BAB XIV : PRAHARA
Alam Semesta Arvanda, Garut, 11 Januari 2013
Lettu Taufan tampak keluar dari kamarnya, lalu berjalan mengendap-endap keluar dari asrama tentara tempatnya menginap. Langkahnya senyap, nyaris tanpa suara, berjalan melalui sela-sela bangunan peninggalan zaman Belanda yang berhiaskan cat hijau tua yang terkesan suram dan angker ketika malam tiba. Dua orang prajurit jaga yang tengah berpatroli tampak di kejauhan, ia segera menyembunyikan diri di balik sebuah pohon kapuk, tanpa mempedulikan segerombolan nyamuk yang langsung asyik berpesta menghisap darahnya.
Ketika dua orang pasukan jaga itu pergi ia keluar dari persembunyiannya lalu menuju sebuah tembok pembatas yang berbatasan dengan sebuah jalan raya dan memanjatnya. Di luar sana ia melihat sosok kawan lama sudah menunggunya.
“Halo, Taufan,” sapa Ying Go yang tampak sudah duduk di trotoar yang sepi.
“Halo juga,” Taufan mengambil tempat duduk di samping Ying Go, “aku sempat dengar cerita soal dirimu dari Kapten Rukmana. Apa cerita itu ... benar?” tanya Taufan.
“Kurang lebih begitu,” jawab Ying Go sekenanya, “Kau dapat info yang kuminta via pesan itu?”
“Aku penasaran dari mana kau bisa tahu di mana lokasiku berada Ying Go. Dan pesan yang kau sampaikan itu ... kenapa kau letakkan di bawah bantalku? Kau nyaris membuat diriku ketahuan pengawas tahu! Jika mereka tahu aku menjalin kontak dengan prajurit desersi macam dirimu dan tidak melaporkan dirimu bisa-bisa suramlah masa depanku dan keluargaku.”
“Suram? Lebih suram lagi jika satu negara ini dikuasai oleh kunarpa, Taufan. Saat-saat macam begini bisa-bisanya kau lebih mengkhawatirkan nasib keluargamu.”
“Ying Go ... jika kau sudah mempunyai pasangan hidup maka orientasimu terhadap pengabdian pada bangsa dan negara ini akan berubah. Kau tidak hanya akan memikirkan pengabdian pada bangsa saja, kau akan memikirkan soal istri yang harus kau nafkahi, anak yang harus kau bayari sekolahnya, dan urusan rumah tangga lainnya. Dan yang lebih penting lagi ... kau harus terus berusaha untuk terus hidup dan kembali dari medan tempur hidup-hidup supaya bisa kembali melihat istri dan anakmu.”
“Oke, sudahlah. Bagaimana hasil yang aku minta?”
“Aku mendapat informasi bahwa Pranaja mendapat penugasan kembali sebagai pemimpin kompi Rajawali yang menjaga seputaran gedung dewan di ibukota.”
“Kompi Rajawali?”
“Yah ini kompi baru Ying Go, kompi gabungan dari para prajurit Komando, Marinir, dan Paskhas yang kembali hidup-hidup dari medan perang tapi mengalami trauma berat yang tidak memungkinkan mereka untuk terlibat operasi garis depan lagi. Karena itu mereka ditugaskan di ibukota, menjaga para eksekutif dan legislatif dari segala macam ancaman yang mungkin terjadi.”
“Menjaga mereka dari amukan rakyat kan? Para buruh yang dipecat dari pabrik-pabrik yang tutup karena merugi, pengusaha-pengusaha yang kehilangan keuntungan, rakyat yang lapar karena tidak mendapatkan jatah makanan, mahasiswa yang terbakar emosinya karena merasa pemerintah kita tidak berbuat apa-apa?”
Taufan mendesah, “Mereka, para politisi itu, mengadu domba kita dengan rakyat. Memaksa kita pasang badan untuk melindungi keselamatan mereka dan saat seluruh situasi telah aman terkendali mereka meraup segala penghargaan yang dapat mereka terima untuk mereka jadikan ajang kesombongan pribadi.”
“Tapi dalam skala besar, kita – para prajurit ini – nyaris tidak ada harga pribadinya lagi kan?”
“Benar. Ngomong-ngomong ... ada apa dengan Pranaja?”
“Kau bisa jaga rahasia?”
“Tentu.”
“Pranaja ada hubungannya dengan sekumpulan kunarpa yang muncul akhir-akhir ini. Pranaja juga ada di hutan tempat kau dan pasukanmu ditugaskan tempo hari.”
“Benarkah?” Dahi Taufan tampak mengernyit
“Itu benar. Ia ada di balik beberapa – jika tidak semua – kemunculan Lubang Neraka di negeri ini. Barangkali ia juga memiliki hubungan dengan kemunculan lubang-lubang sejenis di negeri lainnya.”
“Atas bukti apa kau menuduh Pranaja terlibat dalam kemunculan Lubang Neraka?”
“Bukti yang aku miliki bukan bukti fisik, dan mustahil aku tunjukkan di hadapan Dewan Militer sekalipun. Sama seperti halnya kau tidak punya bukti bahwa aku bisa menteleportasi dirimu dan peletonmu keluar dari hutan itu tempo hari.”
“Jika yang kau katakan itu benar... jika ia ada di ibukota itu berarti ...,” Taufan terdiam sebelum melanjutkan kata-katanya, “Ying Go! Kita harus melakukan sesuatu! Kita harus melaporkan hal ini pada Dewan Militer?”
“Apakah mereka akan percaya?”
“Kurasa tidak,” Taufan mendesah lesu.
“Ada satu cara untuk menghentikan dia untuk selamanya, tapi ... untuk itu aku perlu bantuan dari seorang petinggi militer yang bisa aku percayai. Seorang yang bisa membantuku menangkap Pranaja dan mencegahnya memunculkan lubang serupa di ibukota.”
“Oh kurasa kau sudah mendapatkannya Ying Go. Ada orang yang bisa kau percayai.”
“Siapa?”
“Ayahmu, Mayor Tan Liem Seng.”
“Hah?”
“Beliau ditugaskan kembali, mula-mula sih beliau hendak ditunjuk sebagai instruktur para wamil, tapi kemudian dipindahtugaskan menjadi komandan kompi kavaleri di ibukota. Kau tidak dengar?”
“Tidak ... tidak sama sekali.”
“Kau bisa minta bantuan padanya.”
Ying Go menelan ludahnya, “Tampaknya ... ditelanjangi di depan umum masih lebih baik daripada minta tolong pada ayahku.”
“Ayolah Bung,” Taufan menepuk-nepuk bahu kawannya itu, “masih lebih baik berhadapan dengan ayahmu daripada srabedan kan? Setidaknya dia mau bicara, srabedan tidak.”
*****
Jakarta, 21.00, Gedung DPR-RI
Sekumpulan perwira TNI baik tua maupun muda duduk di dalam sebuah ruang sidang yang berisi kursi-kursi yang disusun melingkar dalam tingkatan berundak – gedung sidang Dewan Perwakilan Rakyat. Separuh yang hadir di sana adalah para perwira sementara yang lain adalah anggota dewan dalam setelan busana resmi : jas berdasi bagi kaum pria, blazer dan kebaya bagi kaum wanitanya.
Semua yang duduk di sana tampak tegang, membahas setumpuk masalah yang mereka hadapi dalam setahun ini.
“Ekonomi kita akan hancur dalam setahun jika terus begini,” terdengar seruan seorang anggota dewan, “apa sih kerja TNI sampai-sampai terus menerus gagal merebut kembali Jawa Tengah?”
“Bapak yang terhormat,” tampak seorang perwira TNI AD menyalakan mikrofonnya guna menanggapi cibiran si anggota dewan, “Kami sudah berusaha sebaik yang kami bisa. Kami bahkan sudah menerjunkan setidaknya ribuan prajurit untuk merebut kembali Semarang dan Jawa Tengah bagian utara, tapi hasilnya nihil. Pedih memang, tapi satu-satunya jalan yang bisa kita tempuh saat ini adalah mengisolasi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta guna memastikan keselamatan daerah yang lain.”
“Lalu kalian mau apa setelah itu? Mengebom mereka dengan nuklir?” anggota dewan yang lain turut berkicau.
“Kalau memang diperlukan, kenapa tidak?” kali ini seorang perwira TNI AD lainnya menanggapi dengan penuh emosi.
“Bajingan! Itu tidak berprikemanusiaan!”
“Anda punya solusi yang lebih baik? Saya rasa tidak! Solusi terbaik di kepala anda tidak lebih dari upaya memancing ikan di air keruh, mencari muka di saat genting. Usulan yang anda kemukakan dari waktu ke waktu sifatnya teoritis belaka, tak bisa diterapkan di lapangan!”
“Bukankah improvisasi di lapangan adalah tugas anda semua sebagai prajurit?”
“Oh begitukah? Bukankah tugas memastikan kemaslahatan seluruh rakyat Indonesia – termasuk para prajurit – adalah tugas anda semua?”
“Stop!” seorang perwira TNI AL angkat bicara, “Debat kusir dan pertengkaran macam ini takkan membawa kita ke mana-mana.”
*****
Kapten Rukmana tampak berjaga di depan ruang sidang. Tubuhnya masih penat pasca kejadian di Semarang empat hari yang lalu, tapi tiba-tiba saja ia sudah diminta memimpin kompi prajurit yang akan mengawal keamanan sidang istimewa kali ini bersama kompi Rajawali. Sementara kompi Rajawali berjaga di luar gedung, kompi yang ia pimpin – Nenggala – berjaga di dalam gedung.
Senapan yang dipanggulnya terasa semakin berat setiap kali ia mendengar suara gaduh-ribut dari dalam ruangan itu. Menyatukan pendapat pihak militer dengan pihak sipil memang bukan hal yang mudah, bahkan beberapa orang beranggapan itu nyaris mustahil. Bagaimana tidak disebut mustahil jika di antara orang-orang sipil sendiri saling tikam dan saling jegal antar sesamanya, sementara pihak militer namanya sudah banyak tercemar pasca kejatuhan Orde Baru?
Di tengah-tengah perenungannya seorang prajurit datang mendekat ke arahnya, memberi hormat lalu berbisik di telinganya, “Kami, Satsus Intel, menemukan sebuah Lubang Neraka muncul di selatan Bogor, di wilayah Sukabumi. Kami minta kabar ini segera disampaikan pada panglima TNI.”
“Baik.”
“Saya undur diri, Kep!” prajurit itu beranjak pergi dari sana.
Rukmana menuliskan pesan itu selembar kertas lalu meminta salah seorang bawahannya menyerahkan kertas itu pada Panglima TNI yang masih berada di dalam sana. Sementara itu seorang petugas cleaning service tanpa sengaja bertabrakan dengan Kapten Rukmana yang berdiri di tengah-tengah lorong.
“Aduh maaf Mas,” ujar Kapten Rukmana.
“Tak apa Kep,” jawab si petugas sembari beranjak pergi. Ketika petugas itu sudah beranjak pergi, ia menyadari bahwa di saku celananya ada segumpal kertas yang dijejalkan di sana. Kapten Rukmana segera merogoh saku celananya dan mendapati sebuah tulisan kecil-kecil tertulis di atas sebuah kertas lusuh : IKUTI SAYA!
“Letnan Maryono, gantikan aku. Aku ada urusan sebentar,” ucapnya pada seorang bawahannya.
“Siap Kep!” jawab seorang bawahannya mantap.
Rukmana segera berjalan menuju ujung lorong di mana yang baru saja dimasuki petugas kebersihan itu. Di sana ia menghadapi ruangan berpintu kayu bercat putih kecoklatan. Diulurkannya tangannya ke kenop pintu dan dibukanya ruangan itu. Dan benarlah, di sana ia dapati mantan anak didiknya itu telah berdiri menunggunya.
“Ada apa, Ying Go?” Rukmana menutup pintu ruangan itu dan berjalan mendekati Ying Go.
“Apa ayahku ada di pertemuan ini, Kep?”
“Mayor Tan Liem Seng? Ada.”
“Bisa panggilkan beliau kemari?”
“Tunggulah sampai debat kusir di sana selesai dulu. Nanti aku panggilkan, ngomong-ngomong pilihan yang bagus masuk ke ruang kerja anggota dewan yang satu ini,” ujar Rukmana sambil tertawa kecil.
“Kenapa?”
“Penghuni ruangan ini ditemukan tewas di sebuah sudut kota akibat ditusuk seorang pemuda yang hilang kontrol.”
“Rakyat yang sudah mulai terbakar emosinya, bukan?” ujar Ying Go.
“Ya, dan para anggota dewan yang sedang rapat di sana hanya mau cari selamat sendiri. Mereka menolak mencairkan anggaran darurat pada setiap matra. Dalihnya akan digunakan untuk kepentingan rakyat ... tapi kita tahu sendiri kan apa yang akan mereka rencanakan?”
“Ya,” Ying Go melirik ke arah peta Asia Tenggara yang terpasang di dinding ruangan itu, “Kalau mereka mampu dan punya dana mereka akan lari meninggalkan negeri ini. Membiarkan seluruh rakyat yang memberi mereka makan mati di tangan para kunarpa. Aku yakin jika negeri in runtuh sekalipun mereka takkan ambil pusing selama mereka mengantongi sejumlah uang dollar.”
“Dan itulah indikasi yang kami tangkap. Mereka hendak menggunakan anggaran darurat kita untuk kabur ke luar negeri. Tapi ... selain masalah itu, mereka yang ada dalam ruangan itu harus mendamaikan para jendral tiga matra ini juga. Kau tahu sendiri lah bahwa beberapa jendral di tiap matra ‘agak suka bersaing’,” Rukmana memberi isyarat tanda petik dengan empat jari tangannya.
“Seharusnya kita libatkan juga Matra Keempat untuk menetralisir serangan kunarpa ini.”
“Polisi? Mereka bukan lagi Matra ABRI, mereka sekarang departemen sendiri. Dan ... yah ... polisi juga sudah berbuat semaksimal yang mereka bisa.”
“Tapi mereka belum terjunkan seluruh kekuatan mereka.”
“Pada saatnya mereka akan terjunkan juga pasukan khusus mereka itu, Brimob.”
Dari kejauhan terdengar suara keramaian, suara orang-orang yang kasak-kusuk berbincang. Rukmana dan Ying Go saling bertatapan sebelum Rukmana berkata, “Aku akan panggilkan ayahmu kemari.”
“Baiklah.”
*****
“Kuharap masalah yang akan kau bicarakan ini penting Rukmana, sampai-sampai kau harus bawa aku untuk bicara empat mata,” bisik Tan Liem Seng kepada Rukmana ketika Rukmana membawanya ke ruangan di sudut lorong itu.
Rukmana tidak langsung menanggapi perkataan Tan Liem Seng, ia membuka pintu ruangan itu dan meminta Tan Liem Seng memasuki ruangan lalu menutup dan mengunci pintunya. Mata veteran lanjut usia itu langsung membelalak ketika melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu.
“Saya butuh bantuan Papa,” ujar Tan Ying Go.
“Bantuan apa? Mengembalikan kau ke dalam kesatuan? Setelah kau desersi sekian lama?”
“Tidak. Saya butuh bantuan Papa untuk ... menyelamatkan dunia.”
“Ying Go, apa otakmu sudah tidak waras? Oh kau anak gila. Ide gila apa lagi yang hendak kau kemukakan kali ini. Dasar kau ini, nyaris tak pernah membuatku bangga, bahkan dengan sederetan piala konyolmu itu. Band? Grup musik? Kau bertingkah seperti anak-anak pejabat yang sudah lupa pada penderitaan hidup. Lalu ketika tiba masa bagi mereka untuk bekerja, mereka memilih menjadi seorang yang tampil dari panggung ke panggung; melakukan hal yang mereka suka sekaligus lari dari beban pekerjaan yang dipikul sebagian besar orang,” sindir Tan Liem.
“Musik adalah bagian dari jiwaku saat itu!” sanggah Ying Go.
“Tidak… kau menyukai musik sebagai jalan keluar untuk lari dari kenyataan. Musik-musikmu datar, tak bermakna. Lirik-lirikmu kosong tanpa arti, sama sekali tidak digubah dengan hati.”
“Seumur hidup aku berusaha banggakan Papa. Tapi tak pernah sekalipun Papa memuji diriku! Kini setelah aku dianggap mati, kau beberkan seluruh rasa banggamu itu pada setiap orang yang kau temui. Kau bangga melihat anakmu mati ya?”
“Aku bangga karena kupikir kau gugur sebagai pahlawan bagi negeri ini. Tapi kini aku tak lagi bangga karena itu. Kebanggaanku kini sirna mengetahui dirimu ternyata adalah seorang pengecut yang kabur dari medan laga sementara di luar sana ratusan prajurit lainnya tewas terbantai.”
“Hah? Kau anggap diriku ini pengecut? Aku nyaris mati dihantam kawanan iblis kalau saja tidak datang bantuan!”
“Bantuan? Dari mana? Dan jika memang ada bantuan… kenapa tidak kau kembali ke kesatuanmu?”
“Aku tidak kembali karena lebih baik orang tidak tahu bahwa aku masih hidup.”
“Lalu apa yang kau lakukan selama kau menghilang?”
“Aku melindungi dunia ini.”
“Dari apa? Dari dirimu yang lari terkencing-kencing setelah melihat kawan-kawanmu dibantai?”
“Ehm! Anda berdua, bapak dan anak, bisakah berhenti bertengkar atas masalah yang sudah lalu?” Kapten Rukmana berdehem, mencoba menghentikan pertengkaran dua orang itu. Usahanya berhasil, baik Ying Go maupun Liem Seng menghentikan argumentasi mereka.
“Oke,” jawab Ying Go masih marah.
“Baiklah,” Tan Liem Seng juga mencoba meredam amarahnya, “Informasi apa yang kau punya Nak?”
“Aku dengar Pranaja ditugaskan kembali, benarkah itu?” tanya Ying Go.
“Kapten Pranaja Kusumandaru maksudmu?” tukas Rukmana.
“Ya, Pranaja Sangkur Emas itu. Dia itu ... adalah aktor di balik munculnya kunarpa-kunarpa di negeri ini.”
Tan Liem Seng mengernyit, “Nak, kau tidak merasa perlu menemui dokter jiwa?”
“Tidak, Pa! Aku masih waras. Tidak 100 % waras tapi masih cukup waras.”
“Apa kau punya bukti Ying Go?” tanya Rukmana.
“Sayangnya aku tidak punya bukti fisik.”
“Tapi jika kabar yang kau bawa ini benar, apa dengan membunuh Pranaja maka kunarpa-kunarpa ini akan menghilang?”
“Menghilang mungkin tidak. Dugaaan kawan-kawanku tidak akan ada lubang baru yang muncul lagi,” ujar Ying Go.
“Tetap saja kita harus kerja berat menyapu para kunarpa ini,” desah Rukmana.
“Siapa kawan-kawanmu ini?” tanya Liem Seng.
“Kapten Rukmana pernah bertemu beberapa di antara mereka,” Ying Go melirik pada Rukmana.
“Benarkah itu Rukmana?”
“Itu benar.”
“Apa mereka bisa diandalkan dan dipercaya?”
“Mayor ... jika 6 orang muda-mudi mampu membinasakan sepasukan kunarpa dalam waktu kurang dari satu malam, maka saya asumsikan mereka bisa dipercaya.”
“Apa kau mengigau Rukmana?”
“Dia tidak mengigau, Pa. Baiklah ... akan saya tunjukkan sesuatu,” Ying Go membentuk sebuah portal dimensi berwarna biru dan meminta Rukmana dan ayahnya memasukinya. Liem Seng tampak enggan tapi Rukmana langsung memasukinya tanpa ragu-ragu, membuat Mayor Tua itu akhirnya menurut dan memasukinya juga.
Alam Semesta Arvanda, Jl. Raya Semarang-Demak, 22.00 WIB
Sebuah lubang dengan rekahan magma tampak menganga di tengah jalan raya yang dulunya menghubungkan Demak dan Semarang. Tan Liem Seng dan Rukmana sempat tertegun menyaksikan sekumpulan kunarpa yang tampak berdiri di sana. Liem Seng mencabut pistolnya, bersiap menembak, tapi Ying Go memegangi pistol ayahnya dan mengisyaratkan ayahnya untuk menurunkan pistol.
“Hiss!!! Kau lagi Contra Mundi. Apa maumu?” seorang dari kunarpa itu mulai bicara, membuat Liem Seng nyaris tidak percaya atas apa yang baru saja dilihat dan disaksikannya.
“Menyingkirkan kalian, bangun Xi Wang,” vajra di tangan Ying Go berubah menjadi tombak yang siap membabat mereka.
“Kau takkan bisa menang melawan Sang Ibu, Vajira Muni! Kematian dan kekalahanmu sudah diramalkan!”
“Jika memang demikian kenapa ia selalu kabur setiap kali bertemu denganku, heh?”
“Hisss!!! Sebab Sang Ibu terlalu perkasa untuk kau hadapi.”
“Pembual!” Ying Go menghantamkan tombaknya ke jalan aspal dan sebuah kabut hitam datang menyelimuti para kunarpa itu. Kabut itu semakin lama semakin pekat, lalu terdengar suara pekik melengking dari dalam kabut itu. Ketika kabut itu menghilang, tampak di sana tidak ada lagi para kunarpa.
“Ke mana mereka?” tanya Rukmana.
“Musnah.”
“Musnah?” Liem Seng mengernyit bingung, “Bagaimana mungkin mereka dimusnahkan oleh kabut macam itu? Lebih-lebih ... kekuatan apa itu tadi? Mengapa mereka memanggilmu Contra Mundi dan Vajira Muni?”
“Papa tidak perlu tahu semuanya. Papa cukup tahu bahwa saya bisa dipercaya, karena itu saya minta Papa juga mempercayai saya.”
“Kau ingin kami membunuh Pranaja?”
“Tidak, tapi begitu Pranaja tampak,” Ying Go merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kristal benggala berwarna putih dan memberikannya pada ayahnya, “panggil nama saya dan beritahukan posisinya melalui kristal ini.”
*****
Alam Semesta Sambala, Amsterdam, 11 Januari 2013
Seekor burung gagak terbang melayang dari Trude von Liebenstein menuju atap-atap gedung bergaya gothic, menyusuri kanal demi kanal yang mengalir di sisi-sisi jalan kota Amsterdam, sembari mengamat-amati hiruk-pikuk manusia yang berjalan di jalanan kota ini. Gagak itu mengamat-amati orang-orang itu untuk beberapa saat sebelum terbang kembali. Kali ini ia terbang menuju Dam Square, taman kota yang berada di pusat Amsterdam. Gagak itu mengamat-amati kerumunan orang di sana sebelum akhirnya terbang menukik turun ke sebuah gang sempit dan merubah wujudnya sebagai seorang gadis berpotongan rambut pendek – Olivia.
Olivia keluar dari gang tersebut dan berjalan menuju ke arah Museum Lilin Madame Tussaud yang berada di selatan Dam Square. Di sana ia menepuk bahu seorang gadis bermantel putih yang tampak tengah mengantri masuk ke dalam museum, “Helena, Helmut memintamu kembali. Ada banyak hal yang harus kau jelaskan.”
“Aku menolak.”
“Kau tidak punya pilihan.”
“Kurasa aku punya,” Helena langsung mencengkeram tangan Olivia dan dua orang itu segera menghilang dalam portal dimensi yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah keramaian. Kasak-kusuk pun mulai pecah di antara orang-orang itu.
*****
Alam Semesta Avesta, Pantai Bildsø, Denmark
Olivia dan Helena keluar melalui portal dimensi itu ke sebuah pantai di wilayah Denmark, Pantai Bildsø. Kedua gadis itu jatuh bergulingan lalu segera bangun kembali dengan sigap dan bertatap-tatapan dengan penuh rasa benci.
“Helmut berkata bahwa kau mungkin akan melawan. Ternyata ia benar.”
Helena tidak menanggapi kata-kata Olivia, ia menggosokkan kedua tangannya, “Echidna,” dan muncullah sebuah busur panah yang berpendar kebiruan.
“Kau memaksaku Helena,” Olivia menundukkan kepalanya, mendesah, sebelum mengangkat tangannya dan berseru, “Ostarag!”
Sebuah rantai besi sepanjang dua meter dengan kait pada ujung-ujungnya tampak melilitkan diri pada tangan kanan gadis berambut pendek itu. Olivia mengayunkan senjatanya ke arah kepala Helena, namun gadis bermantel putih itu berhasil menghindarinya. Sabetan cambuk rantai itu menghantam pepohonan yang ada di sana, menumbangkan dan menghancurkan pepohonan yang ada di sana.
Helena melayang menuju pantai, Olivia sendiri menyusulnya. Angin ribut mulai berhembus kencang dari penjuru timur, memporakporandakan bangku-bangku dan payung yang ada di pantai itu. Seorang penjaga pantai terlihat di kejauhan, memilih lari menjauh, meninggalkan dua gadis itu untuk saling beradu kekuatan.
Helena mengibaskan tangan kanannya dan sebuah ombak air laut muncul dan menerjang ke arah Olivia. Olivia bergeming, membalas dengan mengibaskan kedua tangannya, membentuk pusaran angin yang membentur ombak itu hingga ombak itu pecah menjadi percikan-percikan air. Helena membalas dengan menembakkan tiga anak panah es sekaligus ke arah Olivia dan gadis berambut pendek itu mengayunkan cambuknya dan memutarnya seolah memutar kitiran angin, membentuk kincir besi yang menghancurkan ketiga anak panah Helena. Belum menyerah, Helena terus menerus menembakkan anak panah ke arah Olivia secepat yang ia bisa dan Olivia sendiri maju secara perlahan namun pasti, mendekat ke arah Helena.
Sekali lagi Helena mengibaskan tangannya dan mengirimkan sebuah gelombang air yang membentuk kepalan tinju ke arah Olivia. Olivia pun berhenti memutar kincir rantainya dan memegang rantai itu dengan kedua tangannya lalu membenturkannya dengan serangan Helena. Kepalan tinju itu pun pecah dan Olivia langsung membuat melompat dan menerkam Helena. Helena tersaruk ke tanah berpasir sementara Olivia menekan leher Helena dengan siku kirinya dan batang tubuh Helena dengan kakinya.
“Kenapa kau terus melawan Helena?” tanya Olivia dengan nada tegas tapi penuh rasa iba.
“Aku melawan karena aku tahu apa yang akan dilakukan Helmut padaku Olivia. Ia akan membunuhku!”
“Dari mana kau dapat gagasan itu Nona?”
“Satu dari antara tujuh Contra Mundi akan selalu mengkhianati kawan-kawannya. Dan kali ini pengkhianat itu adalah pacarmu Nona.”
“Tampaknya Alasdair telah mengacaukan pikiranmu.
“Atau kau yang pikirannya dikacaukan oleh Helmut?”
Olivia baru saja hendak membalas kata-kata Helena ketika sebuah tangan seseorang mencengkeram bahunya dan melemparnya sejauh beberapa meter dari sana. Tubuh gadis itu menabrak sebuah pohon dan menumbangkan pohon tersebut. Olivia segera bangkit berdiri dan menerawang ke arah pantai tapi tidak melihat satu pun orang di sana kecuali Helena.
“Maaf Nona, kurasa kau pilih lawan yang tidak sepadan,” tiba-tiba terdengar suara seorang pria di belakang Olivia. Olivia berbalik dan mendapati seorang pria bercelana jeans hitam dengan kaus biru tua dan jaket warna hitam tampak berdiri di belakangnya. Wajah pria itu tak tampak, tertutup sebuah topeng yang diwarnai paduan tiga warna : hijau, coklat, dan merah.
“Maaf, siapapun anda, Tuan. Kurasa sebaiknya anda tidak ikut campur.”
“Benarkah?” pria itu mengangkat tangan kirinya, lalu membuat gerakan memukul udara dan tiba-tiba saja Olivia kembali terpental sejauh beberapa meter dari tempatnya semula. Gadis tomboi itu terperangah atas apa yang baru saja ia alami. Sementara Rajatanya berbicara dalam pikirannya. Pria ini bukan manusia Olivia! Hati-hati!
Terima kasih untuk peringatannya Ostarag. ujar Olivia melalui pesan batin. Ia sendiri kembali merentangkan cambuk rantai itu dengan kedua tangannya lalu melecutkan senjatanya ke arah pria bertopeng itu. Pria bertopeng itu sendiri hanya bergeming di tempatnya berdiri, sama sekali tidak beranjak dari sana. Tapi tangan kirinya kembali diangkat, dengan posisi menengadah ke atas dan sebuah tembok batu menghalangi Ostarag milik Olivia mencapai dirinya.
Olivia menarik kembali senjatanya lalu melecutkan senjatanya ke tanah di hadapanannya, menghamburkan butiran-butiran tanah dan potongan-potongan rumput ke udara, mencoba menghalangi pandangan si pria bertopeng, tapi tanpa diduga-duga, beberapa tembok tanah keras mencuat di sekelilingnya, mengurungnya di tengah. Olivia langsung memecutkan senjatanya secara memutar dan menghancurkan pilar-pilar itu, tapi setelah seluruh pilar itu hancur ia tidak menemukan lagi Helena di sana. Hanya si pria bertopeng yang sedari tadi menghalanginya.
“Di mana dia?”
“Siapa? Helena? Sudah pergi.”
“Kau akan kubuat menyesal karena menghalangi misiku!”
“Teruskan misimu ini, kehancuran yang akan kau dapat.”
“Diam!” Olivia menerjang ke arah pria itu, tapi pria itu tiba-tiba menghilang seolah ditelan bumi.
Astaga ... pria ini ... , Olivia, lebih baik kita pergi dari sini. Ujar Ostarag dengan nada gemetar.
Kenapa Ostarag. Siapa dia?
Mahadaya Rancasan. Dewa Bumi, Putra Pertiwi, pemimpin para dewata dari Alam Semesta Versigi saat mereka masih berjaya.
Seberapa kuat kekuatannya?
Yang jelas jauh lebih kuat daripada dirimu. Mundurlah Olivia, sebelum kau mati konyol di tangan Rancasan.
“Cih!” Olivia berdecak marah dan bersiap membuka portal dimensi ketika pria bernama Rancasan itu muncul kembali di hadapannya.
“Menyerah semudah itu Andraste?” ejek Rancasan pada gadis itu, membuat gadis itu kehilangan kontrol dan menyabetkan cambuknya kepada Rancasan. Sekali lagi Rancasan bergeming. Cambuk rantai itu ditangkapnya lalu ditariknya cambuk rantai itu sehingga Olivia jatuh tersungkur. Kemudian dijejakkannya kakinya dua kali ke tanah sehingga delapan buah pilar batu muncul dan menghimpit serta mengunci gerakan Olivia, membuat gadis itu tidak bisa bergerak sedikit pun.
“Semoga kau puas atas tindakanmu ini Tuan Rancasan!” ujar Olivia geram.
“Seolah kau tidak punya dosa terhadap orang lain, Andraste atau harus aku panggil ... Olivia Palander?”
Mata gadis itu menatap penuh amarah kepada pria itu, “Dari mana kau tahu namaku?”
“Karena aku juga salah satu dari kalian,” pria itu membuka topengnya perlahan-lahan dan menunjukkan wajahnya kepada Olivia, “dulu.”
Wajah di balik topeng itu nyaris membuat jantung Olivia berhenti berdetak, “Nandi?” mata Olivia melotot penuh keheranan dan ketakutan. Wajah dan penampilan Nandi nyaris tidak berubah kecuali sebuah lingkaran hitam kebiruan yang tampak terpatri di mengelilingi lehernya, seolah dibuat dengan melingkarkan besi panas pada lehernya.
“Benar,” jawab Nandi sembari memakai kembali topengnya. Lalu ia menengadah ke atas langit dan menjentikkan jarinya. “Lakukan sekarang!” ujar Nandi memberi isyarat pada Helena yang sudah terbang melayang beberapa meter di atas tanah. Helena mengangguk mengiyakan lalu menembakkan sebuah panah es pada penjara batu itu, membentuk sebuah kubah es dan mengurung Olivia di dalamnya.
“Dia takkan bisa mengganggu kita untuk beberapa saat.”
“Berapa lama penjara ini akan menahanannya?”
“Sekitar enam sampai delapan jam. Mungkin kurang dari itu. Olivia adalah salah satu Contra Mundi terkuat, bukan mustahil ia mampu menghancurkan dinding ini dalam waktu tiga jam saja.”
“Kalau begitu kita harus bergegas.”
“Aku setuju,” Helena membuka sebuah portal dimensi dan memasukinya bersama Nandi.
P.S : Gambar di samping adalah penggambaran topeng yang dipakai 'Rancasan' dalam bab ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top