BAB XII : NEGERI ORANG-ORANG MATI

Alam Semesta Arvanda, Semarang, 7 Januari 2013

            Truk-truk pengangkut infantri mulai berdatangan di pinggir kota. Satu demi satu prajurit berseragam loreng turun dari truk-truk yang mengangkut mereka. Satu demi satu mereka berbaris rapi empat banjar dengan senapan bersiap untuk membidik.

            “Bersiap!” seorang komandan memberi perintah pada pasukan tersebut.

            “Siap!”  balas mereka serempak.

            “Beritahu mereka, siapa kalian ini!”

            Tanggwaaju Manggala Yudha[1]!” balas mereka serempak.

            “Maju!” seru sang komandan.

            “Yaaaa!!!!” mereka semua maju, bergerak serempak menuju titik yang dituju.

            Dari sisi seberang muncullah dari dalam tanah, bangunan, dan jalanan sosok-sosok serupa manusia namun dengan kulit kelabu, tatapan mata yang kosong, dan daging-daging yang mulai membusuk.

            “Bantai mereka!” seorang komandan regu berseru menyemangati anak buahnya.

            “Yaaa!!!” para prajurit itu menjawab seruan komandan mereka dengan penuh semangat.

            Peluru-peluru mulai bermuntahan dari moncong-moncong senapan. Satu per satu mayat-mayat hidup itu tumbang. Namun jumlah mayat-mayat hidup yang berdatangan pun semakin bertambah.

            “Tembak! Tembak! Tembak!” para komandan regu terus berseru-seru pada anak buahnya supaya tidak berhenti menembaki para mayat hidup itu.

            “Kunarpa sialan! Enyahlah dari bumi ini!” pekik seorang prajurit yang melemparkan sebuah granat ke arah mayat-mayat hidup tersebut.

            “Awas! Srabedan 3 kilometer dari arah barat daya!” seru seorang prajurit.

            “Mundur! Mundur!” sang komandan batalyon memberi perintah pada anak-anak buahnya.

            “Awas kuyang!” jerit seorang prajurit lainnya yang mendapati sosok-sosok yang hanya berupa kepala – yang  bergandengan dengan organ-organ tubuh macam jantung, paru-paru, lambung, dan usus – tengah bergerak mendekati mereka dengan kecepatan luar biasa.

            “Tembak kuyang-kuyang itu!” sang komandan batalyon berseru histeris bercampur ngeri melihat segerombolan kepala itu mendekat dengan kecepatan yang luar biasa.

            Kembali peluru-peluru bermuntahan, kali ini ke arah udara – ke arah kepala-kepala yang melayang tersebut. Namun sebuah kesialan terjadi, peluru-peluru yang dimuntahkan mulai berkurang.

            “Amunisi habis!” beberapa prajurit mulai panik.

            “Hemat amunisi, tembak ketika dekat! Yang sudah kehabisan peluru, pakai pisau kalian!”

            “Komandan! Ada pesan dari Konta 2!” seorang prajurit menyodorkan sebuah radio komunikasi pada sang komandan batalyon.

            “Berikan padaku!” ia langsung menyambar radio itu.

            Konta 2 pada Arjuna 1! Mohon bantuan unit! Ulangi! Mohon bantuan unit! Ganti!

            “Negatif Konta 2! Kami juga tengah dibantai di sini! Ganti! ” jawab sang komandan peleton itu penuh emosi.

            Konta 3 pada Arjuna 1 dan Konta 2! Misi dibatalkan! Misi dibatalkan! Semua unit mundur ke Mandala 3! Ganti!

            “Dimengerti! Ganti!” jawab sang komandan batalyon.

            “Semuanya mundur! Mundur! Ayo mundur!” pekiknya pada anak buahnya yang masih sibuk bertarung dengan mayat-mayat hidup itu. Sebagian dari mereka sudah berakhir menjadi cabikan-cabikan daging – sebuah santapan lezat bagi mayat-mayat hidup. Sebagian lagi berakhir dengan tragis sebagai cat merah yang mewarnai tembok-tembok kelabu.

            “Masuk ke dalam truk!” ujar sang komandan sembari menaiki sebuah truk.

            “Awas! Ada Srabedan! AWASSS!!!” terdengar pekikan ngeri para prajurit ketika melihat sesosok mayat hidup berwujud manusia berkaki tiga, bertangan empat, berkepala tiga, serta memiliki ukuran setinggi gedung berlantai dua, berlari ke arah truk yang ditumpangi komandan mereka lalu meringsekkan truk itu dengan kepalan tangannya.

            “Komandaaan!!!” pekik para prajurit itu histeris.

*****

            Di ketinggian sebuah gedung kondominium, tampak dua sosok manusia mengamat-amati pembantaian yang terjadi di bawah sana.

            “Tampaknya ini ... bukan pasukan komando ya?” tebak Sanjaya

            “Bukan,” jawab rekannya, seorang pria muda keturunan Tionghoa, yang mengenakan kemeja putih yang dipadukan dengan sweater warna merah.

            “Pemerintahmu tampak sudah mulai putus asa, Ying Go?”

            “Sangat putus asa tampaknya, Sanjaya,” jawab pria yang dipanggil dengan nama Ying Go tersebut, wajahnya lalu berpaling kepada sosok lain yang baru datang, “Kita tidak boleh menolong mereka, Ketua?”

            “Tidak! Jangan terlalu libatkan perasaanmu, Ying Go. Ingat kau ada di sini untuk apa!” jawab pria yang baru saja tiba itu.Pria ini mengenakan setelan manset hitam, celana hitam dengan balutan mantol merah dan secara tiba-tiba muncul dari sebuah pusaran cahaya berwarna perak.

            “Ya! Ya, Helmut. Aku tahu aku di sini untuk apa.”

            “Pasang mata tajam-tajam Ying Go, jangan sampai kau melewatkan tanda-tanda kehadirannya,” Helmut menatap tajam ke arah Ying Go. Tatapannya begitu tajam seakan bisa melelehkan batu karang sekalipun.

            Tapi Ying Go tak gentar dengan tatapan tajam ketuanya tersebut, ia sudah pernah menghadapi sesuatu yang lebih menakutkan sebagai Pasukan Komando daripada pandangan seram dari ketuanya.

            “Jadi ... kita berangkat sekarang?” celetuk Sanjaya sembari memain-mainkan pisau berwarna emas di tangannya.

            “Oke! Ayo!” jawab Ying Go.

            Kedua orang itu berjalan ke pinggir bangunan dan dengan sengaja menjatuhkan diri mereka dari puncak bangunan berlantai 40 itu. Manusia normal tentu saja akan remuk dan hancur begitu mencapai tanah, tapi kedua orang itu mendarat dengan lembut seolah-olah mereka mendarat di atas kapas.

*****

            Angin berdesir melalui jalanan yang sepi, menerbangkan debu-debu, dan menggoyangkan rerumputan yang tumbuh liar tak terurus. Dua sosok pria muda yang tadi berbincang di atas ketinggian tersebut berjalan melalui satu demi satu mayat-mayat yang bergelimpangan di jalanan kota mati itu.

            “Jam berapa?” tanya Sanjaya.

            “Dua siang, empat jam sebelum matahari terbenam,” jawab rekannya.

            “Mari kita lihat parsel apa yang mereka bawa,” tunjuknya ke arah sebuah truk TNI yang masih selamat dari pembantaian tadi.

            “Pertunjukan yang mengecewakan,” celetuk Sanjaya, “perlawanan macam apa itu? Belum juga satu jam semua sudah habis dibantai.”

            “Itu karena mereka bukan prajurit terlatih. Tidakkah kau lihat bahwa kebanyakan dari mereka hanya pemuda-pemuda milisi?”

            “Pemerintahmu harusnya terjunkan Komando, Paskhas, Kopaska, atau Denjaka.”

            “Unit-unit elit itu sudah nyaris habis dibantai di awal mula perang ini dimulai, Sanjaya.”

            “Oh ya, aku lupa. Ha ha ha !” pemuda itu tertawa keji.

            “Kadang-kadang kau membuatku takut dengan tingkahmu Sanjaya. Apa ‘efek samping’ dari pengalamanmu di ‘alam baka’itu masih bersisa?”

            Sanjaya tidak membalas dengan satu patah kata pun, justru membalasnya dengan mendelik tajam pada rekannya.

            “Oh! Oke! Aku lupa itu topik sensitif! Maaf!”

            “Mari kita lihat parsel yang mereka bawa!” Sanjaya menaiki bak belakang truk tersebut, menyingkirkan terpal hijau yang menutupi muatannya dan mendapati sejumlah besar kotak-kotak kayu di balik terpal tersebut.

            “Dibuka?” Sanjaya melirik ke arah rekannya dengan pandangan usil.

            “Kalau tidak dibuka mana bisa kita tahu apa isinya?”

            “Oke!” Sanjaya menarik keluar pisau berwarna keemasan itu lagi dari balik bajunya, lalu mencongkel papan penutup sebuah peti, “Wow! Harta karun!”

            “Kau bercanda?”

            “Coba saja lihat!”

            Ying Go turut menaiki truk tersebut dan melihat isi kotak yang baru saja dibuka Sanjaya, “Bom Natrium?Euh? Kenapa bom ini dibawa dengan truk?”

            “Entahlah, kenapa tidak kita coba tanya pada mereka?”

            “Mereka sudah mati semua.”

            “Bukan yang sudah dibantai tapi ‘mereka’!” Sanjaya menunjuk ke arah depan truk.

            “Angkat tangan!” tiba-tiba terdengar suara seorang prajurit yang menodongkan senapan ke arah dua orang pria muda tersebut.

            “Turun kalian!” bentak prajurit itu.

            Dua orang itu menurut saja ketika disuruh turun.

            “Angkat tangan!” bentak seorang prajurit yang lain lagi, “Tono! Geledah mereka!”

            “Siap!” jawab prajurit bernama Tono itu yang dengan sigap menggeledah dua orang tersebut.

            “Lapor Komandan! Mereka hanya membawa sebilah pisau dan sebuah tongkat besi!”

            “Siapa kalian sebenarnya?” tanya seorang prajurit yang sepertinya adalah komandan mereka penuh selidik.

            “Hanya sepasang wartawan,” jawab Sanjaya sekenanya.

            “Wartawan? Mana tanda pengenal kalian?”

            “Dimakan kunarpa,” kali ini Ying Go yang berujar.

            “Kamera?” tanya komandan itu lagi.

            “Jatuh saat kami dikejar kunarpa,” balas Sanjaya.

            “Aku tidak percaya kata-kata kalian! Apa yang kalian cari di atas truk milik militer?”

            “Makanan,” jawab Ying Go.

            “Tunggu sebentar. Kenapa ... rasanya aku pernah mengenalmu, Nak?” matanya menatap Ying Go lekat-lekat.

            “Mungkin saya pernah mewawancari anda?”

            “Heh! Aku sudah bertahun-tahun tidak meninggalkan Batujajar[2]. Hanya sedikit jurnalis yang diizinkan masuk ke Batujajar. Kalau kau termasuk di antara yang sedikit itu, kau pasti sudah kukenali.”

            “Mungkin hanya sebuah kebetulan saja jika wajah saya mirip dengan seseorang, Kapten ... Rukmana.”

            “Boleh aku lihat apa saja barang-barang yang mereka bawa selain senjata?” Kapten Rukmana berpaling kepada salah seorang anak buahnya.

            “Ada ini Komandan,” ujar prajurit itu sambil menyerahkan sebuah buntalan kain tebal.

            Rukmana membuka buntalan itu dengan cekatan dan mendapati sebuah sangkur berwarna hitam di balik buntalan itu.

            “Sangkur hitam! Khas Komando Pasukan Khusus! Kau Letda Tan Ying Go bukan?”

            “Bukan.”

            “Kau hebat dalam membidik dan menembak Ying Go, tapi kau tidak pandai berbohong. Lebih-lebih pada mantan instrukturmu sendiri!”

            “Oh! Kuharap ini tidak menjadi lebih buruk lagi,” celetuk Sanjaya.

            “Jadi ... kau jadi prajurit desersi[3] ya? Di saat negara begitu membutuhkanmu? Di saat rakyat kita dibantai oleh sekian banyak mayat-mayat hidup? Ya ampun! Kami kira kau dulu pahlawan!”

            “Aku punya alasan sendiri untuk melakukan hal ini, Kapten.”

            “Oh! Semua orang punya alasan! Lalu? Apakah alasanmu itu cukup kuat untuk membuatmu mangkir dari tanggung jawabmu?”

            “Kita bahas itu nanti saja, Kapten. Sekarang biarkan aku bertanya. Ada apa dengan Semarang? Mengapa kalian berupaya sebegitu kerasnya merebut kembali kota ini?”

            “Oh kau tahu sendiri. Orang Jawa itu tidak mau kehilangan tempat tinggalnya. Jadi meski sudah diungsikan ke luar daerah sekalipun, pejabat-pejabat kita masih bersikeras merebut daerah ini dengan berbagai alasan.”

            “Semakin agresif kau melawan mereka, maka mereka pun akan semakin agresif, Kapten.”

            “Tapi dari sekian banyak korban itu, kami dapatkan sesuatu sekarang. Mereka lemah terhadap bom Natrium. Karena itu kami hendak mengebom jalan keluar mereka dengan itu,” Kapten Rukmana menunjuk ke arah truk bermuatan bom Natrium itu.

            “Tapi setiap kali kalian nyaris mencapai titik peledakan selalu saja banyak halangan bukan? Seperti ‘badai halilintar atau badai taifun’ yang tiba-tiba dating seperti tadi?” komentar Sanjaya .

            “Dari mana kau tahu banyak soal itu, Tuan Jurnalis?” Kapten Rukmana menyeringai misterius kepada Sanjaya.

            “Kami berdua tahu cukup banyak, sangat banyak kurasa.”

            “Tahu banyak? Contohnya?”

            “Kau tak hendak mengecek 40 derajat ke arah Tenggara, Kapten? Kurasa kau akan menemukan sesuatu.”

            Kapten Rukmana melirik sinis ke arah salah seorang prajurit, “Coba kau periksa ada apa di sana, Baringin.”

            “Siap Komandan!” prajurit bernama Baringin itu langsung memanjat ke sebuah bangunan yang cukup tinggi untuk melakukan pengamatan. Lima menit kemudian ia melapor melalui walkie-talkie, “Kabar buruk, Kep. Sekumpulan srabedan menuju kemari!”

            “Apa? Sial! Semuanya! Naik ke atas bangunan itu! Kita lawan mereka dari atap! Cepat-cepat!”

            “Bagaimana dengan mereka, Kep?”

            “Beri mereka senjata! Ambil dua pucuk senapan dari jenazah mana saja! Lalu giring mereka bersama kita!” ujarnya sembari kembali melirik tajam ke arah Ying Go, “Kuharap kemampuan menembakmu masih belum luntur.”

            Kedua pemuda itu segera diberi senapan SS1 yang diambil dari onggokan jenazah, tak jauh dari sana, dan keduanya segera menuju atap sebuah gedung bersama ketujuh prajurit tersebut.

*****

            “Boleh kami minta senjata kami kembali?” tanya Sanjaya ketika mereka tiba di puncak gedung tersebut.

            “Pisau dan tongkat besi takkan membantu banyak saat melawan srabedan, Tuan Jurnalis,” ujar Kapten Rukmana, “Tapi senapan mesin bisa.”

            “Mungkin tidak membantu banyak, tapi bisa digunakan untuk menebas kuyang atau kunarpa yang muncul tiba-tiba.”

            “Oke! Tono! Kembalikan senjata mereka!” perintah Rukmana.

*****

            Tujuh di antara sembilan orang itu menunggu dengan penuh ketegangan. Keringat dingin mulai menetes dari dahi ketujuh prajurit itu ketika menyaksikan para srabedan itu mendekat. Ketika para srabedan itu sudah mencapai jarak tembak, Kapten Rukmana memberi aba-aba pada anak buahnya untuk melempar granat ke arah srabedan tersebut.

            Granat-granat berjatuhan di permukaan tanah dan meledak. Dua srabedan tumbang karena kaki-kaki mereka hancur, tapi mereka belum mati. Tangan mereka masih bergerak-gerak ke sana kemari dan menghancurkan sisi-sisi bangunan yang ada di sekitar mereka. Adapun tiga srabedan yang berhasil lolos dari serangan granat itu langsung memanjat gedung di mana Rukmana dan prajuritnya berlindung.

            “Tembak! Tembak mereka semua! Jangan biarkan mereka naik!” seru Rukmana sembari terus menembaki dua srabedan yang memanjati gedung tersebut. Satu srabedan akhirnya jatuh kembali ke permukaan aspal, namun satu lagi tampak sekali sulit untuk ditaklukkan.

            “EAAA!!!” salah seorang prajurit yang sedang sibuk menembaki srabedan itu tiba-tiba terkoyak tubuhnya.

            “Sial!” Rukmana mengumpat ketika menyadari bahwa sesosok srabedan telah berhasil mencapai atap bersama segerombolan kunarpa.

            “Masuk ke dalam!” seru Rukmana memberi perintah.

            “Terlambat!” seru Ying Go ketika menyadari salah satu kaki srabedan itu akan menimpa pintu akses ke atap tersebut.

            “Ya Tuhan!” Baringin kini menyaksikan srabedan yang satu lagi sudah berhasil mencapai atap pula.

            Sesosok srabedan memukul dua orang prajurit sehingga dua orag itu melayang jatuh ke bawah. Srabedan itu kemudian mengincar juga enam orang lainnya namun sabetan tangannya luput.

            “Kita bantu mereka?” ujar Ying Go pada Sanjaya.

            “Melihat kondisinya sudah seperti ini ... aku setuju!” jawab Sanjaya, “Aku duluan!”

            Sanjaya melesat maju dan menghantam sesosok srabedan dengan tenaga di luar kekuatan manusia. Srabedan itu meluncur jatuh dan Sanjaya pun turut melompat ke bawah.

            “Hah? Dia sudah gila ya?” umpat Baringin.

            “Dia tidak gila Sersan,” ujar Ying Go yang sudah berdiri di hadapan sesosok srabedan pula. Berdiri menantang dengan hanya menggenggam sebuah tongkat besi.

            “Ying Go! Anak gila! Minggir kau! Kau cari mati kalau berdiri di situ!” pekik Rukmana histeris ketika menyaksikan mantan anak didiknya berdiri di antara kepungan srabedan dan kunarpa.

            Tapi Ying Go tidak menjawab apa-apa selain menarik sebuah tongkat besi berwarna hitam yang sedari tadi tersampir di pinggangnya. “Bangun, Xi Wang[4]!” ujarnya lirih.

            Tongkat besi tadi tiba-tiba berubah menjadi guan dao – tombak dengan ujung berbentuk golok, khas beladiri wushu.

            “Hah?” mata para prajurit tersebut membelalak melihat senjata yang dipegang Ying Go itu.

            “Hisss!!! Contra Mundi!!!! Mau apa kalian kemari???? Ini adalah wilayah kami!!! Tanah kami!!!! Sudah sejak permulaan zaman kami dijanjikan tanah ini!!!” Srabedan itu mulai berkata-kata.

            “Aku tidak peduli dengan perjanjian kalian di masa lalu! Aku kemari hendak mencari Tuanmu! Di mana Mara?”

            “Hisss!!! Kau tak boleh menyentuh Sang Ratu!!!! Ia adalah ibu kami!!! Dari dialah kami dilahirkan kembali. Dari dialah kami bisa menjejakkan kami di bumi ini!!! Karena dialah kami bisa membalaskan dendam kami!!!!”

            “Perjanjian kalian dibuat saat kalian masih menjadi manusia. Sekarang? Kalian hanyalah seonggok mayat yang bergerak atas perintah pimpinan kalian. Menjadi mayat-mayat hidup yang hendak merenggut dunia yang seharusnya menjadi hak dari orang-orang hidup.”

“Hisss!!! Kami tidak peduli!!! Perjanjian adalah perjanjian!!! Harga sebuah perjanjian yang tidak tertepati akan sama meskipun abad-abad telah berlalu!!!!”

            “Jadi kalian tidak mau beritahu di mana iblis wanita itu sekarang?”

            “Hisss!!!! Tidak!!!!”

            “Kalau begitu ...,” Ying Go tidak berkata-kata lebih jauh lagi, ia langsung melenting tinggi dan memenggal dua dari tiga kepala srabedan tersebut dengan sekali tebasan. Tapi tangan-tangan srabedan tersebut sempat mencengkeram kakinya dan melemparkannya ke jendela sebuah gedung di sebelahnya.

            Dengan sedikit terhuyung, Ying Go bangkit dan bersiap menyerang ke arah srabedan itu kembali, namun dari balik dirinya muncullah segerombolan kunarpa dengan segala jenis kelamin dan usia – wanita dan pria, dewasa hingga anak-anak – semuanya langsung menyerangnya.

            “Sial!” dengan gesit ia mengayun-ayunkan tombaknya, menebas satu demi satu kunarpa yang hendak menyerangnya.

            “Butuh bantuan?” tiba-tiba Sanjaya muncul di dekatnya.

            “Tampaknya butuh,” jawab Ying Go.

            “Oke! Kau urus srabedan itu, sementara aku urus mereka.”

            “Oke!” jawab Ying Go sembari terbang melesat ke arah srabedan yang mulai menyerang Kapten Rukmana beserta peletonnya.

            “Hei tangan empat! Lawan aku!” seru Ying Go yang sudah mendarat di atap gedung.

            “Hisss!!! Sang Ratu berkata bahwa kalian ini amat sukar disingkirkan!!! Tapi ... tak lama lagi kami akan berhasil menyingkirkan kalian!!!!”

            “Percaya diri sekali?”

            “Hisss!!! Lihatlah sekeliling kalian!!!”

            Rukmana melirik ke bawah dan mendapati aspal jalanan mulai retak, semakin lama retakannya semakin melebar.

            “Gempa bumi, Kep?” tanya Baringin.

            “Ini bukan gempa!”

            “Astaga! Lihat itu!” Tono bergidik ngeri ketika melihat sejumlah besar kunarpa, kuyang, srabedan dan sesosok mayat hidup serupa manusia namun tingginya melebihi srabedan sekalipun.

            “Astaga!” Ying Go menatap tidak percaya pada sosok raksasa tersebut.

            “Hisss!!! Senjata pamungkas Sang Ratu!!!”

            “Duh! Tampaknya aku harus akhiri perbincangan kita sekarang,” Ying Go segera berlari ke arah sang srabedan lalu dengan kecepatan yang luar biasa membelah tubuh srabedan tersebut menjadi dua.

*****

            “Sosok apa itu? Dan lebih-lebih ... siapa sebenarnya kalian ini?” tanya Rukmana penuh rasa ingin tahu.

            “Sebagaimana yang sudah kalian ketahui,” jawab Sanjaya.

            “Kunarpa, kuyang, srabedan, aku pikir mereka semua cuma mitos omong kosong dari masa lalu.”

            “Kau berpikir mereka ini semacam imajinasi liar manusia-manusia terdahulu dalam mencari sesuatu bentuk dari hal yang mereka takuti bukan, Kep?”

            “Benar!”

            “Sayangnya mereka nyata sekarang.”

            “Sangat nyata malah!” ujar Ying Go, “Kita tidak bisa turun dari gedung ini sekarang. Seluruh kota sudah mereka kepung.

            “Kita bisa melawan!” ujar Sanjaya.

            “Kita bisa, tapi mereka?” Ying Go menunjuk ke arah Kapten Rukmana bersama apa yang tersisa dari peletonnya – tiga orang prajurit yang kepayahan.

            “Kalian tidak membawa perbekalan?” tanya Sanjaya.

            “Ada, tapi hanya cukup untuk sekali makan,” jawab Rukmana.

            “Jadi pilihannya sekarang hanya mati saat melawan segerombolan mayat hidup atau mati kelaparan.”

            “Aku pribadi lebih memilih mati saat melawan,” ujar Rukmana, “bagaimana dengan kalian?”

            “Kami akan ikut ke mana pun anda pergi, Kep!” jawab ketiga prajurit tersebut.

*****

Alam Semesta Xaxes

            “Sanjaya dan Ying Go dalam masalah, Helmut,” seorang wanita muda dengan potongan rambut pendek menemui sang pria berbaju manset di sebuah ruang aula.

            “Ada apa?” jawab Helmut dingin.

            “Mara mengirimkan prajuritnya dalam skala besar!”

            “Sebesar apa?”

            “Dalam skala yang cukup untuk memenuhi jalanan satu kota.”

            “Kurasa mereka bisa mengatasinya, Olivia.”

            “Aku ragu apakah bijak menggunakan kekuatan itu sekarang, Helmut. Lagipula aku ragu jikalau memang mereka gunakan kekuatan itu, apakah hal itu menjamin mereka akan lolos dari tempat itu? Ayolah Helmut! Kau yang paling tahu bahwa kita tak boleh kehilangan satu pun dari kita bertujuh!”

            “Baiklah!”

*****

Alam Semesta Arvanda

            Ying Go dan Sanjaya tak henti-hentinya menebas barisan kunarpa yang seolah tiada habisnya itu. Sementara Rukmana dan anak buahnya menembaki kuyang-kuyang yang beterbangan di atas kepala mereka. Tapi itu semua tampaknya tidak cukup untuk melawan mereka, barisan kunarpa itu semakin mendesak kelima orang tersebut hingga terjepitlah mereka di sebuah bangunan kosong yang sudah rapuh.

            “Raksasaitu akan menghancurkan bangunan ini dalam sekejap saja!” umpat Ying Go.

            “Oke! Tapi kalau kita terus di luar maka kita sudah pasti akan menjadi santapan yang sehat nan bergizi bagi mayat-mayat hidup itu,” ujar Sanjaya.

            “Sial! Aku tidak bisa mengontak pusat komando!” Rukmana memukul tembok di hadapannya keras-keras, melampiaskan kekesalannya.

            “Jadi ini akhir dari semuanya ya?” celetuk Baringin.

            “Suatu kehormatan bisa berada di bawah perintah anda, Kep!” Tono dan ketiga kawannya memberi hormat kepada kapten mereka.

            “Sudahlah! Kalian malah membuat perasaanku semakin buruk.”

            “HEI!” Sanjaya tiba-tiba berteriak.

            “Kenapa?”

            “Aku merasakan sebuah energi milik ... ketua? Tidak! Bukan hanya ketua! Ada yang lain.”

*****

            “Infernus Antinencidio!” kata-kata itulah yang diucapkan Helmut – pria berbaju manset hitam – ketika meluncur jatuh ke lautan mayat hidup di bawahnya. Segera sesudah tangannya menyentuh bumi timbullah kobaran api berwarna hitam yang membumihanguskan seluruh mayat-mayat hidup tersebut.

            Di sisi lain Olivia muncul di hadapan Ying Go, “Pasang perisai! Cepat!”

            Sanjaya dan Ying Go langsung menancapkan senjata mereka ke lantai tempat mereka berpijak dan muncullah selubung berwarna biru transparan menyelubungi gadis tersebut, Rukmana beserta peletonnya, serta Ying Go dan Sanjaya.

            Api hitam itu semakin membesar sehingga separuh kota itu tertutup oleh kobaran api tersebut. Tapi sosok kunarparaksasa itu tampak tak terpengaruh sama sekali oleh kobaran api tersebut. Di sisi lain muncullah sesosok pemuda berkacamata yang menggenggam dua buah pistol dan menembaki sang raksasa.

            “Hei! Aku sedang tidak berminat main-main sekarang. Jadi ... kita akhiri sekarang saja ya?” ujarnya sembari menekan pelatuk pistolnya keras-keras. Sebuah bola cahaya berwarna kuning terbentuk di ujung kedua pistolnya sebelum akhirnya melesat ke arah sosokraksasa tersebut dan menyelimutinya dengan aliran listrik. Dari sisi yang berlawanan, sesosok pria berjanggut tipis melesat dan menarik keluar sebuah scimitar berwarna hitam legam yang langsung saja ia ayunkan ke kepala monster itu lalu membelah kepala raksasa itu menjadi dua bagian.

            “Wow! Itu menyenangkan!” celetuk sang pemuda berkacamata.

            “Tidak menyenangkan bagiku, Kaspar. Menahan arus listrikmu supaya tidak melukai mereka semua itu pekerjaan berat!” ujar Olivia yang tadi menjumpai Ying Go dan Sanjaya tiba-tiba muncul.

            “Tampaknya kita terlalu meremehkan Mara. Ia jelas-jelas tidak seperti Calya ataupun iblis-iblis lainnya,” ujar Helmut yang berjalan menghampiri kawan-kawannya.

            “Kita butuh sekutu, sebanyak mungkin yang bisa kita dapat,” komentar Ying Go.

            “Errr ... Ying Go,” Rukmana tiba-tiba menyela pembicaraan mereka, “Terima kasih sudah membantu kami keluar dari sini. Aku ... tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk membalas perbuatan kalian.”

            “Tak usah dipikirkan, Kep!” jawab Ying Go.

            “Kapten, apa kau pernah menjumpai fenomena aneh di sini?” tanya pemuda berkacamta bernama Kaspar itu.

            “Sekumpulan mayat hidup sudah merupakan fenomena aneh bagiku, Mister.”

            “Maksudku ... apakah ada semacam suara tawa wanita di tengah-tengah badai? Suara jeritan di tengah hujan? Sesuatu suara yang ... intens dan menimbulkan rasa takut yang amat sangat? Dan hujan atau badai ini sering datang tiba-tiba?

            “Itu ... sering terjadi di daerah ini. Bahkan sebelum fenomena kunarpa ini terjadi.”

            “Di mana pusatnya?”

            “Simpang Lima.”

            “Jadi di sana pusatnya!” ujar Ying Go geram.

            “Kita harus menyerbu dengan kekuatan kita bertujuh, tapi hari sudah gelap sekarang. Kita kembali dulu ke kastil untuk saat ini,” ujar Helmut memberi perintah sembari membentuk sebuah pusaran cahaya berwarna perak di hadapannya, “Untuk saat ini tidak mungkin bagi kita untuk menyerbu ke sana.”

            “Selamat tinggal, Kep!” Ying Go memberi hormat ala militer kepada Rukmana, yang langsung dibalas pula dengan posisi hormat yang sama oleh Rukmana.

            “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan saat ini, Tan Ying Go. Tapi aku percaya apapun yang kau lakukan, kau tetap akan menjadi salah satu putra terbaik bangsa ini, putra terbaik yang akan selalu menjadi kebanggaan bangsa ini.”

            “Aku bukanlah putra terbaik, Kep. Aku hanya seorang prajurit yang berusaha menunaikan tugasnya, meski caranya di luar jalur kewajaran,” balas Ying Go sebelum menghilang di balik pusaran cahaya tersebut.

[1]Prajurit Tangguh Yang Maju di Medan Perang

[2] Pusat Pelatihan Kopassus

[3] Mangkir dari tugas

[4] Kematian (Bahasa Mandarin)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top