BAB XVII : RANCASAN
Semua mata para Contra Mundi itu langsung terarah pada Ying Go yang tiba-tiba menjadi salah tingkah ketika dipandangi oleh kawan-kawannya, “Oh ... baik ... aku akan mencari Mara.”
“Aku temani!” sahut Helena dan dua orang itu segera terbang melesat, pergi dari tempat itu.
“Aku akan urus mantan Kapten kita,” sahut Nandi sembari beranjak pergi dari situ.
“Aku ikut denganmu Dik!” ujar Sanjaya sembari memegangi pundak Nandi.
“Kau tidak mencari Calya?” tanya Nandi.
“Tidak aku ...,” belum sempat Sanjaya selesai berkata-kata terdengar suara tawa mengerikan yang datang dari sebuah bangunan pencakar langit. Baik Sanjaya maupun Nandi sudah tahu itu tawa milik siapa. Itu tawa milik Calya.
“Hei Sanjaya! Kemarilah! Kutantang kau adu tanding sekali lagi!” pekik Calya dari atas bangunan itu.
Terdengar suara gemeletuk gigi Sanjaya, tubuh pemuda itu gemetaran menahan amarah yang amat sangat sementara di sampinganya Nandi akhirnya berujar, “Kejar dia Kak, bunuh dia demi ayah kita.”
Lalu melesatlah Sanjaya ke bangunan tersebut sementara Nandi melesat ke arah lainnya – mencari Helmut.
“Kita bagaimana?” tanya Kaspar yang tampak bingung ditinggalkan berdua bersama Haris. Haris sendiri tidak menjawab dan hanya balik menatap Kaspar.
“Kita pastikan saja para kunarpa itu tidak mengganggu teman-teman kita,” akhirnya Haris menanggapi perkataan Kaspar.
“Baiklah,” Kaspar menyahut dengan malas sembari mengangkat kembali senjatanya.
*****
Sanjaya telah sampai di atas gedung pencakar langit itu. Kakinya menimbulkan suara debam ketika menyentuh lantai puncak gedung tersebut, matanya nyalang penuh amarah – mencari-cari buruannya yang sudah lama ia kejar.
“Dulu kau kalah Sanjaya,” terdengar suara orang di belakangnya, Sanjaya segera berbalik dan mendapati seorang pria botak tengah berdiri angkuh dan melemparkan senyum mengejek ke arahnya, “Apa kali ini kau akan kalah juga?”
“Kali ini kau yang akan kalah!” Sanjaya mengeluarkan sebilah pisau emas dari balik saku bajunya. Bilahnya tampak berkilat sesaat akibat pantulan sinar bulan.
“Kelemahan terbesarmu Sanjaya : kau tidak pernah sadar kapan kondisi yang kau hadapi akan membawa ketidakberuntungan padamu,” Calya langsung melesat ke arah Sanjaya, sebuah bayangan hitam menyelubungi kedua tangannya lalu termaterialisasi menjadi dua bilah pedang bayangan. Ia sabetkan dua bilah pedang itu pada Sanjaya, tapi Sanjaya segera berkelit dengan mundur beberapa langkah sehingga senjata Calya hanya membentur lantai beton.
“Lumayan!” Calya kembali melempar seringai mengejeknya lalu kembali menerjang ke arah musuhnya kembali.
*****
Helmut Redeemes mencoba untuk bangkit dari puing-puing bangunan yang menghimpitnya. Diayunkannya sebilah pedang Yunani yang ia pegang di tangan kanannya hingga potongan beton itu patah menjadi dua. Lehernya terasa nyeri sementara kakinya gemetar menahan sakit yang berdenyut-denyut hebar dari luka tusuk di punggungnya.
Sesosok malaikat berzirah perak muncul di hadapannya, sayapnya perak membentang lebar, wajahnya tertutup helm perak, dan tangannya memegang sebuah tongkat besi berujung berupa bilah kapak dengan ditambahi sebuah batang besi runcing – sebuah senjata yang dikenal sebagai halberd. “Tuan Helmut, kita harus pergi dari sini,” ujar malaikat itu dengan nada dingin dan datar.
“Aku tahu, beri saja aku kesempatan untuk ... uh,” Helmut kembali ambruk ke lantai beton sambil memegangi luka di punggung dan dadanya yang semakin deras mengalirkan darah.
“Tuan,” malaikat itu berjalan mendekat ke arah Helmut namun belum sempat ia mendekat lebih jauh, sebilah sundang telah memisahkan kepalanya sehingga tubuh berbalut zirah itu langsung rubuh ke lantai.
“Halo Helmut, mohon maaf keberangkatanmu harus ditunda untuk beberapa saat,” ujar sosok yang memegang bilah pedang tadi.
“Nandi? Heh! Entah siapa yang membantumu lolos dari bawah sana,” ujar Helmut sambil menancapkan sebilah dari dua pedang kembarnya ke lantai untuk membantunya berdiri, “Tapi akan kupastikan kau kembali lagi ke sana.”
“Aku meragukannya Helmut,” Nandi langsung berlari, menerjang ke arah Helmut dan menyabetkan sundang miliknya ke arah Helmut. Helmut langsung menangkis serangan Nandi dengan pedang yang di tangan kanannya sembari mengayunkan pedang di tangan kirinya ke arah kepala Nandi. Menyadari ada serangan ke arah kepalanya, Nandi langsung mengelak tipis dari sabetan pedang tersebut. Usahanya tidak terlalu berhasil, bilah pedang Yunani Helmut menggores pelipis kanan Nandi. Darah merah mulai mengalir dari pelipis pemuda itu sementara pedang Helmut kembali menghujam ke arahnya, memaksanya untuk mundur sejauh beberapa langkah.
“Kau merusak semuanya Nandi!” pekik Helmut sembari menerjang ke arah Nandi. Dua pedangnya kembali ia ayunkan dan keduanya segera membentur bilah senjata Nandi.
“Apa yang aku rusak Helmut? Rencana besarmu? Rencana pengkhianatanmu?”
“Kau hanya tahu sebagian kebenaran Nandi, jangan pikir karena kau tahu sebagian kebenaran maka kau berhak untuk menghakimi pengkhianatan diriku.”
“Apa yang kau bicarakan Helmut? Berusaha memutarbalikkan fakta?” Nandi menendang tulang kering Helmut, membuat posisi Helmut goyah lalu memukul perutnya hingga pria berjas hitam itu terpental sejauh beberapa meter dan membentur sebuah tembok yang rapuh sehingga tubuhnya terjatuh ke bawah.
Kau takkan membiarkannya begitu saja kan Nandi? Sebuah suara datang dari bilah sundang yang digenggam Nandi.
“Oh tentu saja tidak Salaya, jangan khawatir,” Nandi segera berlari ke arah tembok runtuh tersebut dan turut terjun ke bawah, ke tempat di mana tubuh Helmut mendarat. Beberapa detik setelah ia terjun sebuah kobaran api berwarna kebiruan tampak melesat ke arahnya.
“Astaga!” Nandi langsung menebas kobaran api tersebut dengan senjatanya namun tanpa ia sangka-sangka kobaran api itu langsung meledak dan melontarkan dirinya sejauh beberapa meter.
*****
“Bagus!” dari balik rerimbunan pohon sebuah taman Helmut tampak puas melihat musuhnya terpental cukup jauh, “Dengan ini setidaknya aku bisa melarikan diri.”
Pemuda itu membentangkan dua buah sayap hitam yang muncul dari tulang belikatnya lalu terbang menjauhi tempat tersebut. Sesudah beberapa saat terbang rendah, menukiklah ia menuju tempat yang lebih tinggi, ke tempat di mana awan-awan hitam tampak berkumpul dan membentuk pusaran melingkar.
Tapi belum sempat ia mencapai pusaran tersebut, seseorang telah menariknya dan melemparkannya kembali ke permukaan tanah. Helmut cukup terkejut dengan tindakan orang tersebut dan berusaha mengendalikan laju jatuhnya dengan menegakkan kembali tubuhnya secepat yang ia bisa.
“Selama sekian tahun aku melayanimu Helmut Redeemes. Selama itu pula aku tidak pernah mempertanyakan setiap keputusanmu. Jadi sekarang aku hendak bertanya satu hal padamu : kau tidak sungguh-sungguh dengan semua ini kan Helmut?”
Helmut mendongakkan kepalanya dan melihat sesosok pria Timur-Tengah berjanggut dan berkumis tipis dengan rambut hitam ikal tampak berdiri di hadapannya sembari menghunus sebilah scimitar hitam. Sosok yang ia kenal sebagai Haris Rasyid.
“Apa yang akan kaulakukan jika aku katakan itu benar?”
“Maka aku akan membunuhmu!”
“Apa kau sanggup? Apa kau sanggup mengambil keputusan itu?”
“Kaupikir aku tidak sanggup Helmut? Aku telah hidup sebagai pemimpin cukup lama sebelum kau datang.”
“Kau hidup sebagai pemimpin bagi banyak orang, tapi tak pernah menjadi pemimpin untuk dirimu sendiri Haris. Dan ketika aku datang, kau telah membuang segalanya hanya untuk menjadi anjing setia. Ya, itulah dirimu. Seekor anjing setia!”
“Kau mulai lancang bicara Helmut,” tangan kanan Haris bergetar menggenggam senjatanya.
“Kalau kau ingin bunuh aku, coba saja.”
Muka Haris menegang, diangkatnya scimitarnya perlahan lalu segera saja ia terbang melesat ke arah Helmut dengan posisi siap mengayunan senjatanya.
“Waktu!” Helmut menyilangkan kedua pedang Yunaninya di hadapannya dan seketika itu juga waktu di hadapannya terasa melambat, termasuk pergerakan Haris.
“Matilah dalam keputusasaan Mirza[1] Haris Rasyid bin Adnan Sina,” ujar Helmut sembari membentuk sebuah kobaran api berwarna biru di ujung kedua pedangnya. Dua kobaran api itu segera ia lemparkan ke arah Haris yang masih saja bergerak dengan sangat lambat di matanya. Dua bola api itu melesat cepat dan membentur targetnya sehingga menimbulkan sebuah ledakan yang suaranya menggema hingga sepenjuru kota.
Selesai sudah! Dua suara terdengar dari dua bilah pedang Helmut.
“Ya, selesai sudah,” ujar Helmut sambil menghela nafas.
“Belum selesai,” tiba-tiba terdengar suara Haris di balik gumpalan asap tebal tersebut. Sosok pria Timur Tengah itu pun muncul dengan posisi senjata teracung ke arah Helmut meski kondisinya sudah tidak begitu baik. Bagian tubuh sebelah kirinya tampak terbakar hebat sementara pakaiannya koyak di berbagai tempat.
“Ha, kau lumayan juga Haris. Tapi ... seekor anjing gila tidak boleh dibiarkan terus menggonggong bukan?” Helmut melemparkan dua bilah pedangnya ke arah Haris, Haris berhasil menangkis satu pedang yang langsung kembali ke arah Helmut, namun satu pedang lagi terus mengelilinginya dan berhasil mengelak dari semua serangannya. Dan tanpa disangka-sangka sebilah senjata lainnya berhasil menangkis serangan pedang itu ke arahnya.
“Nandi?” Haris tampak sumringah mengetahui pemuda itu belum mati meski pakaiannya tampak koyak dan berdebu.
“Kau istirahatlah dulu Haris, dan obati lukamu,” Nandi menoleh ke arah Haris kemudian memusatkan perhatiannya kepada Helmut kembali.
“Oke Nandi, jadi apa yang kauinginkan? Balas dendam karena aku telah menjebloskanmu ke neraka?”
“Aku mungkin akan membunuhmu, tapi bukan karena alasan itu. Alasanku jauh lebih besar daripada dendam pribadiku Helmut.”
“Oh ya? Lalu apa?”
“Aku hendak menuntaskan urusan seseorang yang memberiku kekuatan ini,” Nandi mengangkat tangan kirinya dengan posisi seolah-olah menggenggam sebuah cawan dan beberapa buah batu pejal segera melayang ke arah dririnya, “seorang dari masa lalu.”
“Bathara Rancasan, jadi itu rupanya?” sebuah senyum mengejek tersungging di bibir Helmut.
“Benar.”
“Kau kira perselisihan antara Rancasan dan Kairos itu perlu dibawa-bawa hingga zaman ini Nandi?”
“Tentu saja perlu sebab ... kekuatanmu itu ... berasal dari Kairos bukan?” mata Nandi menatap tajam Helmut.
“Kau rupanya menyadari itu,” Helmut mendesah, “Jadi kuharap kau juga mengerti mengapa aku melakukan ini Nandi.”
“Aku tidak mengerti.”
“Tidakkah Rancasan menjelaskan hal itu padamu?”
“Sama sekali tidak.”
“Rancasan tahu apa yang Kairos lakukan itu benar karena itu ia tidak memberitahumu.”
*****
Alam Semesta Persada, dua hari yang lalu.
“Sitija, angkat adikmu ini ke pendopo utama,” ujar Pertiwi kepada Sitija sembari berjalan keluar dari kamar Nandi.
Sitija langsung menggendong tubuh Nandi yang masih tidak bertenaga itu keluar dari kamarnya, mengikuti Pertiwi yang berjalan melalui lorong-lorong yang berhias karpet merah dengan pinggir berwarna keemasan. Lampu-lampu hias yang berbahan logam berwarna hitam memancarkan cahaya temaram dari lentera yang tampak bukan berasal dari lilin ataupun lampu pijar. Di belakang mereka, Nandi melihat sosok kekar itu – Bomasrawa – tengah berjalan mengikuti Sitija dengan ekspresi wajah yang masih sama – datar.
Sitija membawa Nandi ke sebuah ruangan yang seluruh dindingnya berhias ukiran-ukiran berupa hewan, manusia, dan tumbuhan. Ukiran-ukiran itu dibuat dari semacam logam kuning dan ada pula yang dibuat dengan logam berwarna gelap. Di tengah ruangan itu terdapat sebuah singgasana yang kursinya dilapisi kain satin hijau. Ruang yang sama dengan ruang yang dilihat Helena ketika pertama kali tiba kemari.
“Nandi? Kau bisa jalan?” tanya Pertiwi.
“Sedikit Ibu,” jawab Nandi.
“Turunkan dia, Sitija,” ujar Pertiwi lagi.
“Baik Ibu,” Sitija langsung menurunkan Nandi. Nandi memijak lantai dengan gemetaran sambil meringis karena sebuah luka menganga akibat hujaman paku itu masih membekas di kakinya.
“Mendekatlah kemari,” Pertiwi mengulurkan tangan kirinya kepada Nandi dan dengan tertatih-tatih Nandi mendekat ke arah ibunya guna menerima uluran tangannya. Ketika Nandi telah menggamit tangan kirinya, dengan segera Pertiwi menyentuh dahi sesosok pria yang masih terdiam membeku dalam ruangan itu.
Begitu Nandi menyentuh tangan ibunya dengan segera pemandangan sekitarnya berganti. Di sekelilingnya kini hanya ada hamparan rumput hijau sejauh mata memandang. Di tengah-tengah padang rumput itu ia melihat sesosok pria bertopeng coklat, sosok yang sama dengan yang ia lihat pada penglihatannya bersama Sang Pencerita tengah duduk bersila dengan dua tangan tertopang pada lutut, sosok yang ia tahu bernama Rancasan.
“Rancasan?” ujar Nandi lirih kepada sosok itu.
“Halo Adik kecil. Akhirnya kau sampai juga di sini. Aku sudah lama menunggumu.”
“Menungguku?”
“Ya,” sosok Rancasan mulai bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah Nandi. Kain coklat bermotif yang ia kenakan di pinggangnya berkibar-kibar ditiup angin. “Aku sudah lama menunggumu.”
“Untuk apa kau menungguku?”
“Aku menunggumu untuk menjadikanmu penerus tanggung-jawabku. Tanggung jawabku sebagai Mahadaya.”
“Tunggu, kenapa aku?”
“Karena Sitija dan Bomasrawa menolaknya. Mereka tidak mau menerima tanggung jawabku.”
“Dan siapa yang memberitahumu bahwa aku akan menerimanya?”
“Kau pasti akan menerimanya, Nandi.”
“Untuk apa aku menerimanya?”
“Untuk menghentikan Kairos.”
“Kairos adalah musuhmu di masa lalu, bukan musuhku.”
“Di situlah kau salah Nandi. Kairos juga musuhmu, atau jika kau tidak mau menganggapnya musuh maka dalam waktu dekat ini ia akan menjadi musuhmu.”
“Kenapa?”
“Karena ia adalah Helmut Redeemes.”
Mata Nandi langsung membelalak dan sinar matanya langsung berubah marah, Rancasan yang tidak mempedulikan reaksi Nandi langsung menyambung kata-katanya, “Kairos akan membunuh Sanjaya dan yang lainnya. Setelah itu seluruh dunia yang kau dan kawan-kawanmu tahu akan sirna, musnah dalam ketiadaan. Itu berarti termasuk dua saudaramu yang lain, seluruh umat yang kau temui dalam masa-masamu sebagai Nirvataka, serta ... .”
“Cukup!” Nandi memotong kata-kata Rancasan, “Aku sudah paham garis besarnya. Sekarang ... apa yang harus aku lakukan?”
“Ambil kekuatanku!” Rancasan langsung mengulurkan tangan kanannya ke arah Nandi. Sejenak Nandi ragu-ragu namun akhirnya ia menerima uluran tangan itu.
Tiga detik setelah ia menerima uluran tangan Rancasan, ia kembali ke ruangan di mana ia tadi dibawa. Nandi melihat sosok Rancasan yang duduk membeku di hadapannya tiba-tiba hancur menjadi debu lalu sirna. Sitija dan Bomasrawa yang berdiri di hadapan sosok itu langsung bersimpuh dengan ekspresi penuh duka.
“Apa ... apa yang terjadi?”
“Kanda Rancasan telah memberikan kekuatannya padamu, Dik,” kali ini Bomasrawa buka suara, “Mulai detik ini kaulah Rancasan.”
“Tunggu, jadi ...,” Nandi terdiam sejenak, “aku telah membunuh Rancasan?”
Sitija menyahut, “Itu adalah harapan Rancasan sejak lama, sesuatu yang kami semua tidak dapat memenuhinya. Karena itu ... kaulah yang harus memenuhinya.”
*****
“Apa kebenaran yang kau dapat dari Kairos, Helmut?”
“Kehancuran adalah jawaban. Dunia ini perlahan juga akan hancur Nandi, akan hancur di tangan manusia. Tapi jika membiarkan manusia menghancurkan dunia ini, maka kami akan mengkhianati segelintir manusia yang tetap setia pada aturan yang kami buat dahulu. Karena itulah kami datang untuk memenuhi janji kami, menghancurkan dunia untuk menyelamatkan orang benar dan menghukum orang fasik.”
“Tapi aku khawatir rencana kalian harus berhenti, Helmut.”
“Rencana kami tak akan berhenti, Nandi. Jumlah kami lebih banyak daripada kalian. Membunuhku pun tak akan membawa hasil apa-apa, sebab aku hanya satu dari sekian banyak legiun yang akan menyapu bersih bumi ini.”
“Kalau begitu, bersiaplah!” Nandi mengangkat senjatanya tinggi-tinggi, bersiap menebas Helmut namun dengan cepat Helmut mengangkat tangannya, “Tunggu.”
“Kenapa Helmut, takut di saat-saat terakhir?”
“Tidak, tapi apa kau tidak mengkhawatirkan kakakmu?” Helmut melempar seringai yang membuat perasaan Nandi menjadi tidak tenang.
“Apa maksudmu?”
“Apa kau tidak sadar bahwa kakakmu adalah seorang pengingkar takdir? Takdirnya adalah cahaya sementara jalan yang ia pilih adalah kegelapan. Cahaya adalah sumber kekuatannya sementara ini sudah malam.”
“Kau!” mata Nandi membelalak marah ketika ia menyadari maksud dari kata-kata itu.
“Sampai jumpa lagi Mahija Nandi,” Helmut melambaikan tangannya dan sekonyong-konyong sebuah pilar cahaya datang menyelimuti Helmut. Tubuh Helmut dengan cepat terangkat ke angkasa, ke puncak di mana pilar itu berasal.
“Jangan lari kau!” Nandi berusaha memasuki pilar cahaya tersebut, namun tak bisa, pilar cahaya itu bagai tembok padat yang tidak tertembus. Masih penuh amarah Nandi memukul-mukulkan bilah senjatanya ke pilar cahaya itu meski pilar itu tetap bergeming, sama sekali tidak terpengaruh serangan Nandi.
Jangan khawatir Nandi, masih ada lain waktu. Lagipula saudaraku tidak sedang bersamanya. Terdengar suara Salaya mencoba menenangkan pemuda yang tengah dibakar emosi itu. Nandi sendiri tampak tidak menanggapi perkataan Salaya, matanya nyalang menoleh kanan-kiri, mencoba mencari-cari keberadaan Sanjaya. Tapi malam yang gelap dan berawan, ditambah keriuhan pertempuran antara pasukan TNI dan kunarpa yang terjadi di kota membuat pandangannya sama sekali tidak bisa menemukan Sanjaya.
*****
[1]Pangeran (gelar yang dipakai dalam Kesultanan Iran dan Afganistan kuno)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top