BAB XV : MARA

Alam Semesta Arvanda, Jakarta, 12 Januari 2013, 20.00 WIB

            Di sebuah lapangan golf di Jakarta Selatan, sebuah rekahan membara – Lubang Neraka – muncul tepat di tengah-tengah lapangan. Dan tak sampai semenit sekumpulan kunarpa, srabedan, dan tavur bermunculan dari dalam lubang itu. Penduduk dalam radius 5 km dari tempat munculnya lubang ini segera diungsikan oleh Pasukan Gabungan BRIMOB dan TNI AD.

            Begitulah reporter wanita itu menyampaikan berita terbaru yang baru saja terjadi di sebuah lapangan golf di Jakarta Selatan. Tampak ia berdiri di depan barikade polisi yang berjaga-jaga dengan senjata lengkap serta mobil angkut personel yang dilengkapi dengan senapan mesin.

            Siaran itu disaksikan oleh sekumpulan perwira berseragam lengkap yang berdiri di samping seorang pria berusia limapuluh tahunan yang mengenakan emblem bendera merah putih di kerah jas hitamnya. Wajahnya kukuh namun air mukanya tampak menyiratkan ketakutan dan keresahan. Kedua tangannya ditangkupkan sejenak di depan mukanya sembari menghela nafas panjang kemudian wajahnya berpaling kepada para pengawal berseragamnya, “Jadi sekarang bagaimana?”

            “Bapak Presiden harus mengungsi dari ibukota. Kejatuhan ibukota tinggal menunggu waktu saja,” ujar seorang ajudannya.

            “Pesimis sekali kau?” tandas seorang ajudan lainnya.

            “Dia tidak pesimis. Dia bicara kemungkinna terburuk,” sela yang lain.

            “Apakah saya memang benar-benar perlu mengungsi?”

            “Saya rasa begitu, Pak,” jawab seorang perwira lain yang tak lain adalah Pranaja, “Andaikan TNI bisa menguasai keadaan sekalipun, pertempurannya pasti akan dahsyat.”

            “Saya tidak bisa pergi begitu saja meninggalkan rakyat saya,” jawab Sang Presiden, “Jika mereka tahu Presiden mereka mencari selamat sendiri, di mana saya akan taruh muka saya?”

            “Rakyat Indonesia bukan hanya yang tinggal di Jakarta, Pak. Bapak bisa memimpin di mana saja selama menyandang gelar sebagai Presiden. Dan menurut saya mengungsi bukanlah sebuah tindakan pengecut. Mengungsi adalah sebuah tindakan cerdas untuk saat ini.”

            Sang Presiden terdiam untuk beberapa saat sebelum berujar, “Baiklah.”

            “Kami akan mengatur semuanya, Pak,” ujar seorang perwira yang langsung memberi hormat diikuti enam kawannya yang lain. Enam perwira segera keluar dari ruang kerja Sang Presiden, menyisakan hanya Pranaja dan beberapa prajurit dan Paspampres yang bertugas melindungi Presiden.

            “Ke mana kita sebaiknya pergi Pranaja?” tanya Sang Presiden.

            “Menurut saya Medan atau Palembang adalah pilihan terbaik untuk saat ini, Pak.”

*****

Alam Semesta Arvanda, Jakarta, 12 Januari 2013, 20.30 WIB

            Ying Go! Hei Ying Go! Suara Tan Liem Seng terdengar dari benggala yang dikenakan Ying Go.

            “Halo Pa!” Ying Go menjawab dengan sedikit malas.

            Pranaja sedang ada di Istana Negara, mengawal Presiden. Presiden akan diungsikan ke luar pulau dalam jangka waktu 5 jam dari saat ini. Kalau kau mau hentikan Pranaja, sekarang saatnya.

            “Keberangkatannya via Halim Perdana Kusuma?”

            Kau bisa pilih mau sergap dia di Istana Negara atau Halim Perdana Kusuma. Tapi kalau yang kau katakan itu benar dan sampai kau biarkan Pranaja lolos, aku takkan pernah bisa memaafkanmu! Paham?

            “Paham Komandan!” jawab Ying Go tegas.

            Jangan permalukan nama Kopassus!

            “Mengerti Komandan!”

            Dan kembalilah hidup-hidup suatu saat nanti, Anakku. Nada suaranya kini berubah lembut.

            “Ya Pa.”

*****

Alam Semesta Arvanda, Jakarta, 12 Januari 2013, 21.20 WIB

            “Halo Sanjaya, sudah lama menunggu?” sapa Ying Go pada Sanjaya yang sudah tampak berdiri di atas atap sebuah hangar pesawat.

            “Lumayan lama,” jawab Sanjaya sembari berlutut dan membuka sebuah koper hitam. Di dalam koper tersebut terdapat beberapa komponen sebuah alat yang terpisah-pisah. Sanjaya dengan cekatan merakit komponen itu menjadi sebuah senapan tembak jarak-jauh lalu menyerahkannya pada Ying Go.

            “Kau tembak dia tepat di kepalanya,” jari-jemari tangan kanan Sanjaya membentuk wujud sebuah pistol yang menusuk pelipis kanannya, “dan jangan sampai meleset!”

            Ying Go tidak menjawab sepatah kata pun. Ia langsung menyandarkan laras senapan itu pada tembok pembatas hangar dan membidik melalui teropong senapan. Diposisikannya tanda silang pada teropong itu ke pelipis Pranaja yang tampak sedang berkoordinasi dengan beberapa perwira TNI lainnya. Jemarinya bersiap menarik pelatuk, namun kepala seseorang tiba-tiba menghalangi laju tembakannya, membuatnya batal menarik pelatuk.

            “Ada seorang yang menghalangi,” ujar Ying Go pada Sanjaya.

            “Kau bisa melompat ke gedung di sebelah sana tanpa suara?” Sanjaya menunjuk ke arah sebuah gudang yang berada tepat di belakang kepala Pranaja.

            “Kurasa bisa,” jawab Ying Go sembari melayang turun dari atap hangar kemudian berjalan dengan perlahan-lahan ke arah gudang yang posisinya membelakangi Pranaja. Senapan tembak-jitu kembali ia arahkan ke arah kepala Pranaja, namun belum sempat ia menembak kepala Pranaja, sekumpulan kunarpa tiba-tiba muncul dari arah pintu masuk bandara dan langsung menyerang rombongan Presiden.

            “Brengsek!” Ying Go mengumpat.

            “Kunarpa!” para prajurit yang berjaga di sana langsung memekik.

            “Perubahan rencana!” tiba-tiba Sanjaya sudah berada di belakang Ying Go, “Kau naiki pesawat itu sementara aku akan urus kunarpa-kunarpa ini.”

            “Oke!” Ying Go segera menyerahkan senapan tembak jitu itu pada Sanjaya lalu ia langsung berlari ke arah pesawat yang sudah hendak tinggal landas itu.

            Turbin pesawat itu berputar makin cepat, menghasilkan hembusan angin yang membuat langkah Ying Go menjadi semakin lambat. Lalu pesawat itu perlahan mulai bergerak meninggalkan landasan pacu, meninggalkan para prajurit yang berusaha mati-matian menghalau para kunarpa itu.

            Ying Go makin mempercepat larinya dan akhirnya ia berhasil membuat jarak antara dirinya dan pesawat yang akan tinggal landas itu hanya sekitar sepuluh langkah. Ia jejakkan kaki kanannya kuat-kuat di aspal landasan pacu dan tubuhnya melayang setinggi ekor pesawat. Kedua tangannya langsung berpegangan pada ekor pesawat yang mulai lepas landas itu.

            Begitu pesawat itu mulai lepas landas, Ying Go merasakan sebuah tekanan dahsyat seolah hendak menghempaskannya kembali ke bumi. Ia menggoyangkan kakinya dan berhasil menjepit kedua kakinya pada ekor pesawat itu sementara pesawat itu terus naik menuju ketinggian di atas awan.

            Ying Go mengambil vajra yang tergantung di pinggang kirinya dan mengubahnya menjadi tombak. Ia tusukkan tombak itu ke badan pesawat, untuk memantapkan pegangannya. Namun masuknya bilah tombak itu ke dalam pesawat membuat sekumpulan prajurit yang turut serta mengawal presiden menjadi waspada.

            “Ada sesuatu di atas pesawat,” seorang prajurit segera mengokang senapannya dan menyetel senapannya ke mode ‘otomatis’. Prajurit lain mencabut pistolnya dan melepas pengamannya, bersiap membidik apapun yang akan turun dari atas sana.

            Suasana di dalam pesawat menjadi sangat tegang sebelum akhirnya suara letusan sebuah senjata api mengoyak tubuh para prajurit pengawal itu dan menjatuhkan tubuh-tubuh tak bernyawa mereka ke lantai pesawat.

            “Pranaja?” Sang Presiden tampak terkejut mengetahui bahwa ajudannya itu telah membunuh rekan-rekannya sendiri.

            “Terkejut Pak Presiden?” Pranaja menyeringai licik kepada Sang Presiden.

            “Kenapa kau lakukan ini?”

            Pranaja mencabut pistol yang tersampir di pinggang kirinya dan menodongkannya ke kepala Sang Presiden, “Karena negeri ini tidak boleh memiliki dua raja.”

            “Kau hendak makar? Pada NKRI? Pada Pancasila?”

            “NKRI? Pancasila? Pancasila hanya sebuah buah bibir di kalangan kalian para politikus sebagai dalih bagi kalian untuk terus berseteru dalam perebutan kekuasaan. Dan apa yang kalian sebut NKRI selain sebuah wilayah yang rakyatnya kalian peras supaya kalian dan anak-cucu kalian bisa terus hidup?”

            “Kau hendak mengambil-alih kekuasaan? Dasar bajingan pengkhianat!”

            “Mengumpatlah sesuka hati anda Pak Presiden, toh sebentar lagi menangis pun anda tidak sanggup,” Pranaja sudah hendak menarik picu senjatanya ketika atap pesawat dijebol dan sosok seorang pemuda bersenjatakan tombak turun dari lubang itu.

            “Ying Go!” Pranaja tampak tidak menduga kedatangan mantan rekannya itu.

            “Sayonara Pranaja!” Ying Go mencabut sepucuk pistol yang ia selipkan di belakang pinggangnya lalu menembak Pranaja sebanyak sembilan kali. Sosok Pranaja roboh bersimbah darah, namun ia masih belum mati. Sang Presiden sendiri tampak melirik ke arah Ying Go dengan tatapan takjub dan penuh rasa ingin tahu.

            “Siapa namamu Prajurit?” tanya Sang Presiden.

            “Letnan Dua Tan Ying Go komandan Peleton 3 Satuan Komando Wilwatikta,” jawab Ying Go sembari memberi hormat.

            “Komando Wilwatikta? Bukankah satuan itu sudah dibabat habis oleh para kunarpa?”

            “Tidak semuanya, Pak. Tapi yang jelas kita sekarang harus keluar dari sini.”

            “Tidak secepat itu!” dari kokpit pilot keluarlah dua orang prajurit berseragam yang menenteng dua buah senapan.

            “Apa kalian juga pengkhianat?” Sang Presiden tampak geram.

            “Bunuh Sang Presiden!” dua prajurit itu segera memberondong sejumlah tembakan ke arah Ying Go dan Sang Presiden namun dengan cepat Ying Go melingkarkan kedua tangannya di pinggang Sang Presiden lalu membawa Sang Presiden terbang meninggalkan pesawat itu.

            “Apa-apaan?” Sang Presiden tampak terkejut mendapati dirinya terbang melayang melawan gravitasi bumi di antara gumpalan awan-awan berwarna kelabu.

            “Penjelasannya panjang Pak,” Ying Go melepaskan dekapan tangan kirinya dari pinggang Sang Presiden dan segera melemparkan tombaknya ke arah pesawat itu. Tombak hitam itu melesat dan membelah badan pesawat menjadi dua lalu seperti memilii pikiran sendiri kembali melayang ke tangan Ying Go.

            Begitu senjatanya sudah kembali ke tangannya, tombak itu berubah kembali menjadi vajra dan dengan segera Ying Go menyelipkannya di pinggang kirinya. Tanpa mempedulikan ocehan Sang Presiden yang terus bertanya mengenai ini-itu Ying Go membawa Sang Presiden turun kembali ke Jakarta.

            “Sudah sampai, Pak,” ujar Ying Go ketika keduanya sudah sampai di permukaan tanah. Jalanan tampak lengang meski lampu-lampu pertokoan dan gedung-gedung masih menyala. Kendaraan-kendaraan tampak ditinggalkan begitu saja, sehingga praktis di jalanan yang seharusnya ramai itu hanya terlihat dua orang manusia hidup saja.

            “Ada apa ini?” Sang Presiden bertanya entah pada siapa.

            “Saya juga tidak tahu, Pak,” jawab Ying Go.

            “Kau sudah membunuh Pranaja?” sosok Sanjaya tampak turun dari atas langit dan mendarat di atap sebuah mobil sedan putih.

            “Sudah.”

            “Kau yakin?”

            “Ia sudah kutembak 9 kali di titik vital dan pesawatnya sudah terbakar. Kenapa kau ragu?”

            “Karena baru saja seisi kota ini lenyap.”

            “Lenyap?” dahi Ying Go mengenyit.

            “Bagaimana mungkin 10 juta manusia bisa lenyap begitu saja?” tukas Sang Presiden.

            “Siapa ini?” tanya Sanjaya.

            “Presiden Negeri ini, Sanjaya,” jawab Ying Go.

            “Kau hendak bawa dia ke mana? Tidak ada orang lagi di kota ini yang mampu melindunginya.”

            “Kita?”

            “Kita ada misi.”

            “Aku bisa menteleportasi dia ke kota lain.”

            “Lakukan dengan cepat Ying Go. Jika tidak ...,” belum selesai Sanjaya berkata-kata terdengar suara tawa bergemuruh dari atas langit. Terdengar dua sumber suara, yang seorang terdengar seperti suara seorang perempuan dan yang satu lagi terdengar seperti suara tawa seorang lelaki. Tampak dua gumpalan asap bergumul dan berputar-putar di atas kepala tiga orang itu, suara tawa yang mereka dengar berasal dari dalam kedua gumpalan asap itu. Kedua gumpalan asap itu tiba-tiba menukik tajam dan menyentuh aspal jalanan.

            Sanjaya dan Ying Go segera memasang posisi waspada. Suara tawa itu terdengar semakin nyaring dan menakutkan semetara gumpalan awan di atas mereka secara tiba-tiba bergerak membentuk pusaran angin topan. Kedua gumpalan asap itu pun segera membentuk wujud dua orang manusia. Yang satu adalah sosok seorang wanita cantik bergaun putih dengan rambut panjang terurai sampai pinggang, dan yang satu lagi adalah sosok pria botak berkacamata yang mengenakan setelan kemeja biru tua dan celana jeans biru.

            “Calya!” Sanjaya tak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat sosok musuh lamanya itu.

            “Mara!” mata Ying Go menatap geram pada sosok wanita cantik yang berdiri di samping Calya.

            Dua iblis berwujud manusia itu pun hanya menjawab gertakan dari kedua lawan mereka dengan senyum licik.

*****

Alam Semesta Xaxes, di waktu yang sama

            “Kaspar, Haris, waktunya bergerak,” suara Helmut bergaung di benggala ketiga Contra Mundi yang sudah bersiap di padang rumput, menunggu panggilan dari ketua mereka.

            “Di mana lokasinya Helmut?” tanya Kaspar.

            “Jakarta Pusat,” jawab Helmut.

            “Jakarta? Bukan Semarang?” tanya Kaspar.

            “Tidak, medan tempur kita berpindah ke Jakarta. Mara dan Calya ada di sini.”

            “Euh, oke,” Kaspar mengakhiri pembicaraan dan merentangkan kedua tangannya di udara kosong untuk membuka portal dimensi yang menghubungkan Xaxes dengan Arvanda. Tapi kali ini timbul keanehan, portal yang selama ini sangat mudah dibuka olehnya kali ini tidak merespon meski ia sudah mengkonsentrasikan energi dan pikirannya sekuat tenaga dan telah mengimajinasikan kota Jakarta di Alam Semesta Arvanda dengan pikirannya.

            “Ayolah Kaspar, cepat buka pintunya!” Haris mendecak kesal ketika melihat kawannya itu tidak jua membuka gerbang dimensi yang tiba-tiba menutup tadi.

            “Err ... kita punya masalah Ris. Gerbangnya ... tidak bisa aku buka.”

            “Masa?” Haris mendelik dan berjalan ke gerbang dimensi yang hanya terbuka sedikit itu.

            “Coba saja kalian buka kalau tidak percaya!”

            Haris mendekat ke arah gerbang dimensi yang terbuka separuh itu lalu menarik ujung-ujungnya dengan segala daya dan tenaganya dengan dibantu oleh Kaspar. Gagal! Sama sekali tak berhasil. Kaspar dan Haris saling berpandangan penuh tanda tanya.

            “Kenapa ini bisa terjadi?” tanya Haris.

            “Aku tidak tahu, Haris. Aku tidak tahu. Berharap saja Helmut dan Ying Go bisa mengatasi mereka semua sementara kita berusaha membuka gerbang dimensi lagi.”

            Belum lama Kaspar selesai berbicara, suara Ying Go terdengar dari batu benggala berwarna hitam yang dikalungkan di leher Kaspar, “Kaspar, Haris! Di mana kalian?”

            “Kami terjebak di sini Ying Go. Kami tidak bisa keluar dari Xaxes. Cobalah bertahan selama mungkin,” jawab Kaspar.

            “Di mana Helmut dan Olivia?”

            “Olivia sedang mencari Helena. Helmut sudah berada di Arvanda, apa kalian tidak dihubungi olehnya?”

            “Tidak! Tidak sama sekali!”

*****

Alam Semesta Arvanda, dua jam kemudian.

            Dari sebuah ketinggian di atas kota Jakarta, sesosok pria muda mengenakan jas manset hitam dengan dua buah sayap berwarna hitam yang mencuat dari punggungnya tampak melayang-layang dan mengamat-amati pertempuran yang terjadi di bawahnya. Pertempuran antara dua orang Contra Mundi dan seorang manusia melawan sekumpulan kunarpa yang terus melaju dan menerjang mereka bertiga.

            “Cukup mengesankan,” sahut sesosok bersayap perak yang muncul dari balik pria muda itu.

            “Memang,” jawab si pria muda.

            “Tapi untuk berapa lama ya?”

            “Kurasa ini akan berlangsung cukup lama. Kau mau aku mempercepatnya?”

            “Silakan saja Helmut.”

            “Baiklah, sampaikan pada sekutu kita bahwa aku mungkin akan melukai beberapa dari antara mereka.”

*****

            Ying Go, Sanjaya dan Sang Presiden baru saja mencapai lantai 12 dari sebuah gedung berlantai 14 itu. Sekumpulan kunarpa dan anjing neraka terus memburu mereka dari lantai satu hingga lantai 12 ini. Sanjaya berusaha menghalau mereka dengan serangan cahaya, Ying Go mencoba menghalau mereka dengan menyerang mereka dengan petir yang keluar dari tangan kanannya, sementara Sang Presiden terus menembaki kunarpa-kunarpa itu dengan senapan SS1 yang ia pungut dari jenazah seorang prajurit yang ia temukan di lantai dasar tadi.

            “Kita tidak bisa begini terus, mana yang lain?” nafas Sanjaya mulai memburu dan tidak beraturan.

            “Entahlah. Ayo! Kita harus terus bergerak.”

            “Awas!” Sang Presiden melemparkan dua buah granat ke arah kumpulan kunarpa itu lalu cepat-cepat ambil langkah seribu menuju lantai 13. Sanjaya dan Ying Go segera mengikutinya, melewatkan pemandangan saat granat itu meledakkan kumpulan kunarpa itu menjadi serpihan dan corak noda berwara kehitaman di dinding.

            “Hampir sampai!”

            Ying Go! Di sini Rukmana! Terdengar suara dari dalam benggala yang dikenakan Ying Go.

            “Ah, Kep! Senang sekali mendengar suara anda,”

            Di mana kau?

            “Di sebuah gedung perkantoran bernama Graha Dewata Agung, Jakarta Selatan. Presiden ada bersamaku.”

            Presiden? Syukurlah!

            “Pranaja nyaris membunuh beliau dan sekarang kunarpa-kunarpa itu juga ingin sekali menyantapnya.”

            Bertahanlah barang 15 menit, helikopter kami dalam perjalanan ke sana.

            “Bagus!” Ying Go melongok ke arah jalanan yang telah dipenuhi oleh ribuan mayat hidup berbagai ukuran mulai dari kunarpa, srabedan, hingga tavur.

            Sanjaya! Kami sudah berada di Kasha. Suara Kaspar terdengar dari dalam benggala yang dikenakan oleh Sanjaya.

            “Sedang apa kau di Kasha? Cepat ke Arvanda.”

            Maaaf, aku harus membuka pintu dahulu ke Kasha, karena Xaxes sudah ... hancur.

            “Hancur? Hancur bagaimana maksudmu?” Sanjaya mulai gusar.

            Entahlah, daratan dan kastil tempat kita tinggal tiba-tiba menghilang menjadi serpihan debu. Aku juga tidak tahu apa sebabnya.

            “Kurasa kalian perlu bantuan?” ujar Helmut yang tiba-tiba turun dari atas langit.

            “Sudah sejak tadi Helmut. Ke mana saja kau?” tanya Ying Go gusar.

            “Maaf, ada sedikit halangan dalam perjalananku tadi.”

            “Uhm maaf aku menyela,” tukas Sang Presiden, “Sebetulnya kalian ini siapa?”

            “Kau percaya pada dewata, Pak Presiden? Jika kau percaya maka saat ini anda sedang melihat tiga orang dewata. Itu saja penjelasan yang bisa kami berikan.”

            Sang Presiden hanya terdiam mendengarkan penjelasan itu. Bagi dirinya yang selalu berpikir rasional semenjak ia masih remaja, saat dirinya menjadi prajurit di kapal perang, bahkan saat dirinya terjun ke dunia politik ia sama sekali tidak pernah percaya pada campur tangan makhluk-makhluk adikodrati. Bagi dirinya makhluk adikodrati hanyalah kisah dari masa lalu, namun melihat aksi dua orang yang sedari tadi bersamanya, mau tidak mau tampaknya ia harus mulai mempercayainya.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top