BAB V : CHAYIM
Alam Semesta Kasha, Kota Anthokat, Kekaisaran Russaya
Taksi yang membawa Kaspar dan Damian telah berhenti di sebuah rumah berdinding batu warna coklat kelabu. Kaspar turun lebih dahulu kemudian mendudukkan Damian ke kursi rodanya dan mendorongnya masuk ke dalam rumah.
“Segalanya masih sama seperti dulu Kaspar, aku tidak banyak merubah susunannya,” ujar Damian ketika membuka pintu rumah.
“Aku yakin tidak, dan sebaiknya memang tidak,” jawab Kaspar datar.
Kedua saudara kembar itu memasuki rumah itu. Damian memutar roda kursinya dan menyalakan saklar lampu. Tampak berjilid-jilid buku tebal tersusun menjulang dan memenuhi lantai rumah. Terdapat sebuah altar di ruang tengah, altar dengan dua lilin mengapit sebuah lembaran kulit lembu yang berlukiskan coret-coretan serupa gambar anak kecil namun dengan pola yang lebih rumit.
“Altar Tengri tetap kubiarkan seperti itu walau aku tidak pernah memakainya.”
“Kau tidak pernah berdoa pada Tengri?”
Damian menyeringai, “Kaspar, sesuatu yang kupelajari selama bertahun-tahun terlebih setelah aku menjadi Contra Mundi untuk sesaat itu adalah : Ia yang kita sebut Sang Pencipta, Tuhan, atau Yang Maha Kuasa tidaklah pengasih. Ia mungkin menciptakan manusia berabad-abad yang lalu sebagai bahan eksperimen atau hiburan dalam mengatasi kejenuhan, kemudian meninggalkan manusia yang mungkin ia rasa mulai membuatnya sakit kepala. Tuhan macam apa yang membiarkan orang benar dijatuhi hukuman? Tuhan macam apa yang membiarkan seorang ibu yang tidak bersalah dibunuh dengan keji di hadapan anak-anaknya? Tuhan macam apa yang membiarkan dunia diatur oleh orang-orang bejat, rakus, dan tamak? Tuhan macam itu tidak layak disembah, tapi layak dimaki-maki.”
Kaspar tidak menanggapi perkataan Damian. Ia tahu benar emosi kembarannya itu sering tidak stabil terlebih setelah kehilangan kedua kakinya. Dan ia tahu benar bahwa Damian pastilah kecewa dengan keputusan Matthayas yang tidak memperbolehkan dirinya menjenguk Putri Sofia. Damian pasti sangat ingin mengunjungi Tuan Putri karena ikatan emosionalnya sebagai pengawal pribadi Sang Putri bertahun-tahun yang lalu juga karena ... dua insan itu diam-diam menjalin hubungan asmara tanpa diketahui oleh orang lain kecuali dirinya.
Kaspar mengambil sebuah pemantik api dari atas meja dan menyalakan dua lilin yang mengapit altar. Ia kemudian mengambil sebotol minyak, menuangnya ke dalam sebuah cawan tanah liat lalu meletakkannya di sebuah tungku tanah liat bernyala api kecil. Ada aroma menenangkan yang menyebar ke seluruh ruangan ketika minyak dalam tungku itu mulai memanas. Kaspar mendekapkan dua tangannya dalam posisi menyilang di hadapan altar itu, kemudian memusatkan perhatiannya pada sosok yang tergambar di dalam kulit lembu itu. Sosok yang disebut sebagai Tengri, penguasa petir dan dunia atas.
Jika kau ada masalah yang tidak bisa kau pecahkan sendiri berdoalah kepada Tengri. Begitu dahulu almarhum ibunya selalu berujar. Jika ia menggunakan logika Damian dan menimbang-nimbang segala sesuatu yang terjadi padanya selama ini maka sesungguhnya Damian benar, pemujaan pada Tengri ini sia-sia. Tapi entah kenapa ada rasa dalam dirinya yang tetap mendorongnya melakukan ini. Rasa untuk tetap ingin percaya.
Tuhan itu maha pengasih dan penyayang tapi manusia tidak. Begitu yang dikatakan Haris ketika Kaspar bertanya mengapa ia tetap membentangkan sajadah untuk melaksanakan sujud hormat kepada Yang Kuasa. Kaspar tidak tahu cara lain untuk bicara pada Yang Kuasa, maka ia melakukan cara ini.
Terdengar suara ceret mendidih di dapur selama beberapa saat. Lalu terdengar lagi suara orang menuang air ke dalam gelas. Kaspar menghentikan doanya dan berjalan menuju dapur. Di sana ia melihat Damian tengah menyeduh teh di dalam sebuah teko.
“Hei Kaspar? Mau?” ia mengangkat cangkir kosong yang dan mengulurkannya kepada Kaspar. Kaspar menerimanya dan menuang teh panas ke dalam cangkir itu sebelum sebuah ledakan mengejutkannya dan membuatnya menjatuhkan cangkir dan teko keramik itu.
“Apa-apaan?” Kaspar menoleh ke arah suara itu.
“Musuh!” Damian mengulurkan tangannya dan sebuah tongkat sepanjang 20 cm melayang ke tangannya. Dari pintu depan tampak sekumpulan orang berjubah hitam bertopeng putih yang menunjukkan ekspresi datar tanpa emosi merangsek masuk ke dapur dan melemparkan sekumpulan bola api, pisau es, dan sejumlah mantra sihir ofensif lainnya. Tapi Damian dengan sigap membentuk selubung sihir yang menetralisir semua serangan itu. Kaspar sendiri merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan dua pistol kembarnya dan langsung menghujani orang-orang itu tanpa ampun. Sebagian ada yang berhasil membentuk selubung pelindung sihir namun terjangan peluru dari dua Rajata itu tidak bisa dibendung. Dalam waktu tiga menit seluruh penyerang itu mati bersimbah darah.
“Ingatkan aku untuk tidak pernah jadi musuhmu Kaspar,” Damian bergidik ngeri menyaksikan kembali aksi Kaspar yang mampu membunuh belasan orang dalam sekejap.
“Aku tidak akan pernah menganggapmu musuh kok, Damian,” ujar Kaspar santai namun secara tiba-tiba menempelkan moncong senjatanya ke pelipis saudara kembarnya, “asal kau tidak menyuruhku memakai pakaian wanita lagi ya?”
“Oke,” Damian dengan cepat menjawab.
Terdengar suara tepuk tangan dari seseorang yang berpakaian serupa dengan para penyerang tadi. Orang itu masuk dengan tenang ke dalam dapur sambil terus bertepuk tangan. Damian dan Kaspar berdiri dengan penuh kewaspadaan menyaksikan kehadiran orang tadi.
“Siapa kau?” bentak Damian.
“Damian dan Kaspar, apakah kalian sudah melupakanku?” terdengar suara berat dari balik topeng itu. Suara yang hanya dengan mendengarnya saja Kaspar dan Damian merasakan ada perasaan meresahkan yang mencuat dari lubuk hati. Damian masih mengarahkan tongkatnya kepada pria itu tapi Kaspar segera sadar siapa sejatinya pria itu.
“Damian, lari!” Kaspar segera membopong saudara kembarnya lalu menembak sebuah dinding dan lari meninggalkan tempat itu sementara sosok pria itu berubah menjadi segumpal asap yang mengejar kedua pemuda kembar dan berhenti tepat di hadapan mereka setelah Kaspar berhasil membawa Damian menjauh sejauh beberapa ratus meter dari rumah mereka.
“Kau ... Chayim[1]!” mata Kaspar mendelik ngeri menyaksikan sosok iblis yang pernah ia kalahkan kini hadir kembali ke hadapannya.
*****
Alam Semesta Kasha, setahun yang lalu.
Kaspar berlindung dari terjangan peluru-peluru, bola-bola api, dan serbuan senjata-senjata berbilah yang terus menerus menjadikan dirinya sebagai target dengan berlari dari satu pilar ke pilar lainnya. Lores te deri ia genggam erat-erat, sesekali ia balas menembak namun tampaknya seluruh tembakannya meleset.
“Kenapa aku punya anak-anak yang seluruhnya anak yang tidak tahu diuntung? Kenapa aku punya anak-anak yang selalu hendak membunuhku? Kenapa aku mau saja membiarkan parasit-parasit macam kalian lahir ke dunia ini supaya kelak kalian bisa merebut tahtaku dan menghancurkan negeri ini?” terdengar jerit histeris seorang pria paruh baya yang mengenakan kemeja sutra warna merah yang berpadu dengan jas woll hitam.
“Paduka! Pakai akal sehat anda! Putra anda sangat mencintai negeri ini sebagaimana anda juga mencintai negeri ini. Tapi mengundang satu iblis untuk membantu negeri ini memenangkan perang dengan Republik Tuva? Paduka! Itu adalah sebuah kesalahan besar!” sahut Kaspar dari balik pilar.
“Kesalahan? Hei kau bocah ingusan yang tak tahu apa-apa! Apa yang kau tahu soal perang dan politik? Apa yang kau tahu soal memimpin sebuah negara di mana separuh penduduknya adalah cecunguk yang tak berguna? Sampah-sampah yang terus menuntut untuk diberi makan? Mereka tidak pernah puas, tidak pernah puas, tidak pernah puas, dan selalu mencela, sanjungan mereka atas diriku hanya di bibir belaka tidak dari dalam hati. Mereka tidak peduli betapa dalam 30 tahun terakhir ini aku hidup hanya untuk negeri ini, aku hendak jadikan negeri kita sebuah imperium terbesar yang melampaui Avalon sekalipun tapi mereka tidak mau mengerti. Mereka memberontak, menyabotase, dan menghancurkan apa yang sudah aku dan nenek moyangku bangun! Dan sekarang kau datang padaku Anak Haram? Datang untuk membunuhku?”
“Paduka! Jika Paduka mau lepaskan ikatan Paduka dengan iblis itu maka saya takkan perlu membunuh Paduka!”
“Bohong! Pembohong semuanya!” Kaisar itu makin histeris.
“Sial,” Kaspar merutuk sesaat, “aku sebenarnya tidak suka pakai cara ini tapi ... tampaknya tak ada pilihan.”
Kaspar beranjak berdiri, tangannya mengeluarkan sejumlah aliran listrik ke senjata yang ia genggam dan sesaat kemudian ia menembakkan senjata itu tepat ke arah Sang Kaisar yang dikelilingi sejumlah pengawal. Para pengawal tersebut langsung terbakar menjadi sosok-sosok mayat hangus tapi Sang Kaisar tampak hanya sedikit terluka di wajahnya.
“Bedebah!” Kaisar itu kembali memaki lalu merentangkan tangannya dan melemparkan sebuah patung sebatas dada ke arah Kaspar. Kaspar berkelit lalu menembak lagi. Kali ini tembakannya tepat mengenai tangan kanan Kaisar sehingga tangan itu terkoyak menjadi serpihan.
“Anak haram kurang ajar! Seharusnya aku habisi kau sebagaimana aku dulu menghabisi ibumu! Dasar anak haram jadah dari seorang wanita sundal!”
Satu tembakan kembali melesat kali ini menghancurkan kedua kaki Sang Kaisar. Sosok pria paruh baya itu tersungkur di lantai. Sang Kaisar mendongak, menatap Kaspar dengan tatapan benci dari matanya yang beriris merah. Kaspar sendiri balas menatap pria yang juga dalah ayah kandungnya ini dengan tatapan muak dan benci.
“Ibuku ... wanita terhormat. Sang peramal dari suku Altaic yang kehormatannya telah anda hancurkan sedemikian rupa hanya karena anda merasa diri anda adalah seorang penguasa dunia Paduka. Ia bukan wanita sundal, andalah yang bedebah,” Kaspar menodongkan senjatanya ke arah Kaisar itu dan bersiap menembak. Namun secara tak terduga Kaisar itu meraung. Suaranya menimbulkan getaran energi yang hebat hingga menghempaskan Kaspar ke sebuah pilar marmer. Sesosok bayangan hitam muncul di balik tubuhnya, sosok yang Kaspar kenal sebagai Chayim yang semula mewujudkan diri dalam rupa Atolva.
“Mampus kau anak haram jadah!” tubuh Sang Kaisar melayang ke arah Kaspar sembari membentuk sebilah pedang dari bayangan hitam. Namun di saat jarak pedang itu hanya tinggal beberapa senti dari tubuhnya, seorang wanita berpotongan rambut pendek mencengkeram leher Sang Kaisar dan menghempaskannya ke dinding berfresko[2]. Wanita itu – Olivia Palander – segera memukul kepala Sang Kaisar. Satu kali, dua kali, tiga kali, hingga berkali-kali hingga dinding berfresko itu ternoda oleh noda darah berwarna merah. Kaspar sendiri akhirnya bisa bangkit dan beranjak ke dinding di mana Olivia masih menghajar ayahnya.
“Olivia, stop!” pinta Kaspar.
Olivia menghentikan pukulannya, tangan dan pakaiannya kini ternoda oleh darah yang merah pekat. Ia beranjak mendekati Kaspar dan berujar, “Akhiri hidup orang menyedihkan itu sekarang juga.”
“Pasti,” jawab Kaspar sembari berjalan mendekati tubuh bersimbah darah itu.
“Kau hendak mengakhirinya Nak? Apa kau sanggup? Apa kau sanggup menghadapi kenyataan bahwa kau telah membunuh ayah kandungmu sendiri? Menodai tanganmu dengan darah yang tak bakal bisa dibasuh bersih?”
“Ya, Paduka memang ayah kandung saya. Tapi apa yang Paduka lakukan selama ini adalah perbuatan yang tak termaafkan. Jadi saya kira hidup Paduka cukup sampai di sini saja,” satu tembakan membuyarkan kepala Sang Kaisar dan bersamaan dengan itu muncul bayangan hitam dari dalam tubuh tersebut yang mencoba lari. Kaspar menembakkan sebuah kilatan petir ke arah bayangan itu dan bayangan itu meledak dan terurai menjadi serpihan abu.
*****
Alam Semesta Kasha, masa kini
Seharusnya Chayim tewas hari itu juga namun entah kenapa kini ia berdiri di hadapan Kaspar dalam kondisi segar-bugar dan dalam wujud yang baru. Ia kini mengambil wujud seorang pria berusia 30 tahunan akhir, berkulit kemerahan, serta berambut dan berjanggut pirang.
“Bagaimana kau bisa kembali?” kini giliran Damian yang mendelik marah ke arah Chayim.
“Ha, kalian pikir aku bisa dikalahkan semudah itu? Salah besar.”
“Awas!” Kaspar menembakkan Rajata miliknya bertubi-tubi ke arah Chayim namun dengan enteng ia menepis semua serangan Kaspar. Sedetik kemudian ia melesat ke arah Kaspar dan menghantam rahang pemuda itu dengan sebuah hook tangan kanan. Kaspar limbung sejenak dan rangkulannya terhadap Damian terlepas hingga kembarannya itu jatuh ke tanah bersalju.
“Kenapa Contra Mundi? Merasa tidak sehat?”
“Bagaimana ... kau bisa sekuat ini?” Kaspar kembali bangkit berdiri dengan meringis namun masih mengarahkan senjatanya ke arah Chayim.
“R-A-H-A-S-I-A! Cobalah cari tahu sendiri Professor,” sekumpulan bayangan terbentuk di tangan Chayim dan segera saja membentuk sebuah kepalan tinju yang mengarah ke Kaspar. Kaspar menyilangkan tangannya di hadapan dadanya dan sebuah perisai halilintar terbentuk namun empat detik kemudian perisai itu hancur dan kepalan tinju itu sukses menghempaskan Kaspar ke sekumpulan semak-semak sejauh tiga meter dari tempatnya berdiri semula.
Sementara Chayim tengah sibuk dengan saudaranya, Damian mengambil sebuah pisau dan mengukir simbol pentagram di telapak tangan kirinya. Darah Damian menetes ke tanah bersalju dan membentuk aliran darah yang menuju ke arah Kaspar. Begitu jemari Kaspar bersentuhan dengan aliran darah itu, Damian menghantamkan telapak tangan kanannya ke ounggung tangan telapak kirinya dan sesaat kemudian dua buah pusaran cahaya berwarna merah muncul dan menelan Kaspar dan Damian.
“Wohooo,” tampak Chayim tersenyum, “tidak kusangka masih ada manusia yang berani memakai sihir itu.”
*****
Secara tiba-tiba Kaspar dan Damian muncul di atas sebuah deretan kursi dan meja bar yang tampak sudah tutup dan tengah dibereskan. Keduanya langsung jatuh menimpa kursi dan meja tersebut. Kaspar menimpa satu kursi dan mematahkannya sementara Damian cukup beruntung bisa mendarat di atas meja.
“Wew, berhasil,” Damian menghela nafas lega ketika mendapati dirinya dan Kaspar berhasil lolos dari Chayim.
“Damian? Kaspar?” tampak seorang pria berjanggut hitam yang tengah melap sejumlah gelas wine menatap bingung ke arah kedua bersaudara itu, “Apa yang kalian lakukan di sini?”
Kaspar yang menanggapi, “Eh, ceritanya panjang Avgust, tapi bolehkah kami sembunyi di sini untuk sementara?”
“Tentu, tentu. Tapi ada apa sebenarnya dan ... hei ... kenapa dengan Damian?”
Kaspar menoleh ke arah Damian dan mendapati saudara kembarnya itu telah tak sadarkan diri.
“Damian! Hei Damian!” Kaspar berlari panik ke arah Damian, dirabanya kening saudara kembarnya itu dan didapatinya saudaranya itu tengah mengalami demam tinggi, “Damian! Hei!”
[1] Dibaca : Kha-a-yim
[2] Fresko : lukisan yang dibuat di atas dinding dengan cat lilin atau cat minyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top