BAB VII : TUAN PUTRI
Alam Semesta Kasha, Kota Anthokat, Kekaisaran Russaya
Di sebuah kamar sempit yang catnya sudah mengelupas, Kaspar terus-menerus mengamati saudara kembarnya yang masih tak sadarkan diri. Selembar kain kompres tergelar di dahinya, namun Kaspar merasakan bahwa suhu tubuh saudaranya tidak jua menurun. Ia sempat berpikir untuk merapal beberapa mantra sihir penyembuhan sebelum menyadari bahwa ia sama sekali tidak berbakat dalam soal merapal sihir penyembuhan. Ia adalah seorang penyihir tempur dan penyihir garis hitam. Mantra yang ia kuasai semuanya bersifat destruktif atau mantra kutukan. Sama sekali tidak ada mantra penyembuhan yang ia kuasai.
Sesekali Damian mengigau dalam tidurnya dan hal itu membuat Kaspar menjadi semakin tidak tenang. Berulang kali ia bangkit dari duduknya, mondar-mandir di dalam kamar lalu kembali duduk dengan tidak tenang.
“Permisi,” Avgust – si pria pemilik bar – memasuki kamar dengan membawa sebaskom air hangat. Ia mengganti air dingin di baskom yang diletakkan di sebuah meja dengan air baru yang lebih hangat, lalu merendam kain kompres Damian dan meletakkannya kembali di dahi Damian.
“Yang dia gunakan tadi itu ... sihir darah kan,” desis Avgust.
“Iya, tampaknya begitu,” jawab Kaspar.
“Kenapa ia nekat melakukan sihir yang begitu berbahaya?”
“Tampaknya untuk menolongku.”
“Oh ya, kau sudah cerita soal Chayim yang kembali.”
“Kau punya dugaan siapa kira-kira yang kini menjadi majikan iblis itu Avgust?”
“Tidak, sayangnya tidak. Tapi ...,” Avgust terdiam.
“Kenapa?” Kaspar mencondongkan badannya ke depan, mendekat ke arah Avgust
“Apakah mungkin jika Kaisar yang sekarang mengikat kontrak dengan Chayim?”
“Dari mana kau dapat gagasan itu?”
“Kaspar, sudah dua tahun sejak kau membawa perombakan pada negeri ini. Si Kaisar muda itu memang seorang pangeran yang baik hati, tapi ia tidak siap untuk bergulat dengan politik. Dan segala yang ia pelajari selama ini hanyalah pengetahuan teoritis, ia tidak akan tahan bergelut dengan dunia politik yang keras dan kejam.”
“Avgust, aku percaya padanya. Beri saja dia kesempatan.”
“Tapi Kaspar ... menurutmu siapa orang-orang yang menyerangmu barusan? Maga bukan?”
“Bisa saja Maga yang memberontak.”
Avgust menggeleng lemah, “Tidak ada Maga yang memberontak di sini Kaspar.”
“Kenapa kau bisa yakin soal itu?”
“Karena selama dua tahun ini Zakazat’ Maga berada di bawah perintah langsung Kaisar. Tidak lagi merupakan badan otonomi khusus di bawah Organizatiya – Badan Pengawas Keamanan. Yang bisa menurunkan perintah pada mereka hanyalah Kaisar seorang.”
“Premier juga bisa menurunkan perintah,” tiba-tiba Damian berujar lemah dari tempat tidurnya.
“Damian! Oh terima kasih Tengri,” Kaspar mendekat ke arah saudara kembarnya yang masih tampak lemah dan pucat namun memaksakan diri tersenyum ke arahnya.
“Hai?” Damian melambaikan tangan kanan ke arah kembarannya.
“Entah aku harus bilang kau ini bodoh atau pintar Damian,” Kaspar menarik sebuah kursi dan duduk di samping Damian, “kau tahu kan kalau sihir darah itu berbahaya?”
“Jauh lebih baik begini daripada kau mati di depan mataku, Kaspar. Kini Chayim bertambah kuat, ia bukan lagi Chayim yang pernah aku dan kau lawan.”
“Benar,” Kaspar mendesah.
“Um Kaspar,” tiba-tiba Avgust yang baru saja didatangi oleh seorang pegawainya mengajak Kaspar untuk ikut dengannya, “kita perlu bicara.”
“Pergilah Kaspar, aku baik-baik saja di sini,” ujar Damian.
“Baiklah,” Kaspar bangkit dengan ragu-ragu, “kalau ada apa-apa .. .”
“Aku akan buat keributan untuk memanggil kalian. Tenang saja,” Damian tersenyum ke arah Kaspar dan menyaksikan saudara kembarnya itu hilang di balik pintu.
*****
Kaspar mengikuti Avgust menuju ruang bar di mana telah tampak di sana seorang pria berambut hitam, berwajah cekung, dan tampak telah berusia setidaknya tiga–puluhan akhir duduk menghadap meja bar. Pria itu mengenakan mantel panjang berwarna biru tua dengan emblem serigala putih tersemat di dada kiri mantelnya.
Seorang pengawal kerajaan. Batin Kaspar yang segera menyiagakan senjatanya.
“Weizmann, kenalkan ini Kaspar. Mantan Maga tingkat delapan dan orang yang sempat ditunjuk Pangeran Karel sebagai pengawal pribadinya,” ujar Avgust.
“Uh halo,” pria bernama Weizmann bangkit berdiri dan menyalami Kaspar, “Adler Weizmann, pengawal Yang Mulia Sofia Alexeevna
“Kaspar Deas Meyer. Pengawal Tuan Putri Sofia katamu?”
“Ya.”
“Mau apa dia kemari Avgust?” Kaspar menoleh ke arah pemilik bar.
“Kaspar, apa kata Kaisar soal penahanan Tuan Putri?” Avgust balik bertanya.
“Ia berkata melakukan itu supaya Tuan Putri tidak menimbulkan guncangan politik,” jawab Kaspar.
“Separuh benar Tuan Meyer,” sahut Weizmann, “tapi ada satu hal yang tidak Kaisar beritahukan pada anda.”
“Apa itu?”
“Tuan Putri Sofia Alexeevna akan dieksekusi besok, tepat tengah hari.”
“Apa?” mata Kaspar membelalak tidak percaya, “Tapi ... bukankah Matthayas dan Sofia adalah saudara sepupu yang sangat dekat?”
“Tuan Kaspar, dalam politik saudara itu hanya orang lain yang punya hubungan darah. Tidak lebih, dan karena itu mereka bisa disingkirkan atau dilenyapkan kapan saja. Itulah yang akan menimpa Tuan Putri, dan karena itulah saya meminta anda membantu saya untuk menolong saya membawa Tuan Putri keluar dari Monr – Benteng Zelesha, tempat beliau ditahan.”
“Baiklah, apa kau punya rencana, Weizmann?”
“Saya punya,” Weizmann merogoh saku dalam mantelnya dan membentangkan sebuah peta yang terlipat ke atas sebuah meja lalu melirik ke arah Avgust, “Avgust, boleh aku pinjam beberapa orang?”
“Kau tidak perlu meminta, mereka sudah datang dari tadi,” Avgust membuka sebuah pintu dan setidaknya enam pria bersenjata api langsung muncul dari balik pintu itu. Pria itu rata-rata bertubuh besar, bercodet, serta berjanggut kasar. Bau alkohol dan bau asam keringat menguar dari tubuh mereka.
“Cukup bagus,” Weizmann mengangguk dan tersenyum ke arah orang-orang itu sementara Kaspar berusaha keras untuk tidak menutup hidungnya di hadapan orang-orang itu.
“Jadi Tuan-tuan, begini rencananya,” Weizmann mulai memaparkan rencananya.
*****
Sepuluh menit kemudian semua yang hadir dalam ruangan itu mengangguk paham atas rencana yang dipaparkan oleh Weizmann.
“Jadi ... semuanya siap?” tanya Weizmann.
“Tentu saja,” jawab orang-orang itu serempak.
“Tuan Kaspar? Apa anda juga setuju?” Weizmann menoleh ke arah Kaspar.
“Yap!” Kaspar mengangguk.
“Dima,” Avgust berseru pada seorang di antara mereka sambil melempar serenteng kunci, “transportasinya sudah siap.”
“Terima kasih Avgust,” jawab seorang pria bermantel kuning kusam yang menerima kunci itu, “Nah teman-teman, saatnya kita pesta.”
“Yaa!” mereka semua mengokang senapan mesin di tangan mereka masing-masing lalu keluar bersama Kaspar dan Weizmann.
Di luar mereka mendapati sebuah van berwarna hitam dengan roda yang telah dililit rantai salju telah tersedia untuk mereka. Dima langsung naik ke bangku pengemudi. Weizmann duduk di bangku depan sementara Kaspar dan lima orang lainnya duduk di bangku belakang.
“Siap?” tanya Dima sambil menyeringai ke arah timnya.
“Siap Kapitan!” jawab lima orang itu serempak.
“Pastikan saja kita sampai dengan utuh,” ujar Kaspar.
Dima kembali tersenyum penuh arti pada Kaspar lalu secara tiba-tiba menyalakan mesin mobil itu dan menginjak gasnya sedemikian rupa hingga mobil itu melesat lalu melaju dengan kecepatan tinggi hingga penumpang di van itu tersentak-sentak. Kaspar hendak protes terhadap cara menyetir Dima yang gila-gilaan namun niat itu ia urungkan ketika ia merasakan rasa mual menjalari perutnya. Ia akhirnya memilih untuk menenangkan diri dan berusaha menahan isi perutnya tidak keluar sepanjang perjalanan.
*****
Mobil van itu keluar dari wilayah pusat kota Antokhat menuju sebuah daerah perbukitan di mana sebuah kastil berdinding gelap tampak berdiri di salah satu sisinya. Dima mengemudi dengan kelihaian di luar kewajaran orang normal. Ia mampu memasuki gang-gang sempit selama di Antokhat tadi tanpa menabrak tong sampah dan kucing liar ataupun menggores sisi van dengan dinding-dinding rumah. Di daerah perbukitan ini pun Dima masih saja ngebut melalui jalanan kecil dan tampak jarang dilalui hingga akhirnya ia berhenti di sebuah jalan buntu yang ujungnya berupa tebing karang menjulang.
“Oke kawan, kita keluar di sini,” Dima mematikan mesin van lalu keluar dengan menenteng senapan mesinnya. Weizmann pun turut keluar disusul Kaspar dan kelima orang lainnya.
“Di mana jalan masuknya Weizmann?” tanya Kaspar pada sang pengawal.
“Sebentar Tuan Meyer,” Weizmann tampak berjalan mendekati ujung tebing lalu berjalan mundur sekitar empat langkah sebelum menghentak-hentakkan kakinya pada sebuah bidang yang tertutup salju lalu berlutut di tempat itu dan menarik sesuatu seperti palka besi yang sudah berkarat dan akhirnya menoleh ke arah Kaspar dan Dima. “Jalan masuknya sudah terbuka.”
Dima menoleh ke arah Kaspar dan berujar, “Silakan anda duluan Tuan Meyer.”
Kaspar akhirnya turun lebih dulu ke dalam lubang itu. Di dalam lubang itu ternyata ada sebuah sistem lorong bawah tanah yang tampak sudah lama tidak terpakai. Sekali lagi ia berjumpa dengan hewan yang paling ia benci – tikus.
Tikus got, tikus besar, dan tikus mini? Bagus sekali. Ingatkan aku untuk rutin memanggil pembasmi tikus untuk rumahku ketika aku kembali ke sini Tier Eradixa, Lores te deri. Ujar Kaspar dalam batinnya.
Akan kami lakukan. Terdengar dua suara di kepala Kaspar.
“Ayo,” Weizmann menyalakan sebuah tiga buah dan memberikan dua di antaranya pada Kaspar dan Dima. Lima orang lainnya tampak berbagi dua lentera saja. Rombongan itu menerobos kegelapan lorong yang pengap dan berbau apak itu selama setidaknya selama dua puluh menit hingga akhirnya mereka menemukan sebuah tangga dan tutup palka tampak terlihat di atas kepala mereka.
“Di sini?” tanya Kaspar pada Weizmann dan Weizmann pun mengangguk.
“Aku akan periksa dulu,” Dima menyerahkan lenteranya pada satu kawannya lalu memanjat tangga dan membuka palka itu dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan suara decit.
“Aman!” ujar Dima sambil membuka palka itu sepenuhnya. Kaspar dan Weizmann pun segera naik ke tangga itu dan tiba di sebuah taman yang penuh dengan pohon pinus dan tengah tertutup salju. Dengan sebuah isyarat, Weizmann memecah tim menjadi dua. Ia dan Kaspar bersama dua orang lain akan menuju lantai atas sementara Dima dan tiga lainnya menjaga palka itu dari ancaman para penjaga.
Weizmann dan Kaspar mengendap diam-diam, menaiki anak-anak tangga dan secara perlahan membuka pintu ke dalam istana. Tampak dua penjaga berjaga di ujung lorong dan tengah berbincang-bincang. Weizmann melirik ke arah Kaspar dan Kaspar langsung mengerti apa yang harus ia lakukan. Ia mengeluarkan satu Rajatanya dan membidikkannya ke arah satu dari antara mereka.
Buat dia pingsan saja Lores te deri.
Oke Bos.
Rajata itu melesatkan satu spektrum cahaya kuning yang langsung menghantam tengkuk seorang prajurit hingga tak sadarkan diri. Kawannya baru saja hendak berteriak ketika sebuah spektrum cahaya serupa menghantam dahinya dan menghantarkannya ke alam mimpi.
“Pistol yang bagus, tapi katanya penuh kutukan,” komentar Weizmann.
“Kau mau coba pakai ini Weizmann?”
Weizmann menggeleng sambil terkekeh, “Tidak, aku tidak mau nasibku berakhir sebagai mayat berdaging hangus karena sudah menyentuh senjata terkutuk.”
Enak saja dia bilang kami senjata terkutuk! Rajata di tangan Kaspar merutuk.
Sudah, biarkan saja Lores te deri. Kaspar memasukkan kembali senjatanya ke kantung pistol di balik mantelnya.
Kedua pria itu kembali menaiki anak-anak tangga hingga akhirnya mencapai tingkat dua di mana tampak sekelompok prajurit telah berjaga dengan senapan teracung kepada mereka. Belum sempat Kaspar dan Weizmann bereaksi, para prajurit itu telah menarik pelatuk senapan mereka. Rentetan peluru segera berdesing ke arah Kaspar dan Weizmann, dan di saat genting seperti itu Kaspar malah bergeming di tempatnya dan mengulurkan tangan kanannya seolah hendak menghadang peluru-peluru itu. Sebuah tabir beraliran listrik muncul di hadapannya dan peluru-peluru itu pun berlumeran menjadi logam cair yang menetes ke karpet merah di bawahnya.
Melihat serangan senapan mereka tidak berhasil, para prajurit itu segera mencabut pisau dari pinggang mereka dan segera menghambur ke arah Kaspar dan Weizmann. Weizmann menarik sebilah belati yang sedari tadi terselip di pinggangnya dan menghujamkannya pada leher salah satu penyerang. Seorang prajurit lain berusaha menusuk matanya namun pengawal itu dengan sigap melayangan tendangan setengah lingkaran pada penyerangnya. Begitu prajurit itu rubuh Weizmann segera menghujamkan belati itu ke leher sang prajurit. Sementara Kaspar yang mulanya dikepung oleh enam prajurit bersenjatakan pisau tampak tenang-tenang saja dan bergeming di tempatnya. Enam prajurit itu berusaha menusuknya namun sebuah medan energi tak kasat mata melindungi Kaspar dari tusukan itu. Alih-alih berhasil melukai Sang Contra Mundi, dengan satu tepukan tangan, keenam prajurit itu tersambar oleh kilatan petir yang keluar dari tangan Kaspar. lainnya sudah terhempas ke dinding dengan tubuh hangus terbakar.
“Ada yang sudah tahu jika kita masuk ke sini,” ujar Weizmann sembari mencabut belatinya.
“Tapi siapa?” Kaspar balik bertanya.
“Apa mereka punya peramal di sini?”
“Bisa jadi,” Kaspar kembali mengeluarkan pistol kembarnya dan menentangnya sambil berjalan.
“Kamar Tuan Putri ada di ujung lorong ini. Sepertinya kita harus bersiap untuk bertarung lagi.”
“Kau bawa senjata api Weizmann?”
“Bawa,” Weizmann mengeluarkan sepucuk pistol kaliber 9 mm dari balik mantelnya.
“Oke, lebih baik siapkan mulai sekarang,” Kaspar berjalan mendahului Weizmann menuju ruangan di ujung lorong lalu dirinya tiba-tiba berhenti.
“Ada apa Tuan Meyer?” tanya Weizmann.
Alih-alih menjawab pertanyaan Weizmann, Kaspar malah berseru lantang, “Iblis! Keluar kalian!”
Sekumpulan bayangan hitam muncul dari balik pintu, jeruji lubang udara, sela-sela dinding yang sedikit retak, sela-sela plafon, dan dari balik lampu hias lalu berkumpul di hadapan Kaspar dan mewujudkan diri sebagai sosok-sosok manusia.
“Contra Mundi,” mulut para iblis itu mengeluarkan suara mendesis parau namun bernada mengancam pada Kaspar.
“Aku berikan kalian peringatan terakhir Iblis, menyingkir dari hadapanku sekarang juga atau kalian musnah!”
“Kami tidak mengenal kata mundur Contra Mundi,” para iblis itu mulai membentuk senjata-senjata dari sekumpulan bayangan hitam yang muncul di atas mereka, “Karena mundur berarti kami mati.”
Sekumpulan iblis itu langsung menyerbu Kaspar. Contra Mundi itu menembak jatuh dua penyerangnya namun satu iblis sukses menghantamkan palu godam ke kepalanya. Kaspar terhuyung dan iblis berpalu godam itu segera menghantam dahinya kembali. Kaspar tersuruk di lantai dan saat itulah Weizmann sebuah bom ke arah iblis itu. Iblis berpalu godam itu hancur menjadi serpihan namun lima sosok iblis lainnya langsung menatap Weizmann dengan tatapan menyala merah.
“Ebed! Bunuh pria itu!” satu dari mereka mengacungkan senjatanya ke arah Weizmann dan satu iblis segera mengayunkan kapak bermata dua ke arah Weizmann. Weizmann berkelit dari serangan itu. Namun sosok iblis itu tiba-tiba berteleportasi tepat di sampingnya. Weizmann langsung bereaksi dengan menembak kepala iblis itu. Namun ternyata iblis itu hanya bergeming ketika peluru menembus kepalanya.
Kaspar sendiri langsung berguling dan langsung membidikkan Rajatanya yang masih ada di genggamannya kepada dua sosok iblis. Satu sosok iblis berhasil hancur sementara satu lainnya berkelit. Dua temannya langsung menembakkan segumpal energi hitam ke arah Kaspar. Kaspar bereaksi dengan membentuk perisai halilintarnya lagi. Gumpalan hitam itu langsung lumer menjadi cairan hitam berbau busuk yang membasahi lantai.
Sesaat kemudian Kaspar menghentakkan tangannya ke perisai halilintar itu dan perisai itu pun pecah dan menimbulkan kilatan halilintar yang menyambar tiga sosok iblis – termasuk satu iblis yang bergelut dengan Weizmann. Dua sosok iblis yang masih tersisa terdengar meraung marah dan dengan kecepatan di luar nalar manusia berlari dan menghantam Kaspar tepat di dagunya lalu melayangkan pukulan-pukulan ke wajah pemuda berkacamata itu.
Kaspar yang dihantam gelombang rasa sakit beruntun itu segera melepaskan kembali sejumlah besar energi halilintar yang melontarkan dua iblis itu dari dirinya. Lalu dengan wajah lebam ia menembak hancur satu sosok iblis. Satu yang tersisa meraung keras lalu mengubah dirinya menjadi sosok bayangan yang langsung memasuki sebuah retakan di dinding.
“Tuan Meyer,” Weizmann menghampiri Kaspar dengan ekspresi khawatir.
“Aku tidak apa-apa. Lekas!” Kaspar bangkit berdiri lalu memungut satu pistolnya yang sempat terlempar tadi dan berjalan menuju ujung lorong.
Belum sempat tangan Kaspar dan Weizmann menyentuh kenop pintu ruangan itu. Pintu ruangan itu terbuka dengan sendirinya dan menampilkan sosok seorang gadis berambut coklat dalam balutan mantel hitam tampak melayang-layang di udara dengan posisi terikat tangan dan kakinya serta mulut yang dibekap. Di sana tampak sosok dua orang pria. Yang satu adalah Chayim dan satu lagi adalah sosok yang Kaspar sangat tidak harapkan ia lihat di saat-saat macam ini.
“Matthayas! Kenapa?” pekik Kaspar histeris menyaksikan sosok Sang Kaisar Muda tengah berdiri berdampingan bersama Chayim.
“Negeri ini akan runtuh tanpa bantuan Chayim, Kaspar. Aku hanya berusaha menjaga sejarah negeri ini terus berjalan. Tidak diruntuhkan oleh ulah konyol sekelompok orang yang sok merasa tahu bahwa apa yang mereka perjuangkan itu benar,” jawab Matthayas datar.
“Itu benar Kaspar,” Chayim menyahut, “Coba lihat saja apa jadinya negeri ini tanpa diriku? Kekacauan di mana-mana, pemberontakan meluas, sosok Kekaisaran tak lagi dihormati. Bandingkan dengan saat-saat di mana aku dan Kaisar negeri ini masih memegang tampuk kuasa bersama-sama. Negeri ini aman terkendali, kehidupan penduduk terjamin dan ... ,” kata-kata Chayim langsung diputus oleh Kaspar.
“Pendusta! Kau pintar bermulut manis, Iblis. Terkutuklah kau karena pernah diciptakan!”
“Kaspar,” Chayim mengulum senyum lebar, “Coba jawab : siapa yang menciptakan aku? Tuhan bukan? Tuhan yang disembah segenap manusia negeri ini. Ia menciptakan aku, ia memberi aku kebebasan, ia memberi kalian kebebasan. Itu sebabnya atas nama kebebasan tidak ada salahnya terjalin hubungan antara manusia dan iblis.”
Mata Kaspar berpaling pada Matthayas, “Matthayas, kumohon hentikan. Putuskan ikatan dan kontrak dengan Iblis ini dan lepaskan Putri Sofia.”
“Tidak Kaspar,” Matthayas menggeleng lemah, “Kau tidak tahu betapa berat beban yang harus aku tanggung sendirian jika aku melepaskan ikatan dengan Chayim.”
“Matthayas! Iblis itu hanya akan membawa kehancuran!”
“Diam kau Kaspar!” suara Matthayas meninggi, “Kau bukan kaisar, kau tidak pernah menjadi kaisar! Jangan kira aku melakukan ini tanpa pertimbangan yang panjang!”
“Kalau begitu setidaknya lepaskanlah Tuan Putri, Paduka,” pinta Weizmann.
“Dan membiarkan gadis ini merongrong kekuasaanku? Tidak! Tidak akan! Chayim, bunuh dia!”
“Tidak!” Kaspar memekik dan melepaskan tembakan ke arah Chayim sementara Weizmann berusaha untuk menggapai Sang Putri. Sekali lagi Chayim menepis serangan Kaspar dengan enteng dan mendorong Kaspar dan Weizmann dengan energi telekinesisnya ke dinding.
“Tidak!” Kaspar mendelik ngeri ketika perlahan namun pasti sosok gadis yang melayang itu diselimuti oleh kobaran api. Namun beberapa saat kemudian matanya tiba-tiba silau oleh ledakan cahaya yang memenuhi ruangan itu. Lalu sebuah suara seorang wanita terdengar, “Pegang darahnya.”
Tangan Kaspar merasakan aliran darah mengalir membasahi tangannya. Ia langsung menempelkan kedua tangannya yang masih memegang senjata ke aliran darah itu dan beberapa detik kemudian ia tiba-tiba sudah berada di sebuah tanah lapang yang tertutup salju. Tampak seorang wanita muda dengan rambut merah terkuncir rapi berdiri dengan gemetar dengan sebuah luka terbuka di tangannya. Sosok wanita itu kemudian roboh ke tanah bersalju beberapa detik kemudian. Kaspar langsung menghampiri wanita itu dan ketika memegang tubuh wanita itu ia merasakan kulit wanita itu panas. Wanita itu mengalami demam tinggi seperti Damian.
“Tanya?” Kaspar memanggil nama wanita itu.
“Maga Kaspar,” wanita itu berujar lirih, “Untuk selanjutnya kuserahkan perlindungan Tuan Putri padamu lalu tangannya terkulai lemas tak berdaya. Jiwanya meninggalkan tubuhnya.
Sementara itu Weizmann tengah sibuk memotong tali-temali yang mengikat tubuh Sang Putri yang juga terkirim ke tempat ini. Begitu tangan dan kakinya bebas ia segera membuka lakban yang membekap mulutnya lalu berlari ke arah Kaspar yang masih memegangi jasad Tanya.
“Tanya!” begitu Sofia berseru.
“Maaf Tuan Putri,” Kaspar meletakkan jasad Tanya di tanah bersalju lalu menyilangkan kedua tangan wanita muda itu di depan dadanya, “Jiwanya sudah meninggalkan raganya.”
Sofia tampak langsung terjatuh lemas ke tanah bersalju. Ada tetes air mata menggenang di pelupuk matanya. Weizmann langsung menghampirinya dan menenanggakn Tuan Putrinya yang menangis sesenggukan.
“Weizmann, bagaimana dengan Dima dan timnya?”
“Ah,” Weizmann langsung merogoh saku mantelnya dan mengambil sebuah ponsel – dengan chasing tebal berwarna hitam – lalu menghubungi sebuah nomor yang tampaknya adalah nomor ponsel Dima.
“Dima!” ujar Weizmann begitu nomornya sudah tersambung.
“Weizmann ..., apa Tuan Putri selamat?” jawab Dima lirih dari seberang sana.
“Ya.”
“Baguslah, sebab sekarang ... perjalanan kami hanya bisa sampai di sini,” suara Dima tidak terdengar lagi dan malah digantikan dengan suara seorang pria – Chayim.
“Halo Weizmann, apa Kaspar ada bersamamu?” tanya Chayim dari seberang sana.
Darah Weizmann terasa membeku sementara Kaspar yang langsung sadar bahwa Chayim-lah yang tengah bicara langsung merebut ponsel itu dari tangan Weizmann dan menghancurkannya.
“Tidak aman lagi menggunakan ponsel ini,” ujar Kaspar lirih.
“Aku setuju Tuan Meyer,” jawab Weizmann.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top