BAB IV : VAJIRA MUNI (The Unbeatable Sage)
Alam Semesta Arvanda, Bogor, 25 Desember 2012
Rumah itu terletak di atas sebuah bukit dan jika kita menghadap ke arah kanannya kita akan dapatkan hamparan tanaman perkebunan membentang luas dan ditanami oleh aneka palawija serta sayur. Hari ini hari Natal dan rumah itu tampak berhias aneka hiasan natal, sebuah pohon natal di tengah-tengah ruang tamu, sebuah mistletoe terpasang di pintu depan, dari dalam rumah terdengar suara anak-anak berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu Natal.
Masuklah ke dalam rumah itu dan kita akan dapati di sana ada seorang tua – usianya mungkin sudah melampaui 50 tahun – duduk di sofa, ia tengah dikelilingi sejumlah anak-anak dan orang dewasa yang usianya jauh lebih muda daripada dirinya. Wajahnya sumringah penuh senyum seperti halnya semua orang yang berkumpul di situ. Ia bercengkerama dengan seorang wanita yang sudah cukup tua tapi tampak lebih muda daripada dirinya.
Dua orang prajurit TNI Angkatan Darat tiba di depan rumah itu, dengan perlahan mereka menuju dan mengetuk pintu rumah yang memang terbuka lebar itu.
“Selamat pagi,” ujar seorang prajurit itu.
“Pagi,” seorang wanita beranjak dari ruang tengah dan menyambut kedua pria itu.
“Bapak Tan Liem ada?”
“Ada apa ya Pak?”
“Ada sesuatu yang harus kami sampaikan.”
Wanita itu ragu untuk beberapa saat sebelum akhirnya mempersilakan kedua prajurit itu masuk ke ruang tengah. Pria tua itu langsung berdiri ketika melihat ada dua orang prajurit mendatanginya. Ketika hampir sampai di hadapan pria tua itu, kedua prajurit itu langsung mengambil sikap hormat sempurna seperti yang biasa mereka lakukan pada atasan mereka.
“Tidak usahlah kalian menghormat begitu, aku bukan lagi komandan kalian. Ada apa kalian kemari?” ujar pria tua itu.
“Kami hendak bersilaturahmi dan mengucapkan Selamat Natal kepada segenap keluarga Bapak,” jawab seorang prajurit.
“Tapi kalian tak hanya kemari untuk mengucapkan ‘Selamat Natal’ kan? Jika memang hendak ucapkan ‘Selamat Natal’ pasti akan kalian lakukan besok-besok saja, bukan hari ini. Ada apa sebenarnya?” pria tua itu segera menyanggah kata-kata sang prajurit.
Dua prajurit itu terdiam sesaat, saling berpandangan satu sama lain, sebelum seorang dari antara mereka berujar, “Anak Bapak ... hilang dalam tugas. Operasi Pamungkas gagal dilakukan. Separuh kekuatan militer gabungan Komando Daerah Militer Diponegoro[1] dan Brawijaya[2] yang meaksanakan Operasi Pamungkas disapu habis oleh para kunarpa termasuk di antaranya seluruh satuan Komando Wilwatikta, tempat anak Bapak mengabdi.”
Orang-orang dewasa di ruangan itu terdiam, seorang wanita jatuh pingsan dan segera dipapah kerabat-kerabatnya, sementara pria tua itu hanya terdiam, menghela nafas sejenak, lalu menatap kedua prajurit itu dengan tatapan yang menyiratkan rasa duka sekaligus bangga. “Kalau ia mati, aku senang karena ia telah mati sebagai prajurit demi negerinya. Kalau ia hidup, aku berharap semoga ia tetap bisa menjadi prajurit pembela bagi bangsanya.”
“Kami berharap ia bisa ditemukan hidup-hidup, Pak.”
“Harapannya tipis. Aku sendiri sudah tak terlalu berharap, tapi jika itu terjadi maka Puji Tuhan itu terjadi.”
Lalu berpamitanlah kedua orang itu dari rumah itu.
*****
Sehari sebelumnya, di sebuah daerah di Selatan Semarang,
Sesuatu kekuatan yang asing tampak tengah menarik-narik masing-masing Rajata milik para Contra Mundi, keenam muda-mudi itu merasakan senjata mereka ditarik oleh suatu medan kekuatan seperti besi yang ditarik oleh magnet.
“Ada apa ini?” Haris bangkit berdiri dan mencoba mempertahan Telal miliknya agar tetap diam dalam sarungnya, tapi tanpa dinyana Rajata itu terbang ke arah Ying Go yang tengah melayang-layang di udara. Rajata berbentuk scimitar itu berhenti di samping kanan prajurit komando itu lalu diam di sana, seolah tengah menunggu sesuatu.
“Phobos dan Deimos kupersembahkan pada Sang Pembuka – Vajira Muni,” Helmut menarik keluar dua pedang Yunani bergagang tengkorak miliknya dan melemparkannya ke arah Ying Go. Dua pedang itu membentuk tanda silang dan berhenti di atas kepala Ying Go.
“Kalian semua lakukan hal yang sama, jangan ditahan. Lepaskan saja mereka,” perintah Helmut kepada kelima kawannya. Sejenak lima orang itu tampak ragu tapi akhirnya mereka memilih untuk mempercayai Helmut dan membiarkan Rajata mereka terbang ke arah Ying Go yang masih juga melayang-layang di udara.
Tiba-tiba awan mendung menggelayuti daerah itu. Awan mendung kelabu yang nyaris hitam, bergulung-gulung di udara dan menghalangi cahaya matahari yang tadinya lumayan terik. Sekejap kemudian terjadilah gulita di segenap daerah itu, guntur tampak mulai menyambar-nyambar di udara.
“Tengri ... ,” Kaspar mendesah lirih.
“Apa?” Olivia menoleh ke arah Kaspar, merasa asing dengan kata yang diucapkan pemuda berkacamata itu barusan.
“Ah, tidak. Tidak apa-apa,” jawab Kaspar mengelak.
“Sudah dimulai!” Helmut berseru sembari menengadahkan kedua tangannya ke langit, “sudah dimulai!”
Sebentuk halilintar turun dan menyambar telak tubuh Tan Ying Go yang melayang-layang di udara, membuat tubuh itu jatuh berdebam di atas tanah.
“Astaga, kita harus ...,” Olivia bergegas mendekati Ying Go, namun Helmut merentangkan tangannya – menghalangi niat Olivia.
“Jangan, lihat saja apa yang terjadi.”
Sejenak berselang tampak Ying Go kembali berdiri menghadapi keenam Contra Mundi itu. Segenap Rajata yang mengelilinginya membentuk sebuah lingkaran senjata yang apik dan secara tiba-tiba dihantam oleh sejumlah kilat yang lebih kecil daripada yang menghantam Ying Go barusan. Rajata-rajata itu langsung terhempas kembali ke pemiliknya masing-masing.
Ying Go sendiri akhirnya mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Begitu menatapnya, para Contra Mundi menjadi sangat terperangah. Matanya kini tak lagi berwarna putih melainkan bersinar biru cerah, wajahnya dingin tanpa ekspresi, dan mulutnya tak hentinya berkomat-kamit.
“Selamat datang kembali Vajira Muni. Sudah siapkah dikau melakukan tugasmu?”
Perlahan mata yang bersinar itu meredup dan menampilkan kembali sosok Ying Go yang semula. Ia kembali turun ke tanah dan menatap keenam Contra Mundi di hadapannya, “Siap!”
*****
Alam Semesta Arvanda, Jakarta, 1 Januari 2013.
Tugu Monas tampak menjulang gagah di tengah kota Jakarta. Sebuah panggung tampak telah ditata di pelataran monumen itu dengan dekorasi yang dominan warna putih dengan sedikit warna merah. Karangan bunga ditata sedemikian rupa di seputaran panggung, terdiri atas bunga-bunga berwarna merah dan putih.
Panggung itu semula sepi sebelum akhirnya satu per satu orang-orang berdatangan ke sana. Yang mula-mula datang adalah sekumpulan orang yang jelas sekali tampak berusia di atas separuh abad, beberapa dari mereka didampingi orang-orang yang lebih muda. Dari sekian banyak hadirin di sana ternyata sebagian besar adalah pasangan suami-istri berusia di atas setengah serta wanita-wanita berusia di bawah 40 tahun. Banyak dari mereka datang dengan muka sembab – tampak sekali mereka habis menangis.
Seorang prajurit TNI AD tampak berbisik pada rekannya, “Melihat ekspresi muka mereka seperti itu, aku yakin sebentar lagi tempat ini akan banjir air mata dan kita harus pakai sekoci untuk mengevakuasi mereka.”
“Banjir air mata masih cukup baik, Bung! Berharap saja mereka tidak sampai menangis darah, karena jika iya maka kita makin repot karena harus bawa mereka ke RS,” balas rekannya.
“Hei kalian berdua!” terdengar suara teguran dari belakang mereka, “Sepertinya aku membuat kesalahan besar menempatkan dua tukang lawak macam kalian di sini! Bubar! Pindah kalian ke pos jaga pintu gerbang utama!”
Dua prajurit itu melirik dengan takut-takut pada siapa yang menegur mereka dan mendapati sosok yang menegur seorang pria berkulit sawo matang, berkumis tebal dan berkacamata hitam dengan tanda pangkat berupa tiga garis kuning pada dasar hijau serta bergaris tepi merah – tanda pangkat seorang kapten.
“Siap Kep!” dua prajurit itu mengambil sikap sempurna kemudian cepat-cepat beranjak pergi dari situ.
Seperginya dua prajurit tadi Sang Kapten mengamat-amati para hadirin yang sudah hampir memenuhi tenda yang terpasang di pelataran Monas itu. Dilihatnya seorang yang wajahnya sudah familiar dengannya dan ia dekati orang itu.
“Anda datang juga kemari, Mayor?” sapa sang kapten pada pria itu, pria yang sama dengan yang didatangi oleh dua prajurit TNI di Bogor pada hari Natal yang lalu.
“Ya, tadinya aku datang dan berharap ada berita mengenai anakku. Tapi ternyata tidak ada, maka dari itu kuasumsikan saja dia sudah mati.”
“Dia prajurit yang baik, sama seperti anda.”
“Oh, aku yakin soal itu, Kapten Rukmana. Tapi jangan pernah bandingkan anak itu denganku, Kep. Anak itu selalu benci jika ada orang yang membanding-bandingkan dirinya dengan diriku, dan aku tidak mau ia jadi arwah penasaran gara-gara itu,” ujar pria tua itu sambil tersenyum.
Rukmana melirik ke arah podium, mendapati para pembesar sudah mengambil tempatya masing-masing,“Upacara segera dimulai, Mayor. Aku pergi dulu, memastikan keledai-keledai yang bertugas mengatur orang-orang ini bertindak benar.”
“Baiklah, selamat bertugas Kep, dan jangan keras-keras pada anak buahmu.”
Seorang pria – berseragam prajurit TNI AD warna hijau bertanda pangkat dua bintang emas dengan serenteng medali terhampar pada seragamnya serta mengenakan baret hijau – naik ke podium, lalu memulai pidatonya.
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,
Yth. segenap keluarga besar prajurit-prajurit yang tergabung dalam ‘Operasi Pamungkas’, serta para hadirin lain yang saya hormati,
Pada hari ini kita hadir dan berkumpul di sini untuk bersama-sama melaksanakan Upacara
Penghormatan Terakhir Secara Simbolis kepada segenap prajurit yang dinyatakan gugur di medan laga. Upacara ini dilaksanakan sebagai wujud penghormatan dan penghargaan pemerintah atas jasa, dharma bhakti dan pengabdian mereka kepada bangsa dan negara semasa hidupnya.
Kepergian mereka menghadap Tuhan Yang Masa Esa, Allah SWT, adalah merupakan
kehendak dan takdir Yang Maha Kuasa. Tidak seorangpun kita memiliki kekuatan
yang dapat menghalangi dan menolak apa yang menjadi kehendak-Nya.
Sebagai umat yang beriman dan bertaqwa yang percaya kepada kekuasaan-Nya, kita harus bisa menerimanya secara ikhlas, dan berserah diri atas semua hal yang telah direncanakan dan ditentukan-Nya. Sebagai manusia biasa, kita semua dan khususnya bagi keluarga besar yang
ditinggalkan, kepergian almarhum yang kita cintai, pasti meninggalkan rasa duka yang
amat dalam. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini saya selaku Inspektur Upacara atas nama
Pemerintah dan atas nama seluruh teman sejawat almarhum, menyampaikan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya, atas wafatnya segenap prajurit-prajurit hebat – pembela tanah air ini – seraya memanjatkan doa semoga arwah mereka diterima dan mendapatkan tempat yang sebaik-baiknya di sisi-Nya, disertai do’a semoga Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT
senantiasa memberikan ketabahan, kesabaran dan bimbingan serta perlindungan kepada
seluruh keluarga yang ditinggalkan.
Hadirin sekalian yang saya hormati, dengan kepergian para almarhum ini, kita semua telah kehilangan putra-putra terbaik bangsa, yang telah memberikan sebagian besar kehidupannya untuk diabdikan kepada pemerintah dan negara. Sejak awal pengabdian mereka, baik pengabdian formal maupun informal telah mereka lakukan dengan memegang teguh prinsip-prinsip perjuangan dalam pengabdian, serta diorientasikan semata-mata untuk kemajuan, kesejahteraan dan cita-cita bangsa dan negara.
Kesemuanya tersebut mencerminkan kuatnya nilai-nilai kepejuangan mereka sebagai kesatria-kesatria bangsa. Apa yang telah mereka semua lakukan semasa hidupnya dalam mengemban setiap tugas dan pengabdiannya yang senantiasa dilaksanakan dengan penuh semangat dan
keikhlasan sebagai wujud kecintaan dan kesetiaan kepada bangsa dan negaranya, patut untuk disuritauladani oleh kita semua yang masih mengemban amanah, dalam melanjutkan pengabdian kita kepada bangsa dan negara tercinta.
Kami menyadari bahwa mereka selama hidupnya, tidak luput dari segala kekhilafan
dan kealpaan. Untuk itu saya mengajak para hadirin, sudilah kiranya melapangkan dada,
untuk memaafkan segala kesalahan almarhum semasa hidupnya, agar perjalanan almarhum
menghadap Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT mendapat jalan yang lapang dan terang.
Akhirnya, marilah kita semua sekali lagi mendoakan, semoga segala amal dan
perbuatan beliau diterima sebagai ibadah, diampuni segala kesalahan, kekhilafan dan
dosa-dosa beliau, dan arwahnya mendapat tempat yang sebaik-baiknya di sisi-nya. Bagi
keluarga yang ditinggalkan semoga diberikan kesabaran dan ketabahan serta selalu dalam
bimbingan dan perlindungan Tuhan YME, Allah SWT, Amin.
Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Setelah pria berpangkat jendral itu turun dari podium kali ini giliran seorang bertanda pangkat tiga melati kuncup – tanda pangkat Kolonel – naik ke podium. Ia membacakan sejumlah nama prajurit yang telah gugur dalam operasi ‘gagal’ ini. Satu per satu nama-nama mereka dibacakan.
“Mengingat jasa para kesatria-kesatria yang telah gugur, dengan ini kami menganugerahkan, kenaikan pangkat secara anumerta kepada nama-nama berikut : Kopral Satu Jajang Winarman mendapat kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Sersan Dua, Kopral Satu Suprapto mendapat kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Sersan Dua, Sersan Mayor Agung Handoyo mendapat kenaikan pangkat dua tingkat menjadi Pembantu Letnan Satu,” nama-nama lain terus didaraskan hingga akhirnya ia tiba pada nama terakhir, “Letnan Dua Tan Ying Go mendapatkan kenaikan pangkat menjadi kapten. Sehingga dengan ini Almarhum Tan Ying Go, telah resmi bergelar Kapten Anumerta Tan Ying Go.”
Dan para hadirin bertepuk tangan dalam duka. Penganugerahan kenaikan pangkat adalah sebuah kebanggan tersendiri bagi segenap prajurit TNI, tapi penganugerahan kenaikan pangkat secara anumerta membuat suatu kondisi yang kompleks bagi segenap keluarga prajurit-prajurit ini. Antara rasa haru dan bangga. Haru atas kepergian sanak keluarga mereka, bangga karena kematian sanak keluarga mereka tidak terasa sia-sia.
*****
Sekitar dua kilometer dari sana, tepatnya di atap Museum Nasional tampak seorang pria mengamat-amati podium itu dengan sebuah teropong. “Buset! Lagi-lagi pidato dengan teks, pakai basa-basi panjang lebar lagi,” pria itu mendecakkan lidahnya dengan kesal lalu menoleh ke arah kawannya.
“Miris ya Ying Go?” katanya pada kawannya yang masih mengarahkan teropongnya ke arah keramaian itu, “Kau digelari Kapten setelah ‘mati’, padahal melihat sepak terjangmu itu kau harusnya sudah dari dulu berpangkat kapten.”
“Kau tahulah bagaimana cara perwira negeri ini naik pangkat, Sanjaya. Di sini naik pangkat bukan berarti kau telah melakukan tugasmu dengan baik. Di sini naik pangkat berarti kau telah berhasil memikat hati banyak pihak dengan beretorika. Prajurit-prajurit yang baik dan jujur tapi tak pandai berbasa-basi hanya akan mandeg di jabatan Letnan Satu. Kadang ada yang bisa melaju menjadi Kapten atau Mayor atau Kolonel. Tapi jarang sekali di antara mereka akan menjadi Jenderal.”
“Miris, sama ternyata. Meskipun negeri ini sudah dikoyak para kunarpa, tetap saja model orang-orangnya seperti itu.”
“Jadi ... siapa yang harus kita cari di sini, Sanjaya? Aku sama sekali tidak paham kenapa kita harus memulai pencarian kita di sini.”
“Di negeriku, pengkhianat terbesar yang mendatangkan bencana atas dunia kami adalah orang dengan posisi cukup tinggi di negeri kami. Kurasa hal yang sama juga berlaku di sini. Selain itu Kaspar sempat berkata bahwa kehadiran mereka selalu tidak jauh dari diri kita sebelum kita ‘dipilih’ dan menjalani inisiasi.”
“Apa profesor berkacamata itu tahu siapa yang harus kucari di sini?”
“Kita belum tahu.”
“Kudengar kau berhasil mencarinya jauh sebelum kau dipilih menjadi bagian dari kelompok ini, Sanjaya. Bagaimana caramu dulu mencarinya?”
“Aku melacaknya, melalui sebuah departemen.”
“Kau intel,” Ying Go berdecak, “anggota divisi 4[3] Badan Intelijen Negara kan?”
“Nyaris benar kecuali aku dari divisi 2[4], darimana kau tahu aku dulu BIN?”
“Gerak-gerikmu gerak-gerik seorang intel.”
“Mereka mengajarimu begitu saat di Sandi Yudha[5]?”
“Sandi Yudha? Heh! Baru seminggu aku belajar di sana, kunarpa sudah datang mencabik-cabik negeri ini.”
“Lalu pemerintahmu, yang ingin solusi cepat atas masalah ini langsung turunkan pasukan komando?”
“Nyaris benar! Tapi kami diterjunkan dua hari setelah insiden itu dimulai. Pasukan garis depan dibantai dalam tiga malam, banyak tank dihancurkan oleh para raksasa Tavur itu, dan memaksa kami bergerak secara gerilya selama tiga bulan lamanya, mencoba merebut kota mati itu. Sisa ceritanya kau sudah tahu, Bung, itu sia-sia. Sebab kami dilatih untuk melawan manusia, bukan monster macam itu.”
“Aku paham,” Sanjaya mengeluarkan sebungkus permen karet dari saku jaketnya kemudian memakan sebuah, “Untung saja aku tidak perlu melawan monster-monster semacam itu di duniaku.”
“Jadi ... kau sudah punya dugaan tentang siapa yang mesti kita curigai Kep?” tanya Sanjaya.
“Aku tidak suka melakukannya, tapi kurasa kita bisa ‘tanya’ si Kolonel itu.” Ying Go menunjuk ke arah satu orang, si kolonel yang mengumumkan kenaikan pangkat anumertanya tadi.
“Dengan baik-baik atau ... kau tahu sendiri maksudku?”
“Entahlah, baik-baik kurasa tidak mungkin bukan?”
“Jadi ... apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Buntuti si Kolonel.”
“Oke,” Sanjaya mengibaskan kedua tangannya dan memunculkan sebuah gerbang dimensi - berupa pusaran cahaya berwarna keperakan – lalu bersama-sama Ying Go memasukinya dan menghilang dari tempat itu.
[1]Kodim wilayah Jawa Tengah
[2]Kodim Wilayah Jawa Timur.
[3]Divisi 4 di Arvanda adalah divisi investigasi dalam negeri.
[4]Di Versigi, BIN menugaskan divisi 2 untuk menginvestigasi perkara intel dalam negeri.
[5]Kelompok Operasi Kopassus yang berfokus pada dunia intelijen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top