pertiwi bisa datang kemari secepat ini, namun hal itu urung ia tanyakan. Pandangannya kemudian beralih kepada Rizal dan Randi yang sedari tadi terus menatapnya.

“Di mana pintu masuknya, Zal?”

Wajah Rizal yang semula tegang langsung tampak rileks, “Di sini, kita harus turun melalui jalan ini.”

*****

Beberapa saat yang lalu

“Oh ya! Kita bertemu lagi Nandiku sayang,” sosok yang menangkap kapak tadi adalah seorang pria Kaukasian pirang yang mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam yang dipadu dengan jubah bulu merah dan mahkota raja berbahan emas– kombinasi pakaian yang konyol untuk dipakai di tengah hutan Borneo sebenarnya, tapi tampaknya si pria Kaukasian itu tampak santai saja.

“Abaddon, aku senang kau datang, walau aku berharap kedatanganmu lebih cepat lagi,” ujar Richard.

“Aku sudah datang sedari tadi Nephilim, tapi aku harus menolong Ramirez keluar dari kubangan lumpur hisap itu dulu. Ayahnya akan marah kalau tahu anaknya tewas di dalam lumpur,” ujar Abaddon sambil tersenyum-senyum bak orang gila.

“Bagaimana kau bisa datang kemari? Bukankah kau algojo neraka?”

“Aku dapat izin khusus dari Raja Neraka, Nak. Para Athir Kathana minta bantuan kami untuk menangangi kamu dan teman-teman dewamu dan tadaaa di sinilah aku.”

Tangan dan kaki Nandi mulai gemetaran. Ketakutan melanda seluruh urat syarafnya. Keringat dingin mulai membasahi punggung dan tengkuknya. Tapi dipaksakannya dirinya untuk tetap tampil tegar di hadapan iblis algojo itu.

Kenapa Rancasan? Jangan katakan kalau kau takut! Suara Salaya bergaung di kepala Nandi.

Aku takut! Jawab Nandi.

Kau takut padanya Rancasan? Kalau begitu bunuh iblis itu di sini sekarang juga! Supaya ia tak lagi menjadi momok dan rasa takutmu lagi!

Bicara itu mudah! Nandi bersiap untuk menyerang Abaddon. Lututnya ditekuk sedemikian rupa dan badannya dibungkukkan. Sundang miliknya ia cengkeram kuat-kuat dan sesaat kemudian ia maju menyerang Abaddon.

Abaddon sendiri tidak tampak berusaha untuk menghindar. Ia hanya bergeming di tempatnya sambil mengulurkan tangannya ke arah Nandi– membentuk isyarat ‘berhenti’. “Stop!” Abaddon berseru.

Detik itu juga Nandi merasa ada besi panas membara seolah melingkari lehernya. Konsentrasi dan keseimbangannya langsung terganggu sehingga ia langsung jatuh tersungkur di hadapan Abaddon. Salaya terlepas dari tangannya dan menancap ke atas tanah.

“Apa yang – ?” tiba-tiba Nandi merasa mulutnya terkunci.

“Oh diamlah Nandi!” ujar Abaddon dengan nada ceria.

Nandi berusaha bangkit tapi dengan cepat Abaddon berujar, “Diam di tempat.”

Seketika itu juga Nandi merasa tubuhnya seolah terpaku di tanah. Sekeras apapun usahanya untuk menggerakkan anggota tubuhnya, ia tidak berhasil. Malahan setiap kali ia berusaha melawan, lingkaran hitam di lehernya mengeluarkan darah. Nandi mencoba mengabaikan rasa nyeri di lehernya itu sebelum akhirnya ia merasa sebuah tangan tak terlihat mencekik lehernya. Cekikannya begitu kuat sehingga Nandi tak bisa bernafas dan nyaris kehilangan kesadaran sebelum akhirnya sensasi itu berhenti dan dua orang pemuda, Ramirez dan Richard menjambak rambutnya dengan kasar dan memaksanya berdiri.

“Kutukan yang bagus kan, Nandi?” Abaddon tersenyum, “Hanya karena satu kata ‘ampun’ maka kau mendapat lingkaran budak.”

“Lingkaran budak?” gumam Nandi lirih, “Aku tidak sudi jadi budak!”

Abaddon masih tersenyum-senyum, “Kau sudah menjadi budak, Nandi. Dengan mengatakan ‘ampun’ padaku saat kau ada di palang derita itu, kau sudah menyatakan diri menjadi budakku. Dan sebagai budak kau takkan bisa melawan perintahku, apapun perintahku itu.”

Nandi berusaha meronta tapi tak ada satupun otot di tubuhnya yang mematuhi perintahnya. Ramirez – si pemuda berlogat Spanyol – masih mencengkeram leher dan kepala Nandi, sementara Richard yang bibirnya tampak berdarah berjalan mengitari Nandi sambil tersenyum-senyum licik.

“Boleh aku bicara sebentar pada cecunguk ini, Abaddon?”

“Tentu Richard. Tapi cepatlah, aku sudah tak sabar untuk bermain-main lagi dengannya.”

Richard mendekatkan wajahnya dengan wajah Nandi. Dua pemuda itu saling bertukar pandangan saling benci. Tapi kini Richard juga memberi Nandi tatapan penuh kemenangan. “Kurasa kau ingin melihat ini Mahija Nandi,” Richard meletakkan dua jari tangan kanannya ke dahi Nandi, “Nikmatilah!”

Kesadaran Nandi tersedot ke dalam sebuah pusaran memori, ratusan adegan berkelebat di kepalanya secepat kilat sebelum akhirnya mulai melambat dan bergerak dalam kecepatan konstan. Adegan itu menunjukkan sesosok gadis yang sudah ia kenal.

“Helena?” Nandi mengernyit menyaksikan Richard – si pemuda Nephilim nampak tengah berduaan dengan Helena di atas atap sebuah bangunan bertingkat. Richard – dalam balutan celana jeans dan kaus bergaris merah dan hitam – tampak berbincang akrab dengan Helena – yang berbalutkan pakaian kasual hijau tanpa lengan dan rok jeans. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Belanda, tapi Nandi tahu setiap arti dan maksud dari setiap kata yang mereka ucapkan.

“Helena,” Richard melingkarkan tangannya di leher Helena, “jangan lagi bersedih, mulai sekarang kau akan punya aku.”

“Kau janji takkan meninggalkan aku?” Helena mendekatkan bibirnya ke wajah Richard.

“Aku janji.”

Kemudian dua insan itu berciuman, membuat dada Nandi langsung sesak. Tapi pemandangan itu belum usai. Adegan kemudian berganti di sebuah kamar tidur, di mana dua insan – Richard dan Helena – saling bercumbu. Ada raut kebahagiaan di wajah keduanya, terutama Helena. Nandi tak pernah menyaksikan raut wajah Helena sebahagia itu sebelumnya. Ia nampak semakin cantik jika ia bisa tersenyum bebas seperti itu.

Pandangan Nandi kembali ke dunia nyata. Wajah Richard terpampang di hadapannya.

“Aku sama sekali tidak mengerti, apa yang Helena lihat darimu Nandi? Kenapa ia sampai rela turun ke neraka untuk menjemputmu sementara dirimu sendiri tak punya apa-apa untuk kau berikan padanya?”

“Mungkin karena aku tidak mengincar hubungan di atas ranjang seperti pria jalang di hadapanku ini?” jawab Nandi.

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Nandi disusul tamparan di pipi kanannya. Satu tendangan juga Richard layangkan ke dada Nandi hingga Nandi terbatuk.

“Hei, hei! Cukup Nephilim! Akulah yang berhak mencabik setiap kerat daging dari tubuh anak ini, bukan kau!” seru Abaddon.

Richard masih memandang Nandi dengan geram dan sekarang giliran Nandi yang balas tersenyum ke arah Richard, “Mungkin aku akan kembali kehilangan nyawaku, tapi menyaksikan seorang keturunan surgawi ternyata sama nistanya dengan kaum kami itu menyenangkan.”

“Akan kupastikan kau mengalami penderitaan buruk begitu ini semua usai!” ujar Richard.

“Oke, Ramirez bukakan gerbangnya.”

Pemuda yang masih mencengkeram kepala Nandi itu mengayunkan sebelah tangannya yang bebas dan membuka sebuah pusaran hitam yang mengeluarkan aroma busuk – campuran antara aroma bangkai, kotoran, selokan, dan belerang– dalam intensitas 10 kali lipat aroma terbusuk yang ada di dunia ini.

“Masukkan dia!” perintah Abaddon dan Ramirez pun bersiap untuk mendorong Nandi ke dalam lubang itu.

“Gita Pertiwi,” Nandi mendesis sembari menghentakkan kaki kirinya ke tanah dan seketika itu juga terjadi gempa bumi di daerah itu.

“Apa ini?” Richard mulai panik dan membentangkan sayapnya dan terbang melayang sementara Ramirez mulai goyah kakinya dan akhirnya melepaskan cengkeramannya kepada Nandi.

Abaddon tampak terperangah untuk sesaat sebelum kembali tersenyum-senyum. Ia melangkah mundur beberapa langkah sementara Richard tampak berusaha terbang lebih tinggi, namun tidak mampu ia lakukan karena sebuah tarikan gravitasi yang amat kuat selalu berusaha menariknya kembali ke daratan.

“Mulai putus asa, Nandi?” Abaddon tersenyum meledek lalu menjentikkan jarinya sembari berucap, “Bagaimana dengan ... kelumpuhan total!”

Ada energi tak terlihat yang mengekang seluruh tubuh Nandi. Seketika itu juga tubuhnya terasa berat dan akhirnya limbung dan roboh. Tapi sebelum seluruh tubuhnya lumpuh, Nandi memukul tanah di hadapannya dengan tangan kirinya dan segunduk tanah segera menelan Abaddon dan menelannya ke dalam bumi. Tapi Abaddon melawan, dikibaskannya kedua tangannya dan gundukan tanah yang menelannya pun segera tercerai berai dan ia kembali ke atas permukaan tanah.

Nandi berusaha menoleh ke arah Salaya yang tadi terjatuh, namun lehernya kini kaku. Ia berusaha melawan tenaga tak terlihat yang mengekangnya kini namun yang ia dapati justru lehernya kembali tercekik dan berdarah. Nandi mengerang dan menggeram sementara Abaddon beranjak mendekati Nandi.

“Kenapa kau melawan Nandi? Kau tahu bahwa kau dan teman-temanmu akan kalah bukan? Jumlah kalian sangat-sangat-sangat-kalah banyak dengan para malaikat dan para iblis. Dan lagi apa yang kalian harapkan dari mempertahankan dunia yang sudah busuk ini?”

“Tutup mulutmu!”

“Oh ayolah Nandi, aku sedang menawarimu sebuah bantuan.”

“Bantuan? Dengan menjadi budakmu? Tidak, terima kasih.”

“Oh ayolah Nandi. Jika kau dan kawan-kawanmu ini kalah siapa yang menginginkanmu di dunia ini? Ibu kandungmu membuangmu, ayahmu meninggalkanmu, kakakmu menukarkan jiwamu untuk kebebasan, dan ibu tirimu tak mau menerimamu. Para Patriakh dan Matriakh pun takkan ada yang mau menerimamu lagi sebab kabar bahwa kematian Patriakh Sumarsono adalah salahmu sudah tersebar di segenap penjuru negeri. Ke mana kau akan pergi?”

“Ke mana saja! Tapi tidak ke tempat itu lagi.”

“Kau mengecewakanku Nandi,” Abaddon memasang ekspresi terluka sebelum akhirnya menggerakkan tangannya dan sebuah energi tak kasat mata mengangkat tubuh Nandi dan menghempaskannya ke sebuah jurang. Tubuh Nandi terhempas ke bawah jurang itu dan membentur beberapa bongkah batu andesit yang kasar.

Tak bisa bergerak apalagi bangun, Nandi hanya bisa menyaksikan saat-saat ketika ketiga musuhnya itu bergerak mendekat ke arahnya. Batinnya merutuki segala ketidakberdayaannya dalam menghadapi lawan-lawannya meski ia sudah diberi kekuatan lebih.

Masa cuma sampai di sini saja? Rutuk Nandi.

“Jadi Nandi,” Abaddon mulai buka suara, “kita berdua akan segera mengalami kembali saat-saat menyenangkan itu. Kau senang?”

“Tidak,” Nandi mengumpulkan segala kekuatannya yang tersisa untuk sebuah perlawanan terakhir : bentakan.

“Melawan sampai akhir,” Ramirez bertepuk tangan, “walau hasilnya akan sama saja.”

“Ya sudahlah,” Abaddon mengayunkan tangannya dan membuka kembali gerbang hitam berbau busuk yang tembus ke neraka itu lalu hendak berjalan mendekati Nandi ketika secara mengejutkan lubang yang ia buka tadi tertutup.

“Hei! Siapa yang menutup lubangku?” seru Abaddon dalam keterkejutan.

Belum hilang keterkejutan mereka, sosok Nandi tiba-tiba saja lenyap ditelan bumi.

Richard langsung membentangkan sayapnya dan terbang ke arah tempat menghilangnya Nandi sembari menusuk-nusukkan pedangnya ke tanah, “Bagaimana mungkin dia masih bisa kabur? Kau sudah melumpuhkannya kan?”

“Sudah!” ujar Abaddon gusar.

“Setidaknya kita masih dapat Rajatanya,” Ramirez melayang menuju dataran di atas mereka sebelum kembali kepada kawan-kawannya lima detik kemudian dengan wajah panik, “Rajatanya hilang!”

“Apa? Bagaimana bisa?” wajah Richard merah padam.

“Tuan Abaddon, bisakah kau bunuh saja Rancasan?” pinta Ramirez.

“Cih! Kalau aku bunuh dia sekarang, jiwanya tak akan masuk ke neraka!” ujar Abaddon.

“Masih pentingkah soal dia masuk neraka atau tidak? Kalau dia lolos maka kita semua akan dalam kesulitan besar! Bunuh dia Abaddon!” bentak Richard.

“Jaga mulutmu Nephilim! Aku datang kemari dan mau membantu kalian hanya karena permintaan para Athir Kathana. Jangan kira kau berhak memerintah atau membentakku!”

“Tuan Abaddon,” Ramirez berusaha menengahi argumen dua pria itu, “Apa yang Richard katakan ada benarnya. Rancasan terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup. Aku mohon ucapkan kutukannya.”

“Grrm, baiklah!” Abaddon akhirnya mulai mengucapkan bait-bait mantra.

Aku memanggil pemilik nama Mahija Nandi

Putra Adibratha Mursito

Putra dari Bathari Pertiwi

Saudara seibu Bathara Rancasan

Sang pewaris kekuatan Bathara Rancasan.

Aku Abaddon, tuan dari enam puluh legiun dari neraka tingkat empat

Aku Abaddon, yang telah mengambil sumpah setiamu

Dan yang telah mengklaim hak sebagai tuan atas dirimu.

Aku memberimu sebuah kutukan

atas pengkhianatanmu sebagai budak

Aku mengutukmu untuk mati!

Abu kembali ke abu

Tanah kembali ke tanah

Dan jiwa kembali ke ketiadaan

Aku meniup habis api kehidupanmu!

Matilah kau dan terjadilah!

“Dia pasti mati dengan penuh penderitaan,” ujar Abaddon dengan ekspresi sebal ketika selesai merapalkan mantranya.

“Jangan khawatir Tuan Abaddon, begitu ini semua selesai, aku akan pastikan kau bisa memilih ‘mainan baru’ di antara jiwa-jiwa yang kami panen,” ujar Richard.

“’Mainan baru’ akan selalu ada, tapi sulit mencari mainan berkualitas macam Sanjaya dan Nandi.”

*****

Nandi tidak tahu benar apa yang terjadi pada dirinya namun ia merasa baru sedetik yang lalu Abaddon dan sekutunya nyaris mencabut nyawanya, tapi sekarang ia berada di tempat yang lain. Tubuhnya terbaring di puncak lantai hutan yang berupa tanah gembur yang dikelilingi pepohonan yang menjulang.

“Di mana aku?”

“Tenanglah Nak, kau aman sekarang.”

Nandi menoleh ke arah sumber suara itu dan di sana ia melihat sosok ibunya, ibu kandungnya, Dewi Bumi Pertiwi.

“Ibu? Kenapa ibu ada di sini?” kening Nandi berkerut, heran atas kehadiran ibunya di tempat ini.

“Seorang ibu selalu tahu kapan anak-anaknya berada dalam bahaya. Lagipula aku ini dewi bumi, Nandi. Aku tahu  banyak kejadian yang terjadi di permukaan bumi, lebih-lebih kejadian yang berkaitan dengan kalian – para Contra Mundi.”

“Terima kasih Bu. Aku –,” Nandi merasa ada sesuatu menusuk tenggorokannya. Garis hitam di tenggorokannya kembali terasa panas dan panasnya dengan segera menjalar ke seluruh tubuhnya baik di lapisan luar maupun organ-organ dalamnya. Sensasinya sama seperti saat dia dibakar di danau kawah saat ia berada di dunia orang mati dulu.

Nandi meronta dan menggeliat-geliat di lantai hutan, semak dan perdu yang tersambar tubuhnya layu seolah bersinggungan dengan api. Serangga-serangga yang berada di sekitarnya mulai berasap dan hangus oleh karena udara panas yang keluar dari tubuhnya.

Pertiwi yang memakai balutan kebaya emas dan sarung emas itu langsung menghambur ke arah Nandi, “Nak! Kamu kenapa?” tanyanya cemas.

“Panas! Panas Bu!” Nandi memegangi tanda hitam di lehernya itu sambil terus meronta. Tanda hitam melingkar itu kini tampak merah membara seperti besi pijar.

Secara refleks, Pertiwi langsung memeluk tubuh putra terakhirnya itu tapi tentu saja hal itu tak bisa meringankan penderitaan Nandi. Nandi masih menggeliat dan meronta bahkan jeritannya makin keras dan histeris, membuat hewan-hewan malam yang ada di sana mulai beterbangan dan berlarian menjauh dari tempat Pertiwi dan Nandi berada.

Sesaat kemudian, darah mulai keluar dari hidung dan mata Nandi, juga lehernya. Ribuan jarum terasa menusuk-nusuk seluruh tubuhnya, tak terkecuali mata dan gendang telinganya. Kemudian dirasakannya ada bibir yang menciumnya. Secara perlahan rasa nyeri dan panas di tubuhnya mereda kemudian hilang sama sekali.

Ketika Nandi merasa rasa sakitnya sudah mereda, dibukanya matanya dan dilihatnya Pertiwi kini diselubungi oleh aura merah menyala. Tubuhnya menguarkan hawa panas, sama seperti dirinya tadi.

“Ibu?” Nandi terperangah tapi Pertiwi langsung meletakkan jari telunjuknya di bibir Nandi.

“Aku sudah hidup cukup lama Nandi, aku telah melahirkan banyak anak dan telah kehilangan banyak anak pula. Tapi dalam banyak kesempatan aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan kematian mereka. Aku tak ingin itu terjadi padamu Nandi.”

“Tapi – !” Nandi mulai cemas karena hawa panas di tubuh Pertiwi semakin terasa meningkat suhunya.

“Aku minta maaf karena tidak pernah mengasihimu sebagai seorang ibu, Nandi.”

“Ibu ... jangan berkata seperti itu.”

“Oh aku harus, sebab ini adalah perpisahan,” wujud Pertiwi mulai memudar.

“Apa maksud Ibu?”

“Aku telah menggunakan sisa energiku yang terakhir untuk menghapus kutukan Abaddon darimu Anakku. Hal terbaik yang bisa kulakukan sebagai seorang ibu untuk anakku,” sosok Pertiwi mulai terurai menjadi butiran-butiran pasir, “tetaplah hidup Anakku, menangkan perang ini dan jadilah saksi kelahiran dunia baru.”

“TIDAK!” Nandi memekik, mencoba menggapai sosok Pertiwi namun ia terlambat. Sosok Pertiwi segera saja benar-benar memudar menjadi serpihan debu-debu bercahaya yang segera hilang tertiup hembusan angin.

“TIDAK! INI MUSTAHIL!” Nandi memekik putus asa ke langit, sambil merutuki segala ketidakberdayaannya menghadapi takdir, “KENAPA? KENAPA? KENAPA SEMUA ORANG YANG KUSAYANGI HARUS PERGI??!!!”

Kemarahan dan kesedihan membanjiri seluruh emosi Nandi. Dipukulnya tanah yang ada di hadapannya kuat-kuat sehingga terbentuklah lubang besar berkedalaman sekitar tiga meter. Dipukulnya lagi tanah itu sehingga kedalaman lubang tersebut makin dalam. Diulanginya tindakan itu hingga semakin lama lubang itu semakin dalam. Beberapa puluh menit kemudian bukit itu rubuh dan tersedot ke dalam lubang yang dibuat Nandi. Gempa mulai melanda daerah itu dan hewan-hewan hutan mulai berlarian menjauhi area itu.

*****

[1] Pohon kayu putih, daunnya adalah bahan dasar minyak kayu putih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top