BAB VIII : PARA NEPHILIM
"A fanatic is one who can't change his mind and won't change the subject."
-Winston Churchill-
Alam Semesta Etria, Kota Unia, Amerika Serikat, 23.15
Sosok Helmut tampak melayang-layang di atas langit sebuah kota dengan kedua sayap berwarna hitam terbentang dari punggungnya. Matanya tampak menatap kosong ke arah bangunan-bangunan yang berdiri di atas kota itu sebelum akhirnya ia mendarat di sebuah pertokoan. Pertokoan itu memiliki gaya Eropa Timur yang kental. Bangunannya memiliki dinding-dinding bata yang dilabur dengan kapur putih tanpa semen sehingga struktur batanya masih terlihat, atapnya terbuat dari kayu yang dicat gelap, sementara daun-daun jendelanya berbentuk persegi panjang dengan sisi horizontalnya lebih sempit daripada sisi vertikalnya.
Pertokoan itu tampak sepi, hanya tampak beberapa orang tengah duduk-duduk sambil minum di sebuah bar yang menyediakan tempat duduk ruang terbuka di depannya, namun udara yang dingin membuat semua pengunjungnya memilih tinggal di dalam bar. Helmut melirik ke arah arlojinya. Pukul 23.15 waktu setempat, namun orang-orang yang hendak ia temui belum muncul juga. Tapi ia tidak kesal. Justru ia sedikit terhibur dengan keterlambatan orang-orang itu.
Sudah lama ia tidak mengunjungi kota ini, kota tempat ia dilahirkan dan tinggal sampai usianya 16 tahun. Diasuh oleh para biarawati Dominikan di sebuah panti sebelum akhirnya seseorang misterius membiayainya untuk bersekolah di kota sebelah. Ia mendapatkan gelar sarjananya lima tahun kemudian dan bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan ekspedisi. Dua tahun ia berada di sana sebelum peristiwa naas itu terjadi padanya.
“Helmut,” seseorang tampak memanggil namanya, membuatnya tersadar dari lamunannya.
“Richard,” Helmut membalas sapaan pria itu dan mendapati seorang pria muda berusia 20 tahunan, berambut pirang, berkulit pucat, dan bermata biru safir tampak berdiri di depan sekelompok pemuda dan pemudi yang masing-masing memiliki sayap hitam yang terbentang di belakang punggung mereka. “Kenapa lama sekali?”
“Maaf, ada masalah dengan portal dimensi kami. Sedikit guncangan, turbulensi, dan sedikit ledakan terjadi dan membuat kami terjebak di Seattle selama beberapa saat.”
“Ada yang terluka?”
“Terluka?” Richard terkekeh, “Kita ini Nephilim, Helmut. Separuh malaikat. Ledakan portal dimensi kecil seperti itu tidak akan berpengaruh banyak pada kita. Kita bisa sembuhkan diri lebih cepat daripada manusia.”
“Baguslah kalau begitu,” Helmut bergerak maju melintasi Richard lalu berbicara pada para muda-mudi itu dengan suara datar, perlahan, namun dapat terdengar jelas, “Selamat datang Saudara-saudariku. Malam ini kalian dikumpulkan di sini untuk menjadi saksi sekaligus pelaku bagi sebuah pertempuran terbesar sepanjang masa. Kalian istimewa, kalian adalah kaum terpilih yang mewarisi kekuatan suci dari surga, dan kini tibalah waktu bagi kalian untuk berperan serta dalam melenyapkan sumber pertikaian sepanjang masa ini. Apa kalian siap untuk itu?”
“Siap!” jawab mereka serempak.
“Maaf Tuan Helmut, bolehkah aku bertanya?” seorang pemudi berkulit hitam tampak mengangkat tangannya.
“Silakan Saudariku,” jawab Helmut.
“Apakah kita akan memerangi manusia pula?”
“Hanya jika manusia itu menghalangi jalan kita dalam melenyapkan ‘sumber dari semua masalah’ ini.”
“Lalu apa yang terjadi pada manusia?”
“Manusia akan mendapatkan sebuah bumi baru, dunia baru yang bisa menaungi semua manusia dalam damai. Dan di dunia baru itu, takkan ada lagi perang, konflik, kesewenang-wenangan, rasialisme, dan segala bentuk kejahatan yang mungkin saja terpikir oleh benak manusia dan dilaksanakan melalui indera-indera mereka. Tidak akan ada lagi pria atau wanita kulit putih yang akan melecehkanmu Irene. Bukankah dunia macam itu yang kau inginkan?”
Pemudi berkulit hitam itu akhirnya menganggukkan kepala dengan sebuah senyum terkembang di wajahnya.
“Ada lagi yang masih ragu dan ingin bertanya?” tanya Helmut.
Mereka semua menggeleng.
“Baiklah, lakukan seperti yang sudah Richard beritahukan pada kalian! Cari segenap dewata kuno yang tersisa dan basmi mereka jika kalian mampu, atau beritahukan pada para tentara langit, jika mereka tak mampu kalian kalahkan.”
Sosok muda-mudi itu melayang ke angkasa, membagi diri dalam kelompok-kelompok, dan dengan segera sejumlah portal dimensi berwarna kebiruan terbuka dan membawa masing-masing kelompok itu ke tempat tujuan mereka.
Richard tampak memandang langit dengan senyum lebar terkembang di wajahnya sebelum akhirnya menoleh ke arah Helmut, “Hei Helmut, bagaimana kabar Helena?”
“Masih hidup,” jawab Helmut singkat.
“Bukan itu, maksudku ... apakah dia sehat?”
“Sehat dan masih berjiwa pemberontak seperti biasanya. Bahkan dia baru saja memberiku sebuah kejutan kalau kau belum dengar kabarnya dari Saklas atau Demiurge.”
“Kejutan apa?” tanya Richard penuh rasa penasaran.
Helmut tidak menjawab, alih-alih menjawab ia membuka kancing kemejanya dan menunjukkan pada Richard sebuah bekas luka tusukan di bagian ulu hatinya.
“Ya ampun, Helmut!” Richard mundur dua langkah sembari menutup mulutnya. Bagi para Nephilim sebenarnya mudah saja meregenerasi bagian-bagian tubuh mereka yang terluka, sedikit lebih lama untuk kasus anggota tubuh yang teramputasi. Namun jika sebuah luka tetap membekas seperti yang dialami Helmut ini, berarti hanya ada satu kemungkinan yang pasti.
“Kau ditusuk Rajata. Rajata yang pasti sangat kuat.”
“Kau benar,” Helmut mengancingkan kembali kemejanya lalu merapatkan jasnya dengan kedua tangannya, “Hanya ada satu Rajata yang bisa menetralisir kekuatan waktuku, dan pemiliknya seharusnya sudah lama mati. Tapi gadis incaranmu itu nekat memasuki alam kematian, menolong seorang pemuda yang kami pakai sebagai ‘wahana’ lalu menyatukan roh pemuda itu dengan pemilik Rajata sialan ini.”
“Sebentar, apa pemuda wahana itu pacar Helena?”
“Bisa dibilang demikian.”
Richard menutup wajahnya dengan sebelah tangannya, “Oh ya ampun. Sekarang kau dan aku punya masalah yang sama.”
Pembicaraan kedua orang itu terhenti ketika satu sosok bersayap perak turun dari langit. Sosok itu mengenakan pakaian yang terbuat dari kain satin biru yang berkilau saat ditimpa sinar temaram lampu sekalipun. Matanya menyala merah dan jingga di kegelapan, rambutnya pirang lurus dan dipotong pendek, sementara tangannya memegang sebuah plat logam berwarna ungu yang memendarkan cahaya kuning emas dari tulisan-tulisan yang terpahat dari atasnya.
“Saklas? Ada masalah apa sampai kau datang kemari?” tanya Helmut yang tampak sedikit heran melihat kehadiran Saklas di sini.
“Demiurge dan Abaddon ingin bicara dengan kalian berdua,” ujar Saklas.
“Ah?” Richard terhenyak. Bicara dengan Demiurge, sang Za’in Etria mungkin sudah menjadi hal biasa bagi mereka berdua, tapi diundang bicara dengan seorang iblis tingkat tinggi dari neraka itu lain soal.
“Kapan?” tanya Helmut.
“Sekarang juga,” jawab Saklas.
“Baiklah,” Helmut membentangkan kedua sayap malaikatnya dan bersama dengan Richard serta Saklas membumbung tinggi di angkasa, meninggalkan kota itu kembali.
*****
Alam Semesta Sambala, Eastbourne – England, 24.00
Di sebuah taman di kota Eastbourne, di pulau England bagian Tenggara, tampak seorang pria kulit hitam yang mengenakan sebuah mantel biru jeans dengan rambut yang telah mulai memutih tengah menggesek sebuah cello – instrumen musik seperti biola namun berukuran besar – di tengah-tengah sebuah taman yang telah sunyi dan gelap. Irama lagu yang ia mainkan tenang, sendu, dan teduh. Sekumpulan muda-mudi yang salah satunya adalah Irene tampak mendekat ke arah pria pemain cello tersebut. Masing-masing dari mereka mengibaskan tangan mereka dan mengeluarkan aneka bentuk senjata dari ketiadaan. Ada yang membentuk pedang perak, belati perak, tombak perak, dan cambuk rantai perak. Langkah mereka mantap – tanpa ragu-ragu – dan ekspresi mereka dingin – tak menunjukkan emosi.
“Mau apa kalian kemari?” pria itu menghentikan gesekan cello-nya dan bangkit dari duduknya.
Muda-mudi itu tidak menjawab dan langsung menerjang ke arah pria tua itu dengan menyabetkan senjata mereka masing-masing. Pria tua itu tetap berdiri dengan santai, lalu menyabetkan penggesek cello-nya ke salah satu pemuda yang hendak menghantamnya dengan sebuah palu berselimutkan api. Pemuda itu terhempas ke sebuah tempat sampah yang berisi penuh dedaunan kering. Irene – si pemudi berkulit hitam – tampak melayang ke angkasa selagi kawan-kawannya mengepung si pria tua itu. Belati perak di tangannya tampak berkilat-kilat diterpa secercah sinar lampu.
Kawan-kawannya mengepung pria tua itu dari berbagai arah. Mereka menyabet dan menusukkan senjata mereka ke arah pria tua itu namun pria itu segera memecah diri menjadi sekumpulan abu yang terbang terbawa angin.
“Dia kabur!” pekik Irene.
“Anthony, Dwayne, Jason, Irene, kejar dia!” pekik seorang pemudi berambut merah yang tampaknya menjadi ketua kelompok itu. Muda-mudi itu segera membentangkan sayap-sayap hitam mereka dan bergegas mengejar gumpalan abu jelmaan sang pria.
Gumpalan abu itu berhenti di sebuah gugusan karang di daerah pantai Beachy Head, di mana abu itu kembali menjelma menjadi sosok seorang pria dengan sebuah cello di tangan kirinya dan sebuah penggesek di tangan kanannya. Sosok muda-mudi itupun kembali mendarat di atas gugusan karang tersebut dan senjata-senjata mereka kembali mewujud.
“Mau kabur ke mana kau, Pak Tua?” bentak seorang pemuda berwajah Mestizo.
“Oh ya ampun, kalian anak-anak yang keras kepala,” balas sang pria, “Kenapa kalian terus mengikutiku? Pulanglah Nak, tidak baik bagi kalian untuk terus-menerus memantik permusuhan dengan kami.”
“Diam! Masa dewa-dewi telah lewat, masa manusia hidup dalam kegelapan sudah akan berakhir! Tapi masa ini takkan berakhir selama keberadaan kalian masih diakui dan dipercayai manusia!” bentak sang pemudi – pemimpin kelompok mereka.
“Masa kami memang sudah lewat, Nak,” tiba-tiba nada suara pria itu berubah berat, “tapi bukan berarti kami tidak punya kekuatan. Dan atas perintah siapa kalian kaum peranakan berani angkat senjata untuk membinasakan kami?”
Penggesek di tangan kanannya ia angkat tinggi-tinggi lalu ia sabetkan ke udara kosong. Muda-mudi itu memasang posisi waspada, tapi mereka terlambat. Satu teman mereka rubuh ke tanah dengan kondisi tubuh terbelah dua.
“Bunuh dia!” ketua kelompok itu menyerukan perintah menyerang. Irene maju paling depan, diposisikannya belati perak miliknya dalam posisi yang siap menikam jantung si pria sementara kawan-kawannya membuat pria itu kerepotan dengan serangan bola-bola energi berwarna biru yang keluar dari tangan mereka. Belati milik Irene sudah berjarak tinggal beberapa milimeter dari tubuh pria itu ketika sebuah dinding es terbentuk di sekitar pria itu dan membuat belati miliknya tertancap di dinding es tersebut alih-alih melukai targetnya.
“Saudara-saudari,” terdengar suara lembut seorang wanita yang datang dari balik empat muda-mudi Nephilim tersebut, “kalian harus benar-benar diajari sopan-santun terhadap orang yang lebih tua.”
“Kau!” pria tua itu tampak terkesiap ketika melihat sosok wanita yang menolongnya itu, “Sedna!”
“Tampaknya kau butuh bantuan, Baron Samedi,” ujar sang wanita itu. Sebuah busur panah berwarna biru tergenggam di tangan kanannya.
“Astaga, kau kan ... yang gadis yang bersama Richard waktu itu,” wajah sang pemuda Mestizo itu tampak pias.
“Oh kau baik sekali mengingat aku, Jason. Bagaimana kabar cowok sialan itu?”
Pemuda itu tidak menjawab pertanyaan gadis itu. Alih-alih menjawab, pemuda itu memberi isyarat pada kawan-kawannya untuk segera pergi meninggalkan tempat itu. Kawan-kawannya yang langsung mengerti apa maksud isyarat tersebut, langsung melesat ke angkasa meninggalkan tempat itu. Tapi belum sempat mereka terbang jauh, sebuah ombak besar dengan ketinggian yang tidak alami muncul dari pantai dan menghempaskan mereka ke daratan. Para Nephilim itu tidak sempat mengelak ketika sebuah tangan-tangan yang terbentuk dari air menyeret mereka ke tengah lautan di mana sebuah pusaran air secara tiba-tiba terbentuk di tengah-tengah lautan. Tubuh-tubuh mereka terseret ke dalam pusaran itu lalu tenggelam ke dalam lautan dan tidak muncul kembali, kecuali satu.
Irene masih berpegangan erat pada sebuah batu cadas. Dengan mengerahkan seluruh kekuatannya ia berhasil bertahan untuk tidak turut terseret ke dalam lautan. Tangannya ia rasakan sangat perih, tapi untuk saat ini ia menghelakan nafas lega karena bisa lolos dari maut.
“Tersisa satu, Sedna,” suara sang pria pemain cello itu terdengar sangat dekat di telinga Irene sekarang. Pemudi itu langsung bangkit berdiri dan membentuk kembali belati tikamnya dan berdiri dengan posisi menantang sang pria itu.
“Jatuhkan senjatamu, Nephilim!” sang gadis di samping pria tua itu telah merentangkan busur miliknya dan sebuah anak panah es bisa melesat kapan saja ke arahnya.
“Kau bedebah Contra Mundi!” seru Irene, “Kau bunuh teman-temanku dan kini memaksaku menyerah? Tidak, aku tidak akan menyerah semudah itu!”
Gadis yang tak lain adalah Helena itu menyunggingkan senyum tipis sebelum sebuah anak panah melesat dan menembus betis Irene. Gadis berkulit hitam itu memekik kesakitan tapi sebuah pukulan benda keras di tengkuknya membuatnya segera jatuh tak sadarkan diri.
“Kenapa kau minta aku membiarkannya hidup, Baron Samedi?” tanya Helena pada pria kulit hitam tersebut.
“Ada orang bijak pernah berkata bahwa kita harus mengenali musuh kita supaya kita bisa kalahkan mereka. Aku akan membawa anak ini ke hadapan loa lainnya. Kami akan menjaganya, mengorek informasi dari dirinya, dan ketika tiba waktunya ... kami akan datang memenuhi panggilanmu Sedna, atau aku harus panggil kau ... Helena Meer?”
“Baiklah, Baron Samedi, aku akan menantikan kedatanganmu dan kawan-kawanmu nanti,” Helena melesat terbang ke angkasa dan hilang di balik awan-awan mendung yang segera saja menutupi sosoknya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top