BAB III : PARA RAJA
Alam Semesta Versigi, Palangkaraya, Republik Indonesia Serikat
Nandi dan Sanjaya muncul dari sebuah portal dimensi berwarna biru tepat di belakang sebuah gedung museum. Suasana tampak lengang, udara panas nan berdebu mewarnai suasana siang yang terik itu, hanya tampak seekor kucing liar berwarna bertotol-totol hitam kelabu sebagai satu-satunya makhluk hidup yang menyambut kedatangan mereka.
“Hai,” Nandi melambaikan tangannya pada kucing itu sementara Sanjaya mendelik ke arah adiknya.
“Siapa yang kamu sapa?” tanya Sanjaya.
“Kucing itu,” Nandi menunjuk si kucing abu-abu yang dengan manja langsung mendekat ke arah Nandi dan mengusap-usapkan tubuhnya sambil mengeong pelan.
“Sejak kapan kamu ... suka kucing?” tanya Sanjaya keheranan.
“Oh ayolah Kak, aku suka semua binatang. Kau saja yang tidak pernah sadar,” Nandi mengelus-elus kepala kucing itu sejenak sebelum akhirnya melepasnya kembali. “Jadi kita ke mana?”
“Universitas Catu Cendana,” jawab Sanjaya singkat sembari berjalan keluar dari area museum itu. Nandi mengikutinya dari belakang. Meninggalkan gedung museum bergaya kolonial dengan cat dominan putih itu menuju jalan raya yang tidak terlalu ramai, hanya dilintasi oleh beberapa mikrolet dan sepeda motor.
“Taksi[1] Bang?” seorang sopir angkutan umum memberhentikan mobilnya yang berwarna dominan jingga, menawarkan dua bersaudara itu untuk naik ke mobil angkutannya.
“Ke kampus Catu Cendana berapa Bang?” tanya Sanjaya.
“Lima ribu satu orang.”
“Ah! Ikau – anda – tidak salah? Mahal sekali.”
“Di sini memang semua mahal Bang, itu saja sudah Itah – kita – kasih murah.”
“Sudah, ambil saja,” Nandi menyikut lengan kakaknya.
Sanjaya menoleh ke arah Nandi dan mengisyaratkan rasa tidak suka. Ongkosnya terlalu mahal. Begitu ia hendak menyampaikan soal itu pada Nandi namun adiknya itu tidak peduli dan langsung memberikan selembar uang sepuluh ribuan pada si sopir ‘taksi’ dan si sopir itu langsung mengisyaratkan dua saudara itu untuk naik. Dua bersaudara itu naik dan duduk di bangku belakang dan sesaat kemudian ‘taksi’ itu sudah berjalan melalui kota Palangkaraya yang tidak terlalu ramai. Melintasi Tugu Palangkaraya – sebuah monumen tugu putih dengan puncak berhias ukiran api berwarna keemasan yang dikelilingi tiang-tiang beton yang dibentuk mirip bambu runcing, hingga akhirnya tiba di sebuah kompleks bangunan yang tampak asri karena ditumbuhi berbagai pepohonan.
“Catu Cendana Bang,” sopir itu menunjuk ke arah bangunan itu. Mengetahui mereka sudah sampai, Nandi dan Sanjaya segera turun dari ‘taksi’ itu.
“Makasih Pak,” ujar Nandi ketika ia telah turun sambil tersenyum ramah ke arah si sopir dan si sopir balas tersenyum sebelum akhirnya memacu kembali mobilnya melintasi jalanan yang sepi.
*****
Sanjaya dan Nandi berjalan memasuki kampus Catu Cendana. Kampus itu memiliki banyak pohon yang rindang, antara lain glodogan, trembesi, angsana dan beringin. Jalannya dilapisi paving berwarna merah dan abu-abu yang ditata sedemikian rupa hingga tampak begitu serasi dipandang mata. Gedung-gedung di universitas ini rata-rata adalah gedung bergaya kolonial bercat putih. Rata-rata gedung-gedung ini bertingkat dua, walau ada juga yang bertingkat tiga.
Sanjaya dan Nandi memasuki sebuah gedung yang bertuliskan ‘Gedung Rektorat’ dan di sana Sanjaya bertanya letak Fakultas Ilmu Budaya. Seorang satpam segera menunjuk ke gedung yang ada di sisi timur Gedung Rektorat sebagai gedung yang dicari oleh Sanjaya. Sanjaya dan Nandi pun segera beranjak menuju gedung tersebut.
Fakultas Ilmu Budaya tampak sepi dan lengang, di lobby hanya tampak seorang wanita paruh baya berkacamata dan berbaju coklat tua yang tengah sibuk mengisi sebuah jurnal. Sanjaya langsung menghampiri wanita itu sementara Nandi memilih menunggu di dekat pintu masuk.
“Maaf Ibu, permisi,” sapa Sanjaya.
“Oh,” wanita itu mengangkat wajahnya dan membetulkan letak kacamatanya, “Ada yang bisa saya bantu Bapak?”
“Ya Bu, saya kemari hendak menemui seorang staff pengajar di sini. Bapak Rizal Gandhi.”
“Oh Pak Rizal, beliau biasanya ada di kantornya di lantai dua. Tunggu sebentar Pak,” wanita itu mengangkat sebuah gagang telepon dan menghubungi seseorang, “Pak Duta, apa Pak Rizal masih ada di situ? Oh masih? Iya, ada tamu yang mencari Pak Rizal. Terima kasih Pak.”
Wanita itu menutup gagang telepon, “Pak Rizal bisa Bapak temui sekarang.”
“Terima kasih Bu,” ujar Sanjaya lalu menoleh ke arah Nandi dan memberi isyarat pada adiknya itu untuk ikut dengannya ke lantai dua.
Dua orang itu melintasi sebuah lorong yang terdiri atas ruang-ruang kelas sebanyak enam ruang sebelum akhirnya menemukan tangga yang membawa mereka ke lantai dua. Di lantai dua mereka berdua langsung menuju sebuah ruangan yang bertuliskan ‘RUANG DOSEN’ pada palang namanya.
“Pak Rizal?” Sanjaya mengetuk pintu ruangan itu dan menemukan bahwa di dalamnya tengah duduk seorang pria. Pria itu berkulit sawo matang, mengenakan kacamata berbingkai kuning tembaga, berkepala nyaris botak, wajahnya berminyak, dan rambutnya yang sudah tahap ‘kritis’ itu sudah mulai dipenuhi uban.
“Sanjaya!” mata pria langsung berbinar begitu melihat Sanjaya. Pria itu langsung bangkit berdiri dan menghambur ke arah Sanjaya sambil berjabat tangan erat-erat, “Lama sekali tak jumpa. Ada urusan apa kau kemari?”
“Hendak mohon bantuan dari seorang ahli.”
“Hmm ... sebentar,” pria itu meletakkan jari telunjuknya di depan mulut Sanjaya, “keahlianku dalam bidang yang mana?”
“Sejarah dan arkeologi.”
“A-haaa!!! Kalau begitu bereslah Sanjaya! Tunggu di luar sebentar, biar aku beri tugas untuk mahasiswa-mahasiswiku dulu.”
“Maaf mengganggumu di saat sibuk, Rizal.”
“Sibuk? Kau bercanda? Kau justru telah membebaskanku dari neraka jahanam ini untuk sementara waktu!” ujar Rizal sambil tertawa dan keluar dari ruangan itu, berjalan menuju sayap lain dari gedung itu.
“Neraka jahanam?” Nandi mendesah, “Dia belum tahu saja bagaimana sakit dan menderitanya di sana.”
Sanjaya melirik ke arah Nandi sambil tersenyum getir lalu menyandarkan tubuhnya pada sebuah tembok, menunggu Rizal kembali dari kelasnya.
Alam Semesta Kasha, Kota Antokhat, Ibukota Kekaisaran Russaya.
Seorang pria berkacamata tampak turun dari sebuah limusin hitam dengan dibantu oleh seorang wanita. Wanita itu mendudukkan pria itu di sebuah kursi roda kemudian mendorong pria itu mendekat ke sebuah gerbang bangunan besar yang tampak dijaga sekumpulan prajurit berseragam merah dan hijau tua.
“Stop!” seorang prajurit mengangkat tangannya dan mengisyaratkan kedua orang itu untuk berhenti. Prajurit itu kemudian meletakkan detektor logam ke hadapan pria itu dan pembantunya.
“Oke anda bersih Tuan Damian, anda boleh masuk tapi pelayan anda tidak boleh.”
“Kenapa dia tidak boleh masuk?” tanya Damian.
“Ada potensi sihir perusak dalam dirinya. Kami tidak bisa potensi sihir itu meledak di dalam sarai – istana – dan membahayakan nyawa seluruh penghuni sarai terutama Kaisar.”
“Prajurit, dia muridku. Aku jamin dia takkan buat masalah.”
“Maaf Tuan Damian, kami tidak berani menanggung resikonya.”
“Prajurit,” nada suara Damian berubah, “bagaimanapun juga aku masih seorang anggota Magisteriya Zakazat' Maga[2], aku bisa jamin wanita ini tidak akan membahayakan Kaisar.”
Penjaga itu bertukar pandang dengan kawan-kawannya sebelum akhirnya memandang ke seorang pria yang tampaknya adalah kepala penjaga. Pria berseragam abu-abu itu mengangguk ke arah sang prajurit, tanda bagi sang prajurit bahwa tamu-tamu itu boleh masuk.
“Baiklah Tuan Damian,” prajurit itu beserta seorang kawannya akhirnya membuka pintu berdaun dua yang menjadi jalan masuk ke bangunan itu, “silakan masuk.”
Wanita di belakang Kaspar kembali mendorong kursi roda Damian masuk ke dalam sarai. Lantai pertama sarai itu terdiri dari lorong panjang yang digelari karpet merah bermotif, di kanan dan kiri lorong terdapat lukisan-lukisan, benda-benda seni, atau senjata macam pedang dan tombak yang terpajang rapi. Sesekali tampak prajurit-prajurit berjaga di depan pintu ruangan yang semuanya tertutup. Mereka semua memberi hormat kepada Damian.
Damian tiba di sebuah tangga melingkar yang menjulang menuju lantai atas. Ia memberi isyarat pada wanita di belakangnya untuk menggendongnya ke atas. Wanita itu berlutut di hadapan Damian dan membiarkan Damian melingkarkan tangannya ke lehernya dan naik punggungnya sementara kursi roda tersebut tampak melayang setelah Damian mengucapkan sebaris mantra.
“Damian,” wanita itu berbisik, suaranya kecil nyaris tak terdengar, tapi jelas-jelas itu bukan suara wanita, “ketika semua ini selesai dan aku masih hidup, aku pasti akan kembali untuk membunuhmu.”
“Tapi penyamaran ini adalah penyamaran paling aman bagimu untuk masuk ke dalam sini Kaspar. Lagipula dandananmu pantas kok,” Damian berusaha keras tidak tertawa ataupun terkikik ketika mengucapkan kata-kata itu.
“Kau sudah tiga kali menyuruhku memakai pakaian memalukan ini, Damian. Suatu saat aku pasti akan membuatmu menderita.”
Kembali Damian berusaha keras untuk tidak tertawa, “Oh sudahlah Saudaraku, mari temui Kaisar.”
Kaspar menaiki anak-anak tangga ke lantai dua, kemudian berlanjut ke lantai tiga. Di sana ia kembali menurunkan Damian dari punggungnya dan meletakkannya kembali di kursi rodanya. Kursi roda itu kembali melintasi lorong berkarpet merah dan melewati sebuah aula berlantai marmer krem bermotif dan disangga oleh sejumlah pilar yang berhiaskan ornamen warna-warni. Setelah melewati aula itu mereka tiba di sebuah pintu yang dijaga oleh setidaknya satu peleton pengawal yang berseragam hitam. Seorang dari mereka beranjak ke hadapan Damian, “Tuan Damian, Paduka Kaisar sudah menunggu Tuan di ruang baca.”
“Terima kasih, Viktor,” Damian menganggukkan kepalanya kepada pria itu lalu mengisyaratkan Kaspar untuk kembali mendorong kursi rodanya ke dalam ruangan itu. Viktor mendahului Kaspar dan Damian masuk ke dalam ruangan itu.
*****
Di dalam ruangan itu tampak puluhan rak penuh buku yang ditata rapi membentang dari ujung ruangan yang satu ke ujung yang lain. Di salah satu sudut ruangan tersebut tampak seorang pria muda berusia 20 tahunan akhir dengan rambut hitam, kulit pucat, dan mata biru safir tampak tengah membaca sebuah buku. Pria itu mengenakan celana kain hitam dan kemeja satin biru yang dipadu dengan mantel biru berhiaskan permata di kerahnya. Viktor langsung berlutut dalam jarak 10 langkah dari pria muda tersebut, Kaspar melakukan hal yang serupa, sementara Damian yang duduk di kursi roda hanya menundukkan kepalanya.
“Mohon maaf mengganggu ketenangan Paduka,” ujar Viktor, “Magistraat Damian Deas Meyer hendak menemui anda.”
“Ah,” pria bermata safir itu bangkit berdiri dan melepaskan pandangannya dari buku yang ia baca ke arah Damian, “Bagus sekali. Kau boleh tinggalkan kami Viktor.”
“Baik Paduka,” Viktor bangkit berdiri lalu berjalan mundur dan keluar dari ruangan itu sementara pria muda yang ternyata adalah Kaisar itu berjalan mendekat ke arah Damian.
“Paduka Alexis Kesembilan, hamba Damian Deas Meyer datang menghadap,” ujar Damian sebelum mengangkat kembali kepalanya.
“Ayolah teman, kalau Viktor sudah tidak ada kau tidak perlu tunduk hormat seperti itu,” ujar Sang Kaisar, “Jadi Damian, katanya kau hendak membawa Kaspar? Mana dia?”
Damian tidak langsung menjawab, ia malah menunjuk pelayan wanita di sampingnya. Mata Sang Kaisar muda itu langsung melotot, dan wajahnya diliputi ekspresi aneh antara geli, tidak percaya, dan heran.
“Itu benar kamu Kaspar?” tanya Sang Kaisar sambil menutup mulutnya rapat-rapat segera sesudah ia bertanya demikian.
Kaspar melepaskan topi wanita dan wig pirang yang bertengger di atas kepalanya sebelum menjawab dengan nada yang ia paksakan datar dan hormat, “Benar Paduka.”
Sang Kaisar akhirnya tak kuasa menahan tawanya, Damian pun tidak. Praktis hanya Kaspar satu-satunya insan yang bermuka paling suram dan cemberut di ruangan itu.
“Hahahaha! Gila kau Damian! Kau sukses membuat Kaspar melakukan hal ini lagi!” Sang Kaisar itu tertawa terpingkal-pingkal sambil memukul-mukul sebuah meja.
“Segera legalkan undang-undang pemberian hak pada kaum transgender Paduka, aku jamin Kaspar akan menjadi salah satu transgender pertama di kekaisaran ini,” sahut Damian.
Tawa kedua orang itu berderai selama beberapa saat sebelum akhirnya Sang Kaisar mulai bertanya, “Jadi ada apa Kaspar? Apa yang hendak kau tanyakan padaku?”
“Putri Sofia,” ucapan Kaspar terhenti sesaat, “kenapa ia ditahan?”
“Oh,” ekspresi Sang Kaisar tiba-tiba berubah, “itu ...,” lalu ia terdiam.
“Apa benar ia mencoba meracunimu Matthayas?” kembali Kaspar bertanya, kali ini dengan menyebut nama asli Sang Kaisar.
“Sebenarnya ... tidak.”
“Lalu kenapa kau menahannya?” Damian ikut mendesak.
“Mengurus negeri sebesar ini sangat rumit,” Sang Kaisar menghela nafas berat, “bahkan dengan bantuan seorang dengan kapablitias seperti Steir[3] Dietrov Mistlavyevich menyatukan suara dalam parlemen itu sulit. Jika parlemen tidak bulat bekerja untuk negeri ini, maka segala yang kita cita-citakan akan hancur. Dan ... di saat-saat seperti ini aku harus meminimalisir suara-suara yang berpotensi menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan politik.”
“Termasuk Putri Sofia?” ujar Kaspar.
“Kaspar, Sofia memang wanita hebat, berwawasan luas, idealis, dan kritis. Tapi dia tidak tahu kapan harus berhenti bersuara lantang. Ia dan kelompok perlawanannya memang berhasil menggulingkan Kaisar yang lama ... .”
“Dan menempatkanmu sebagai Kaisar yang baru,” Damian memotong kata-kata Sang Kaisar.
“Benar, walau sebenarnya aku merasa Karel harusnya lebih layak.”
“Karel sudah mati, dibunuh oleh Kaisar sendiri, ayahnya sendiri,” desah Kaspar.
“Yang juga adalah ayahku, dan ayah kalian berdua,” ujar Matthayas.
“Tapi pantaskah kita perlakukan seorang Putri dengan menjatuhkan fitnah atas dia seperti itu? Tidakkah status pembatasan hak atau tahanan rumah harusnya sudah cukup Matthayas?” tanya Damian.
“Kita semua tahu seperti apa Sofia. Ia adalah satu-satunya keluarga kerajaan yang masuk dalam jajaran Zakazat’ Maga, sesuatu yang bahkan para putra mahkota macam aku atau Karel saja tidak bisa capai. Bayangkan, ia wanita, seorang putri tapi punya tekad melebihi para pangeran. Tekadnya sekeras batu karang tapi juga elastis dan licin bagaikan tentakel gurita. Status tahanan rumah takkan bisa menghentikannya.”
“Apa sih yang sebenarnya Putri Sofia lakukan?” tanya Kaspar lagi.
“Sama seperti yang sudah ia lakukan. Penyebaran propaganda melalui pamflet-pamflet, selebaran-selebaran tanpa nama, surat kaleng, dan sebagainya. Intinya ia mengkritik sistem negeri ini yang menurutnya bobrok. Secara pribadi aku tidak keberatan dengan kritik macam itu, tapi ... ingat negeri ini bukan seperti Republik Tuva atau Kerajaan Avalon. Selama bertahun-tahun rakyat menaruh kepercayaan penuh kepada Kekaisaran sebagai pelaksana amanat mereka dan jika kepercayaan itu runtuh ...,” kembali Matthayas terdiam, ada seraut ekspresi ngeri terlintas di wajahnya.
“Rakyat akan menuntut revolusi, Kekaisaran akan runtuh, dan kekacauan akan terjadi di mana-mana,” sambung Damian, “jadi begitu.”
“Menjadi seorang filsuf dan pengamat kebijakan tiba-tiba menjadi pekerjaan termudah di dunia setelah aku menduduki tahta ini.”
Damian dan Kaspar memandangi Matthayas dengan pandangan penuh rasa iba. Sejak awal pria ini memang tidak akan ditunjuk sebagai putra mahkota jika saja putra mahkota Karel Feodorovich tidak terbunuh akibat pikiran paranoid Sang Kaisar terdahulu yang menganggap Karel berniat membunuhnya untuk menduduki tahta lebih cepat.
“Ayah kita benar,” Matthayas mendesah, “sekali kau menjadi kaisar, maka kau tidak akan lagi terhitung di antara manusia. Kau akan terkucil dan merasa sendiri di tengah-tengah orang banyak. Para saudara dan teman-temanmu akan menentangmu, mengkritikmu, dan mencelamu entah sebaik apa kau bersikap atau sekeras apa kau bekerja demi negeri yang kau pimpin.”
Kata-kata itu membawa Kaspar kembali ke memori di masa lalunya.
*****
Alam Semesta Kasha, Kota Anthokat, Kekaisaran Russaya, 2 tahun sebelumnya.
Malam itu udara sangat dingin dan angin bertiup sangat kencang, menerbangkan dedaunan kering dan sesekali sampah-sampah kertas atau botol minuman ke udara. Kaspar Deas Meyer berjalan sendirian menuju sebuah sarai di mana Sang Putra Mahkota tinggal. Berkali-kali ia berserapah setiap kali ada benda terbang yang nyaris mengenai kepalanya.
Sebenarnya ia bisa saja merapal mantra selubung perlindungan untuk melindunginya dari badai macam ini tapi pesan yang ia terima dari Sang Putra Mahkota mengharuskannya untuk masuk ke areal sarai tanpa terdeteksi. Itu artinya ia harus berjalan dan masuk ke sana tanpa menggunakan sihir.
Setelah sekian lama berjuang melawan deru angin yang kencang serta hantaman beberapa belas botol minuman kosong serta beberapa buah genteng rumah Kaspar akhirnya tiba di sebuah rumah sederhana yang letaknya sekitar beberapa ratus meter dari sarai. Kaspar mengetuk pintu rumah itu dan seorang pria yang seluruh rambut dan cambangnya telah memutih membukakan pintu untuknya.
“Maga Kaspar Deas Meyer,” Kaspar mengeluarkan medali identitasnya sebagai Maga.
“Masuklah,” ujar pria itu sembari menengok ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada orang yang menyaksikan Kaspar memasuki rumah itu. Sesudah yakin, ia menutup pintu rumahnya dan menoleh ke arah Kaspar.
“Kau tahu jalan masuk ke sarai selain lewat pintu depan Tuan?” tanya Kaspar.
“Tentu,” pria itu menekan sebuah batu di tembok rumahnya dan sebuah pintu terbuka, sebuah anak tangga menurun tampak di balik pintu itu, “tangga ini menuju lorong bawah tanah. Ayo ikut aku.”
Pria itu turun mendahului Kaspar dan merapal sebait mantra yang memunculkan sebuah bola cahaya putih cerah yang menerangi tangga turun yang gelap itu.
“Oh, kau juga Maga rupanya,” celetuk Kaspar.
“Tapi tingkatku ada jauh di bawah anda Tuan Meyer. Tapi aku tahu banyak hal mengenai lorong-lorong rahasia di bawah tanah, lorong-lorong yang dibuat khusus untuk keluarga kerajaan guna keperluan meloloskan diri. Karena itu Pangeran Karel menempatkanku di sini.”
“Bagus sekali, ahli sejarah yang menjadi pemanduku untuk sebuah tur lorong bawah tanah. Kau harusnya melamar menjadi staf departemen pariwisata saat perang sudah usai Tuan.”
“Panggil saja aku Kaleb, Tuan Meyer.”
“Baiklah Kaleb, berapa jauh kita harus berjalan?”
“Kita harus memutar Tuan Meyer, sebenarnya ada rute singkat yang bisa langsung membawa kita ke dapur sarai Pangeran Karel dalam waktu 10 menit, tapi berhubung di dapur pasti banyak pelayan dan prajurit jaga saya akan membawa anda melewati jalur alternatif.”
“Dan apa jalur alternatif itu?”
“Gudang senjata dan barang antik.”
“Wew, sebuah ruangan yang dipenuhi barang antik berdebu yang sudah dilupakan zaman? Aku suka itu.”
*****
Kaleb membawa Kaspar melintasi lorong-lorong drainase bawah tanah yang becek dan berbau busuk. Sesekali segerombolan tikus lewat dan bersenggolan dengan mereka. Satu-dua tikus tampaknya telah kencing di sepatu Kaspar, sesuatu yang ia ketahui setelah menyadari ada tambahan bau pesing yang menyertainya sepanjang perjalanan ini.
“Lewat sini,” Kaleb menunjuk ke sebuah sudut di mana tampak anak-anak tangga dari batu yang menjulang ke atas. Kaspar dan Kaleb menaiki tanga-tangga batu itu dan tiba di sebuah dinding batu yang masif dan solid.
“Ada pintu rahasia di sini?”
“Seharusnya ada, sebentar!” Kaleb tampak meraba-raba seluruh dinding itu, mencari-cari sesuatu seperti tombol rahasia.
“Ah, kenapa tidak terbuka?” Kaleb mengerang dan berusaha mendorong pintu itu sekuat tenaganya.
“Kaleb, mundurlah,” di tangan Kaspar tampak segumpal cairan liat tengah melayang-layang di atas tangannya.
“Tuan,” mata Kaleb membelalak ngeri, “kenapa Tuan memakai sihir di sini?”
“Pintu itu disegel dengan sihir, tidak akan bisa dibuka kalau tidak dengan sihir pula.”
“Tapi jika para Maga di sarai itu tahu ... bagaimana?”
“Oh mereka tidak akan tahu, sulur bayangan adalah sihir yang mudah aku samarkan. Mereka pasti hanya akan mengira sihir tidak lebih dari hasil latihan para murid akademi yang tengah latihan tengah malam,” bola liat di tangan Kaspar memanjang menjadi sulur-sulur hitam yang mencengkeram dinding itu dan memasuki setiap celah yang ada di dinding tersebut. Beberapa saat kemudian terdengar suara ‘klang’ sesaat sebelum akhirnya dinding itu berputar 1800 dan menunjukkan ada ruangan penuh cahaya di baliknya.
“Oke Kaleb, terima kasih sudah mengantarkan aku sampai di sini.”
“Sama-sama Tuan,” Kaleb menunduk hormat, “saya akan kembali ke rumah saya. Jalan keluar bagi Tuan sudah dipersiapkan oleh Pangeran Karel.”
Begitu Kaspar memasuki ruangan yang ternyata adalah gudang senjata dan barang antik itu, pintu di belakangnya menutup. Kaspar menengok ke kiri dan kanan. Suasananya sepi, sehingga ia segera beranjak keluar dari ruangan itu. Terlihat di lorong hanya ada satu penjaga, Kaspar mengendap-endap di antara pilar-pilar menuju kamar yang ada di tengah lorong, kamar Sang Putra Mahkota.
Pintu kamar Sang Putra Mahkota terbuka, Kaspar langsung masuk ke dalamnya tanpa permisi ataupun mengetuk pintu. Di sana ia dapati seorang pria muda berusia 30 tahunan tampak berdiri menunggunya.
“Tolong tutup pintunya Kaspar,” ujar pria itu.
“Baik Yang Mulia,” Kaspar menutup pintu ruangan itu dan bertukar pandang dengan sosok pria itu. Sosok Sang Putra Mahkota Kekaisaran Russaya – Karel Feodorovich.
“Duduk Kaspar,” pria itu duduk lalu mempersilakan Kaspar untuk duduk di hadapannya.
“Baik Yang Mulia, terima kasih.”
“Kaspar,” Karel mendesahkan nafas panjang, “aku ingin kau menjadi pengawal pribadiku.”
“Saya?” Kaspar tampak bingung, “kenapa saya? Anda punya sekumpulan pengawal pribadi yang tangguh bukan?”
“Aku tahu, tapi ... aku merasa tidak aman dengan mereka. Aku tidak percaya dengan mereka.”
“Kenapa Yang Mulia?”
“Kau mau dengar sesuatu yang mungkin akan mengguncangkan kepercayaanmu Kaspar?”
Kaspar mengangguk dan Karel melanjutkan, “Ayahku berencana membunuhku.”
“Apa? Itu mustahil. Yang Mulia adalah Putra Paduka Kaisar. Yang Mulia adalah Putra Mahkota.”
“Aku tahu ini kedengaran mustahil, Kaspar. Tapi hal itu aku dengar dengan telingaku sendiri. Ayahku berbicara dengan Atolva, kepala pengawalnya, soal rencana untuk membunuhku beberapa bulan yang lalu.”
“Atolve menghasut Paduka Kaisar?”
“Tampaknya demikian.”
“Tapi kenapa saya Pangeran?”
“Kaspar, kita ini teman. Teman dekat sejak kita masih usia 7 tahun, aku memintamu karena aku percaya padamu. Aku tahu kau tidak akan berkhianat pada temanmu sendiri. Iya kan Kaspar?”
“Uh,” Kaspar langsung berdiri dan meletakkan tangannya di dada kirinya sembari menundukkan kepalanya, “suatu kehormatan bagi saya Yang Mulia.”
“Baiklah Kaspar sekarang aku ingin kau ... akh!” sebuah belati tikam menembus jantung Karel dan di belakangnya tampak sesosok pria berkulit kuning serta berkumis dan bercambang tipis yang Kaspar kenali sebagai Atolva.
“Kau!” Kaspar langsung melemparkan mantra energi berwarna biru ke arah Atolva. Atolva menangkisnya tanpa kesulitan. Sesaat kemudian Kaspar menarik seluruh pedang, pisau, dan senjata berbilah lain di ruangan itu lalu mengarahkannya ke arah Atolva.
“Bajingan! Kenapa kau bunuh Yang Mulia!”
“Atas perintah Kaisar,” ujar Atolva sambil tersenyum tipis.
“Kau pengkhianat! Pasti kau menghasut Kaisar atau semacamnya!” seluruh bilah senjata itu meluncur ke arah Atolva namun hanya dengan sebelah tangan terangkat, Atolva tampak membentuk sebuah dinding tak kasat mata yang menghalangi laju senjata-senjata itu.
“Bagaimana mungkin?” Kaspar terhenyak ketika menyaksikan mantranya tidak bekerja pada Atolva.
“Stop! Hentikan!” terdengar suara pintu didobrak dan sekumpulan pengawal masuk ke dalam ruangan sembari menodongkan senjata ke arah Kaspar dan Atolva.
“Yang Mulia!” seorang pengawal langsung menghambur ke arah Karel yang tergeletak di lantai, “Sadarlah Yang Mulia!”
“Ketua! Ada apa ini sebenarnya?” tanya seorang pengawal pada Altova.
“Maga Kaspar Deas Meyer datang kemari dan membunuh Putra Mahkota,” ujar Altova dengan ekspresi duka yang dibuat-buat.
“Apa? Sembarangan! Justru ketua kalianlah yang membunuh Putra Mahkota!”
“Uhuk!” terdengar suara Karel terbatuk-batuk sesaat lalu jemari tangan kirinya menunjuk ke arah Kaspar, “Deas ... Meyer ... dia ... membunuhku,” lalu tangan itu terkulai lemas dan nyawa Sang Putra Mahkota meninggalkan jasadnya.
“Apa?” Kaspar terhenyak ketika menyaksikan orang yang selama ini ia percayai tiba-tiba saja mengkhianatinya di saat-saat akhir.
“Tangkap dia!” seru Altova dan seluruh prajurit itu pun menangkap dan membelenggu Kaspar.
*****
Alam Semesta Kasha, saat ini
“Apa kami boleh berkunjung ke tempat Putri Sofia ditahan?” tanya Kaspar
“Um,” Matthayas menautkan dua jari telunjuknya di depan mulutnya, “saat ini sebaiknya tidak dahulu Kaspar. Dia masih emosi dan para prajurit di kota ini masih banyak yang tidak percaya bahwa Karel dulu dibunuh oleh ayahnya sendiri. Mereka masih mempersalahkan dirimu untuk soal itu. Lagipula ... kesehatan dan keselamatan Sofia terjamin. Aku hanya akan melakukan pembinaan sedikit pada perilakunya supaya tindakannya tidak sampai meruntuhkan negeri yang sedang goyah ini.”
“Baiklah kalau begitu,” kali ini Damian menyahut, “Paduka, bisakah kami memohon izin Paduka untuk mencari relik Master Mahan sekali lagi?”
Kening Matthayas berkerut, “Ke mana?”
“Valdai Opal, pemukiman orang-orang Altaic.”
“Kau berpikir Master Mahan ada di sana?”
“Kaspar dan aku berpikir demikian Paduka.”
“Hmm,” Matthayas tampak berpikir sejenak, “baiklah aku akan mengurus perijinannya. Apa saja yang kalian perlukan?”
“Tenda, uang, mobil berantai salju, motor salju, semuanya ada di sini dan jumlahnya kurasa bisa dipenuhi oleh suplai militer kota ini,” Damian meletakkan beberapa lembar kertas ke hadapan Matthayas.
Matthayas membaca isi kertas itu sejenak sebelum menoleh kembali kepada si kembar, “Baiklah, tunggulah kabar dariku dua hari lagi.”
[1] Orang Palangkaraya menyebut mikrolet dengan sebutan taksi.
[2] Dewan Para Penyihir
[3] Jabatan yang setara Perdana Menteri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top