BAB I : ORANG-ORANG YANG KEMBALI

Alam Semesta Kasha, Kota Cadarol, Kekaisaran Russaya

Salju masih turun dengan derasnya di Cadarol, kota di ujung paling barat Kekaisaran Russaya. Sebuah fenomena alam yang tidak biasa, mengingat seharusnya intensitasnya seharusnya sudah berkurang di bulan ini. Seorang pemuda berkulit pucat, berambut pirang, serta mengenakan kacamata yang cukup tebal tampak berjalan di antara sekumpulan orang yang berjalan di jalanan bersalju. Wajah-wajah mereka tampak muram dan lesu. Pakaian mereka tampak penuh tambalan. Sebuah realita yang menyakitkan hati si pemuda.

Kenapa tak ada yang berubah? Gumamnya dalam hati.

Kenapa Kaspar? Terdengar suara dua orang pria di kepalanya.

Aku telah mengalahkan iblis dan Za’in di dunia ini. Aku telah menggulingkan sang kaisar lalim itu dari tahtanya. Kenapa sampai saat ini kehidupan rakyat negeri ini masih begini?

Dinamika politik dan ekonomi berjalan dengan lambat Kaspar. Kau bisa menghancurkan satu kota dalam semalam tapi butuh waktu tahunan  untuk membangunnya kembali.

Si pemuda mendesah. Yah, mungkin saja aku berharap terlalu banyak. Ia meneruskan langkahnya menuju sebuah stasiun kereta api yang ada di ujung jalanan tersebut. Ketika ia memasuki stasiun kereta bergaya gothic tersebut, Prajurit-prajurit jaga berseragam coklat tampak menatapnya dengan tatapan garang dan curiga meski akhirnya tidak melakukan apapun padanya.

Kaspar memasuki lorong stasiun yang disangga oleh tiang-tiang berukir berwarna abu-abu dan berhiaskan kaca warna-warni pada langit-langitnya. Gambar-gambar hewan, tumbuhan dan orang-orang suci tergambar pada kaca warna-warni itu.

“Karcis kereta eksekutif satu. Menuju Anthoka,” ujar Kaspar pada wanita penjaga loket karcis.

“Tiga ratus zlato,” jawab wanita itu datar.

Kaspar merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan tiga lembar uang berwarna kebiruan lalu menyodorkannya pada wanita tersebut. Wanita itu langsung merespon dengan mencetak selembar karcis dari printer yang ada di sampingnya lalu menyerahkannya pada Kaspar. “Keretanya akan datang dua jam lagi.”

“Baiklah, terima kasih Nona.”

Kaspar menoleh ke sebuah kafe dan masuk ke dalamnya, memesan semangkuk ukha – sup ikan air tawar – dan segelas kopi panas. Diliriknya rak koran gratis di ujung ruangan dan diambilnya satu eksemplar. Mata pemuda berkacamata itu pun langsung menelusuri satu-demi-satu judul berita yang ada di sana. Ia nyaris tidak menemukan sesuatu yang istimewa sampai matanya tertumbuk pada satu berita. Putri

Putri Sofia Alexeevna Ditahan Karena Mencoba Meracuni Kaisar.

Mata Kaspar membelalak tidak percaya, “Chata zauy – Apa-apaan ini?”

“Ada masalah Tuan?” tiba-tiba seorang gadis pelayan sudah berdiri di samping mejanya dengan membawa nampan berisikan pesanannya.

“Ah tidak,” Kaspar mencoba menguasai kembali emosinya.

Pelayan itu meletakkan pesanan Kaspar di atas meja lalu beranjak pergi, “Selamat menikmati Tuan.”

Tiba-tiba saja Kaspar menjadi tidak berselera menyantap makanan yang ada di hadapannya itu. Namun mengingat perjalanan yang akan ia tempuh akan sangat jauh dan harga makanan di negeri ini sedang sangat mahal, Kaspar akhirnya memaksa diri untuk makan.

*****

Suara seorang wanita mengumumkan bahwa kereta yang akan menuju Antokhat telah tiba di peron satu. Kaspar beranjak bangkit dari duduknya, membayar makanannya, dan berjalan menuju peron. Di luar ia mengeluarkan sebuah topi coklat dan memakainya sedemikian rupa hingga wajahnya tidak terlalu terlihat. Beberapa prajurit berseragam keluar dari dalam kereta, bersenjata senapan laras panjang dan mengamat-amati setiap orang yang hendak naik ke kereta.

Kaspar melirik ke arah gerbong ekonomi, di sana puluhan penumpang berdesak-desakan untuk masuk ke dalam kereta. Kaspar mendesah untuk sesaat sebelum akhirnya berjalan menuju gerbong eksekutif yang berada persis di belakang gerbong lokomotif.

“Tahan!” seorang prajurit menghentikan langkah Kaspar yang hendak naik ke atas gerbong.

“Ada apa Pak?” tanya Kaspar tenang.

“Sebutkan nama dan keperluanmu ke Antokha!”

Dalam hati Kaspar terkekeh. Prajurit di hadapannya ini tidak sedang berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Prajurit ini tengah berusaha mencari ‘uang jajan tambahan’ dengan mencari-cari kesalahan calon penumpang. Normalnya orang seperti ini tidak akan mundur jika tidak diberi beberapa lembar uang. Tapi Kaspar sudah punya rencana untuk mengatasi orang ini.

“Hei! Kenapa kau diam saja? Jawab!” prajurit itu kembali membentak.

Kaspar merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan sebuah emblem berwarna keemasan dengan simbol seekor ular besar yang berhadapan dengan seekor singa. “Zakazat' Maga,” sahut Kaspar.

Penunjukan emblem itu dan kata-kata Kaspar mengenai Zakazat' Maga itu membuat prajurit tersebut gentar. Wajahnya kini pucat dan meskipun berusaha tetap berdiri tegap, kakinya tampak gemetaran.

“Prajurit, saya rasa tidak ada perlunya dirimu menanyakan pada setiap orang yang akan naik kereta ini, nama dan tujuan mereka bukan?” ujar Kaspar dengan nada tenang namun terasa mengancam di hati sang prajurit.

“Ti-tidak Tuan. Maafkan saya,” prajurit itu menundukkan kepalanya lalu mempersilakan Kaspar dan orang-orang yang berbaris di belakangnya untuk masuk. Hilang sudah niatnya untuk memungut uang dari orang-orang itu.

Di dalam kereta Kaspar segera mengambil tempat duduk yang telah ia pesan, sebuah tempat duduk yang berada di bagian belakang dan terletak di dekat jendela. Gerbong itu lumayan sepi, hanya dinaiki setidaknya 15 orang. Dan semua orang itu melirik ke arahnya dengan takut-takut. Nama Zakazat' Maga – ordo para penyihir – yang berada di bawah otoritas langsung kabinet negeri ini memang menjadi momok. Desas-desus mengenai kekejaman ordo ini dalam memperlakukan musuh atau warga negara yang mereka anggap berkhianat pada negara beredar luas di masyarakat umum, memunculkan stigma ‘Jangan pernah berurusan dengan para Maga – penyihir, jika ingin berumur panjang’.

Tapi kondisi ditakuti oleh para penumpang ini menjadi berkah tersendiri bagi Kaspar, sebab ia tidak mau sepanjang perjalanan nanti harus melayani perbincangan dan pertanyaan-pertanyaan dari para kakek, nenek, atau wanita bangsawan yang sok tahu dan sok ingin tahu mengenai segala macam hal.

Kaspar memejamkan matanya, mengkonsentrasikan imajinya pada sebuah citra bola bundar yang berotasi secara perlahan, citra dunianya. Bola itu berputar secara perlahan, daratannya disimbolkan dengan warna hijau dan wilayah perairannya dengan warna biru. Kaspar mengulurkan tangannya kepada imaji itu dan bayangan-bayangan hitam bermunculan menyelubungi daratan dan lautannya untuk beberapa saat.

Saya memanggilmu. desis Kaspar yang memanggil satu entitas khusus.

Bayangan-bayangan putih bercahaya bermunculan di daratan-daratan tapi segera menghilang.

Saya mendengarmu. Apa yang kau inginkan dari saya? Terdengar sebuah jawaban.

Saya ingin menemuimu.

Untuk apa? kini beberapa titik berwarna jingga cerah bermunculan di beberapa wilayah daratan.

Berbicara, berbincang, mencari jawaban.

Ah, aku tahu apa yang kau cari.

Kalau begitu katakan padaku di mana kau berada.

Tidak akan.

Tidak?

Kau Sang Pencari Kebenaran, temukan aku dengan usahamu sendiri.

Titik-titik dalam citra itu memudar dan sesaat kemudian citra itu buyar menjadi serpihan-serpihan cahaya ungu-gelap.

“Ah, sial!” Kaspar membuka matanya kembali dan mendapati bahwa kereta yang ia tumpangi sudah mulai berjalan meninggalkan Stasiun Cadarol.

*****

Alam Semesta Versigi, Surabaya, Republik Indonesia Serikat

“Mau apa kita ke sini?” tanya Nandi pada Sanjaya yang secara tak terduga membawanya kembali ke kota asal mereka dan muncul tepat di gang belakang sebuah toko buku.

“Mencari informasi,” jawab Sanjaya sembari menyembunyikan senjatanya di balik jaketnya.

“Di toko buku? Cari apa sih?”

“Saya punya teman, ahli sejarah, yang mungkin bisa bantu kita soal mencari sekutu-sekutu kita ini. Tapi tinggal di Palangkaraya. Berhubung kita berdua tidak pernah ke Palangkaraya kita harus cari foto kota itu.”

“Oh,” Nandi manggut-manggut. Teleportasi melalui gerbang dimensi memang mengharuskan mereka membayangkan dengan jelas tempat yang mereka tuju dalam pikiran mereka.

Kedua pria itu berjalan memasuki toko buku. Nandi berniat untuk menuju rak buku-buku wisata tapi Sanjaya menghentikannya dan mengajaknya langsung ke kasir.

“Mbak, ada kartu pos bergambar dengan latar Palangkaraya?” tanya Sanjaya pada sang kasir.

“Oh ada Mas,” kasir itu segera mengambilkan empat lembar kartu pos dengan latar Palangkaraya. Satu bergambar jembatan Kahayan, satu bergambar sebuah danau bernama Danau Tahai, satu bergambar Sungai Kahayan, dan satu lagi bergambar Museum bernama Balanga.

“Terima kasih Mbak,” Sanjaya langsung mengeluarkan selembar dua puluh ribuan untuk membayar kartu pos itu lalu keluar bersama Nandi dari tempat itu.

Setibanya di luar mereka kembali berjalan menuju gang sepi yang berada di belakang gedung itu. “Seharusnya ini menjadi lebih mudah kalau saja Rajata-Rajata kita tahu di mana posisi teman-teman kita ini.”

“Yah, sayangnya mereka tidak tahu,” Nandi mendesah.

“Oke, danau tampaknya jauh dari pusat kota,” Sanjaya membolak-balik kartu-kartu pos di tangannya, “muncul di sungai atau jembatan akan buat kita jadi pusat perhatian, jadi pilihannya tinggal museum,” Sanjaya menyerahkan kartu pos bergambar Museum Balanga itu kepada Nandi, “Tolong bukakan gerbangnya Nandi.”

Nandi berjalan mundur sebanyak lima langkah sebelum akhirnya membuka sebuah gerbang dimensi lalu mempersilakan kakaknya masuk duluan untuk kemudian ia susul. Kedua orang itupun menghilang ke dalam pusaran cahaya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top