BAB V : DI MANA KAKI KAMI BERPIJAK?

            Kolonel Surya Bratamanggala adalah contoh teladan seorang prajurit pada masa mudanya. Lulus dari akademi militer dengan predikat lulusan terbaik, mengawali karirnya sebagai letnan muda sebuah peleton infantri di Kodim Jaya/Jayakarta, lalu mengambil kursus perwira komando di Batujajar selama 6 bulan, kursus prajurit para selama 3 bulan, dan langsung ditugaskan dalam sebuah operasi bernama sandi Operasi Linyak, diambil dari kata berbahasa Banjar – linyak – yang artinya hancur seperti bubur.

            Operasi Pralaya adalah sebuah operasi militer yang bertujuan memusnahkan sebuah gerakan separatis yang bermarkas di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Sebuah kelompok separatis yang menamai diri mereka Kelompok Federasi Pembebasan Nusantara – Korastara. Operasi itu sukses besar, namun memakan korban yang tidak sedikit dari peleton yang ia pimpin. Dari 50 anggotanya, hanya 10 orang yang berhasil kembali hidup-hidup.

            Promosi kilat pun segera ia dapatkan. Dari letnan dua ia langsung melejit menjadi kapten atas prestasinya menumpas habis gerakan separatis itu, meski ada saja pandangan miring dari banyak orang mengenai keputusannya yang mengakibatkan tewasnya 40 orang anggotanya itu, dan untuk ‘prestasinya’ yang satu itu ia kemudian dijuluki ‘Dewa Kematian’. Tahun demi tahun berlalu, secara perlahan ia mencapai pangkat yang cukup tinggi : Kolonel dan menjabat sebagai komandan sebuah Korem yang membawahi beberapa batalyon di Jakarta Timur, Bekasi, dan Tangerang.

            Tapi kini ia duduk di kursi mobil dinasnya dengan penuh perasaan gamang. Operasi Pamungkas telah gagal, itu berarti ia harus bersiap mengalokasikan segenap kekuatan komando resimen yang ia bawahi untuk bergerak ke Perbatasan Gerbang Neraka – sebuah istilah yang dipakai oleh para petinggi militer untuk menyebut batas antara wilayah yang bebas dari kunarpa dengan wilayah yang telah ‘diklaim’ oleh para kunarpa – dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun ia merasa takut dan gamang.

            Lawannya kali ini bukan manusia, lawannya adalah skumpulan monster-monster yang entah berasal dari mana. Buas dan agresif, tidak mengenal takut, tidak mengenal lelah, dan tidak mengenal belas kasihan. Mendengar cerita rekan-rekannya yang baru saja pulang dari medan laga mengenai betapa kunarpa tak pernah lelah menyerbu mereka siang dan malam dan betapa tangguhnya mereka hingga meskipun seluruh rudal dan meriam artileri telah ditembakkan, jumlah mereka seolah tak susut juga.

            “Ya Tuhan, apa yang harus saya lakukan?” gumamnya dalam hati.

            Sementara Kolonel itu merenung sopirnya tampak tengah menyetel televisi yang tengah menyiarkan sebuah berita.

            Pemirsa, sebuah lubang berdiameter 1 kilometer muncul secara tiba-tiba di Beijing, lubang ini memiliki tekstur tanah yang keras dan berkerak serta berwarna hitam. Pihak militer Cina tengah mengkarantina area dengan radius 6 kilometer dari lubang tersebut. Seluruh penduduk di area karantina telah diungsikan. Lubang dengan bentuk dan ciri-ciri yang sama pernah ditemukan di Semarang, Indonesia dan memunculkan sekumpulan makhluk bernama yang disebut kunarpa – mayat hidup.

            Ah, laporan terbaru, Pemirsa. Lubang hitam yang sepakat dinamai oleh para ahli sebagai ‘Lubang Neraka’ ini tiba-tiba muncul juga di Tokyo, Jepang, India, Semenanjung Yucatan, San Fransisco, Brazilia, dan Chile. Dan ... lubang di Beijing telah mengeluarkan sosok-sosok makhluk aneh dengan ciri-ciri seperti kunarpa.

            “Matikan TV-nya, Di!” bentak Kolonel Surya usai mendengar berita itu. Sang ajudan pun patuh, televisi itu dimatikan dan ia melanjutkan menyetir dengan suasana hening.

            “Duh, Gusti! Apa yang harus saya lakukan?” Kolonel itu meremas-remas rambutnya sambil terus mengutuki dirinya yang tidak tahu harus berbuat apa.

Beberapa hari yang lalu di Mabes TNI AD.

            “Operasi Pamungkas gagal dilakukan,” ujar seorang prajurit berpangkat Mayor yang tengah mempresentasikan evaluasi operasi militer di ruang rapat Mabes TNI AD.

            “Berapa korban yang tewas?” tanya seorang petinggi militer berseragam loreng dan bertanda pangkat satu bintang pada bahunya.

            “Dalam satu minggu ini kita telah kehilangan sekitar 2.000 prajurit infantri, 30 tank ringan,  3 tank berat, dan 27 meriam artileri.”

            “Itu dari Angkatan Darat, bagaimana dengan Angkatan Laut dan Udara?” sahut seorang petinggi militer lain berseragam putih dan bertanda pangkat bintang dua.

            “Paskhas dan Marinir yang diterjunkan saat itu adalah 800 orang Marinir dan 400 orang Paskhas, dari itu semua hanya 3 Marinir dan 8 Paskhas yang kembali hidup-hidup.”

            “Kunarpa-kunarpa itu tidak bisa menyeberangi laut kan? Kita bisa membombardir mereka dengan kapal-kapal perang kita,” usul seorang prajurit Angkatan Laut.

            “Dan seberapa efektif jarak jangkauan meriam kita? Sejauh-jauhnya meriam kita menembak, tetap saja tidak mampu mencapai daerah di tengah kota.”

            “Kita masih bisa mengirimkan jet tempur ke daerah itu dan membombardir mereka,” kali ini seorang perwira Angkatan Udara yang angkat bicara.

            “Berapa banyak pesawat tempur yang masih siap beroperasi di Bandara Iswahyudi, Marsekal? Dan berapa banyak bom yang bisa kita bawa?” sang Mayor yang sedang mempresentasikan hasil operasi itu angkat bicara, “saya baru saja mendapatkan laporan bahwa jumlah kunarpa yang berkeliaran di sana menjadi semakin banyak, tampaknya tindakan kita selama ini sia-sia.”

            “Pilihannya hanya satu,” kali ini seorang perwira tinggi berbintang empat – Panglima TNI – angkat bicara, “tidak ada lagi tindakan ofensif, kita hanya bisa bersikap defensif.”

            “Itu berarti kita menyerah!” bentak seorang perwira dari matra Angkatan Darat, “dan tabu bagi kita untuk menyerah.”

            Sang Panglima TNI berdehem sejenak, “Saya paham semangat Saudara sekalian untuk mempertahankan negeri ini sampai titik darah penghabisan, tapi Saudara juga harus paham bahwa dengan kekuatan militer sebesar itu saja kita tak mampu menghabisi mereka. Kita akan bertahan sampai ada cara yang efektif untuk memusnahkan mereka.”

            “Pakai paranormal barangkali?” kali ini seorang perwira Angkatan Darat yang angkat bicara.

            “Kita sudah lihat bagaimana mereka beraksi, belum juga satu jam mereka sudah dijadikan cemilan kunyah-kunyah oleh Tavur itu,” sahut Sang Panglima TNI.

            “Sudah dicoba toh? Saya pikir belum,” balas perwira itu cuek.

            “Baiklah Saudara sekalian, rasanya kita bisa menyepakati strategi defensif kita bukan? Mulai sekarang kita akan membuat parameter sejauh 40 km dari batas luar kota Semarang. Parameter itu harus dijaga para prajurit infantri, artileri, dan kavaleri yang tersisa. Jangan memprovokasi kunarpa kecuali mereka sudah berada pada jarak berbahaya dari garis batas parameter. Apa kalian mengerti?” ujar Sang Panglima TNI.

            “Mengerti!” jawab segenap perwira di ruangan itu serempak.

            “Laksanakan!”

            “Siap!”

*****

Alam Semesta Arvanda, Surabaya, 28 Desember 2012.

            Di sebuah sudut kota Surabaya tampak berdiri megah sebuah bangunan megah yang bersanding dengan sebuah lapangan golf  dan kolam renang tampak. Tempat parkirnya luas, mampu menampung sekitar seratus mobil di sana. Pada bagian depan bangunan itu ada sebuah lobi dengan tulisan ‘HOTEL & GOLF CLUB KENCANA’ terpasang pada lobi hotel tersebut.

            Hotel itu relatif sepi meski saat itu sudah menjelang akhir tahun. Tempat parkirnya hanya terisi beberapa buah mobil. Sementara pegawai-pegawainya tampak bekerja dengan lesu dan tak bersemangat. Seorang pria berpenampilan necis dengan memakai celana panjang warna hitam, kemeja putih bergaris-garis biru serta jas hitam tampak memasuki sebuah hotel berbintang itu dan langsung menuju resepsionis.

            “Saya hendak menemui Ibu Laksita Putri, beliau sudah check-in?” tanya pria itu pada sang resepsionis

            “Sebentar Bapak, saya berbicara dengan Bapak siapa?” ujar sang resepsonis.

            “Pranaja Kusumandaru.”

            “Bapak Pranaja, anda sudah ditunggu di kamar nomor 119 oleh Ibu Laksita Putri, silakan ikuti porter kami, ia akan mengantar anda.”

            “Terima kasih,” pria itu segera mengikuti seorang porter yang ia taksir usianya masih 20 tahunan menuju sebuah kamar di bagian belakang hotel. Ia sempat melewati taman yang dipenuhi bunga-bunga yang asri serta sebuah kolam renang tempat sekumpulan orang tengah berenang dengan santai serta berjemur menikmati sinar matahari membakar kulit mereka.

            “Cih! Sekumpulan orang-orang menyedihkan!” gumam pria necis itu.

            Porter itu berhenti di sebuah kamar yang berada di sebuah paviliun dan menghadap langsung ke area padang golf lalu mengetuk pintunya. Seorang wanita cantik – berambut panjang berombak, dengan mata lentik bagai mata wayang, serta bibir yang tidak terlalu tebal namun merah merekah – membukakan pintu.

            “Tamu anda, Nona,” ujar sang porter sopan.

            “Ah, terima kasih sudah mengantarkan dia Mas,” wanita itu menyerahkan selembar uang Rp. 10.000,- kepada porter itu dan porter itu langsung undur diri.

             “Halo Ganteng! Kau lama sekali. Mari masuk!” ajak wanita itu dengan suara yang lemah-lembut, namun suaranya seperti memiliki getaran magis tertentu – merdu bagaikan suara kecapi yang dipetik seorang maestro handal, lembut bagaikan irama biola sendu yang digesek dengan penuh penghayatan.

            Pria necis itu masuk ke dalam kamar itu dan wanita itu segera menutup pintu kamarnya. Setibanya di dalam dilepaskannya jasnya lalu melirik ke arah wanita itu, “Ternyata kau tidak bohong soal itu.”

            “Aku tidak akan bohong padamu Pranaja. Selama kau setia padaku begitu pula aku akan setia padamu. Ngomong-ngomong bagaimana tanggapan ‘mereka’?”

            “Mereka? Kalang kabut mereka semua. Satu simbol kebanggaan masa lalu mereka sudah dijatuhkan.”

            “Oh, Tugu Muda[1] itu ya?”

            “Ya.”

            “Sekarang ... kau kemari untuk memenuhi janjimu bukan?”

            “Ya,” pria itu segera menghambur ke arah sang wanita lalu menciumnya. Beberapa menit kemudian kita bisa mendengar dua orang itu larut dalam desahan penuh nafsu dan permainan cinta.

[1] Tugu Muda adalah sebuah monumen yang dibuat untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang. Tugu Muda ini menggambarkan tentang semangat berjuang dan patriotisme warga semarang, khususnya para pemuda yang gigih, rela berkorban dengan semangat yang tinggi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Tugu ini berada di Simpang Lima Semarang (di depan Gedung Lawang Sewu).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top