BAB VI : SEBUAH PESTA

Alam Semesta Versigi, Jakarta, Ibukota Republik Indonesia Serikat.

Di depan sebuah rumah mewah berdinding putih, berlantai empat, serta diterangi temaram lampu-lampu berwarna kuning tengah diadakan sebuah pesta kebun. Tamu-tamu mulai berdatangan, turun dari mobil-mobil mahal nan mentereng.

Di atas dahan sebuah pohon trembesi yang rimbun tampak Sanjaya mengamati hiruk-pikuk pesta itu melalui sebuah binokular. Sanjaya bersiul ketika melihat deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran parkir rumah itu, “Mobilnya bagus-bagus. Pasti buatan luar negeri.”

“Dan pasti harganya milyaran rupiah,” sambung Nandi yang bertengger di dahan lain di pohon yang sama.

“Para pencoleng berdasi dan bergaun satin,” Sanjaya geleng-geleng kepala, “Aku jadi tidak heran kenapa Calya dan Agara memilih negeri ini sebagai basis operasi mereka. Sekumpulan bedebah menguasai negeri ini.”

Nandi melirik ke arah Sanjaya sesaat dengan tatapan ngeri, “Kak, tolong kau jangan buat sungai darah di tempat ini. Setidaknya ... jangan sekarang.”

“Oke, oke,” Sanjaya melirik santai ke arah Nandi lalu mengamat-amati adiknya itu dari ujung rambut sampai ujung kaki untuk beberapa saat.

“Kenapa?” tanya Nandi heran.

“Kau pernah menyamar jadi Patriakh waktu melawan Agara,” Sanjaya memijit-mijit dagunya, “dan postur para pelayan di sini tidak jauh beda dengan kita. Kau bisa bawa nampan berisi 10 gelas minuman Nandi?”

“Bisa.”

“Dengan satu tangan.”

“Kurasa bisa.”

“Baiklah, ayo turun,” Sanjaya melayang turun dari pohon itu dengan diikuti oleh Nandi. Kedua pemuda itu berjalan menuju area pesta di mana tampak beberapa orang dari pelayan katering menurunkan sejumlah piring dan perlengkapan memasak dari sebuah mobil box. Sanjaya dan Nandi memberi salam dan melintasi mereka tanpa dicurigai hingga akhirnya Nandi melihat sekumpulan orang berjas dengan mikrofon terpasang di telinga mereka tampak mondar-mandir di sekeliling area pesta.

“Pengawal,” bisik Nandi pada Sanjaya. Sementara Sanjaya melirik ke arah empat orang pegawai katering berseragam hijau itu selama beberapa saat sebelum akhirnya merogoh sesuatu dari tas pinggangnya dan memberikan pada Nandi sebuah bola plastik berwarna ungu.

“Lemparkan pada mereka tapi pastikan tidak ada piring yang jatuh saat kau melakukannya. Bisa?”

“Kau saja yang lempar Kak, aku akan tahan piringnya.”

“Baiklah.”

Sanjaya dan Nandi kembali ke tempat di mana empat pegawai tadi masih sibuk membongkar piring dan gelas dari mobil box.

“Lho tidak masuk Mas?” tanya seorang dari mereka kepada Nandi.

“Ah nanti saja Mas. Pestanya juga belum mulai,” jawab Nandi sekenanya sembari melirik ke arah Sanjaya yang sudah berdiri di belakang seorang pegawai katering. Sanjaya mengedipkan sebelah matanya dan melemparkan bola ungu itu ke tengah-tengah mereka semua. Nandi segera sigap menutup hidungnya dengan sehelai serbet yang ia ambil dari atas piring sementara bola itu mulai mengeluarkan asap putih tebal yang membuat para pegawai katering itu limbung dan perlahan-lahan roboh ke tanah tak sadarkan diri. Piring-piring dan gelas-gelas yang mereka bawa berjatuhan ke tanah tapi dengan sekali hentakan kaki sebuah matras pasir yang lembut menghalangi benda-benda itu terantuk ke atas tanah keras.

“Yah, sempurna,” Sanjaya memanggul dua pegawai yang tak sadarkan diri itu dan menempatkan mereka ke dalam sebuah gudang. Nandi melakukan hal yang serupa, menggotong dua pria lainnya dan menyandarkan mereka ke dinding gudang.

“Ambil seragam mereka Nandi, lalu ...,” sebuah sulur-sulur cahaya keluar dari tangan Sanjaya dan membentuk sebuah tambang berwarna kuning emas, “ikat mereka dengan ini.”

“Baik,” Nandi mengambil tambang itu dan mulai melucuti seragam para pria yang tak sadarkan diri itu.

*****

Sanjaya dan Nandi dalam balutan seragam hijau katering yang bertanggungjawab melayani pesta ini tampak melangkah memasuki areal pesta yang telah dipenuhi orang-orang dari berbagai kalangan. Sanjaya menatap sinis ke arah beberapa orang yang ia kenali di kehidupannya yang dahulu : mereka yang ia kenali sebagai penjilat, penipu, pencuri uang negara, pemerkosa, perambok namun terlindung di balik kuasa dan kekayaan yang mereka miliki. Sementara Nandi menatap miris ke arah orang-orang yang ia kenal sebagai sekumpulan selebritis, orang-orang yang merasa dirinya adalah pusat semesta, yang paling penting, paling berjasa, dan paling layak dipuja. Para wanitanya bersolek sedemikian rupa dengan gincu dan bedak tebal sehingga bukan kesan anggun yang mereka pancarkan melainkan kesan sebagai wanita genit. Para prianya banyak yang bertubuh tambun dengan celana yang sudah mulai sempit namun dengan akal-akalan mengencangkan ikat pinggang, mereka sukses membuat celana yang sudah sempit pas di pinggang mereka.

Aroma kebohongan, kesombongan, ketamakan, dan nafsu menguar kuat di sini. Sebagai sosok yang bukan lagi hitungan seorang manusia Nandi secara tiba-tiba merasakan ada dorongan kuat dalam dirinya untuk menghancurkan tempat ini. Sesuatu yang aneh, karena rasa marah ini datang secara tiba-tiba. Namun setelah menghela nafas panjang beberapa saat Nandi berhasil menghilangkan rasa amarah itu.

“Oi kalian berdua!” seorang pria berkacamata tampak memanggil Sanjaya dan Nandi, “tolong bawakan hidangan ini ke areal timur.”

Ada dua buah nampan terhampar di hadapan Nandi dan Sanjaya. Keduanya berisikan setidaknya dua puluh gelas minuman soda dingin. Sanjaya langsung mengangkat satu nampan dan menyangganya hanya dengan satu tanga kanannya sementara Nandi agak kesulitan mengangkat nampan itu. Nandi berpikir bahwa ia harus gunakan kekuatannya untuk membantunya meminimalisir resiko minuman-minuman ini tumpah, tapi memunculkan matras pasir portabel tampaknya bukan opsi yang bagus di tengah keramaian ini. Akhirnya dengan terpaksa Nandi membawa nampan itu dengan dua tangannya sebelum seorang pegawai katering menegurya.

“Oi! Anak baru! Jangan dibawa dua tangan! Ini pesta elit!” ia berbisik di telinga Nandi.

“Saya tidak bisa bawa satu tangan kalau gelasnya sebanyak ini Mas.”

“Duh! Kamu sudah diajari di training harusnya bisa lah. Gini,” pria itu mengambil alih nampan dari tangan Nandi, “kuncinya di posisi siku dan lengan atas. Harus membentuk sudut 900.  Pastikan nampan selalu mendatar, jangan miring! Sudah, kamu bawa nampan ini sana.”

Nandi menerima nampan itu dengan kikuk dan sebisa mungkin ia berusaha melakukan hal yang diajarkan ‘koleganya’ tadi. Setelah melalui sekumpulan pejabat-pejabat tinggi yang tengah mengobrol, sekumpulan ibu-ibu yang tengah bergosip, dan sejumlah anak-anak yang berlarian dan nyaris membuatnya hilang keseimbangan, Nandi akhirnya tiba di areal timur. Di sana ia melihat Sanjaya tengah menyuguhkan minuman kepada sejumlah tamu. Entah karena udara panas atau mereka memang sedang haus, atau karena hal lain minuman di nampan Sanjaya sudah ludes. Anehnya kebanyakan yang mengambil minuman di nampan Sanjaya adalah gadis-gadis muda dengan tatapan angkuh nan merendahkan.

Sanjaya undur diri setelah gelas di nampannya habis, tapi sekumpulan gadis muda bersikeras mengajaknya duduk dan mengobrol. Tapi Sanjaya segera berlalu dan begitu Sanjaya berlalu giliran Nandi – yang baru saja datang – dikerumuni oleh sejumlah ibu-ibu berusia paruh baya yang wajahnya sudah berhias kerut namun matanya masih memancarkan gairah yang berapi-api.

Apes! Nandi menggerutu. Kak Sanjaya hoki banget dikerumuni gadis-gadis muda, nah aku? Ibu-ibu!

“Hei Mas,” salah satu ibu itu melirik genit ke arah Nandi, “umurnya berapa?”

“Dua puluh Bu,” jawab Nandi sesopan mungkin.

“Kuliah?”

“Oh tidak Bu. Saya tidak kuliah.”

“Sudah berapa tahun kerja di katering ini?”

“Baru setahun Bu.”

“Eh Mas,” kali ini seorang wanita bergaun biru mendekat ke arah Nandi dan mengambil segelas soda dingin, dibandingkan wanita lainnya sosok wanita satu ini tampak lebih muda dan lebih anggun. Kerut memang mulai menghiasi wajahnya namun ada kesan anggun yang tetap melekat pada dirinya, “Tolong nanti bawakan satu nampan lagi ke sana ya?” wanita itu menunjuk ke arah sebuah gazebo.

“Baik Bu,” Nandi yang melihat bahwa isi nampannya sudah habis segera pamit undur diri. Ia baru saja bermaksud mencari Sanjaya ketika tiba-tiba benggala yang ia kalungkan bergetar.

Nandi. Terdengar suara Sanjaya dari dalam benggala. Layani tante yang pesan satu nampan itu lalu kalau kau diajak masuk ke dalam rumah itu uruti saja. Oke?

“Oke.”

******

Nandi yang baru saja mengisi ulang nampannya dengan dua puluh gelas minuman berjalan kembali menuju gazebo yang tadi ditunjuk sang wanita bergaun biru ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang. Nyaris saja ia tumpahkan seluruh minuman di nampan itu kalau saja orang yang menepuk bahunya tadi tidak membantu menyangga nampannya.

“Hati-hati dong,” ujar orang itu yang ternyata adalah Sanjaya.

“Uh, eh. Terima kasih.”

“Sudahlah ayo,” Sanjaya berjalan mendahului Nandi menuju gazebo.

Di gazebo yang mereka tuju tampak sudah banyak orang berkumpul di sana. Semuanya adalah ibu-ibu berpakaian mentereng dan bertautkan aneka perhiasan. Si wanita bergaun biru itu tampak duduk di sebuah bangku dan tengah menyesap segelas minuman. Tapi begitu melihat kedatangan Nandi dan Sanjaya ia meletakkan minuman itu dan tersenyum ke arah dua pelayan tersebut.

“Permisi Nyonya,” Sanjaya membungkuk hormat lalu mendekatkan nampan ke atas meja dan meletakkan gelas-gelas itu di atas meja. Nandi melakukan hal serupa dan berencana segera angkat kaki dari situ untuk mencari jalan masuk ke dalam rumah. Tapi Sanjaya menahannya.

“Jangan pergi dulu,” bisik Sanjaya.

“Kenapa?” tanya Nandi.

“Lihat saja.”

Mata para wanita di seluruh gazebo itu tiba-tiba tertuju pada Nandi dan Sanjaya. Sanjaya mengulum senyum ramah kepada segenap wanita-wanita itu sementara Nandi merasakan kegugupan yang luar biasa dan entah kenapa rasa marah dalam hatinya tiba-tiba membuncah kembali.

“Mas,” wanita bergaun biru itu tiba-tiba bangkit dari duduknya diikuti oleh seorang wanita lain yang mengenakan gaun ungu, “bisa ikut kami sebentar?”

“Um maaf sekali Nyonya, kami masih harus bertugas,” balas Sanjaya sopan.

“Sebentar saja kok Mas,” bujuk sang wanita bergaun ungu dengan nada manja.

“Oh baiklah Nyonya,” Sanjaya beranjak mendekat ke arah dua wanita itu tapi Nandi tetap berdiri di tempatnya.

“Mas yang babyface itu ikut juga dong,” wanita bergaun ungu itu menunjuk ke arah Nandi.

“Euh, eh,” Nandi menjadi semakin gugup.

“Ayo Dik, ikut saja,” ajak Sanjaya.

Wanita bergaun biru itu berjalan mendahului Sanjaya dan Nandi menuju beranda rumah mewah tersebut. Di dalam perjalanan ia sempat berpaling dan mengajukan pertanyaan basa-basi, “Mas yang itu adiknya Mas yang ini ya?” tanyanya pada Nandi.

“Uh iya Bu,” jawab Nandi.

“Datang dari mana Mas?” tanya sang wanita bergaun ungu.

“Sidoarjo Bu,” jawab Sanjaya.

Sementara mereka bicara tampak sang wanita bergaun biru itu sudah membukakan pintu bagi mereka, “Ayo masuk Mas.”

Begitu Sanjaya dan Nandi masuk ke dalam rumah itu sang wanita bergaun ungu langsung merangkul tangan Sanjaya dan mengajaknya memasuki sebuah kamar. Nandi terbengong-bengong melihat Sanjaya tidak melawan, tapi sepintas ia melihat kakaknya itu membuat isyarat telapak tangan terkepal. Sebuah isyarat pada Nandi untuk menuruti kemauan dua wanita penuh nafsu ini sesaat sebelum membuat mereka tak sadarkan diri.

Belum selesai Nandi terperangah, wanita bergaun biru itu sudah menyeretnya masuk ke sebuah kamar dan di sana wanita itu langsung menghimpit Nandi ke sebuah tembok dan tanpa terduga mencium pemuda itu. Pemuda itu gelagapan, ia tidak siap dengan semua ini. Ciumaan wanita itu juga terasa menyakitkan untuknya. Buas, kasar, dan penuh nafsu.

“Kenapa Mas? Baru pertama kalinya?” wanita itu menghentikan ciumannya ketika menyadari Nandi sama sekali tidak bereaksi.

“Ah,” Nandi tak bisa menjawab. Tiba-tiba saja kepalanya dipenuhi aneka gambaran tentang masa lalu wanita itu. Nandi melihat saat-saat sang wanita bercumbu dengan banyak pemuda seusia dirinya, ia melihat bagaimana sang wanita telah menendang dan menginjak-injak beberapa wanita lain yang tampaknya adalah pembantunya, ia melihat pandangan angkuhnya ketika menyaksikan orang-orang yang derajatnya ada di bawahnya. Ia melihat saat-saat di mana wanita itu memborong sejumlah besar perhiasan, saat wanita itu membuka sebuah konferensi lingkungan hidup tapi di waktu yang lain ia membujuk beberapa pejabat berseragam departemen kehutanan untuk menyetujui pengolahan sebuah cagar alam. Terakhir ia melihat wanita itu dalam sebuah upacara pernikahan, mengikat hubungan suami-istri dengan salah satu sosok yang ia kenali sebagai Tuan dari Calya : Bayu.

Tiba-tiba saja Nandi merasakan kembali amarah itu. Namun kali ini amarahnya semakin memuncak karena ada suara-suara yang terdengar dari mulut-mulut segenap hewan yang ia lihat.

Kami memohon pada Dewata.

Hancurkan manusia-manusia serakah yang telah menghancurkan rumah kami

Yang telah membunuh anak-anak kami

Yang telah meracuni  danau dan sungai tempat kami minum

Yang dengan angkuhnya memperbudak kami dalam sangkar

Seolah mereka berhak atas setiap genggam tanah di muka bumi.

“Kenapa Mas?” tanya wanita itu yang heran melihat Nandi memegangi kepalanya.

Nandi tidak langsung menjawabnya, alih-alih ia mencengkeram leher sang wanita dan mendorongnya ke sebuah dinding dengan mata yang telah berubah warna menjadi sekelam malam.

“Kau wanita sundal – jalang yang menikahi seorang abdi iblis, merampok rumah-rumah para hewan, meracuni sungai sumber kehidupan, yang memperbudak sesamamu manusia, dan membunuh orang-orang yang tak berpunya sebaiknya mati saja!”

Cengkeraman di leher wanita itu semakin menguat. Mata wanita itu melotot dan mulutnya mengeluarkan suara-suara berdeguk selama beberapa saat sebelum akhirnya seluruh tubuh wanita itu terkulai lemas dan akhirnya merosot jatuh ke lantai sesaat setelah Nandi melonggarkan cengkeramannya.

Terdengar suara pintu kamar dibuka dan Sanjaya masuk ke dalamnya. Tapi betapa terkejutnya Sanjaya ketika menyaksikan sesosok tubuh terkulai di lantai. Cepat-cepat ia beranjak mendekati tubuh sang wanita bergaun biru. Ditempelkannya jarinya di leher sang wanita namun ia tak lagi merasakan denyut kehidupan di raga wanita itu.

“Ya ampun. Nandi, kau membunuhnya!” Sanjaya terperangah mengetahui adiknya bisa bertindak kejam seperti itu, namun Nandi tidak menanggapi perkataan Sanjaya.

“Nandi?” Sanjaya menoleh ke arah Nandi yang masih berdiri mematung dengan mata sehitam malam, “Nandi?” kali ini Sanjaya mulai mengguncang-guncangkan tubuh Nandi. Beberapa detik kemudian iris mata Nandi kembali normal.

“Kak Sanjaya?” dahi Nandi berkerut, “Ada apa?”

“Ada apa? Justru aku yang hendak bertanya demikian. Kau baru saja membunuh wanita ini,” Sanjaya menunjuk jasad sang wanita bergaun biru itu, “Ada apa denganmu Nandi?”

“A-aku tidak tahu. Aku hanya merasa ... marah.”

“Marah?” dahi Sanjaya berkerut, teringat kembali bahwa pada saat-saat tertentu adiknya ini memang tampak dikuasai sesuatu yang lain, sesuatu yang mengubah seluruh kepribadiannya dari seorang pribadi yang tenah dan lemah lembut menjadi sosok penuh amarah.

“Ah sudahlah,” Sanjaya menundukkan kepalanya, “yang penting sekarang kita harus mendapatkan relik ini dulu,” Sanjaya merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah ponsel lalu menunjukkan foto dua keping batu berukir yang harus mereka cari.

“Ayo,” Nandi menjawab lemah, mengiyakan ajakan Sanjaya lalu bersama-sama kakaknya keluar dari kamar itu.

*****

Di lantai empat rumah mewah yang nyaris menyerupai istana itu terdapat sebuah aula besar yang digelari karpet coklat bermotif burung, singa, kijang, dan aneka hewan di dalam hutan. Dinding-dindingnya dibuat dengan meniru gaya arsitektur Romawi kuno, lengkap dengan pilar-pilar marmer yang berkilau ketika diterpa cahaya lampu yang berwarna kekuningan.

Kotak-kotak kaca tampak berderet di seluruh aula. Isinya bermacam-macam, mulai dari mahkota berbahan dasar emas dan bertatahkan permata dari Kepulauan Maluku, bilah-bilah senjata seperti keris dan mandau, patung giok, patung emas, kitab-kitab kuno bersampul kulit, dan banyak lagi.

“Harusnya benda-benda macam ini ada di museum,” ujar Nandi.

“Tapi tampaknya mereka lebih suka menyimpannya di sini. Untuk sebuah gengsi tersendiri nampaknya.”

“Menjijikkan.”

“Tapi setidaknya kita jadi tidak perlu mencuri harta milik negara.”

“Betul juga.”

“Hei Nandi,” Sanjaya menolehkan kepala ke arah Nandi dengan tatapan serius.

“Apa?”

“Kalau kau marah seperti itu lagi dan kita tengah berada di rumah ini, jangan sampai kau turut hancurkan ruangan ini. Mengerti?”

“Akan kuusahakan, tapi aku tak bisa janji.”

“Oke, kembali ke masalah kita,” Sanjaya mengamat-amati kembali foto di ponselnya, “di mana sebenarnya mereka letakkan kepingan ini?”

Nandi tampak masih mengamat-amati kotak-kotak kaca itu satu demi satu sampai akhirnya ia menemukan satu kotak kaca yang berisikan dua keping batu berukir.

“Mungkin yang ini?” Nandi melambaikan tangannya untuk memanggil Sanjaya. Sanjaya sendiri langsung menghampiri Nandi dan melihat dua keping yang ia cari memang telah ditemukan Nandi.

“Oke, sekarang bagaimana?” tanya Nandi pada Sanjaya, berpikir bahwa kakaknya itu pasti akan mengecek sistem pengamanannya supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Di luar dugaannya, Sanjaya malah memukul kotak kaca itu hingga pecah lalu mengambil dua kepingan batu itu. Suara alarm langsung membahana ke setiap sudut rumah.

“Buka portal ke Gambir, Nandi,” perintah Sanjaya

Nandi buru-buru membuka portal dimensi dan masuk ke dalamnya bersama Sanjaya. Portal itu membawa mereka keluar ke tempar parkir lokomotif di Stasiun Gambir.

“Wew, itu nyaris,” Sanjaya menghela nafas lega.

“Iya, nyaris!” nafas Nandi memburu tidak beraturan, butir-butir keringat menetes dari dahinya.

“Kenapa Nandi?” Sanjaya melirik khawatir melihat nafas adiknya tiba-tiba menjadi tidak beraturan.

“Tidak kok, hanya ... ah tampaknya sesuatu telah menguras energiku.”

Sanjaya langsung melirik ke arah arlojinya, masih ada satu jam sebelum tengah malam. Karena itu ia segera mengajak adiknya untuk mengambil barang di loker penitipan.

*****

Di loker penitipan seorang petugas menyerahkan dua travel bag kepada Sanjaya dan Nandi. Sanjaya mengucapkan terima kasih dan menyodorkan sebuah amplop kepada petugas itu. Petugas itu menerimanya dan langsung mengantonginya sementara Sanjaya dan Nandi berjalan keluar dari stasiun menuju sebuah sudut gelap dan sepi. Di sana Sanjaya membuka sebuah portal dan dua orang itu langsung masuk ke dalamnya.

Alam Semesta Persada

Nandi dan Sanjaya keluar tepat di sebuah ruangan di mana Pertiwi tampak tengah menyulam sebuah kain panjang.

“Oh, kalian kembali,” Pertiwi tersenyum menyambut mereka.

“Iya Ibu,” jawab Nandi.

“Kau tampak lelah Nandi, istirahatlah dulu.”

“Baik Ibu, terima kasih,” Nandi beranjak pergi menuju sebuah kamar yang dahuku sengaja diperuntukkan untuknya ketika pertama kali ia tiba di sini.

Di sisi lain Sanjaya tampak menarik sebuah kursi bundar yang terbuat dari batu marmer dan duduk di atasnya sembari melirik tajam ke arah Pertiwi.

“Ada apa Dyaus Pita?” tanya Pertiwi tenang.

“Kami tadi mampir ke sebuah pesta, mengambil ini,” Sanjaya mengeluarkan dua keping batu itu dan meletakkannya di hadapan Pertiwi.

“Ah, keping menuju Istana para Prajapati. Kau sudah tahu di mana letaknya Dyaus Pita?”

“Sudah, dalam seminggu ke depan kami pasti sudah ada di sana tapi ... .”

“Ada apa Dyaus Pita?”

“Ada sesuatu yang menggangguku.”

“Soal?”

“Nandi.”

“Kenapa?”

“Kau ibunya Pertiwi, kau pasti tahu ada sesuatu yang ‘salah’ pada dirinya.”

“Tidak ada yang salah pada diri Nandi.”

“Tidak, aku merasa ada yang salah.”

“Apa hal dalam diri Nandi yang menurutmu salah?”

“Dia ... kadang-kadang dia ... dikuasai sesuatu yang lain. Ia bilang dirinya marah dan pada saat ia dikuasi amarah tiba-tiba saja ia bisa berubah dari sosok yang pengasih dan lemah-lembut menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Ada apa sebenarnya dengan Nandi?”

“Kau mau dengar kebenarannya Dyaus Pita?”

“Tentu.”

“Apa kau siap melakukan apapun yang kau anggap benar setelah mengetahui kebenarannya?”

“Tentu saja.”

“Apakah kau yang mewarisi kekuatan Dyaus Pita dari masa lalu, suamiku dari masa lalu, bersedia menjaga dan melindunginya baik ia sebagai Nandi yang adalah adikmu atau sebagai Rancasan yang adalah anakmu?”

“Ya.”

“Kalau begitu dengarkan penuturanku Dyaus Pita.”

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top