BAB II DAMIAN DEAS MEYER

Alam Semesta Kasha, Kota Anthokat, Kekaisaran Russaya

“Anthokat! Dua stasiun lagi!” sang kondektur berseru-seru mengingatkan penumpang bahwa tujuan mereka sudah dekat. Kaspar yang sempat tertidur langsung membuka matanya, merapikan mantel hijau kecoklatannya lalu menunggu hingga kereta berhenti.

Sepuluh menit kemudian kereta benar-benar telah berhenti, para penumpang pun mulai turun satu per satu. Kaspar turun paling akhir, saat kakinya menyentuh lantai peron, ia merasakan sensasi aneh dalam dirinya, campuran antara rasa rindu, marah, kecewa, namun juga bahagia. Bercampur aduk menjadi satu dan nyaris membuat tubuhnya serasa mau meledak.

“Koran! Koran!” bocah-bocah penjaja koran bermunculan menjajakan koran dagangan mereka dalam balutan mantel yang tampak usang dan sepatu yang berlubang.

“Koran Tuan?” seorang anak menawarkan koran kepadanya dengan pandangan memelas.

“Tidak,” Kaspar melambaikan tangannya, menolak tawaran anak itu. Anak lelaki itupun langsung beredar menawarkan koran ke orang lain yang ada di stasiun itu. Kaspar pun melangkahkan kakinya keluar dari stasiun itu, menuju jalanan berpaving yang dilintasi oleh beberapa gelintir mobil dan sejumlah sepeda dan sepeda motor. Kaspar melambaikan tangannya, menghentikan sebuah taksi bercat kuning kusam dan memasuki kendaraan itu.

“Ke mana Tuan?” tanya sang sopir.

“Pusat Penelitian Kekaisaran,” jawab Kaspar.

“Baik Tuan,” ujar sopir itu hormat dan mulai menjalankan kendaraannya.

*****

Shamhy Meztad

Bangunan itu adalah sebuah benteng kastil berlapis emas yang melayang-layang di antara awan-awan. Puluhan sosok prajurit bersayap tampak terbang berpatroli di sekitar bangunan itu. Dan di tengah-tengah bangunan itu tampaklah sosok manusia bersayap perak dan berjubah hitam tampak tengah mengamat-amati sesuatu dalam sebuah bola kristal raksasa berdiameter 60 cm.

“Ada hasil Saklas?” seorang bersayap lain yang mengenakan potongan jas necis khas Inggris mendarat di belakangnya.

“Belum Sermion, mereka mulai bergerak tapi mereka pandai menyembunyikan diri,” jawab sosok yang dipanggil Saklas itu.

“Helmut,” Sermion berpaling kepada sosok pria muda berambut pirang yang rambutnya diikat ekor kuda itu, “menurutmu mereka akan ke mana?”

“Sanjaya dan Nandi itu tidak tertebak, Ying Go apalagi, sementara Helena kemungkinan besar akan kembali ke Leiden, untuk Haris dan Olivia aku tidak bisa menebaknya,” jawab Helmut.

“Bagaimana dengan Kaspar?”

“Kurasa ia akan kembali ke Antokhat.”

“Kau bisa buntuti dia, Helmut.”

“Dengan senang hati, Yah,” Helmut menundukkan kepala – memberi hormat – pada malaikat yang dipanggil dengan sebutan Sermion itu sebelum terbang membumbung ke langit dan hilang dalam sebuah lingkaran cahaya biru yang berotasi dengan lambat di atas istana.

“Beritahu aku jika kau temukan Contra Mundi lainnya, Saklas.”

“Baik Sermion.”

Sermion langsung membumbung tinggi ke puncak kastil dan bergabung dengan sekumpulan malaikat lainnya. Para malaikat itu langsung berkumpul mengelilingi Sermion dalam formasi melingkar. Tampak ratusan malaikat yang berkumpul di situ.

“Saudara-saudaraku!” Sermion memulai orasinya dengan suara menggelegar, “tak lama lagi kita semua akan kembali ke tanah kelahiran kita. Ke surga tempat Tuhan kita yang mahasuci! Apa yang kita impikan selama ribuan tahun akan segera tercapai! Hanya tinggal beberapa langkah! Tinggal beberapa langkah lagi dan kita akan kembali ke tempat asal kita dengan membawa manusia-manusia terpilih ke Firdaus dan para iblis akan menarik manusia-manusia terkutuk ke dalam api neraka untuk selama-lamanya! Kita menang dan para iblis juga menang! Tidak ada yang kalah di antara dua pihak.”

“Yaaa!!” para malaikat lainnya bersorak-sorai dalam semangat dan kegirangan.

“Tapi seperti yang kalian ketahui,” suara Sermion merendah, “ada pihak-pihak yang tidak suka dengan rencana kita. Pihak-pihak yang inginkan kebusukan dunia terus berlangsung sementara di sana para orang benar telah merintih-rintih hingga parau suara mereka untuk memohon keadilan. Kalian tahu sendiri siapa pihak-pihak ini bukan?”

“Para Dewata dan Contra Mundi!” seru seorang malaikat.

“Benar! Benar!” malaikat-malaikat lainnya bersorak riuh.

“Musnahkan para dewata! Habisi para Contra Mundi!”

“Tenang Saudara-Saudaraku!” sosok malaikat lain yang mengenakan helm logam perak tampak terbang mendekat ke arah Sermion, “mereka tak bisa diremehkan. Mereka telah mengalahkan beberapa saudara kita, para Athir Kathana, karena itu kita tidak boleh bertindak gegabah dalam menghadapi mereka.”

“Kenapa Hekaloth? Sekarang kau takut?” seru seorang malaikat.

“Aku tidak takut, Saudaraku. Tapi kalian semua harus paham, tidak mungkin bagi kita untuk mengirimkan seluruh pasukan kita ke tujuh dunia sebelum waktunya tiba.”

“Dan mereka kuat,” Sermion menambahkan, “kuat dan licik, tak bisa dianggap remeh.”

*****

Alam Semesta Kasha, Kota Antokhat, Ibukota Kekaisaran.

Kaspar tiba di sebuah gedung megah berbahan bata coklat kehitaman dan dikelilingi oleh pagar besi yang dicat hitam. Gedung itu menjulang setinggi bangunan sembilan lantai dengan atap yang berhias ornamen gargoyle, menimbulkan kesan seram bagi siapapun yang tidak biasa melihat gedung seperti itu. Kaspar melangkahkan kakinya mengitari gedung itu sambil menarik topinya untuk menutupi wajahnya lalu menghentakkan kakinya kuat-kuat ke tanah dan melompati pagar bangunan tersebut lalu mendarat di halaman gedung yang sepi dan lengang.

Kaspar menghentakkan kakinya ke tanah lalu melesat ke griya tawang yang berada di lantai sembilan. Kakinya perlahan turun menyentuh lantai beton yang keras lalu dengan perlahan ia mendekati sebuah jendela yang tampak terkunci. Kaspar mengetuk jendela itu tiga kali dan di dalam sana sesosok tubuh manusia yang duduk di atas sebuah kursi roda tampak bergerak mendekat ke arah jendela dan membukakan jendela itu bagi Kaspar.

“Halo Damian,” sapa Kaspar sambil tersenyum kepada sosok berkursi roda itu. Sosok yang memiliki wajah yang sangat mirip dengan dirinya.

*****

“Kaspar,” pemuda berkursi roda itu membalas sapaan Kaspar dengan nada datar.

“Oh ayolah Abang Sayang, masakan kau tidak senang melihat adik kembarmu ini kembali?”

“Tidak,” jawab Damian, masih dengan ekspresi datar.

“Lho kenapa?” Kaspar tetap bertanya sambil tersenyum, mengira saudaranya ini tengah bercanda.

“Kau menganggap aku apa, Kaspar?” tanya Damian dengan nada sedikit meninggi.

“Kau saudaraku, kakak kembarku.”

“Lalu?”

“Lalu? Pertanyaan macam apa itu?” Kaspar tertawa, “Apa yang kauinginkan dariku selain pengakuan sebagai saudara?”

“Kematianmu mungkin?” balas Damian datar.

“Ya ampun, kau mulai meracau Damian. Kau kelelahan,” Kaspar beranjak mendekat ke arah kembarannya dan meletakkan kedua tangannya di pundak Damian.

“Jangan sentuh!” Damian dengan kasar menepis tangan Kaspar.

“Kenapa Damian?”

“Terkutuklah kau! Karena kaulah ternyata yang ada dalam ramalan itu, kaulah pahlawannya, kaulah yang mendapat kejayaan.”

“Sekarang kau marah Damian?” dahi Kaspar mengernyit, “Bukankah ketika kau terpilih dahulu kau merengek-rengek untuk dilepaskan dari takdir ini?”

“Tapi kaulah yang mengirimku dalam jurang ketidakberdayaan ini!”

“Kau terluka karena bertarung dengan ragu-ragu saat menghadapi iblis Caym itu. Dan ketika keraguanmu menguat datanglah sang Za’in lalu BUM! Habislah kau,” balas Kaspar sengit, “Bukan aku yang membuatmu seperti ini, ingat? Justru kaulah yang melepaskan sendiri hakmu sebagai seorang Contra Mundi.”

Damian terdiam sejenak lalu terdengar suara isak tangis dari mulutnya, “Maafkan aku Kaspar, aku hanya ... aku hanya ... merasa tak berdaya.”

“Soal penangkapan Tuan Putri?”

“Ya.”

“Ada apa sebenarnya dengan kasus itu?”

“Kita tahu persis seperti apa sifat Tuan Putri. Ia yang membelamu saat kau dijebloskan ke dalam penjara, ia juga yang kerap mengkritik kebijakan Kaisar sebelumnya ketika Sang Kaisar itu melakukan tindakan-tindakan keji.”

“Menurutmu ia dijebak?”

“90 % aku yakin ia dijebak.”

“Kira-kira di mana ia ditahan?”

“Keluarga kerajaan tidak akan ditahan di penjara, lebih-lebih penjara bawah tanah seperti yang pernah kau tinggali. Mereka pasti ditahan di salah satu sarai – istana – atau monr – kastil.”

“Hei, itu tidak berlaku untuk kita.”

“Kita tidak diakui kekaisaran Kaspar. Anak haram Kaisar macam kita takkan pernah mendapat tempat yang sama dengan mereka, sehebat apapun prestasi yang kita torehkan.”

“Sangat adil,” ujar Kaspar sinis.

“Baiklah, aku harap kau ke sini bukan hanya untuk menyelamatkan Sang Putri, Kaspar. Bawakan aku kabar bagus.”

“Kabar bagusnya, sejauh ini tujuh semesta selamat.”

“Tampaknya kau datang tidak hanya dengan kabar bagus.”

“Kabar buruknya, kondisi ini tidak berlangsung permanen. Masih ada satu cara lain yang mungkin ditempuh oleh para Athir Kathana itu untuk mengakhiri dunia kita.”

“Apa itu?”

“Meja takdir. Mereka hendak menghancurkan dunia ini dengan menghancurkan meja takdir.”

“Meja Takdir?” Damian merentangkan tangannya dan sebuah kitab bersampul kulit hewan dengan simbol matahari yang dikelilingi bintang-bintang yang lebih kecil bergerak ke arahnya, “Kukira itu cuma legenda.”

“Katakan itu setelah kita mengira dewa sesembahan yang dipuja ibu kita saban harinya juga legenda.”

“Okee,” Damian segera membuka gembok yang menyegel buku itu lalu meletakkannya di atas meja dan mulai membola-balik halamannya yang tampak usang kecoklatan, “itu berarti kita berdua harus memetakan kemungkinan letak meja itu.”

“Aku takut waktu kita tidak cukup,” Kaspar berjalan ke arah dinding dan menyentuh sebuah peta yang menggambarkan wilayah Kekaisaran, “Russaya menguasai sepertiga wilayah bumi dan untuk alasan yang tidak jelas, kekuatan teleportasi kami tidak bisa digunakan mulai dari Cadarol hingga Semenanjung Tev.”

“Dari ujung barat Russaya hingga ujung timurnya.”

“Menjadi masalah jika ...,” Kaspar menggerakkan tangannya ke daerah pegunungan yang ada di bagian tengah dan selatan negeri ini, “Portal menuju meja takdir itu ada di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau, seperti di ngarai, puncak gunung, atau desa terpencil yang dikelilingi pegunungan.”

“Bicara soal itu,” Damian mendorong kursi rodanya mendekat ke arah sebuah rak buku. Tangannya ia rentangkan sekali lagi dan sebuah buku setebal 25 cm melayang ke pangkuannya, “Kenapa kita tidak cari tahu lokasi portal menuju Meja Takdir itu pada ‘dia’?”

“Siapa?”

“Master Mahan – ia yang memiliki pengetahuan rahasia.”

“Mencarinya akan sulit, seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami.”

“Kurasa tidak juga,” Damian mulai membuka halaman buku tebal itu, “apa kau tahu bahwa pada Maga dari Zakazat' telah mencari keberadaannya selama puluhan tahun? Pencarian ini didanai oleh pemerintah tentu saja.”

“Tidak, aku tidak pernah tahu jika para Maga mencari orang itu.”

“Kekuatan magis Master Mahan melegenda, banyak penyihir berusaha mendapatkan rahasia kekuatannya, tapi kitab-kitab sihirnya tidak bisa terbaca. Kitab-kitab sihirnya berupa kode dan tidak bisa dipecahkan tanpa bantuan buku kodenya. Para pencari ini sudah mencari ke kota Cadarol, kota Ex-Igma, Danau Balkan, Danau Kaspia, Antokhat, Semenanjung Magyar, dan banyak tempat lainnya.”

“Dan hasilnya nihil?”

“Tidak 100 % nihil. Ada satu fakta menarik yang tercatat di sini.”

“Apa itu?”

“Di pegunungan Valdai Opal, ditemukan sebuah daerah di mana sihir sama sekali tidak bekerja dan di sana ada daerah yang tidak tercantum dalam peta,” Damian mencoba bangkit berdiri dari kursi rodanya.

“Hei hati-hati,” Kaspar segera memapah tubuh saudara kembarnya itu dan membantunya untuk lebih dekat dengan peta Kekaisaran.

“Di daerah ini,” Damian menunjuk ke sebuah daerah pegunungan di daerah tenggara, “anomali sihir terjadi di daerah ini, segala sihir menjadi tak berguna di sana. Selain itu juga tertulis bahwa di sini terdapat daerah yang tak dapat dimasuki.”

“Apa maksudnya tak dapat dimasuki?” tanya Kaspar.

“Ada sebuah dinding tak kasat mata yang menghalangi mereka. Dinding yang tak tertembus oleh senjata macam apapun. Seorang prajurit mencoba menembaki dinding itu dan tiba-tiba muncul tulisan macam itu,” Damian menunjuk ke arah buku tebal yang ia letakkan di atas sebuah kursi. Kaspar segera memapah kembali saudaranya ke kursi rodanya lalu melirik ke arah tulisan yang dimaksud.

Kalian bukan Sang Pencari. Begitu tulisan itu berbunyi.

Kaulah Sang Pencari! Tiba-tiba Kaspar diingatkan oleh kata-kata sosok tak berwujud yang merespon panggilannya beberapa waktu yang lalu.

“Damian, bagaimana aku bisa ke Valdai Opal dalam waktu 3 hari?”

“Sebelum itu Kaspar, bisakah kau bebaskan Tuan Putri yang juga sepupu kita itu terlebih dahulu?”

“Baiklah,” Kaspar mengangguk, menyetujui permintaan saudaranya itu.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top