BAB VI : CHANDRADIMUKA

Alam Semesta Arvanda, Batujajar, 5 tahun yang lalu.

            Gedung itu adalah sebuah barak militer bercat hijau dengan atap berwarna merah bata. Di salah satu sisinya tertulis sebuah tulisan yang dipahat pada papan kayu : ‘BARAK TARUNA’

            Seorang pria Tionghoa masuk ke dalam barak itu dan langsung menuju sebuah dipan di antara sekian dipan yang berderet rapi di sana.

            “Eh, Dan, coba lihat siapa tuh yang datang?” celetuk seorang taruna pada seorang kawannya yang tengah rebahan di tempat tidur sambil menutup matanya dengan tangan kirinya.

            Yang dipanggil membuka matanya dan melihat seorang pemuda Tionghoa meletakkan sebuah ransel di atas sebuah bed bersprei putih.

            “Jual lumpia, Ko?” tanya prajurit yang tadinya berbaring di bed itu dengan nada mengejek.

            “Tidak,” jawab si pemuda Tionghoa.

            “Jual ote-ote?” tanyanya lagi.

            “Tidak juga,” kembali pemuda Tionghoa itu menjawab dengan cuek.

            “Lalu ngapain anda kemari, Ko? Jual diri?”

            “Sama seperti kalian semua.”

            “Sudah siap kaki itu hancur lembek sampai jadi kaki tomat?”

            “Dan urat-urat otot ini putus semua? Siap, tidak siap, itu resiko!”

            “Situ mau jadi komando?” prajurit yang tadinya berbaring itu langsung bangkit dan mendekati si pemuda Tionghoa.

            “Bukan mau, terpaksa tepatnya.”

            “Begitukah?” prajurit tadi langsung melayangkan bogem mentahnya ke arah tubuh bagian samping pemuda Tionghoa tersebut. Pemuda itu meringis sejenak lalu kembali membenahi barang-barangnya.

            “Kok diam? Takut kau sama saya?”

            “Tidak, saya takut jika saya layani anda maka saya nanti yang akan jadi bulan-bulanan pembina.”

            “Sinyo jangan jadi pengecut lah, kalau Sinyo jadi pengecut mana bisa Sinyo jadi prajurit komando?” timpal seorang prajurit lain yang tampak duduk bersandar di sebuah kursi.

            “Situ yang cari ribut Mas, jangan salahkan saya,” pemuda Tionghoa itu menarik kepala prajurit di hadapannya, membenturkannya dengan kepalanya lalu membanting lawannya ke lantai.

            “Ehm!” tanpa diduga-duga terdengar suara dehem seorang prajurit TNI bertanda pangkat tiga garis kuning yang melengkung ke bawah – Sersan Kepala, “Siapa yang beritahu kalian bahwa tempat ini adalah ring adu jago?” Sersan itu melangkah masuk ke dalam barak, membuat setiap taruna yang ada di sana berdiri dalam sikap hormat sambil memikirkan segala sesuatu yang mengerikan yang dapat saja dilakukan oleh si Sersan pada mereka semua.

            “Kalian berdua,” sersan itu menuding si pemuda Tionghoa dan taruna di sampingnya, “Kau, Tan Ying Go! Selalu saja jadi bocah bengal! Sudah berapa kali kau kena tindakan indisipliner macam ini, hah?”

            “Dia yang memulai Pak!” jawab Tan Ying Go sambil melirik ke arah taruna di sampingnya.

            PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi Ying Go. “Aku tak mau dengar alasanmu, keledai tolol! Kalau emosimu naik hanya gara-gara provokasi kecoa macam dia maka otakmu itu otak keledai!”

            Taruna di sampingnya sempat mengulum senyum sejenak, namun mata elang Sang Sersan menangkap sekilas senyum itu meski hanya sedetik, “Heh kau! Pranaja Kusumandaru! Jangan mentang-mentang kau itu anak jendral lantas kau pikir bisa melenggak-lenggok seenaknya! Apa yang tadi kau tertawakan? Apa?” bentak Sersan itu dengan suara menggelegar, “Kau nyaris tertawa karena aku menampar dia? Kau tertawa karena kau pikir bisa saja lolos dari hukuman? Sontoloyo otakmu itu! Bukankah aku tadi bilang dirimu tak lebih dari kecoa – makhluk hitam merayap, penyebar segala jenis bakteri? Atau jangan-jangan kau ingin jadi orang yang tertawa selama-lamanya? Baiklah kalau itu maumu, akan kupermak wajahmu supaya seumur hidup kau bisa nyengir onta! Itu yang kau mau?”

            Plak! Plak! Plak! Taruna bernama Kusumandaru itu mendapatkan tiga kali tamparan.

            “Kalian berdua! Lari keliling lapangan upacara! Dan jangan berhenti sebelum aku bilang berhenti!”

            “Siap!” dua taruna itu memberi hormat pada Sersan itu sebelum berlari ke arah lapangan.

            “Dan untuk kalian semua yang ada di sini,” Sang Sersan menoleh ke arah lima taruna yang berada di dalam barak itu, “Belum semua teman kalian datang, kalian sudah bikin masalah! Berkumpul kalian semua di lapangan upacara!”

            “Siap!”

*****

            “Lima taruna  kau jemur di lapangan upacara, dua lagi kau suruh lari sampai teler. Riyadi,  tega benar kau pada anak-anak itu. Belum juga semuanya datang kemari. Kok kau sudah beri hukuman pada mereka?” ujar seorang prajurit berpangkat Letnan Satu kepada Sersan Kepala yang memberi hukuman pada seisi barak yang sempat ‘rusuh’ tadi.

            “Di barak itu ada dua anak ‘petinggi’yang sempat bertikai, Rukmana. Kita harus pastikan tidak terjadi ‘perang bintang’ di antara ayah dua anak itu!” ia membalas ucapan letnan itu tanpa menyebutkan pangkat, sebab ia dan letnan itu sudah bersahabat dekat.

            “Ya, aku sudah baca riwayat hidup mereka. Pranaja Kusumandaru menunjukkan bakat yang hebat dalam latihan kepemimpinan, latihan menembak, dan latihan panjat tebing. Sementara si anak ‘Maung Lodaya’ itu tidak kalah hebatnya.”

            “Tapi Pranaja punya kebencian rasial pada ras tertentu, dan itu harus kita tekan seminimal mungkin!”

            “Aku setuju soal itu Riyadi. Tapi tidakkah ini terlalu dini untuk menghukum mereka? Hentikan hukuman ini dahulu, lanjutkan lagi besok saat seluruh taruna sudah datang, jika kau masih belum puas. ”

*****

            “Asu! Bajingan Sersan itu!” umpat Pranaja yang sudah menyelesaikan putaran ke-44 kalinya. Perutnya terasa mengeras, nafasnya mulai tak beraturan, sementara kakinya mulai goyah saat menopang tubuhnya.

            “Jangan jatuh di sini Bung! Aku tidak mau hukumanku tambah berat gara-gara kau jatuh!” Ying Go menghampiri Pranaja sembari memapah taruna yang sudah kepayahan itu.

            “Kalian semua! Bersiap!” tiba-tiba Sersan Kepala bernama Rukmana itu berseru lantang sembari melangkah angkuh menuju ke lapangan upacara. Seluruh taruna yang ada di sana berdiri tegap mematung.

            “Balik kalian semua ke barak!” perintah Sersan itu dan semua taruna di sana menarik nafas lega.

*****

Enam bulan setelah itu ....

            Sekumpulan taruna berseragam lengkap tampak turun dari sebuah truk yang mengangkut mereka. Masing-masing di antara mereka memanggul senapan dan tas ransel hijau yang tampak benar telah penuh dengan perlengkapan.

            “Kalian!” Sersan Rukmana kembali tampil dengan angkernya di hadapan 30 orang taruna itu, “harus menuju pintu Pusdik Para! Waktunya 15 menit! Yang terlambat ... siap-siap saja merasakan bagaimana rasanya hidup-segan-matipun-tak-mau. Sekarang!”

            Tiga puluh taruna itu langsung berlari secepat yang mereka bisa, tapi beban ransel yang bobotnya hampir 30 kg itu membuat mereka tak bisa berlari secepat yang seharusnya. Belum lagi mereka harus melewati daerah yang penuh dengan semak-semak dan pepohonan yang cukup lebat.

            “Anjing nian Sersan satu itu! Mustahil tiba di sana dalam 15 menit! Bilang saja kalau dia sudah gatal mau hukum kita!” kembali Prajana mengumpat sebal.

            “Kalau kau bisa habiskan energimu untuk mengumpat-umpat, seharusnya kau bisa lari lebih cepat dari ini kan?” balas Ying Go yang beralan di sampingnya.

            “Heh!” Prajana kembali merengut sebal.

            “Gimana kalau kita balapan saja. Yang kalah traktir minum kopi!” ajak Ying Go.

            “Balapan, huh? Taruhan kopi terlalu ringan ah!”

            “Memang mau taruhan apa?”

            “Yang kalah bersihin WC! Setuju?”

            “Setuju!”

            Dan dua orang itu segera berlari secepat yang mereka bisa, masing-masing saling mendahului dan didahului sampai akhirnya mereka tiba di tempat tujuan 30 menit dari rencana semula, secara bersamaan.

            “Kalian semua telat!” Sang Sersan sudah berdiri dengan senyum khasnya yang angker dan membuat darah membeku, “Ya! Push-up semuanya! Empat puluh kali!”

            “Tapi Pak ... !” seorang hendak membantah.

            “Ada yang membantah! Kutambah jadi 80 kali! Ada lagi yang protes kutambah hukumannya jadi 120 kali!”

            Dan seluruh taruna itu melaksanakan  hukuman itu, sebagian dengan hati dongkol, sebagian dengan hati yang sudah mahfum.

*****

            Siang itu mereka semua dikumpulkan untuk menjalani sebuah peragaan penggunaan parasut. Seorang instruktur memperagakan bagaimana mereka memasang parasut, membuka parasut, dan segala hal yang mereka perlukan.

            “Untuk membuat kalian semua ingat pada cara-cara yang saya ajarkan tadi, saya punya yel-yel yang wajib kalian nyanyikan saban kali latihan!”

“Bila apel malam telah tiba…

 Segera bacakan penerjunan…

 Hatiku dag dig dug tak karuan…

 Memikirkan nasib seseorang….

            Bila aku peloncat pertama…

            Segera berdiri dekat pintu…

            Pandangan tetap lurus kedepan…

            Sikap exit jangan dilupakan…

Bila payung sudah mengembang…

Segera periksalah keliling…

Hindarkan tabrakan antar kawan…

Tarik kemudi depan belakang…

            Bila payung tidak mengembang…

            Segera cabut payung cadangan….

            Bila itupun tidak mengembang…..

            Serahkan nyawamu pada Tuhan….

            “Bait terakhir boleh kalian pelesetkan menjadi: ‘Serahkan pacarmu pada orang lain.’, asalkan jangan lakukan itu di hadapan Sersan Rukmana,” ujar Sang Instruktur yang disambut dengan gelak tawa semua taruna yang hadir di sana, tidak ada yang tidak tertawa.

            “Minggu depan, kalian akan melakukan latihan terjun payung yang nyata. Saya harap kalian mempersiapkan diri baik-baik. Jaga kesehatan, jangan ada yang sakit! Kalau sampai sakit nanti kalian bisa disembelih sama Pak Rukmana.”

            Dan para taruna itu pun kembali tertawa.

*****

Seminggu kemudian ...

            Awan gelap tengah menggantung di atas langit Batujajar. Para taruna telah berbaris di landasan pesawat dan satu-per-satu masuk ke dalam pesawat yang akan membawa mereka ke ketinggian untuk menjalani latihan terjun payung sesuai dengan urutan penerjunan. Semuanya terdiam seribu bahasa, beberapa mulut mulai mengkomat-kamitkan doa, sebagian ada yang sibuk bolak-balik minta diperiksakan teman dibelakangnya apakah tali temali parasutnya masih tersusun rapih dipunggungnya. Beberapa minta izin untuk kencing lagi karena ketakutan, tapi sudah dilarang karena sudah naik pesawat, terpaksa nahan kebelet kencing di pesawat. Ada yang pura pura senyum lebar, tapi senyumnya kecut, macam-macamlah perilaku mereka.

            Hanya tiga orang yang tetap tenang dan tak menunjukkan ekspresi tegang. Dua di antara mereka adalah Prajana dan Ying Go. Prajana berdiri di sisi pintu pesawat, berdiri sebagai penerjun pertama, Ying Go di posisi kedua.

            “Oke! Go!” Sang Instruktur menepuk pundak Prajana dan taruna itu langsung melompat dari pesawat itu.

            “Ying Go!Go! Lompat!”

            Dan Ying Go langsung melompat dari pesawat tersebut. Dalam hitungan empat detik, payung kedua taruna itu terbuka sendiri, sepuluh detik kemudian payung mereka terkembang dengan sempurna. Lalu terjadilah peristiwa naas itu.

            Sebuah pusaran angin entah dari mana menghempaskan baik Ying Go maupun Prajana dari jalurnya semula. Beberapa penerjun di belakang mereka sempat oleng sehingga mereka segera menarik payung cadangan mereka. Delapan penerjun yang belum turun langsung diminta untuk membatalkan penerjunan.

            “Batalkan penerjunan, kembali ke pangkalan!” seru Sang Instruktur.

*****

            Angin itu membawa dua taruna itu ke sebuah tempat di bagian timur Batujajar. Ying Go terhempas duluan sementara Prajana terhempas lebih jauh dari Ying Go. Parasut Prajana tersangkut di sebuah pohon dan ia merosot ke atas tanah dan tak sadar

            “Ouch!” Prajana meringis sembari menahan sakit pada tungkai kaki kanannya.  Dirasakannya kakinya itu nyeri luar biasa. Barangkali patah. Dicobanya bangun, tapi ia tak sanggup. Sejenak kemudian sebuah aroma harum dan manis tiba-tiba tercium oleh hidung taruna muda itu. Aroma itu sangat menenangkannya hingga akhirnya kesadarannya hilang.

*****

            Prajana membuka matanya perlahan-lahan dan mendapati di sampingnya telah duduk seorang gadis cantik berambut panjang, dengan mata seperti wayang – lentik mempesona, jari-jemarinya yang ramping dan lentik tampak dengan terampil mengoleskan ramuan berupa dedaunan yang ditumbuk pada kakinya yang sakit. Lalu terjadilah suatu keanehan, tangan wanita itu mengeluarkan cahaya kekuningan dan sebuah rasa hangat timbul di kaki Prajana.

            Wanita itu menyinari kaki Prajana selama sekitar 5 menit sebelum akhirnya menoleh ke arah wajah Prajana yang sudah tersadar, “Kau sudah sadar rupanya.”

            “Saya ... saya ... di mana?”

            “Jangan takut prajurit, kau di rumah saya.”

            “Di rumah anda, Nona? Saya tadi ... .”

            “Anda terjatuh kemari karena parasut anda terhempas oleh angin. Saya menemukan anda tak sadarkan diri di tengah hutan.”

            “Terima kasih Nona. Saya tak tahu bagaimana saya harus berterima kasih.”

            “Kau datang kemari karena takdir, Prajana Kusumandaru.”

            Prajana terperanjat, “Dari mana anda tahu nama saya?”

            “Saya tahu namamu, bahkan semenjak anda lahir. Prajana, kau ditakdirkan untuk sesuatu yang besar. Kau ditakdirkan untuk menjadi penguasa semua bangsa.”

*****

Author’s Note :

Bagi semua yang bapak / pacar / saudaranya militer mohon maaf yang sebesar-besarnya jika deskripsi Kopassus dan Batujajar ini ada yang ngaco berat. Kalau ada yang mau bantai dan kasih komentarnya saya berterima-kasih sekali m(_ _)m

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top