BAB XIX : DYAUS PITA -Bapak Angkasa

            Listrik telah padam di sepenjuru kota, membuat Nandi harus pasang mata pada setiap kejadian yang terjadi di bawahnya. Kilatan-kilatan cahaya dari tembakan meriam tank dan artileri, suara rentetan senapan mesin masih terdengar riuh di bawah sana meski intensitasnya sudah mulai berkurang. Samar-samar terlihat sosok-sosok kunarpa bergelimpangan di jalanan berdampingan dengan sosok-sosok jenazah prajurit yang telah gugur.

            Matanya lalu menangkap sebuah kilatan cahaya yang sesekali menyala dari sebuah jendela bangunan bertingkat. Nandi melayang memasuki bangunan tersebut dan mendapati jenazah empat orang prajurit telah terkoyak oleh beberapa sosok anjing neraka yang mayatnya bergelimpangan di sekitar mereka.

            “Semoga jiwa kalian tenang di alam sana,” Nandi menutup kelopak mata jenazah-jenazah itu satu-per-satu lalu mengambil lampu penerangan darurat yang dipasang para prajurit itu dan kembali terbang ke udara, mencari-cari keberadaan Sanjaya sekali lagi.

*****

            “Ayolah Sanjaya, ini sama sekali tidak menarik!” ujar Calya sambil tertawa-tawa menyaksikan serangan Sanjaya meleset berkali-kali dan tidak mampu mengenainya.

            “Diam kau!” Sanjaya melemparkan pisau Drestha-nya ke arah Calya. Pisau itu menancap tepat di tengah tubuhnya, menimbulkan sebuah ledakan cahaya kecil namun tampaknya sama sekali tidak memberikan pengaruh berarti pada Calya.

            “Hanya ini? Gatal pun tidak!” Calya kembali tertawa-tawa lalu secara tak terduga tiba-tiba ia sudah berada di samping Sanjaya, lalu mencengkeram leher Sanjaya dan membenturkan Sanjaya ke tembok bangunan. Pisau milik Sanjaya terlepas dan terlempar ke sudut atap. Dengan susah payah Sanjaya berusaha melepaskan cengkeraman Calya, namun usahanya tampak sia-sia.

            “Sanjaya, Sanjaya. Selalu saja menyerangku dengan tanpa perhitungan sama sekali. Kau pikir dengan memiliki Rajata kau sudah hebat? Kau pikir dengan memiliki kekuatan Contra Mundi kau mampu mengalahkan semua makhluk? Oh tidak, tidak, tidak, kau salah. Iblis tidak selalu selemah malaikat. Dalam beberapa hal, aku lebih kuat daripada Agara.”

            “Kau tidak sekuat ini sebelumnya! Ada yang membantumu kan?” bentak Sanjaya.

            “Nah, analisa yang cerdas. Kau bisa menebaknya?”

            “Sayangnya tidak, kenapa kau tidak beritahu aku saja?”

            “Tak bisakah kau tebak ke mana jiwa-jiwa yang telah dibunuh para kunarpa ini pergi?”

            “Entahlah, neraka mungkin?”

            “Menjawab berdasarkan pengalaman, eh? Sayang sekali jawabanmu salah. Jawabannya tidak ke mana-mana.”

            “Apa maksudmu?”

            “Mara menyimpan jiwa-jiwa ini sebagai katalis, katalis yang bisa digunakan kapan saja kami perlukan. Katalis yang meningkatkan kekuatan kami berkali-kali lipat,” ujar Calya dan sesosok wajah muncul di tangannya.

            “Tubuh ini tidak hanya terdiri atas satu jiwa Sanjaya, tubuh ini adalah wadah dari banyak jiwa, yang semuanya tunduk pada satu tuan : Calya! Itu sebabnya kau tak bisa melukaiku! Sebab jika kau melukaiku kau hanya membunuh satu atau dua jiwa, sementara di tubuh ini ada jutaan jiwa.”

            “Kalau memang di tubuhmu bersemayam jutaan jiwa, maka yang harus kulakukan hanya membunuhnya satu-per-satu bukan?”

            “Tapi kau takkan punya waktu lagi untuk itu Sanjaya, sebab aku akan melakukan hal yang sama seperti yang telah aku lakukan bertahun-tahun yang lalu. Membunuhmu dan mengirimmu ke neraka. Oh Abaddon pasti akan sangat senang melihat mainan lamanya kembali lagi.”

            “Tawaran yang menarik, tapi aku menolak.”

            “Kau tak bisa menolak Sanjaya. Tidak kali ini.”

            “Masa?” ekspresi muka Sanjaya menyiratkan senyum penuh arti.

            “Menghibur diri sebelum mati eh?” ledek Calya.

            “Dia tidak sedang menghibur diri, Calya,” sebilah pedang langsung menghujam dada Calya, membuat iblis itu tersentak dan mundur beberapa langkah. Si penyerang kembali menarik pedangnya namun  rasa nyeri yang amat sangat kini dirasakan oleh iblis itu.

            “Apa ini,” iblis itu mengerang lalu berbalik badan untuk mengetahui siapa penyerangnya, “Mahija Nandi?”

            “Halo Calya, kita bertemu lagi,” jawab Nandi.

            “Waktu yang pas sekali,” ujar Sanjaya sembari memungut pisau emasnya yang tadi terjatuh.

            “Maaf terlambat.”

            “Mana Helmut.”

            “Kabur!” sahut Nandi penuh kegeraman.

            “Ya sudahlah, yang penting ... sekarang kita pastikan dulu yang ini tidak kabur,” Sanjaya menunjuk Calya dengan pisau emas di tangannya.

            “Memangnya kalian berdua bisa apa?

            “Putra Bumi takkan bisa membunuhku,” Calya melempar seringai mengejek kepada Nandi.

            “Kak Sanjaya, menyingkirlah sebentar ... sampai fajar menyingsing,” ujar Nandi pada Sanjaya.

            “Eh?” Sanjaya tampak terperangah untuk beberapa saat.

            “Mari ikut saya Sanjaya,” Sitija tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Sanjaya.

            “Hei!” Sanjaya memprotes ketika Sitija mencengkeram lengannya dan membawanya pergi menjauh dari sana.

*****

            Calya mendecakkan lidahnya dan menatap Nandi dengan berkacak pinggng, “Kenapa Nandi? Mengorbankan dirimu lagi untuk kakak tercinta?”

            “Tidak sama sekali.”

            “Oh? Lalu kau hendak menantangku adu tanding sekali lagi? Percuma Nandi! Kau tidak akan bisa mengalahkan aku yang sekarang!”

            Nandi tidak menjawab, ia keluarkan sundang miliknya dan langsung menghantam beton di hadapannya. Beberapa tonjolan batu terbentuk, mencuat di sekeliling Calya, mengurung iblis itu di sana.

            “Hanya ini?” Calya menyabetkan tangan kanannya dan menghancurkan penjara batu itu dalam waktu singkat. Namun ia terperanjat ketika menyaksikan bahwa Nandi telah tidak ada di sana.

            “Ke mana anak itu?” Calya menoleh ke segala arah, mencoba mencari keberadaan Nandi. Ia tidak tahu bahwa di lantai yang berada enam tingkat di bawahnya Nandi tengah berkomunikasi dengan seseorang.

            “Tan Ying Go, aku perlu bantuanmu,” bisik Nandi pada benggala di tangannya.

            Kau siapa? suara Ying Go terdengar dari seberang.

            “Nandi.”

            Kau ingin aku melakukan apa?         

            “Baik Mara maupun Calya menggunakan jiwa-jiwa manusia yang telah mati untuk memperkuat diri mereka. Aku dengar kau sudah kalahkan Mara, karena itu aku butuh bantuanmu untuk melakukan sesuatu yang sama dengan yang kau lakukan pada Mara.”

            Maaf, tapi aku tidak bisa melakukannya.

            “Kenapa?”

            Xi Wang sudah mencapai batasnya dan aku harus menolong Kaspar.

            “Cih baiklah.”

            Nandi menancapkan Salaya di lantai berkarpet yang ada di hadapannya lalu tubuhnya luruh menjadi tanah liat cair bersama pedang itu. Sosok tanah liat cair itu seolah terserap ke dalam karpet, menembus satu lantai ke lantai lainnya hingga ketika akhirnya tiba di lantai dasar luruhan tanah itu kembali menjadi sosok Nandi.

            “Aku sudah menduga kau akan muncul di lantai dasar,” terdengar suara Calya dari luar bangunan.

            Nandi beranjak menuju pintu logam yang tertutup dan menendang pintu itu hingga pintu itu terhempas menuju bangunan yang ada di seberangnya.

            “Bagaimana kau tahu aku masih ada di sini Calya?”

            “Aku ... yah ... mendengar suaramu.”

            “Kemampuanmu semakin hebat,” ujar Nandi memuji lawannya.

            “Dan anak yang dulu merintih-rintih di neraka itu kini telah menjadi prajurit tangguh,” balas Calya.

            “Apakah itu pujian, ataukah itu sindiran?” Nandi berjalan memutari Calya dengan mengambil jarak sekitar tiga langkah masih dengan senjata terhunus.

            “Menurutmu?” mata Calya terus memperhatikan ke manapun Nandi bergerak.

            “Itu bukan sebuah kejujuran.”

            “Kau tahu Nandi ..., kau tidak semenarik ayahmu.”

            “Apa yang kau tahu tentang ayahku selain salah satu korban yang kau bunuh?”

            “Oh aku mengenalnya,” Calya tersenyum keji, “sebab ia telah menjadi mainanku untuk waktu yang lama sebelum  Sanjaya dan kau datang Nandi.”

            “Pendusta!” Nandi meraung dan langsung menyabetkan senjatanya ke arah Calya. Calya sigap dan menangkap tangan Nandi sebelum senjata itu menggores dirinya. Satu tendangan mendarat di perut Nandi, namun pemuda itu bergeming. Satu pukulan dari tangan kiri Calya melayang ke arahnya, namun Nandi menangkap pukulan itu sebelum pukulan itu mengenainya. Dua orang itu kini terlibat dalam posisi saling mengunci pergerakan lawannya.

*****

            Di sebuah taman yang tertutup oleh pepohonan rindang, Sitija menurunkan Sanjaya. Pemuda Sanjaya langsung saja menatap marah ke arah Sitija yang sembarangan saja membawanya kemari tanpa persetujuannya.            “Apa-apaan ini? Bawa aku kembali ke sana!”

            “Sabarlah Dyaus Pita, kau takkan bisa mengalahkannya di kala malam. Malam adalah teritori para iblis sementara fajar dan siang adalah teritorimu.”

            “Siapa kau?”

            “Aku? Aku Sitija, salah satu dari tiga putra Ibu Bumi.”

            “Ibu Bumi?”

            “Ya Sanjaya,” sosok Pertiwi tiba-tiba muncul di balik mereka berdua. Mengenakan pakaian berwarna coklat keemasan dan kain jarit berwarna coklat tua. Sebuah kain selendang hijau muda terkalung di lehernya membuat sosoknya semakin anggun mempesona.

            “Anda ...,” lidah Sanjaya terasa kelu ketika hendak berbicara di hadapan wanita itu. Seolah daya tariknya yang luar biasa telah membuat seluruh tenaga yang ada di tubuhnya terserap habis.

            “Aku Pertiwi, ibu dari saudaramu, Mahija Nandi.”

            “Anda ...,” kembali kata-kata Sanjaya terhenti.

            “Ssshh ... jika kau ingin memusnahkan Calya, bersabarlah hingga matahari terbit Sanjaya.”

            “Ba...ik ... Bunda Pertiwi.”

*****

            Fajar sudah mulai menyingsing dan baik Nandi maupun Calya masih belum berhenti untuk saling baku hantam. Sundang milik Nandi berkali-kali menyabet tubuh Calya dan meninggalkan luka menganga namun dengan cepat tubuh Calya segera beregenerasi.

            “Tidak ada satupun dari antara kalian yang dapat mengalahkan kami!” ucap Calya sombong.

            “Oh ya? Apa itu benar? Sebab kulihat kini langit telah bersih dari para malaikat,” balas Nandi.

            “Tapi daratan masih penuh dengan kunarpa.”

            “Sayangnya itu tidak akan berlangsung lama,” terdengar suara Sanjaya.

            Calya baru saja hendak menoleh ke belakang ketika sebuah pilar cahaya menghantamnya. Iblis itu terhempas sejauh beberapa meter sebelum membentur sebuah truk tangki minyak yang langsung meledak begitu terbentur tubuh Calya.

            “Waktunya pas Kak Sanjaya,” ujar Nandi yang tadi sempat menghindar dari serangan Sanjaya.

            “Kita habisi dia sekarang Dik? Mumpung matahari sudah terbit?”

            “Ayo,” Nandi menghunus kembali senjatanya dengan penuh semangat.

            “Berdua pun kalian takkan sanggup mengalahkanku,” Calya berjalan dengan tegap menuju ke arah dua saudara itu. Sosoknya perlahan berubah menjadi sesosok iblis raksasa – sosok sejatinya.

            Sosok Sanjaya tampak menggandakan diri menjadi 32 sosok dan menghambur ke arah Calya. Satu sosok lenyap dihempaskan cakar-cakar tangan Calya. Tapi ke-31 sosok lainnya berhamburan dan menusukkan senjata pisau mereka ke bagian-bagian tubuh Calya. Calya meraung dan mengguling-gulingkan tubuhnya di tanah.  Empat sosok Sanjaya menghilang akibat tergilas tubuh Calya yang super besar itu.

            “Nandi!” ke-27 sosok Sanjaya itu berseru kepada Nandi untuk menyerang. Nandi menggerakkan kedua tangannya, membentuk posisi orang yang tampak tengah mengeruk tanah. Dan bersamaan dengan gerakan itu tanah yang dipijak Calya tiba-tiba meninggi dan mencuatkan cadas-cadas karang yang ujungnya tajam. Kaki Calya terjebak oleh cadas-cadas itu namun cadas-cadas itu tak dapat menembus tubuh utamanya.

            Mulut Calya tambak membuka dan sejumlah cairan tampak tumpah, melesat ke arah Nandi. Nandi segera menjejakkan kaki kiri ke tanah dan sebuah tembok batu segera muncul di hadapannya, menghalangi laju cairan yang dimuntahkan Calya itu.

            Sosok-sosok Sanjaya kembali menyerbu dengan menembakkan sinar kuning berintensitas tinggi kepada Calya. Tampak kulit Calya melepuh terkena sinar tersebut. Kembali iblis itu meraung dan meronta. Cadas-cadas yang tadinya mengekang dan menembus kakinya kini patah tak beraturan. Calya kembali bebas. Raungannya kembali membahana, membuat nyali setiap prajurit yang mendengarnya ciut.

            Nandi melesat ke angkasa, memposisikan sundangnya dengan posisi bilah berada di bawah lalu turun dan menghujamkan bilah senjatanya pada leher Calya. Calya meronta menggapai Nandi dengan tangan kirinya lalu membanting pemuda itu ke sebuah bangunan tak terurus di hadapannya. Tubuh Nandi menembus bangunan itu dan baru berhenti setelah menghantam sebuah tangki air. Air di dalam tangki tersebut kini mengalir membasahi pakaian Nandi, membuatnya basah kuyup. Tapi pemuda itu tampak puas melihat apa yang sudah ia lakukan pada Calya.

            “Kak Sanjaya! Sekarang!” pekik Nandi pada Sanjaya yang masih melakukan strategi ‘serang dan lari’ pada Calya. Sanjaya melihat senjata Nandi yang menancap pada leher Calya menimbulkan rekahan membara pada iblis tersebut. Dengan cepat ia terbang melesat mendekati leher Calya dan mendorong sundang Nandi untuk menancap lebih dalam lagi. Usahanya berhasil, Calya meraung semakin keras dan dirinya cepat-cepat pergi menjauhi Calya yang kini tengah mengamuk dengan gila.

            Calya kembali meraung keras-keras sebelum tubuhnya menjadi semakin mengecil dan mengecil. Setelah beberapa saat wujudnya kembali menjadi sesosok manusia botak berkemeja yang tertunduk kesakitan. Sundang Nandi jatuh berkelontangan di jalanan aspal yang telah retak di sana-sini sementara Sanjaya menatap Calya dengan tatapan membara – penuh dendam.

            Nandi tampak melayang dan mendarat di samping Sanjaya, kemudian menarik senjatanya kembali padanya menggunakan kekuatan tak terlihat. “Kau atau aku yang akan mengakhirinya?” tanya Nandi pada Sanjaya.

            “Aku saja,” Sanjaya bergerak maju dengan langkah tegas tanpa keraguan. Cahaya keemasan bersinar di kedua tangannya sementara pisau Drestha miliknya memancarkan cahaya yang menyilaukan bak matahari.

            “A-ampun Sanjaya. Bukan maksudku membunuh ayahmu. Itu adalah permintaan dari manusia yang menjadi tuanku.”

            “Aku tidak peduli,” Sanjaya langsung mencengkeram kepala Calya dengan tangan kirinya dan menusuk leher iblis itu dengan pisaunya. Calya mengerang, seluruh tubuhnya tampak retak-retak dan sesaat kemudian tubuhnya meledak menjadi serpihan abu yang berhamburan ke segala arah.

            “Selesai sudah,” desah Nandi.

            “Belum selesai, Dik. Masih ada tuannya. Agni dan Bayu,” balas Sanjaya.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top