BAB VIII : BERGERAK!!!
Alam Semesta Arvanda, Jakarta, 1 Januari 2013.
Malam telah turun menyelimuti kota Jakarta, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 23.00 namun Kolonel Surya Bratamanggala belum beranjak pergi dari ruang kerjanya. Dirinya sibuk menerima telepon dan menelepon seseorang secara silih-berganti. Tiga puluh menit berlalu dan ia menyandarkan tubuhnya yang penat di kursi ruang kerjanya, memandang langit-langit dengan tatapan nanar.
Di tengah kepenatannya telinganya menyadari telah terjadi sebuah keanehan. Ia mendengar suara benda seperti setumpuk kertas jatuh dari pintu depan di mana sekelompok prajurit tengah berjaga. Suara itu disusul dengan suara berdebam kecil yang nyaris tak terdengar. Insting prajuritnya muncul, ia rogoh pistolnya yang ia letakkan di dalam laci lalu berjalan dengan mengendap-endap menuju ke pintu ruang kerjanya. Perlahan ia buka pintu itu dan menodongkan pucuk pistolnya ke arah lorong yang tampak kosong.
Sedetik kemudian ia keluar dari ruangannya dengan posisi waspada, menengok kanan-kiri dan berjalan menuju pos jaga. Di sana ia dapati para prajurit jaga sudah tidak ada di tempatnya. Kartu domino dan cangkir-cangkir kopi setengah penuh berserakan di sana. Asbak dengan rokok yang masih mengepulkan asap masih terletak rapi di tengah meja. Ia menengok ke arah pos jaga di pintu gerbang dan mendapati pos jaga di sana juga tidak berpenghuni.
Ia merasakan adanya kehadiran seorang penyusup di tempat ini. Sebuah kehadiran yang sungguh tidak membuatnya nyaman. Ia segera berlari kembali ke ruang kerjanya namun di sana ia mendapati dua orang misterius telah menunggunya di sana.
“Siapa kalian!” Kolonel Surya menodongkan pistolnya.
Dua orang itu tidak menjawab. Seorang dari antara mereka bahkan bangkit berdiri dan mendekatinya. Kolonel itu menarik pelatuk pistolnya dan sebutir peluru langsung melesat ke arah pria misterius itu. Namun pria itu mengibaskan tangannya dan jika matanya tidak menipunya, Kolonel Surya jelas-jelas melihat pria itu menangkap peluru yang ia tembakkan dengan tangannya.
“Apa-apaan kalian? Mau apa kalian?”
“Siapa yang menginisiasi Operasi Pamungkas, Kolonel? Dan apa saja yang sudah kalian ketahui mengenai kunarpa-kunarpa ini?” tanya pria itu.
“Siapa kalian? Dari mana kalian? Untuk siapa kalian bekerja?”
“Kami bekerja untuk diri kami sendiri, Kolonel. Dan untuk kebaikan kita semua serta untuk keselamatan dunia ini kami sarankan anda beritahukan saja di mana anda simpan seluruh dokumen mengenai Operasi Pamungkas serta kemunculan kunarpa.”
“Itu adalah rahasia negara! Aku tak akan menyerahkannya begitu saja!”
“Begitukah?” pria itu mendorong Kolonel itu dengan tenaga yang Kolonel itu rasakan bukan tenaga manusia biasa – berkali-kali lebih kuat daripada manusia, bahkan lebih kuat daripada para prajurit komando sekalipun. Pria itu menghempaskan Sang Kolonel ke arah dinding hingga pistolnya terlepas, lalu menahan tubuh Sang Kolonel dengan cengkeraman tangan kanannya. Kolonel itu mencoba melawan dengan mencoba mendendang wajah penyerangnya, tapi pria itu menangkap kaki sang kolonel kemudian memelintir kaki Sang Kolonel hingga uratnya bergeser. Kolonel itu hendak menjerit namun secara tiba-tiba pria itu mencengkeram kepalanya dengan tangan kirinya. Setelah itu ia merasakan seluruh tubuhnya dikoyak-koyak menjadi serpihan-serpihan kecil oleh sebuah tenaga yang luar biasa.
*****
“Wah, itu cara yang kasar sekali untuk menginterogasi tersangka, Ying Go,” pria kedua dalam ruangan itu bangkit dari sofa yang terletak di sudut ruangan dan mendekat ke arah Sang Kolonel yang kini mulutnya tak henti-hentinya menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.
“Sekarang tugasmu Sanjaya, kau ahli meretas bukan? Bisa kau tolong cek komputernya?”
“Kau sudah tanya soal dokumennya?”
Pria misterius yang tadi menyerang Sang Kolonel itu mendekat ke arah telinga Sang Kolonel sembari membisikkan sesuatu, “Di mana dokumen mengenai Operasi Pamungkas?”
“Lantai dua ... Pusat Arsip.”
“Kode Rak?”
“Bukan rak ... brankas?”
“Nomor kombinasi?”
Kolonel itu terdiam.
“Antara ia tidak tahu nomor kombinasinya atau mentalnya belum cukup kau hancurkan ya?” celetuk Sanjaya yang sudah duduk di meja kerja Sang Kolonel sembari menelusuri dokumen-demi-dokumen.
“Jika aku lakukan lebih dari ini maka resikonya kegilaan permanen.”
“Kurasa layak dicoba.”
“Tidak, aku akan bobol saja brankasnya.”
“Kau bawa dinamit, Ying Go?”
“Bukan dinamit Sanjaya, tapi ini,” Ying Go membuka kepalan telapak tangannya dan menunjukkan pada Sanjaya kilatan-kilatan energi listrik yang muncul dari telapak tangan kirinya.
“Pastikan saja kau tidak membuat gaduh.”
“Oke.”
Ying Go beranjak keluar dari ruangan itu sembari menelusuri lorong berlantai keramik hijau menuju lantai dua. Ia berhenti di sebuah ruang bertuliskan ruang arsip. Sebuah gembok menghiasi pintunya. Ying Go berkonsentrasi sejenak mengeluarkan sejumlah energi listrik dalam jumlah kecil yang perlahan-lahan ia arahkan ke gembok itu. Gembok itu tampak membara lalu jatuh ke lantai dengan menimbulkan sedikit suara gaduh.
Sudah kubilang jangan gaduh! Suara Sanjaya terdengar dari kristal berwarna biru yang menggantung di leher Ying Go sebagai kalung.
“Sori!” jawab Ying Go sembari memasuki ruang arsip. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah brankas berwarna abu-abu di sudut ruangan. Ia sempat berniat mengalirkan energi listrik kembali pada brankas itu, namun tiba-tiba sebuah ide yang lebih baik terlintas di kepalanya.
“Bangun Xi Wang!” Ying Go menarik vajra yang sedari tadi tergantung di pinggangnya dan vajra itu segera berubah menjadi sebuah guang dao – tombak panjang berbilah pedang golok ala Cina – dengan bilahnya yang bergerigi dan tongkatnya yang berwarna hitam legam.
Ying Go mendekat ke arah brankas lalu mengayunkan senjatanya hingga pintu brankas itu terbelah oleh senjata miliknya. Lalu diselipkannya ujung tombaknya ke pintu brankas yang terkoyak itu dan ia menariknya ke samping guna memperlebar lubang koyakan yang sudah ia buat. Ketika lubang itu sudah cukup lebar ia merogoh ke dalam brankasn dan menarik keluar setumpuk dokumen yang disegel dengan stiker hologram bergambar burung garuda. Di stiker hologram itu tertulis kata ‘SANGAT RAHASIA’.
“Oke, mari kita lihat apakah rahasia itu,” Ying Go mengayunkan tombaknya dan tombak itu berubah kembali menjadi sebuah vajra berukuran 22 cm yang bisa ia gantungkan di sabuk celananya. Ia keluar dari ruang arsip dan mendapati Sanjaya sudah berdiri di tengah lorong sambil menunjukkan sebuah flashdisk.
“Datanya sudah aku dapat. Ayo pergi dari sini!” ujar Sanjaya sembari mengibaskan tangannya dan membentuk sebuah pusaran cahaya berwarna keperakan.
“Setuju!” Ying Go memasuki pusaran cahaya itu dan Sanjaya menyusulnya, kemudian pusaran cahaya itu menghilang.
*****
Alam Semesta Arvanda, Jakarta, 2 Januari 2013.
Sebuah mobil SUV berwarna putih tampak memasuki halaman sebuah rumah mewah bertingkat tiga dengan cat rumah dominan krem. Rumah itu berhias aneka pohon palem raja yang tingginya dapat mencapai 20 meter dan aneke tanaman hias. Di depan pintu utama rumah tersebut terdapat sebuah kolam ikan dengan air mancur yang berhiaskan patung Arjuna dan Srikandi yang tengah berlatih memanah.
Pengemudi mobil SUV itu memarkir mobilnya di sebuah garasi di depan air mancur itu. Pengemudi itu – yang tak lain adalah Pranaja – turun dari mobil tersebut sembari menenteng sebuah koper pakaian dan menyeretnya menuju ke dalam rumah tersebut. Seorang wanita paruh baya yang rambutnya masih menunjukkan sisa-sisa kehitamannya membuka pintu dan melemparkan senyum kepada Pranaja.
“Bagaimana kabar Bapak, Mbok?”
“Bapak Den Mas sudah seminggu ini nggak pulang. Katanya ada urusan di kantor.”
“Oh begitu.”
“Aden mau makan?”
“Tidak Mbok, terima kasih. Saya mau langsung tidur saja. Capek.”
“Baik Den.”
Pranaja bergegas menaiki anak-anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Begitu tiba di kamarnya ia langsung menutup pintu, melepas seluruh pakaiannya, dan memasuki kamar mandi.
*****
Keluar dari kamar mandi ia dapati di tempat tidurnya telah duduk seorang wanita cantik, wanita yang sama dengan yang ia temui di Surabaya tempo hari.
“Mara? Ada apa kau malam-malam kemari?”
“Aku hendak mengundangmu dalam pembicaraan bisnis.”
“Bisnis?”
Wanita itu mengangguk, “Kau masih punya setelan jas yang bisa kau pakai?”
“Masih, tapi tunggu sebentar di mana pembicaraan ini akan berlangsung?”
“Di negeri ini tapi bukan di negeri ini?”
“Maksudnya?”
“Berpakaianlah dahulu, nanti akan kujelaskan maksudku.”
Pranaja tidak membantahnya. Ia segera membuka lemari pakaiannya dan mengambil satu set pakaian resmi lalu segera menuju ke kamar mandi di kamarnya kembali untuk berpakaian. Dua menit kemudian ia kembali keluar dan menatap Mara yang telah berdiri menyambutnya dalam balutan blazer hitamnya.
“Ke mana sekarang?”
“Semesta tetangga kita,” wanita bernama Mara itu menjentikkan jarinya dan memunculkan sebuah gerbang dimensi yang berupa pusaran energi berwarna kehitaman, “Ayo ikuti aku Pranaja.”
Pranaja menggamit tangan Mara dan keduanya segera memasuki gerbang dimensi itu. Ketika Pranaja telah melewati gerbang dimensi itu gerbang itu menutup dan menghilang.
Alam Semesta Versigi, Palembang, 2 Januari 2013.
Sebuah hotel berbintang lima tampak berdiri megah di tengah kota Palembang, berjarak sekitar tiga kilometer dari Jembatan Ampera. Hotel itu bernamakan ‘Hotel Andalas’, sebuah bangunan bertingkat 20 dengan dinding berlapis keramik berwarna coklat krem.
Bagian belakang hotel tampak sepi dan di sanalah muncul sebuah pusaran energi berwarna hitam, dari pusaran itu keluarlah dua sosok yang tak lain adalah Pranaja dan Mara.
“Di mana kita?” tanya Pranaja.
“Kita berada di Palembang. Tapi bukan di Palembang yang kau kenal. Kita berada di Palembang yang berada di Versigi.”
“Semesta paralel?”
“Semacam itu.”
“Siapa yang akan kita temui?”
“Sama seperti dirimu Pranaja, sesama orang-orang terpilih,” ujar Mara seraya berjalan menuju bagian depan hotel. Pranaja mengikutinya dari belakang.
Wanita bernama Mara itu memasuki pintu hotel dengan penuh percaya diri lalu langsung beranjak menuju ke resepsionis. Resepsionis hotel itu – seorang gadis muda berusia 20 tahunan dengan seragam merah tua dan rambut digelung – bangkit dan menyapa tamunya dengan keramahan yang dibuat-buat.
Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya resepsionis itu.
“Saya hendak menemui kawan saya bernama Bapak Bayu dan Agni Bimantara. Apa mereka sudah check-in di sini Mbak?”
“Ah, sebentar Nona,” resepsionis itu segera membongkar settumpuk memo yang ada di mejanya lalu kembali menatap Mara dengan senyuman manisnya, “Beliau sudah menunggu anda, Nona. Di kamar 301.”
“Terima kasih ya Mbak,” ujar Mara sembari berjalan menuju lift bernama Pranaja.
*****
Di dalam lift, Pranaja menatap Mara lekat-lekat sembari bertanya, “Apa-apaan negeri ini? Masa Indonesia bentuknya serikat?”
“Sudah kubilang kita ada di dimensi yang berbeda Pranaja. Negeri ini Indonesia, tapi bentuknya serikat. Di sini mereka memiliki Presiden juga Perdana Menteri.”
“Tapi bentuk pemerintahan macam itu tidak merubah kondisi negeri ini kan?” Pranaja berdecak kesal.
“Tentu saja tidak. Negeri ini takkan berubah di tangan yang bukan orang terpilih.”
Terdengar suara denting lift, menandakan lift telah sampai di lantai tujuan mereka.
“Ayo,” ujar Mara sembari beranjak keluar dan berjalan menuju sebuah kamar.
Belum sempat Mara ataupun Pranaja mengetuk pintunya seorang pria botak berkacamata sudah membukakan pintu bagi mereka.
“Halo Calya, senang bertemu denganmu lagi,” sapa Mara.
“Masuklah, tuanku sudah menunggu kalian,” Calya menggeser tubuhnya hingga merapat ke dinding dan mempersilakan kedua tamunya masuk. Mara dan Pranaja segera melangkah masuk sementara Calya menutup pintu.
“Selamat malam Tuan-tuan,” sapa Mara kepada dua orang pria kembar yang duduk dengan gelisah di dua buah kursi busa yang nyaman.
Kedua pria itu bangkit berdiri dan mempersilakan Mara dan Prajana untuk duduk, “Silakan duduk Nona Mara dan Pak Pranaja.”
“Terima kasih,” sahut Pranaja sembari duduk di sofa itu.
“Jadi apa yang hendak anda tawarkan Nona Mara?” tanya Agni.
Mara menoleh ke arah Calya yang sudah mengambil posisi duduk yang agak berjauhan dengan mereka berempat, “Kau belum menjelaskan pada mereka Calya?”
“Aku menunggu saat yang tepat untuk itu. Kurasa sekarang adalah saat yang tepat bagi Tuan berdua untuk mengetahui rahasia ini,” Calya bangkit dari duduknya dan mengeluarkan sebuah bola hitam yang tampak dibuat dari logam lalu melemparkannya ke tengah ketiga orang tersebut. Bola itu menampilan sebuah gambaran perjalanan hidup Agni dan Bayu.
“Kami membuat kontrak pada mereka yang terpilih untuk menghantarkan tuan kami kepada kejayaan dan kemakmuran yang layak mereka capai. Tuanku berdua, Tuan Agni dan Tuan Bayu memilih jalan politik menuju kursi pimpinan tertinggi negeri ini,” ujar Calya.
“Dan Tuanku Pranaja memilih jalan ‘pembersihan’ atas negerinya,” sambung Mara.
“Lalu? Apa yang patut kami ketahui?” tanya Agni.
“Setiap jalan pasti memiliki bagian yang tidak rata, terjal, ataupun berbatu-batu, Tuanku berdua. Dan untuk memuluskan jalan itu kita memerlukan bantuan pihak lain.”
“Dengan cara apa Nona Mara dapat membantu kami?” tanya Bayu.
“Calya memiliki musuh yang tak dapat dia kalahkan sendiri, Tuan Bayu.”
“Mahija Nandi maksudmu?” tanya Agni.
“Jika hanya seorang Mahija Nandi aku yakin masih bisa menghadapinya Tuan-Tuan. Yang kutakutkan adalah orang yang menyerang kita di Semarang tempo hari.”
“Siapa dia itu sebenarnya?” tanya Bayu.
“Tuan mau dengar?”
“Ya.”
“Sanjaya, Teguh Harimurti Sanjaya. Putra sulung dokter Adhibratha Mursito.”
Wajah dua orang itu langsung pias. Mereka terdiam sesaat sebelum Bayu buka suara, “Tapi ... bukankah dia sudah mati?”
“Ya, karena itu aku tidak habis pikir siapa yang membangkitkannya kembali, Tuan.”
“Kau mau tahu jawabannya, Calya?” tanya Mara sambil tersenyum penuh arti.
“Kau tahu?”
“Apa Mahija Nandi pernah muncul barang sekali pun semenjak kemunculan Sanjaya?”
“Tidak,” Calya menggeleng.
“Apakah kau tahu syarat utama korban silih untuk membangkitkan kembali yang sudah mati?”
“Seorang harus ditukar nyawanya dengan orang itu.”
“Ya, tapi sang korban haruslah saudara sedarahnya.”
“Jadi ...,” tiba-tiba senyum merekah di wajah Calya.
“Jadi Mahija Nandi sekarang sudah mati dan dia menggantika posisi Sanjaya.”
“Oke, cukup soal itu. Sekarang bagaimana kerjasama kita berlangsung?” Pranaja menyela pembicaraan.
“Kau memiliki kekuatan untuk memanggil gerbang neraka Pranaja. Gunakan itu untuk memastikan Sanjaya tewas di Arvanda,” jawab Calya.
“Sanjaya ada di semestaku?” Pranaja tampak kebingungan.
“Ya, lihatlah sendiri,” Mara menjentikkan jarinya dan menampakkan pemandangan di mana Sanjaya tampak tengah membantai habis legiun kunarpa yang telah menghabisi peleton 3 Wilwatikta. Pemandangan itu hanya sekejap sebelum gambarnya terdistorsi.
“Sanjaya punya kekuatan yang amat besar. Sangat membahayakan rencana kami di sini, Tuan Pranaja. Jadi kami minta tolong supaya anda dapat menahannya di Arvanda barang sebulan saja.”
“Oke ... baiklah lalu apa lagi yang harus kulakukan.”
“Pertemuan yang menggelikan, sangat menggelikan,” tiba-tiba sesosok pria berambut perak telah berdiri di antara mereka berlima.
“Hekaloth! Ada apa kau kemari?”
“Kau pikir kondisi di Arvanda tenang – tak beriak Mara? Salah! Kedatangan Sanjaya ke sana bukan untuk melindungi Arvanda. Kedatangan Sanjaya ke sana adalah untuk membangunkan Contra Mundi Arvanda – Vajira Muni! Dan sekarang dia sudah bangun dan tengah bergerak memburumu!”
“Siapa dia?”
“Seorang yang diselamatkan Sanjaya dari Komando Wilwatikta.”
Seluruh mata yang hadir di sana kembali menatap ke bola hitam yang memancarkan gambaran-gambaran yang kini makin jelas. Dan di sana tampaklah bahwa Sanjaya memang telah menolong seseorang keluar dari kepungan kunarpa-kunarpa itu.
“Vajira Muni adalah yang terakhir dari antara kaumnya. Ia selalu muncul sebagai yang terakhir.” sambung pria berambut perak itu lagi.
*****
“Lalu ... bagaimana kita harus menghadapi kedua ‘monster’ ini,” tanya Mara gemetar. Nama Vajira Muni adalah momok bagi dirinya. Masih terbayang dalam ingatannya bahwa di masa lalu sosok yang sama pernah nyaris membunuhnya andaikan sesosok iblis tidak menyelamatkannya.
“Kau dan Pranaja harus segera menyelesaikan rencana kalian dalam kurun waktu 3 bulan ini. Sementara untuk kau Calya, aku akan kirimkan pasukanku untuk mencoba menghambat Sanjaya.”
“Kalian tidak bisa membunuhnya saja?” tanya Agni dengan ekspesi panik.
“Entitas yang kalian sebut sebagai ‘Putra Langit’ takkan mudah dibunuh begitu saja,” jawab Hekaloth.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top