BAB IV : RANCASAN DAN DYAUS PITA
Alam Semesta Versigi, Palangkaraya, Republik Indonesia Serikat.
Setengah jam setelah keluar dari ruangannya, Rizal kembali dengan wajah sumringah lalu meminta waktu sejenak pada Sanjaya untuk berkemas sebelum akhirnya bersama Sanjaya dan Nandi turun ke lantai bawah kampus.
“Ayo, kita bicara saja di rumahku,” ajak Rizal.
“Naik taksi jurusan apa ini?” Sanjaya balik bertanya.
“Taksi? O tidak, kalian berdua ikut mobilku saja,” Rizal mengeluarkan sebuah kunci elektronik dan menekan tombolnya, membuka pintu sebuah mobil van Suzuki Carry berwarna biru metalik lalu mengajak Sanjaya dan Nandi ikut naik ke dalamnya.
“Hei kamu Nandi kan?” Rizal menoleh ke arah Nandi ketika mereka semua telah masuk ke mobil.
“Iya Pak,” Nandi menjawab.
“Ah jangan panggil Pak lah, saya ini masih muda lho Dik Nandi.”
“Masih muda? Kamu korting umurmu berapa persen Zal?” sahut Sanjaya.
“Hei! Bilang aku sudah tua kalau aku sudah uur 70 tahun Sanjaya! Sebelum itu, aku ini tetap orang muda, mengerti?” balas Rizal dengan nada bercanda.
“Ah terserahlah,” Sanjaya mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum.
Rizal mulai menyalakan mesin mobilnya dan membawa mobil itu keluar ke jalan raya, “Jadi bantuan apa yang kalian perlukan? Dan untuk apa?”
“Kami ingin kau membantu kami membaca sekumpulan tulisan kuno.”
“Wah-wah apa sih misimu kali ini Sanjaya? Menjarah makam atau mencari harta karun?”
“Kalau iya apa kau akan tetap membantu?”
“Asal kalian berjanji tidak mengambil lebih dari 20% hartanya aku berjanji.”
Sanjaya meletakkan tangannya ke belakang kepalanya, “Kau boleh eksplorasi situsnya semaumu jika kita sudah menemukannya nanti. Kami hanya perlu setidaknya beberapa patung yang ada di sana.”
*****
Rizal membawa mobilnya menuju sebuah komplek rumah-rumah yang masih bergaya kolonial kemudian membelokkannya ke sebuah rumah bercat dominan putih dengan atap yang telah diganti baru, masih berwarna merah, tidak hitam seperti kebanyakan rumah lainnya.
“Ayo turun,” Rizal mematikan mesin mobilnya lalu turun dari mobil diikuti oleh Sanjaya dan Nandi.
Rizal beranjak mendekat ke pintu samping lalu mengetuk pintu rumah itu tiga kali, “Bu, Bapak pulang Bu.”
Terdengar suara langkah kaki orang di dalam rumah dan sesaat kemudian terdengar suara kunci pintu dibuka. Di balik pintu itu tampak seorang wanita berusia awal 20 tahunan, berkaus coklat dan bercelana hitam kotak-kotak tampak menyambut mereka dengan senyuman. Wanita itu membawakan tas Rizal lalu mempersilakan kedua tamunya masuk ke dalam.
Di dalam Rizal langsung mempersilakan dua tamunya duduk di sofa sementara istrinya masuk ke dapur setelah meletakkan tas milik Rizal di sebuah ruangan.
“Mana tulisannya?” tanya Rizal ketika ia sudah duduk.
Nandi mengibaskan tangan kanannya, memunculkan bilah sundang miliknya – Salaya – dari udara kosong. Sementara Sanjaya melakukan hal serupa dan memunculkan Drestha. Mata Rizal sempat memicing sedikit melihat cara kedua saudara itu mengeluarkan bilah-bilah senjata itu.
“Trik sulap?” tanya Rizal perlahan.
“Sayangnya bukan,” ujar Sanjaya.
“Ya sudahlah, sebentar,” Rizal beranjak berdiri lalu kembali beberapa saat kemudian dengan membawa sebuah kaca pembesar. Ia mengamati tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang terukir pada bilah dan gagang emas Drestha kemudian berlanjut pada Salaya.
“Luar biasa!” Rizal mendesis, “Dari mana kalian dapatkan benda ini?”
“Rahasia,” jawab Sanjaya, “tapi apa kau bisa perkirakan di mana kami bisa temukan situs dengan tulisan serupa ini Zal?”
“Sebentar, apa aku boleh ikut?”
Sanjaya melirik ke arah Nandi yang hanya menanggapi lirikannya dengan mengangkat bahu, “Terserah Kak Sanjaya.”
“Hei, aku penasaran dengan situs arkeologi atau apapun yang kalian cari ini. Lagipula tempat itu sulit aku jelaskan dengan kata-kata atau gambar. Kalian butuh bantuan penduduk setempat untuk masuk ke areal itu dan kebetulan aku kenal baik dengan beberapa kepala adat di sana.”
“Di mana tempat itu berada?”
Rizal baru saja hendak beranjak berdiri ketika istrinya masuk dan menyuguhkan tiga gelas minuman untuk dirinya dan tamu-tamunya. Rizal tersenyum pada istrinya, “Terima kasih Bu,” sebelum akhirnya bangkit berdiri dan mencopot sebuah peta Kalimantan dari dinding.
“Jadi,” Rizal membentangkan peta itu di hadapan Sanjaya dan Nandi, “kita harus ke sini,” jarinya menunjuk ke deretan pegunungan di utara Palangkaraya, “ke Pegunungan Muller Swachner.”
“Hmm,” Sanjaya berpikir sejenak, “berapa duit yang kita butuhkan untuk ke sana?”
“Anggaran? Untuk amannya kita butuh ransum perbekalan, tenda, jas hujan, dan beberapa alat keselamatan lainnya. Tapi tenang,” mata Rizal berbinar nakal, “aku masih simpan alat-alat waktu aku masih bertugas dulu kok.”
“Aku juga masih,” Sanjaya balas tersenyum.
“Oh ya? Di mana?”
“Tidak kubawa sekarang sih. Kutinggal di sebuah tempat yang aman. Kapan kau bisa berangkat?”
“Besok lusa. Aku harus minta izin dulu pada atasanku.”
“Baiklah, sampai ketemu lusa kalau begitu,” Sanjaya beranjak berdiri dan menyalami Rizal.
“Lho kalian mau ke mana? Kalian menginap di mana sih? Kalau kalian tidak punya tempat menginap kalian bisa menginap di sini.”
“Ah tidak usahlah Zal, terima kasih atas tawaranmu tapi kami berdua harus pergi untuk mengambil alat-alat kami.”
“Oh baiklah, tapi setidaknya habiskan dulu minuman yang dibuatkan istriku dong.”
*****
Begitu Sanjaya dan Nandi keluar dari rumah Rizal, bertanyalah Nandi pada Sanjaya, “Sekarang kita ke mana?”
“Ke Jakarta, mengambil perlengkapan. Kalau Rizal ikut dengan kita, itu berarti kita harus bertindak senormal mungkin, mustahil kita tiba-tiba terbang melayang di hadapannya.”
“Baiklah,” Nandi mulai bersiap untuk membuka gerbang dimensi ketika Sanjaya menepuk bahunya, “biar aku saja Dik.”
Sanjaya membuka gerbang dimensi berwarna perak dan masuk ke dalamnya bersama-sama dengan Nandi. Gerbang itu membawa kedua orang itu ke sebuah kompleks pertokoan yang kumuh dan dinding-dindingnya telah menghitam akibat tidak dicat selama bertahun-tahun. Sanjaya beranjak mendekati sebuah ruko yang tampak telah tutup, mengeluarkan serenteng anak kunci dari sakunya dan membuka pintu harmonika toko yang sudah berkarat itu. Pintu harmonika itu menimbulkan suara decit yang menyakitkan telinga ketika Sanjaya dan Nandi menggesernya hingga terbuka.
Tampak di balik pintu itu ada sebuah toko sepatu yang tampak telah terbengkelai. Rak-rak yang dahulu dipakai untuk memajang dan meletakkan sepatu masih tersisa namun tentu saja sepatu-sepatunya sudah tidak ada. Bau debu dan udara yang lembab menusuk-nusuk hidung. Sanjaya kembali mencari-cari anak kunci dan membuka sebuah pintu teralis besi menuju bagian atas toko. Pintu itu menimbulkan suara berderit ketika dibuka.
“Ayo naik,” ajak Sanjaya pada Nandi.
Sanjaya dan Nandi menaiki anak-anak tangga dari kayu yang untungnya belum keropos itu menuju ke lantai dua. Di sana Sanjaya kembali membuka sebuah pintu dan menunjukkan kepada Nandi sebuah ruangan penuh dengan kertas-kertas, foto-foto yang disertai sedikit biodata, sekumpulan senjata berbilah tajam seperti katana, pedang jenawi, dan sangkur, serta sejumlah senjata laras panjang.
“Home sweet home,” ujar Sanjaya ketika memasuki ruangan itu sementara Nandi hanya terperangah menyaksikan betapa berbahayanya ruangan itu jika sampai tersulut ledakan. Senjata-senjata api di sana jelas-jelas masih berisi dan sejumlah besar amunisi tampak masih tertumpuk rapi di sudut ruangan.
“Kenapa Nandi? Oh iya, kau tidak pernah masuk ke dalam sini ya?”
“Ini tempat apa?”
“Kau boleh bilang ini rumahku pasca keluar dari Badan Intelijen. Kau lihat foto-foto di sana Nandi?” Sanjaya menunjuk pada sekumpulan foto yang dipaku pada sebuah papan dan direntangi oleh garis-garis merah oleh spidol, “itu target bunuhku saat aku masih aktif dahulu.”
“Kak, berapa banyak orang yang sudah kau bunuh?”
“Sepanjang karirku sudah 60 orang. Itu belum termasuk Presiden dan Perdana Menteri.”
“Tujuh Belas Agustus berdarah,” Nandi mendesis, mengingat sebuah tragedi yang terjadi beberapa tahun yang lalu ketika Sang Presiden dan Perdana Menteri negeri ini terbunuh oleh aksi pemberontakan sekumpulan prajurit dan anggota Paspampres yang melakukannya karena kecewa pada pemerintahan yang ada. Sanjaya juga turut terlibat dalam insiden itu namun ia bisa meloloskan diri dan menghilangkan jejak entah dengan cara apa.
“Kau sudah melihat kebusukan dunia bukan Nandi? Kau sudah melihat bagaimana orang-orang saling menikam untuk kebutuhan dan keserakahan mereka sendiri. Itulah yang menjadi dasar kami melakukan pemberontakan.”
“Tapi ternyata membunuh Presiden dan Perdana Menteri tidak membawa apa-apa kan?”
Sanjaya menghela nafas panjang, “Sayangnya tidak, karena itu sebagian dari kami memutuskan menjadi vigilante termasuk aku. Tapi yah ... siapa yang menyangka kalau ternyata ada makhluk-makhluk supranatural ikut campur dalam kericuhan yang terjadi di negeri ini.”
Nandi hanya terdiam sembari menatap foto orang-orang itu satu per satu sebelum Sanjaya kembali berujar, “Nandi?”
“Ya?” Nandi membalikkan badan dan menatap kakaknya.
“Aku minta maaf,” tanpa disangka Sanjaya merengkuh dan memeluknya, “aku minta maaf karena telah menyeretmu ke neraka.”
“Itu ... bukan salah Kak Sanjaya,” ujar Nandi perlahan.
“Itu salahku,” Sanjaya kini terisak, rasa berdosa yang ia pendam di dadanya selama ini mulai membuncah, “Kalau aku tidak mengabaikan peringatanmu saat di makam, kau tetap bisa hidup normal sebagaimana yang kau inginkan dan Mama tidak akan perlu dirawat di RSJ. Kalau aku tidak mengiyakan tawaran Helmut untuk kembali berjalan di atas bumi kau tidak akan dikorbankan dan menderita di bawah sana.”
“Waktu takkan bisa diputar balik Kak,” Nandi menepis tangan Sanjaya yang semula merengkuhnya, “Tidak akan bisa. Tapi aku bisa memaafkanmu, dan setelah ini semua selesai, kita bisa kembali berkumpul di satu atap.”
“Kau tidak hendak membunuhku, menamparku, atau memukulku?”
“Tidak, untuk apa?”
“Kau ...,” Sanjaya hendak berkata-kata lagi tapi Nandi langsung meletakkan telunjuk kanannya di bibir kakak sulungnya itu.
“Bisakah ... kita tidak membicarakan ini lagi? Hatiku terasa sakit setiap kali mengingat bagaimana ibu kita menjadi tidak waras karena kematianmu, hatiku ini terasa ditusuk sembilu setiap kali aku ingat bahwa kau mengalami apa yang aku alami dalam jangka waktu yang lebih lama. Tapi kau kakakku, kakak yang melindungi aku dari gerombolan pengintimidasi semasa aku kecil, kakak yang mengajari aku bagaimana naik sepeda, yang mengajari aku bagaimana menerbangkan layang-layang, yang mengajari aku bagaimana berhitung dan membaca, yang mengajari aku bagaimana menyelesaikan persoalan, dan yang mengajari aku untuk menjadi diriku sendiri, tak perlu meniru orang lain. Aku memang penakut, lemah, sentimentil, pasif, dan peragu tapi ... jika aku harus mati satu kali lagi supaya kau tetap hidup, aku tidak akan ragu untuk melakukannya.”
Sanjaya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya bisa bicara kembali, “Terima kasih ... Nandi. Tapi jika tiba hari di mana satu dari kita harus mati lagi, aku berharap kaulah yang tetap hidup.”
“Berharap saja itu takkan terjadi. Sekarang apa yang harus kita bawa untuk besok lusa?”
Sanjaya berpaling ke sebuah lemari kayu sederhana dan berjalan ke lemari tersebut. Ia membuka lemari dan mengeluarkan dua tas perjalanan (travel bag) berwarna hitam dan putih lalu menyerahkan yang putih kepada Nandi.
“Kita perlu membawa tambang panjat,” Sanjaya membongkar tumpukan kardus berdebu dan mengeluarkan sebuah gulungan tali tambang berwarna ungu bergaris kuning dan memasukkannya ke tas hitam.
“Pengait untuk tebing,” ia mengaduk-aduk isi kardus lainnya dan mengeluarkan sejumlah kait untuk panjat tebing.
“Kompas?” Nandi mengambil dua buah kompas yang ada di laci sebuah meja tulis yang sudah berselimut debu.
“Yah, kurasa itu perlu untuk membuat kita terlihat ‘normal’, walau aku yakin itu tidak terlalu berguna untukmu. Dewa Bumi macam dirimu pasti tahu arah mata angin hanya dengan menginjak tanah.”
“Kau punya senapan dengan peluru bius Kak Sanjaya?” tanya Nandi lagi.
“Tidak, untuk apa?”
“Supaya kita tidak perlu membunuh hewan liar di sana kalau-kalau kita diserang.”
“Oh itu tidak perlu, Drestha bisa mengusir kehadiran hewan liar dalam radius dua kilometer.”
Dua saudara itu kembali memilih-milih barang-barang yang hendak mereka bawa. Nandi membongkar lemari pakaian dan menemukan sejumlah pakaian yang masih terbungkus plastik dan memasukkannya ke dalam tas. Sanjaya mengisi ulang beberapa pucuk pistol lalu mengemasnya ke dalam tas. Ketika mereka usai dengan kesibukan itu tanpa terasa hari sudah menjelang malam.
“Tempat ini sudah tidak layak untuk ditinggali, ayo kita cari tempat lain,” usul Sanjaya.
Nandi mengangguk setuju lalu berjalan keluar mendahului Sanjaya.
*****
Setelah mengunci kembali bangunan itu, ponsel di saku jaket Sanjaya tiba-tiba berdering. Sanjaya mengangkat telepon itu dan terdengar suara seorang wanita di seberang. Halo Sanjaya, Rizal baru saja meneleponku.
“Anjani, ada apa?”
Rizal butuh bantuan kalian soal ekspedisi besok lusa. Ia berkata bahwa ada dua benda mirip kunci yang mungkin diperlukan untuk membuka pintu ke dalam bangunan yang ia maksud.
“Kunci ... artefak ya?”
Benar, dan karena itu ia meminta kalian untuk membawa artefak itu kepadanya.
“Oke di mana artefak itu? Museum Nasional?”
Nandi menatap Sanjaya dengan ngeri. Bayangan dirinya harus membobol Museum Nasional tiba-tiba membuat perutnya terasa mual.
Oh untungnya kau tidak harus menodai riwayat hidupmu dengan mencuri harta milik negara. Artefak itu ada di tangan seorang kolektor, tapi aku yakin kau akan senang sekali bertemu kolektor itu.
“Siapa dia?”
Bukan dia, tapi ‘mereka’.
“Tunggu biar kutebak ... mereka kembar?”
Ya, si kembar Bayu dan Agni. Selamat berburu Sanjaya. Kurasa 200 juta rakyat di negeriini tidak akan menangisi kepergian dua orang seperti mereka.
“Bayu dan Agni,” ada seringai terkembang di bibir Sanjaya, “menyenangkan sekali.”
“Errr, bisakah kita cari tempat untuk menaruh bawaan kita ini dulu?”
“Ah, baiklah. Tolong bukakan portal ke Gambir Nandi. Kita bisa titipkan barang kita di sana.”
“Hei! Ada senjata api di tas kita!”
“Oh kau tidak perlu risau Nandi. Selalu ada cara untuk mengalihkan perhatian aparat.”
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top