BAB IX : PERJALANAN

Alam Semesta Kasha, Kota Anthokat, Kekaisaran Russaya

“Sekarang bagaimana?” Sofia – sang putri dengan mata berwarna kuning dan rambut coklat kemerahan yang diikat ekor kuda itu – bertanya pada Kaspar.

Yang ditanya malah melirik ke arah Weizmann, “Weizmann? Bagaimana sekarang?”

Weizmann mengeluarkan sebuah kompas dari kantung celananya, “Kita harus ke barat, secepatnya. Mendekat sedekat mungkin ke gerbang kota dan mencoba tidak tertangkap dalam tempo ...,” ia melirik jam tangannya, “setidaknya satu jam.”

“Baik, tapi sebentar,” jari-jemari Kaspar mengeluarkan sebentuk energi petir yang menyala-nyala di tengah dinginnya hujan salju itu lalu melemparkannya ke arah jasad sang penyihir wanita bernama Tanya itu.

“Kaspar!” Sofia memekik, “Apa yang kau lakukan?”

Putri itu bergegas hendak memadamkan kobaran api yang membakar jasad sang penyihir wanita namun Weizmann menahannya, “Jangan Tuan Putri, Tuan Kaspar hanya melakukan tindakan yang diperlukan.”

“Diperlukan?!” Sofia berseru geram, “Kaspar! Kau sudah memperlakukan jasad seorang temanku dengan tidak layak!”

“Saat ini dia bukan temanmu lagi, Yang Mulia. Saat Tanya mengorbankan dirinya ia adalah pengawalmu dan seorang pengawal harus memastikan sosok yang ia kawal selamat. Aku membakar jasadnya agar ...,” Kaspar mengibaskan tangan kanannya dan angin dingin berhembus menghamburkan abu hitam yang tadinya adalah jasad seorang penyihir wanita bernama Tanya itu, “mereka tak bisa melacak kita dengan gampang.”

Kembali Kaspar mengibaskan tangannya dan sebuah hujan salju dengan intensitas salju yang cukup deras turun di tempat itu disertai dengan hembusan angin dingin yang menusuk ke dalam tulang. “Hujan ini akan melindungi kita, ayo kita bergerak.”

Tiga orang itu pun mulai beranjak meninggalkan tempat itu. Mereka melintasi sebuah hutan yang pepohonannya telah gundul – hanya tinggal cabang dan ranting yang tertutup oleh salju. Kaspar tampak berjalan paling depan sementara Weizmann tampak berjalan di belakang Sang Putri. Sang Putri sendiri tampak merengut sepanjang perjalanan itu, tampaknya ia masih tidak rela atas tindakan Kaspar pada jasad seorang pengawalnya tadi.

Lepas dari hutan, ketiga orang itu memasuki sisi timur dari Antokhat, sebuah daerah perumahan bagi masyarakat menengah dengan dinding-dinding rumahnya yang berwarna merah bata dan atap trapesium yang berwarna putih (dan semakin putih karena tertutup salju). Rumah-rumah itu tampak sepi dan kordennya tampak tertutup. Suasana yang tidak lazim bagi Kaspar.

“Ke mana mereka semua?” tanya Kaspar pada Weizmann.

“Mereka ada di dalam rumah Tuan Kaspar, berlindung dari ketakutan dengan minum coklat panas, mead, atau wiski dengan ditemani siaran radio yang memutar lagu-lagu.”

“Kenapa mereka takut?” tanya Sofia.

“Aku duga ini semua terjadi karena penangkapanmu Yang Mulia,” jawab Kaspar, “Apa aku benar Weizmann?”

Weizmann mengangguk, “Anda benar Tuan Kaspar. Penangkapan Tuan Putri membuat rakyat terguncang, terutama rakyat ibukota. Harapan mereka bahwa Kaisar ini akan lebih baik daripada Kaisar sebelumnya pupus sudah.”

Sang Putri mendesah lalu berpaling ke arah Kaspar, “Jadi ... ke mana sekarang kita harus pergi Kaspar?”

“Toysonva,” Weizmann menyahut, “Di sana ada kerabat jauh kerajaan yang bisa kita mintai tolong untuk menampung Yang Mulia untuk sementara waktu sebelum saya bisa membawa Tuan Putri keluar dari negeri ini.”

Sofia mendelik, “Keluar? Untuk apa aku keluar dari negeri ini Weizmann?”

“Saya akan menjelaskannya nanti saja Yang Mulia,” kalimat Weizmann terpotong ketika melihat Kaspar mengangkat sebelah tangannya.

“Sembunyi! Ada polisi!” ujar Kaspar sembari berlari menuju sebuah kebun yang dirumbuhi oleh beberapa pohon pinus. Ketiganya merapat dan berusaha tidak bersuara di balik sebuah pohon pinus selagi menunggu dua orang polisi yang tengah berpatroli dengan jeep itu lewat.

Jantung ketiga orang itu berdegup makin kencang ketika jeep polisi itu berhenti di depan kebun tempat mereka bersembunyi. Seorang polisi turun dari mobil dan beranjak masuk ke dalam kebun tersebut.

“Kau yakin melihat sesuatu?” tanya rekannya yang duduk di balik kursi kemudi.

“Ya, kurasa aku melihat tiga orang masuk kemari,” jawab si petugas polisi yang turun tersebut. Polisi bermantel abu-abu dengan badge bergambar serigala di lengan kirinya itu memeriksa semak-semak yang tertimbun salju lalu melihat adanya jejak-jejak kaki yang mengarah menuju sebuah pohon pinus. Ia mengikuti jejak tersebut dan menyibakkan pohon dan ia dapati sepucuk pistol telah terarah kepadanya.

“Jangan bergerak,” ancam Kaspar.

“Kau!” polisi itu bergegas menarik sebuah pemukul dari sabuknya namun Kaspar lebih cepat menarik pelatuk senjatanya. Sebuah kilatan petir melesat dan menghantam pria itu hingga ia jatuh tak sadarkan diri.

Kawannya yang melihat rekannya terlempar langsung berniat untuk turun tapi sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya disusul dengan ditempelkannya sebuah kain beraroma obat ke mulutnya. Polisi itu pun akhirnya tak sadarkan diri.

Weizmann memasukkan kain berlumur obat bius itu ke dalam tas pinggangnya dan mendorong tubuh sang polisi keluar dari mobil dan mengikat tubuh polisi itu dengan tambang yang ia temukan di bagian belakang jeep. Kaspar datang menghampirinya dengan membawa tubuh lain yang tak sadarkan diri dan menghempaskannya ke hadapan Weizmann.

“Membunuh mereka akan lebih mudah, Weizmann,” ujar Kaspar.

“Tapi Yang Mulia takkan setuju,” balas Weizmann datar.

“Baiklah, oke,” Kaspar bertepuk tangan dua kali dan sosok Sofia keluar dari sebuah gang, “Mereka kami biarkan hidup, anda puas Yang Mulia?”

Sofia tidak menjawab, ia langsung naik ke kursi penumpang jeep. Weizmann langsung memapah dua tubuh itu ke arah sebuah kebun lain dan meletakkannya di balik semak-semak serta menyumpal mulut mereka. Lalu ia kembali ke jeep dan mengambil posisi di kursi kemudi. Kaspar sendiri sudah tampak duduk di kursi belakang. Weizmann menyalakan mesin mobil itu dan memacunya melintasi jalanan bersalju yang sepi, memutari sisi luar ibukota.

Satu jam setelah mengitari sisi luar ibukota dengan jalanannya yang sempit dan tertutup salju, mobil jeep yang ditumpangi Kaspar dan kelompoknya itu tiba di jalan utama yang menghubungkan ibukota dengan kota-kota di bagian timur negara itu.

“Kenapa kita berhenti di sini Weizmann?” tanya Sofia.

Weizmann menjawab, “Dima dan August sudah membuat perjanjian. Jika dalam tempo 3 jam Dima tidak mengontak August maka August akan menunggu kita di sini.

“Jam segini seharusnya ia sudah lewat dengan truknya.”

“Sabar saja Tuan Kaspar. Pemeriksaan di Antokhat pasti diperketat, tapi aku yakin August pasti punya cara untuk lolos.”

Ketiga orang itu menunggu selama beberapa saat dan setelah dua jam berlalu sebuah mobil van abu-abu mendekat ke arah mereka. Pintu penumpangnya terbuka dan sosok August tampak tersenyum dari kursi kemudi.

“Tuan Putri, naiklah,” ujar August, “Kaspar, Weizmann, kalian bisa naik di bagian belakang.

Sofia tersenyum dan naik ke kursi penumpang sementara Kaspar dan Weizmann berjalan menuju bagian belakang mobil.

“Halo Kaspar,” sapa Damian ketika Kaspar membuka daun pintu.

“Damian? Kau sudah sehat?” Kaspar melihat kondisi saudaranya memang jauh lebih baik daripada sebelumnya.

“Ya,” jawab Damian sambil tersenyum. Kakinya yang bersepatu boot ia selonjorkan di lantai mobil sementara jaket biru yang ia kenakan terkancing rapat dengan tudung yang terpasang menutupi kepalanya.

“Siap?” tanya August dari kursi kemudi.

“Siap!” jawab Kaspar yang segera mengambil posisi duduk dengan kaki yang ditekuk berhadap-hadapan dengan Weizmann. Spasi untuk mereka memang sempit sebab selain membawa mereka, August juga membawa sejumlah peti kayu berisi botol-botol wine.

“Aku harap kalian cukup nyaman di belakang sana. Maaf aku tidak bisa membuat spasinya lebih luas lagi,” ujar August.

“Tak apa August. Ini masih lebih baik daripada yang pernah aku alami di semesta paralel.”

“Apa yang kau alami?” tanya Damian.

“Kau pernah duduk berhimpit-himpitan dengan sekumpulan sapi di sebuah bak truk Damian? Dengan lantai kayu yang kotor oleh kotoran-kotoran sapi yang berbau tajam?”

“Ewww!” hanya itu komentar yang keluar dari mulut Weizmann.

“Untuk apa kau berhimpit-himpitan dengan sapi Damian?” mata Damian melotot, rasa jijik dan tercengang bercampur jadi satu.

“Oh itu sebuah kecelakaan. Aku hendak menuju sebuah kota di Republik Indonesia Serikat di Versigi bersama Helena untuk mencari calon wahana ketika kami sadar bahwa buku panduan kami ketinggalan di kastil. Lebih lucu lagi kami membuka portal dimensi ke daerah yang salah dan untuk menuju kota tujuan kami, kami harus minta tumpangan. Kami dapat tumpangan sih, tapi Helena jadi yang duduk di kursi depan dan aku di bak truknya. Bayangkan! Bau kotoran sapi sial itu tidak bisa hilang bahkan setelah aku mandi!”

“Kalau aku bertemu dengan Helena, aku akan tanya apa dia sempat memotretmu dalam kondisi begitu,” ujar Damian yang tampak menutupi mulutnya, berusaha agar tawanya tidak menyembur.

“Helena-tidak-menyimpan-fotonya,” Kaspar menyahut dengan melakukan penekanan di setiap suku kata.

“Kaspar, boleh aku pinjam benggalamu?” Damian kembali bertanya.

“Untuk apa?”

“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada yang lain.”

“Soal?”

“Legenda yang hilang.”

“Um, oke,” Kaspar melepaskan benggala miliknya yang sedari tadi ia kalungkan di balik bajunya lalu menyerahkannya kepada Damian.

“Yuhuu Helena,” Damian bicara pada benggala itu, “kau sibuk?”

“Tidak terlalu sih,” terdengar suara Helena dari dalam benggala, “ada apa Kaspar?”

“Aku bukan Kaspar, aku Damian.”

“Oh, rupanya kau. Apa Kaspar ada di sana?”

“Ada kok.”

“Masih hidup kan?”

“Masih, hei Helena, kau pernah dengar soal para Æsir?”

“Dewa-dewi bangsa Norse? Aku baru saja bicara dengan beberapa dari antara mereka.”

“Oh bagus, apa kau bertemu dengan Odin?”

“Odin, Thor, Frigg, Tyr, dan Æsir yang kau kenal sudah lama mati. Æsir yang sekarang adalah anak-anak mereka.”

“Oke Helena, apakah epik Ragnarok yang terjadi beberapa ribu tahun yang lalu itu sebenarnya adalah gambaran apa yang akan terjadi pada dunia kita sekarang?”

“Bisa dibilang begitu. Para Æsir saat itu perannya kurang lebih sama dengan Contra Mundi pada saat ini.”

“Generasi pertama?”

“Hei, rupanya kau masih ingat pelajaran dari Sang Pencerita.”

“Aku kan tidak sepikun dan sebodoh saudaraku, Helena.”

“Hei!” Kaspar memprotes.

“Oh diamlah Kaspar,” Damian mengibaskan tangannya.

“Lalu apa yang hendak kau cari sebenarnya Damian?” tanya Helena dari seberang.

“Odin mendapatkan segala kekuatan dan pengetahuannya dari mata air Mimir, Heimdallr pun demikian. Apa kau bisa bertanya di mana lokasi mata air ini sebenarnya Helena?”

“Oh itu, sebentar ...,” Helena terdengar berbicara dengan beberapa orang selama beberapa menit sebelum akhirnya kembali bicara lewat benggala, “Para Æsir yang ada saat ini tidak tahu di mana mata air itu berada.”

“Ah, sayang sekali,” ada nada kecewa dalam suara Damian.

“Apa yang hendak kau cari di sana sebenarnya Damian?”

“Pengetahuan, pengetahuan untuk mengakhiri siklus tak berkesudahan ini.”

“Kau berniat menghancurkan dunia?” Kaspar memandang saudara kembarnya dengan ngeri.

“Bukan dunia, tapi para Athir Kathana itu. Kalaupun kita menang dalam pertempuran kali ini, selama para Athir Kathana tetap hidup maka kehidupan di dunia ini tidak akan pernah aman.”

“Maaf Damian, aku akan kabari soal itu jika aku sudah bertemu dengan orang yang tepat.”

“Terima kasih Helena, ngomong-ngomong ... saudaraku bilang bahwa ia pernah naik truk bersama sekawanan sapi. Apa kau sempat memotretnya Helena?”

“Hei!” Kaspar memprotes namun sebuah sulur-sulur tak terlihat tiba-tiba mencencang dirinya kuat-kuat. Damian merapal mantra pengikat tanpa ia sadari, hanya untuk mengganggu dirinya.

“Oh itu, ya aku sempat,” terdengar suara Helena terkekeh di seberang sana.

“Beri aku fotonya kalau kita nanti berjumpa Helena, aku penasaran.”

“Oh tentu saja Damian.”

“Damian!” Kaspar berteriak, “Aku akan membunuhmu kalau kau sampai melakukannya!”

“Oh justru aku yang akan membunuhmu kalau sampai menyakiti Damian, Kaspar!” suara Helena terdengar mengancam dari seberang sana.

“Errr ...,” Kaspar akhirnya diam. Helena tanpa Rajata memang lebih lemah dari dirinya tapi gadis itu sekarang punya Rajata, itu artinya dia 3 kali lebih berbahaya daripada dirinya yang dulu.

Damian menatap Kaspar dengan wajah tanpa dosa lalu mengembalikan benggala itu kepada Kaspar dan melepaskan sihir pembelenggu yang ia rapalkan, “Kau harus lebih waspada pada serangan jarak dekat Kaspar.”

“Terima kasih untuk nasehatnya,” Kaspar tampak menggosok-gosok tangannya yang kram akibat jeratan mantra Damian sambil menatap kesal ke arah kembarannya itu.

“Kaspar,” terdengar suara Sofia memanggil, “Apa Helena itu cantik?”

“Cantik dan menawan, tapi berbahaya. Jika tidak ada dirimu Tuan Putri, Damian pasti berpikir untuk melamar gadis itu sebagai pasangan hidup.”

“Oh,” ada nada kecewa dan mengancam di dalam nada suara Sofia, “jadi begitu ya?”

Damian langsung melirik tajam ke arah Kaspar sementara Kaspar hanya nyengir sambil pura-pura tidak bersalah tapi tatapan balasan Kaspar mengatakan satu hal : Nah Damian, sekarang kita impas dalam permainan saling mempermalukan ini.

*****

August sudah menyetir selama dua jam ketika ia melihat ada sekumpulan mobil station wagon yang plat nomor hanya berupa simbol burung elang tampak menyusul mobil van miliknya.

Chata zauy – Apa-apaan ini?” August mulai memacu kendaraannya lebih cepat lagi namun mobil-mobil di belakangnya melaju semakin cepat pula.

“Kaspar, Damian, Weizmann! Kita punya masalah!” pekik August, membangunkan ketiga orang itu dari tidur mereka.

“Ada apa?” Sofia yang tidak turut dalam target ‘harus dibangunkan’ oleh August pun akhirnya terbangun oleh suara keras pria berkumis itu.

Charnamak – Para Pengawal Kekaisaran – ada di belakang kita!” jawab August.

“Apa?” Damian dan Kaspar langsung tersentak sementara Weizmann langsung mengacak-acak susunan peti wine, mencari sesuatu.

“Kau masih simpan senapan di sini kan, August?” tanya Weizmann.

“Kotak wine urutan kedua dari bawah,” jawab August.

“Kaspar, buka pintunya,” ujar Damian yang sudah mulai merapal mantra.

Kaspar bergegas mendekat ke arah pintu belakang selagi van itu bermanuver ke kiri dan ke kanan. Dibukanya pintu belakang itu dengan hati-hati lalu dengan cepat ia berpegangan pada sebuah batang besi yang menyatu dengan rangka mobil.

Pemandangan di belakang mobil menyajikan kemunculan empat mobil Charnamak. Beberapa orang Charnamak mulai mengeluarkan tangan dan kepala mereka dari dalam mobil dan menembakkan peluru serta mantra sihir ke arah van yang ditumpangi Damian dan kelompoknya.

August berhasil menghindari hantaman mantra-mantra sihir namun tidak dengan terjangan pelurunya. Kaca spion kanan mobil itu pecah berantakan akibat terhantam peluru.

Damian beringsut maju dan menembakkan segumpal asap hitam ke arah satu mobil. Mobil itu berkelit namun asap itu mengenai mobil di belakangnya. Asap itu menutupi pandangan si pengemudi hingga akhirnya mobil itu menabrak pembatas jalan dan jatuh ke dalam ngarai. Kaspar menembakkan Rajatanya berulang kali ke arah mobil-mobil itu. Tapi pengemudinya lihai dan para prajurit Charnamak  itu tangguh, serangannya sering meleset atau ditangkis oleh para Charnamak.

Weizmann mengokang senapan mesinnya dan menembaki mobil-mobil pengejar itu, namun sebuah selubung sihir tak kasat mata menghalangi peluru-peluru yang ia tembakkan  untuk menimbulkan dampak kerusakan. Alih-alih mampu merusak mobil-mobil itu, sebuah peluru yang ditembakkan seorang Charnamak  sukses mengenai ban kiri belakang van August.

“Ya Tuhan! Apa kalian bertiga tidak bisa lakukan sesuatu? Rapallah mantra pelindung!” seru August gusar.

“Aku sudah merapalnya August,” balas Sofia panik, “Kaspar juga, tapi peluru mereka tetap tembus!”

“Mustahil peluru biasa menembus selubung pelindung!” balas August.

“Tidak mustahil kalau ...,” Kaspar terdiam sesaat, apa yang ia takutkan menjadi kenyataan. “Chayim di sini!” serunya sembari menunjuk ke arah sebuah mobil.

Damian langsung melirik ke arah yang ditunjuk Kaspar dan ia mendapati fakta terburuk itu tengah terjadi. Chayim ada di salah satu mobil itu dan tengah merapal mantra-mantra kuat untuk melindungi anggota kelompoknya dari serangan yang dilancarkan Kaspar, Damian, dan Weizmann.

Sebuah ide tiba-tiba terbesit di benak Kaspar, “Damian, Weizmann, tembak kaca pengemudi mobil yang ditumpangi Chayim itu sesuai aba-abaku!”

“Oh ya,” Damian mengacungkan jempol dan mulai merapal mantra yang menimbulkan kobaran api di tangan kirinya, Weizmann mengisi ulang senapannya dengan peluru berdaya tembus lebih kuat dan membidik ke arah kaca mobil.

“Apapun yang kalian lakukan, tolong cepat lakukan! Aku tak bisa menahan serangan mereka lebih lama lagi!” seru Sofia dari kursi depan.

“Satu,” Kaspar mulai memberi aba-aba, “Dua, tiga! Yak!”

Weizmann memberondong targetnya dengan tembakan tiga puluh peluru secara simultan, Damian melemparkan bola-bola api secara bergantian, sementara Kaspar menarik pelatuk senjatanya berkali-kali dan sejumlah energi listrik melesat ke arah targetnya. Serangan mereka mula-mula tak berefek apa-apa. Namun lama-kelamaan selubung energi yang dibentuk Chayim mulai menipis dan pada akhirnya serangan mereka berhasil melukai si sopir sehingga mobil itu terguling di jalanan.

“Yuhuu!!! Kita berhasil!!” Kaspar bersorak.

“Kalian berhasil?” tanya August dari kursi kemudi, “mereka tak lagi mengejar?”

“Ada satu yang masih,” jawab Weizmann, “tapi takkan lama.”

Pengawal Sang Putri itu segera mengangkat kembali senapannya, membidik lalu menembakkan satu peluru yang langsung menembus kaca mobil dan menewaskan pengemudinya seketika. Mobil itu segera kehilangan meski ada rekannya yang berusaha mengambil alih kemudi dan terpaksa berhenti ketika Kaspar memberondong ban mobil itu dengan tembakan dari Rajatanya.

“Yak, bebaslah kita,” ujar Damian, melaporkan situasi terkini.

“Huff,” August menghela nafas lega, “Akhirnya.”

“Untunglah,” sambung Sofia yang segera saja menyandarkan diri di sandaran kursi. Titik-titik peluh menghiasi wajahnya meski udara tengah dingin.

Mobil van itu kembali melaju dengan sedikit miring di jalanan sejauh beberapa puluh meter sebelum sebuah kekuatan tak terlihat mengangkat van tersebut dan menghempaskannya ke sebuah tebing. Sofia terlontar keluar dari mobil sementara Damian dan Kaspar saling bertindihan. Weizmann yang semula menindih Kaspar langsung meraih sepucuk senapan dan cepat-cepat keluar dari van dengan menendang pintu belakangnya. Lalu ditariknya Kaspar dan Damian keluar dari mobil van tersebut.

Begitu Kaspar keluar dari mobil van itu dilihatnya mobil van itu telah miring ke kanan dan membentur tebing yang berada di sisi kanan jalan tersebut. Kaspar membantu kembarannya yang lumpuh keluar dari van sebelum matanya melihat sosok Chayim tengah mengamati mereka dari angkasa.

“Masih hidup ya? Sayang sekali. Bagaimana kalau – ?” Chayim tidak melanjutkan perkataannya lagi. Ia menjentikkan jemarinya dan sebuah kobaran api timbul dan membakar mobil van tersebut. Terdengar suara letusan disertai jeritan August yang masih terjepit di bangku pengemudi ketika kobaran api itu membesar.

“Kauu!!” Kaspar menarik Rajatanya dan menembak ke arah Chayim. Chayim menghindari semua tembakan tersebut dan terbang melesat ke belakang Kaspar. Kaspar mencoba berbalik namun kurang cepat, beruntung Damian sempat menembakkan sebuah bola energi yang cukup besar dan menghantam Chayim hingga ia sempat terhuyung. Kaspar tidak menyia-nyiakan kesempatan itu dan langsung memberondong Chayim dengan tembakan kedua pistol kembarnya. Weizmann pun turut mengimbuhi serangan Kaspar dengan melemparkan sebuah bom molotov yang langsung meledak begitu mengenai Chayim.

“Bah!” Chayim meraungkan keras dan mengeluarkan aura hitam pekat di sekelilingnya. Kobaran api bom molotov yang membakar tubuhnya seketika padam, tembakan-tembakan senjata Kaspar seakan menabrak tembok tak kasat mata, dan beberapa saat kemudian timbul sebuah dentuman suara yang menghempaskan baik Damian, Kaspar, dan Weizmann sejauh beberapa meter. Khusus untuk Kaspar, dentuman itu menghempaskannya ke pagar pembatas jalan, nyaris membuatnya masuk ke dalam jurang. Chayim segera melesat ke arah Kaspar dan mencengkeram leher Kaspar kuat-kuat sehingga Kaspar tercekik dan genggamannya pada kedua senjatanya melonggar. Kedua Rajata itu pun jatuh berderak di aspal sementara Kaspar berusaha membebaskan diri dari cekikan Chayim. Tapi itu sia-sia.

“Ucapkan doa terakhirmu Contra Mundi. Aku bertaruh Tuhan pun takkan mendengar doamu.”

Wajah Kaspar semakin memerah, aliran darah menuju paru-parunya semakin sedikit, dirasakannya tulang-tulang lehernya mulai menggores-gores otot-otot lehernya. Di saat-saat seperti ini ia mengerahkan seluruh daya upayanya untuk tetap hidup meski dirasakannya maut mulai menarik jiwanya dari raganya. Satu pikiran segera melesat di benaknya: Jadi ini yang dirasakan Nandi saat itu? Semangat hidup di tengah kesia-siaan?

“Chayim!” secara tak terduga Damian bangkit berdiri dan berjalan dengan kedua kakinya ke arah Chayim. Iblis itu menoleh dan terkejut melihat Damian kembali berjalan dengan kedua kakinya, ditambah lagi kini kedua matanya berwarna jingga menyala – benar-benar menyala – seolah ada matahari di dalam matanya.

“Lepaskan dia!” bentak Damian lagi.

“Kau! Mana mungkin itu kau?” Chayim tampak tidak percaya, cengkeramannya di leher Kaspar menjadi sedikit lebih longgar namun belum cukup longgar bagi Kaspar untuk membebaskan diri.

“Aku ulangi lagi Chayim, tinggalkan kami, terutama dia, atau kau akan menyesal telah menginjakkan kaki ke dunia ini.”

“Apa yang bisa kau lakukan sekarang?” tanya Chayim menantang.

“Kaspar, Weizmann, Sofia, tutup mata kalian,” ujar Damian.

Kaspar dan kedua rekannya menurut dan saat mereka memejamkan mata itulah Damian diselimuti oleh cahaya yang sangat terang sebelum akhirnya menembakkan seberkas sinar ke arah Chayim. Chayim meraung membentuk selubung aura hitam yang menangkis berkas sinar itu. Tapi setelah beberapa saat aura hitam yang ia pancarkan semakin memudar dan berkas sinar itupun menghantamnya hingga Chayim terjatuh ke dalam jurang disertai erangan kesakitan.

Ketika Kaspar merasakan pancaran cahaya Damian sudah mulai memudar, ia perlahan membuka matanya dan menyaksikan saudaranya itu roboh ke tanah – tak sadarkan diri. “Damian!” Kaspar berlari ke arah saudaranya itu dan memeriksa denyut nadinya.

“Auh,” Kaspar merasakan kulit Damian sepanas tungku yang baru saja dipanaskan di atas bara api. Sekujur tubuh Damian berkeringat dan berasap, kulitnya memerah.

“Tuan Kaspar,” Weizmann menghampiri Kaspar, “Tuan August baru saja menghembuskan nafas terakhirnya.”

“Ah,” Kaspar mendesah sembari memeluk tubuh saudaranya. Dipandanginya wajah Sofia yang tampak berusaha tegar meskipun hatinya hancur karena seorang sekutunya kembali gugur dalam pusaran konflik ini.

“Sekarang bagaimana Kaspar?” tanya Sofia.

“Aku tidak tahu Tuan Putri. Menurutmu bagaimana Weizmann?” ujar Kaspar.

“Kita cari desa terdekat, rawat dulu Tuan Damian lalu baru pikirkan langkah selanjutnya.”

“Jenazah August?” Sofia melirik ke arah sesosok tubuh seorang lelaki sekujur tubuhnya penuh luka bakar.

“Kita harus membakarnya. Untuk melenyapkan jejak,” jawab Kaspar.

“Baiklah Kaspar. Lakukan saja.”

******

Author's Note :

Halo pembaca, apa kabar? Author sedang ada kesibukan dengan skripsi sehingga tidak bisa update cerita secara rutin. Mohon maaf soal itu.

Kemudian, Author mau minta komentarnya soal cerita Contra Mundi sejauh ini. Bagaimana menurut pendapat teman-teman? Apa saja kekurangannya (atau kelebihannya)? Karakter mana yang anda favoritkan? Dsb.

Terima kasih sudah setia membaca Contra Mundi sampai sejauh ini :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top