BAB XI : LAZARUS
Alam Semesta Persada.
“Kau sudah siap Nona? Aku akan membuka pintunya beberapa saat lagi,” tanya pria berbaju zirah warna perak itu kepada Helena.
“Oke. Aku siap,” jawab Helena gemetar.
“Begitu kau sudah temukan dia langsung panggil aku dan aku akan bawa kalian berdua keluar.”
Sebuah portal dimensi terbuka. Tapi kali ini warnanya hitam. Dari dalamnya keluar semacam bau busuk yang memuakkan dan membuat Helena nyaris muntah, tapi Pertiwi, Alasdair, dan sosok berbaju perak itu tampak tak terpengaruh sama sekali. Helena dengan gamang akhirnya memasuki portal dimensi itu dan pria berbaju perak itu mengikuti dari belakang.
“Menurutmu ini cara yang benar, Titik Nol?” Pertiwi memandang mata Alasdair dalam-dalam.
“Kurasa cara ini sudah benar.”
****
Neraka
Helena dan pria berbaju perak itu keluar dari portal dimensi dan mendapati udara panas bergelung di udara, menampar-nampar wajah, tangan, dan kaki mereka. Tempat ini penuh dengan hawa yang panas membara, dindingnya berwarna merah membara, hasil pantulan lava cair di dasar gua, baunya busuk menyengat, suatu campuran keringat, telur busuk, belerang, dan bangkai hewan. Sungguh tempat ini tak nyaman untuk ditinggali. Pria berbaju perak itu melongok ke ceruk yang ada di hadapan mereka dan melihat sebuah sungai lava tengah mengalir lambat di dasar ngarai.
“Aku akan menunggu di sini, Helena. Bunyikan peluit itu jika kau sudah bertemu dengannya.”
“Baiklah Sitija,” Helena berjalan menuju ceruk itu lalu menjatuhkan diri ke arah bawah, ke sungai lava itu, tapi beberapa meter sebelum tubuhnya terpanggang panasnya sungai lava, Helena berkelit dan terbang melayang menuju pinggir sungai.
“Echidna!” Helena berbisik dan sebentuk cahaya kebiruan muncul lalu membentuk sebuah busur berwarna biru-keperakan dan berjalan mengendap-endap menyusuri tepi sungai hingga ia tiba di sebuah area di mana sekumpulan iblis berbentuk seperti manusia berkulit merah dan bermata tiga – dengan bentuk seperti bola kaca berwarna kuning – tampak tengah menyeret seorang wanita ke arah sungai lahar.
Wanita itu menjerit-jerit dan memohon-mohon pada para iblis itu supaya mereka mengurungkan niatnya. Tapi mereka malah tertawa dan seolah wanita itu adalah sampah, mereka melemparkannya ke dalam sungai lava. Wanita itu menjerit sejadi-jadinya ketika otot-ototnya meleleh dan terbakar dan menyisakan hanya rangkanya saja – rangka berwarna kusam yang tetap menjerit-jerit sebelum akhirnya remuk dan larut dalam sungai lava itu.
Helena sempat berpikir hendak menolong wanita itu, tapi ia sadar bahwa tindakannya itu akan menggagalkan tujuannya kemari. Ia berjalan dengan berjingkat-jingkat meninggalkan sekumpulan iblis itu lalu naik ke atas sebuah bukit cadas. Di sana ia dapati sebuah area di mana sekumpulan iblis masing-masing tengah dijadikan sebuah permainan oleh para iblis. Sebagian dijadikan sasaran anak-anak panah, sebagian diiris lehernya lalu kepalanya dijadikan bulan-bulanan di antara mereka. Ada yang dipotong-potong dagingnya untuk dijadikan santapan para iblis, ada yang dikuliti dan dibakar hidup-hidup, ada yang terus-menerus ditusuk lembing, sebagian ada yang disula dari lubang dubur mereka hingga tembus ke mulutnya – membiarkan si terhukum menderita rasa sakit yang menjalar dari lubang dubur hingga tenggorokan.
Helena tidak tega menyaksikan itu semua. Ia memalingkan muka dan melenting ke arah sebuah bukit cadas yang letaknya tak terlalu jauh dari bukit tempatnya berdiri. Di sana ia dapati sebuah celah di mana sesosok iblis tengah sendirian dan tengah asyik menyantap daging manusia yang menjadi korbannya.
Helena melayang turun dan mendarat tanpa menimbulkan suara di belakang si iblis. Ia kemudian berkonsentrasi sejenak dan membentuk sebuah pedang es di tangannya lalu mendekatkan ujung pedang es itu ke tengkuk si iblis. Iblis itu terkejut mendapati seorang telah berdiri di belakangnya.
“Katakan padaku, Iblis. Di mana tawanan bernama Mahija Nandi berada?”
“Missa Nando? Aku tidak kenal,” jawab iblis itu berpura-pura bodoh.
“Kau bohong. Kau pasti kenal.”
“Kau tak bisa tanyakan soal dia kepada lubang pantatmu, Nona?”
“Lucu,” Helena langsung membekap mulut si iblis lalu membantingnya ke tanah dan memotong kaki kanan iblis itu. Iblis itu hendak menjerit tapi suaranya tertahan oleh bekapan tangan Helena yang memancarkan hawa sedingin es.
“Di mana dia?” Helena perlahan mengendurkan cengkeramannya.
“Di-dia ada di tingkat 4. Di bawah pengawasan Yang Mulia Abaddon.”
“Bagaimana aku bisa mencapai tingkat empat?”
“K-kau harus bisa mencapai titik pusat di tingkat ini dan dari sana kau bisa turun langsung ke tingkat empat.”
“Kau tidak bohong?” nada Helena mengancam.
“T-tidak, b-boleh a-aku pergi sekarang?”
“Kau tahu Iblis? Sepanjang pergaulanku dengan kaummu yang bernama Rahab itu aku belajar satu hal : Iblis tidak pernah menepati janji dan jangan pernah menepati janji dengan iblis.
“T-tidak!” iblis itu mulai meronta dengan panik, tapi kaki kanan Helena menginjaknya dengan begitu kuat. Enam detik kemudian rontaan itu berhenti, bersamaan dengan terpisahnya kepala iblis itu dari tubuhnya.
Helena naik kembali ke atas bukit cadas dan mengamat-amati di kejauhan tampak sebuah lubang yang sangat besar di sana. Dengan hati-hati ia melompat dari satu puncak bukit ke puncak bukit lainnya menuju lubang berdiameter sekitar 2 kilometer itu.
Tiba di pinggir lubang ia mendengar sebuah mencicit burung gereja di dekatnya. Ia menengadah dan mendapat seekor burung gereja terbang mendekat ke arahnya dan berubah wujud menjadi Sitija.
“Katanya kau akan menunggu di sana?”
“Ibu memutuskan menutup gerbang itu dan mempersilakan aku membuka gerbang lain nanti. Gerbang dimensinya mulai tidak stabil dan berpotensi menimbulkan ledakan energi atau keributan lain yang beresiko membuat kita ketahuan. Kau sudah temukan lokasi Nandi?”
“Seekor iblis berkata ia ada di tingkat empat.”
“Kita harus masuk kemari?”
“Ya.”
Sitija melongok ke dalam lubang yang gelap dan tampak tak berdasar itu. Beberapa sosok iblis beterbangan keluar-masuk dari lubang itu, namun tak ada yang menaruh perhatian pada Sitija maupun Helena.
“Ayo!” Sitija mengubah wujudnya menjadi seekor burung gagak dan bersama Helena melayang turun.
Setelah turun selama kurang lebih sepuluh menit mereka mendapati sebuah area di mana sekumpulan sel-sel berbentuk gua masing-masing dijaga oleh seekor iblis berkepala hewan. Helena dan Sitija mengabaikannya dan terus turun ke tingkat berikutnya.
*****
Sosok seorang pemuda tergantung di atas palang hukuman yang umum diberlakukan pada terpidana-terpidana mati dari zaman Romawi, sesuatu yang lazim disebut kayu salib. Pergelangan tangannya ditembus oleh sebuah paku panjang yang tembus hingga batang kayu. Kakinya ditautkan sedemikian rupa hingga menyatu di atas sebuah landasan kayu dan sebuah paku menyatukan kedua telapak kaki itu dengan batang kayu. Dari leher sampai ujung kaki banyak sekali terdapat luka memar membiru – tampaknya merupakan bekas pukulan – serta bilur-bilur luka yang memanjang-hasil cambukan dengan kala-kala
Sesosok iblis berwujud manusia setinggi dua meter lebih dalam balutan pakaian yang tampak bagai pakaian kebesaran seorang raja – jubah bulu berwarna merah dengan pinggir berwarna putih, kemeja putih bersih, dan sebuah mahkota emas terpasang di kepalanya – berdiri di hadapan sang pemuda dengan tatapan menghina dan merendahkan.
Ia mendekat ke arah si pemuda, melayang setinggi beberapa senti dari tanah dan memaksa kepala si pemuda yang sedari tadi menunduk itu untuk menatapnya.
“Agh,” pemuda itu mendesah lemah ketika tangan itu dengan kasar mencengkeram dagunya dan memaksanya mengarahkan pandangannya kepada sosok manusia raksasa itu.
“Aku bisa melakukan sesuatu yang lebih mengerikan dari ini padamu Nandi, tapi ketahuilah aku ini juga seorang pemurah. Jika kau mau mengatakan ‘hal itu’ barang sekali saja maka aku akan memperingan hukumanmu.”
Nandi hendak meludah di wajah sosok itu, tapi mulutnya kering. Ia hendak memaki tapi rasa haus dan kering mendera tenggorokannya. Ia hendak memukul atau menendang sosok itu tapi tangan dan kakinya tak bisa ia gerakkan.
“Tidak akan,” jawab Nandi dengan suara parau nan lirih.
Sebuah pukulan mendarat di perut Nandi dan mulut pemuda itu memuntahkan sejumlah darah segar.
“Apa tadi kau bilang?”
“Tidak akan ... aku katakan.”
Sebuah pukulan kembali mendarat, kali ini di rusuk kanan Nandi.
“Sekarang bagaimana?”
Nandi masih menjawab tidak dan iblis itu kembali melancarkan pukulannya pada Nandi hingga 7 kali.
“Nandi,” ujar iblis itu lembut dan memaksa wajah pemuda itu memandang ke arahnya.
Nandi akhirnya menyerah dengan sisa tenaganya ia mengatakan sesuatu yang ingin didengar iblis itu sedari tadi, “Ampun ... Tuanku Abaddon.”
Lalu iblis itu tertawa tergelak-gelak. Di sekitarnya beberapa iblis juga tertawa. Mereka tertawa menyaksikan bagaimana si pemuda menyerah kalah setelah sekian lama mencoba terus melawan.
“Katakan padaku, siapakah dirimu Anak Manusia?”
“Aku adalah budakmu Tuanku. Budak hina yang bisa kau permainkan sesuka hatimu. Budak hina yang hidupnya bergantung pada belas kasihmu.”
Abaddon dan iblis-iblis itu kembali tertawa mendengar kata-kata Nandi itu. Abaddon turun dan menginjak tanah kembali sementara kepala Nandi kembali tertunduk lesu penuh dengan rasa marah, kecewa, dan kalah.
“Karena kau telah sadar akan kodratmu, maka hukumanmu kuperingan o Budakku. Kau takkan tergantung di sana selama seminggu seperti yang seharusnya, tapi hanya empat hari dan setelah itu ... kau diizinkan untuk mati – beristirahat sejenak sebelum dihidupkan kembali untuk kembali padaku. Kau paham?
Nandi tidak menjawab. Kepalanya lunglai dan pening. Rasa nyeri yang hebat menjalari seluruh tubuhnya, seluruh tulang dan ototnya terasa seolah sudah tidak ada pada tempatnya. Tapi tidak menjawab perkataan Abaddon sama saja memperpanjang penderitaannya, karena itu ia menengadah dengan seluruh sisa tenaganya lalu memaksakan diri menjawab, “Ya Tuanku. Terima kasih.”
*****
Helena menyaksikan semua pemandangan tadi dari balik ceruk batu cadas yang tersembunyi. Ada rasa pilu yang mengiris-iris hatinya menyaksikan pria yang pernah menarik hatinya itu diperlakukan seperti itu.
Darah orang benar akhirnya tertumpah juga di sini Nandi. Batin Helena setelah menyaksikan peristiwa itu. Ia ingin menangis tapi dengan sekuat tenaga ia tahan air matanya.
“Aman Helena. Ambil Nandi, aku akan buka gerbangnya,” ujar Sitija sembari beranjak menjauh dari Helena. Helena melongok sekali lagi dan mendapati yang menjaga iblis kini hanya sesosok iblis berkepala banteng. Ia melayang turun dengan hati-hati lalu dengan mengendap-endap berjalan menuju ke belakang iblis itu.
Iblis itu sendiri menyeringai ketika menatap Nandi, “Mereka bilang kau sempat membuat Calya kewalahan. Apa itu benar?”
Nandi tidak menjawab membuat iblis itu gusar dan menghantamkan tombaknya ke tanah, “Hei! Manusia sombong! Jawab aku!”
Sebuah anak panah tiba-tiba melesat dan menembus lehernya. Panah itu membekukan kepalanya lalu kepala itu putus dan jatuh ke tanah, menimpulkan suara es pecah. Helena keluar dari persembunyiannya dan melongok ke arah tubuh telanjang penuh luka yang tergantung di palang derita itu.
“Nandi!” suara Helena setengah berbisik.
Nandi membuka matanya, “Hai,” Nandi menyapa Helena dengan senyum yang dipaksakan. sebenarnya bukan senyuman... lebih tepatnya seringai karena bibirnya berdarah yang membuatnya tidak bisa tersenyum.
Helena mengamati selain pergelangan tangan dan kaki Nandi terpaku pada palang kayu Ada pula sejumlah kawat berduri yang mengikat kedua lengan serta perutnya pada palang derita itu.
“Maaf aku tidak bisa melakukan apa-apa kecuali ....,” Helena terdiam.
“Kau kasihan padaku?” tanya Nandi dengan suara parau.
"Aku...," kembali Helena terdiam lalu menatap Nandi dalam-dalam. Ia mendapati wajah pemuda itu telah sayu dan tidak lagi ada semangat hidup terpancar darinya.
"Apa yang membuatmu datang kemari, Helena?" tanya Nandi.
"Aku akan membebaskanmu!"
"Aku tidak pantas untuk itu. Siapakah aku selain seorang pecundang yang telah kalah di hadapan para perkasa?" ujar Nandi lemah.
"Kau jangan bicara lagi...kau sudah...,"
"Terlalu lemah? Oh ya ampun, kau khawatir aku akan mati? Bukankah aku sudah mati?"
"Kau tidak layak diperlakukan seperti ini. Apa dosamu sehingga kau sampai dijatuhkan ke dalam lingkar neraka."
"Dosaku? Sebenar-benarnya seorang manusia ia tetaplah bersalut berdosa tetapi sebenar-benarnya seorang Contra Mundi, ia tetaplah musuh dunia. Dan darah seorang Contra Mundi harus ditumpahkan di atas tanah darah neraka supaya yang lain bisa tetap hidup. Dan sayangnya Helena, Contra Mundi yang dipilihnya adalah aku."
“Kau bicara soal ... Sanjaya.”
“Bagaimana kabarnya?”
“Baik.”
“Syukurlah.”
Helena kembali terdiam, tak bisa berkata apapun lagi. Dadanya serasa mau pecah dan air matanya kembali nyaris keluar, tetapi ia bertekad untuk tidak bersedih di hadapan Nandi.
"Kau cantik sekali dalam balutan mantel itu... biar kutebak... kau membelinya di Edgar's?" tanyanya.
“Nandi ... diamlah, jangan bicara lagi,” Helena mengibaskan tangannya dan memunculkan sebuah pisau es lalu melayang dan memotong kawat berduri yang melilit perut dan pergelangan tangan Nandi. Pandangannya kemudian beralih pada paku yang menyatukan kedua tangan Nandi dengan palang horizontal itu.
“Ini akan sakit,” ujar Helena, “bisakah kau tidak menjerit saat aku mencabutnya?”
“Ya,” jawab Nandi lemah.
Helena membentuk sebuah selubung air yang menyelubungi tangan kiri yang terluka itu lalu dengan cepat menarik paku yang menancap itu. Nandi meringis. Helena tak sempat memperhatikannya lalu langsung beralih ke tangan lainnya dan melakukan hal yang sama.
“Pegangan pada palangnya sampai aku mencabut paku di kakimu,” ujarnya sembari turun dan mencabut paku yang menyatukan kedua kaki Nandi.
Begitu paku itu tercabut, tubuh pemuda itu roboh tak bertenaga ke tanah berbatu. Helena menghampirinya dan mencoba membantunya berdiri, tidak mempedulikan betapa tubuh itu telah kotor oleh keringat, darah, serta nanah. Sitija muncul tak lama kemudian.
“Gerbangnya sudah terbuka,” ujar Sitija sembari menunjuk ke atas bukit cadas, “Kau bisa memapahnya sendirian?”
“Sebenarnya tidak.”
Sitija merubah wujudnya menjadi seekor burung raksasa berbulu coklat keemasan dan berkepala dua, “Naiklah.”
Helena melayang sambil tetap menggendong tubuh Nandi lalu burung itu terbang menuju ke atas bukit cadas.
“Kalian tidak bisa membawanya ke mana-mana!” tiba-tiba Abaddon dan sekumpulan iblis sudah berdiri angkuh di atas bukit cadas, menghalangi mereka untuk masuk ke dalam gerbang dimensi.
“Pegangan!” ujar Sitija pada Helena lalu ia terbang cukup tinggi dan menukik tajam ke arah Abaddon. Pemimpin iblis itu mencoba menangkap kepala si burung tapi ia terhempas oleh sayap burung jelmaan Sitija itu dan terbanting jatuh dari bukit cadas itu. Gerbang itu sendiri langsung menutup ketika Sitija berhasil masuk.
*****
Alam Semesta Persada
Portal dimensi terbuka di istana Pertiwi dan sosok Sitija serta Helena yang membopong Nandi keluar dari sana.
“Dia terluka parah,” ujar Helena panik.
“Berikan ia padaku,” ujar Pertiwi lembut lalu membopong tubuh Nandi keluar dari ruang tahta itu. Helena, Alasdair, dan Sitija mengikutinya dari belakang lalu mendapati Pertiwi membawa Nandi ke sebuah lubuk mata air yang jernih di luar istananya. Helena sendiri takjub melihat sekumpulan staglaktit-staglamit yang menjulang indah dan memendarkan cahaya berwarna-warni dari dalam diri mereka sendiri.
“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Helena pada Pertiwi.
“Menyembuhkannya.”
Pertiwi memasukkan tubuh Nandi yang tak sadarkan diri itu ke dalam lubuk air dengan penuh kehati-hatian dan memastikan kepalanya tidak tenggelam di dalam lubuk.
“Kerja bagus sebagaimana biasanya, Sitija,” puji Alasdair.
“Terima kasih sobat lama,” jawab Sitija lalu mengalihkan pandangannya ke arah Pertiwi, “Adik kecil kita ini sudah selamat, Ibu. Sekarang bagaimana dengan Kanda Rancasan dan Bomasrawa?”
“Sabarlah, Nak. Tunggu adik kecilmu ini siuman dahulu lalu kita akan membangunkan mereka berdua.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top