BAB XX : SESUATU YANG BARU
“Ke mana kita harus bawa mereka Ibu Bumi?” tanya Ying Go kepada Pertiwi ketika seluruh kawan-kawan prajuritnya telah berkumpul di bagian selatan kota.
“Kalian harus membawa prajurit-prajurit itu keluar dari kota ini. Kunarpa yang masih berkeliaran di kota ini masih banyak dan kalian takkan bisa terus-menerus berada di sini. bawalah mereka keluar dari kota ini sementara aku akan menyegel kota ini,” ujar Pertiwi.
“Menyegel kota?” Ying Go mengernyitkan dahi, “Bagaimana caranya?”
“Sudahlah, lakukan saja sesuai perintahku.”
“Baiklah,” Ying Go akhirnya berjalan menemui pimpinan pasukan TNI yang tersisa dari sekian puluh ribu prajurit yang tadinya bertugas menjaga ibukota. Pimpinan pasukan yang tak lain adalah ayahnya sendiri.
“Pa, Papa harus bawa sisa pasukan ini keluar dari ibukota,” ujar Ying Go.
“Apa? Itu tidak mungkin! Pasukan kita telah diperintahkan untuk bertempur mempertahankan kota ini sampai titik darah penghabisan!” jawab Tan Liem Seng gusar.
“Aku tahu, tapi kota ini sudah tak dapat diselamatkan lagi. Para panglima telah gugur atau menghilang selama pertempuran. Secara de facto Papalah panglima mereka sekarang. Papa bisa lihat sendiri bukan kondisi mereka? Mereka sudah lelah, sudah tak mampu lagi bertempur. Memaksa mereka merebut kota ini hanya akan mengakibatkan mereka mati konyol.”
“Apa kau akan membantu kami merebut kota ini, Ying Go?” tanya Kapten Rukmana.
“Tidak, aku dibutuhkan di tempat lain Kep.”
Mayor Tan Liem Seng dan Kapten Rukmana menghela nafas panjang.
“Baiklah,” akhirnya Tan Liem Seng buka suara, “Prajurit! Bergerak ke selatan! Kita keluar dari sini! Kita tinggalkan kota ini!”
Konvoi tank, jeep, dan prajurit itu kemudian berbaris rapi menuju selatan, meninggalkan Jakarta. Di angkasa Sanjaya, Haris, Helena, dan Olivia tampak mengawasi pergerakan prajurit itu. Tampak Olivia menatap sebal ke arah dua kawannya itu.
“Maaf sudah mengurungmu di sana Olivia, tapi kami terpaksa melakukannya,” ujar Helena.
“Kenapa kau tidak bilang bahwa Helmut berencana mengkhianati kita?” ujar Olivia dengan nada terisak, tampak air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
“Karena tidak satupun dari kalian yang akan percaya ceritaku. Kalian semua mempercayai Helmut sebagai pemimpin. Kalian semua menaruh kepercayaan tinggi kepadanya. Kalian semua menganggap ia sebagai ‘kakak’ yang melindungi kita semua. Jika aku beritahukan hal itu secara terang-terangan tentu saja kalian semua akan menyalahkanku bukan?”
“Helmut ...,” Sanjaya mendesah panjang lalu mengalihkan pandangannya pada Helena, “Helena, aku harus berterimakasih padamu karena telah membawa Nandi kembali.”
“Sama-sama,” jawab Helena datar.
“Hei!” tiba-tiba terdengar suara Haris di belakang mereka, “Sekarang kau yang memimpin Olivia!”
Olivia menoleh kepada Haris, “Aku?”
“Ya. Kita perlu seorang untuk memimpin kita. Kenapa tidak kau saja?”
“Oh tidak-tidak Haris, kenapa tidak kau saja? Bukankah kau berpengalaman memimpin para janissary ketika masih menjaga keluarga Sultan Ottoman dahulu?”
“Aku?” Haris balik bertanya.
“Menurutku Haris pantas untuk itu,” tiba-tiba Nandi muncul di tengah-tengah mereka dan ikut berbicara.
“Aku juga,” ujar Helena.
“Aku juga,” sambung Sanjaya.
“Kita tinggal tunggu jawaban Ying Go dan Kaspar,” ujar Olivia.
*****
Iring-iringan pasukan itu akhirnya tiba di batas kota. Di sana mereka menyaksikan sosok seorang wanita yang tak lain adalah Pertiwi tampak berdiri di pinggir jalan sambil menebar senyum kepada setiap orang dari antara mereka.
“Sudah semua Ying Go?” tanya Pertiwi kepada Ying Go yang tampak duduk di atas sebuah tank.
“Ya, mereka yang terakhir.”
“Baiklah,” Pertiwi mengangkat kedua tangannya dengan gerakan seperti gerakan tangan seorang penari. Bersamaan dengan gerakan tangan Pertiwi terdengar gemuruh di sekitar daerah itu dan sebuah tembok cadas muncul dan menjulang tinggi, mengelilingi kota Jakarta yang telah remuk dan lebur oleh terjangan kunarpa.
“Dengan begini para kunarpa itu takkan bisa keluar,” ujar Pertiwi.
“Maaf Nyonya,” Kapten Rukmana mulai berbicara, “Tapi bagaimana jika suatu ketika kami berniat merebut kota ini lagi?”
“Kalian bisa meruntuhkan cadas itu dengan dinamit kalian, atau kalian bisa menyerang kota ini dengan udara. Itu terserah kalian. Aku bangun tembok ini hanya untuk membatasi pergerakan kunarpa-kunarpa itu. Memastikan mereka tidak mencelakakan penduduk sipil yang tak mampu membela diri seperti kalian.”
Rukmana dan Tan Liem Seng saling berpandangan untuk sejenak. Pikiran mereka dipenuhi segala macam alasan yang harus mereka karang untuk menjelaskan alasan mundurnya mereka dan munculnya tembok cadas yang tiba-tiba ini.
“Baiklah Pa,” Ying Go menepuk bahu ayahnya, “Saatnya kita berpisah.”
“Apakah kita akan bertemu lagi?”
“Aku berharap demikian Pa. Ayo Kaspar.”
“Ayoi!” sahut Kaspar yang tampak duduk di sebuah tank yang lain. Ia langsung turun dari tank itu dan mengikuti Ying Go. Bersama Pertiwi kedua pemuda itu akhirnya menghilang, memasuki sebuah gerbang dimensi yang terbuka di hadapan mereka.
*****
Tan Liem Seng tampak mengambil sekotak rokok dari saku seragamnya. Ia guncangkan kotak rokok itu dan sebatang rokok mencuat melalui lubang yang ada di dasar kotak. Dirogohnya kembali saku celananya, mencari-cari korek api. Namun Rukmana segera menyulut rokok komandannya itu dengan korek api miliknya sendiri.
“Anda punya putra yang luar biasa Mayor,” ujar Rukmana.
“Yah ... siapa sangka aku telah melihat hari ... di mana putraku telah melakukan hal-hal luar biasa, hal-hal yang sungguh di luar harapanku sebagai seorang ayah.”
“Saya yakin almarhumah istri anda akan berbahagia menyaksikan putranya kini.”
Tan Liem Seng menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum bicara, “Ya, aku yakin itu,” ujarnya sambil menatap langit biru cerah yang membentang di atas kepalanya.
*****
Alam Semesta Persada
Haris, Kaspar, Olivia, Sanjaya, Ying Go, dan Helena tampak tengah duduk melingkar di hadapan sebuah meja kayu bundar berukirkan tanaman dan hewan-hewan. Di hadapan mereka kini tampak Nandi dan kedua saudaranya – Sitija dan Bomasrawa – serta Alasdair duduk berhadap-hadapan dengan mereka. Wajah mereka tampak serius dan tegang.
“Apa yang akan dilakukan Helmut setelah ini?” tanya Helena membuka pembicaraan.
“Helmut – atau aku menyebutnya Kairos – akan menjalankan rencana kedua,” ujar Alasdair.
“Apa maksudnya rencana kedua?” tanya Kaspar.
“Ketika kaum kita – kaum dewata – dimusnahkan dari muka bumi, para tentara langit menyisakan sedikit dari kita untuk menjadi para hakim, menjadi para pengambil keputusan kapan kiranya jalannya kehidupan di dunia ini harus dihentikan. Aku salah satu di antaranya. Kairos juga termasuk.”
“Lalu ... apa yang kalian putuskan? Memutuskan bahwa hari kiamat akan datang saat ini begitu?” ujar Olivia gusar.
“Tidak. Kami tidak pernah mencapai kata sepakat sampai kapan manusia harus menguasai dunia. Sebagian dari kami memutuskan bahwa kehidupan manusia haruslah dipanen dalam satu siklus tertentu. Sebagian lain menolak, dan kami pun terpecah. Kairos akhirnya membunuh beberapa dari kami, menyisakan hanya tiga dari kami. Aku, Kairos, dan satu lagi.”
“Apa yang kita bisa dapat dari para hakim ini?” tanya Ying Go.
“Kami bertiga memegang sebuah kunci, sebuah kunci yang dibutuhkan para tentara langit itu untuk mengakhiri kehidupan di satu dunia. Kunci kepada Meja Takdir, di mana nasib sebuah dunia diputuskan. Aku memegang satu, Kairos satu dan seorang lagi satu. Tanpa kunci dari kami bertiga mereka takkan bisa mengakhiri kehidupan di dunia-dunia kalian.”
“Berarti ... kita harus mencari yang seorang ini. Siapa namanya Alasdair?” tanya Haris.
“Bai-Ulgan,” jawab Alasdair.
“Bai-Ulgan katamu?” ekspresi Kaspar tiba-tiba tampak semakin tegang.
“Kau pernah mendengar soal dirinya Kaspar?” tanya Alasdair.
“Aku dan sukuku menyembah dia sebagai wakil Tengri. Legenda dari sukuku menyatakan bahwa ketika kami bermigrasi ke Altaic, ia mengajari kami bagaimana cara menggunakan sihir. Sesuatu yang menjadi ciri khas dan kemampuan khas kaum kami di Altaic sampai saat ini,” ujar Kaspar.
“Itu artinya ia mungkin berada di duniamu, Kaspar.”
“Kalau begitu mari kita ke Kasha sekarang,” Olivia langsung beranjak bangkit.
“Tidak secepat itu,” Nandi mengangkat tangannya dan memberi isyarat pada Olivia untuk kembali duduk.
“Para malaikat itu akan kembali memburu kita. Cepat atau lambat mereka akan menyerbu untuk membunuh kita. Andaikan kita berhasil mendapatkan kunci menuju Ruang Meja Takdir sekalipun, kita pasti harus berhadapan dengan ratusan atau mungkin ribuan tentara langit. Dengan kekuatan kita yang hanya segini, kita takkan mampu melakukannya,” Bomasrawa yang selama ini diam akhirnya buka suara.
“Lalu ... bagaimana?” Haris mendesah.
“Kita harus dapatkan sekutu. Kita harus mengumpulkan kembali teman-teman kita yang tercerai-berai. Masing-masing dari kita harus mencari dan mengumpulkan sekutu sebanyak mungkin,” ujar Alasdair.
“Dan di mana kita harus mulai mencari?” tanya Ying Go.
“Kalian tahu di mana harus mulai mencarinya,” ujar Sitija sambil memandangi keenam Contra Mundi di hadapannya satu-demi-satu. Sejenak keenam orang itu tampak berpikir keras sebelum akhirnya masing-masing dari mereka bangkit berdiri.
“Kalian sudah memutuskan?” tanya Alasdair.
“Ya, kami akan mulai mencari,” ujar mereka semua minus Kaspar.
“Kau Kaspar, bagaimana?”
Kaspar terdiam untuk sesaat sebelum akhirnya menjawab, “Aku akan mencari Bai-Ulgan terlebih dahulu.”
“Baiklah kawan-kawan, semoga berhasil dalam misi kalian kali ini,” ujar Alasdair.
Keenam Contra Mundi tersebut membentuk gerbang dimensi menuju dunianya masing-masing. Helena kembali menuju Sambala, Haris kembali menuju ke Jara, Kaspar ke Kasha, Olivia ke Avesta, dan Ying Go ke Arvanda. Sanjaya membentuk sebuah gerbang dimensi namun ia tak segera memasukinya melainkan menoleh sejenak pada Nandi,“Nandi kau ikut?”
Nandi tidak segera menjawab melainkan menoleh kepada ibunya yang duduk tenang di sudut ruangan, “Ibu ... haruskah aku ...?”
“Ikutlah Sanjaya Nak, dan temui ibumu yang lain serta saudara-saudaramu terlebih dahulu,” jawab Pertiwi.
“Pertiwi, aku rasa seharusnya Nandi pergi ke ...,” ujar Alasdair yang langsung dipotong oleh Pertiwi.
“Sssshh ... bahkan dengan kekuatan kita saat ini, kita takkan bisa masuk ke dalam teritori Saklas, Titik Nol.”
“Heh,” Alasdir mendengus kesal, “Kau benar Pertiwi. Maaf.”
“Ayo Nandi,” Sanjaya kembali mengajak Nandi untuk ikut bersamanya. Nandi akhirnya bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam gerbang tersebut diikuti oleh Sanjaya di belakangnya.
==00==
Bersambung ke Contra Mundi III – Master Mahan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top