BAB II : PANGERAN CAHAYA

            “Mundur!” Sang Letnan memberi perintah kepada pasukannya yang tersisa untuk mundur ke arah utara.

            “Letnan… awas! Tavur!” terdengar suara seorang prajurit yang datang dari belakangnya. Sang Letnan langsung membalikkan badannya dan tampaklah padanya ada sesosok monster raksasa dengan potongan tubuh seperti manusia namun dengan ukuran yang enam kali lebih besar daripada manusia biasa dan memanggul dua buah bola raksasa berduri yang dibuat dari material seperti besi logam yang keduanya disatukan oleh rantai. Tavur itu melemparkan sebuah bola besi berduri ke arahnya. Ia mencoba menghindar namun kakinya terjerat oleh sebuah tangan berwarna abu-abu yang tiba-tiba muncul dari dalam tanah.

            “Kunarpa bajingan!” Letnan muda itu mengumpat dan menarik pistolnya serta menembaki sosok mayat hidup – pemilik tangan tersebut – yang muncul dari dalam tanah. Sosok itu roboh setelah tiga peluru memecahkan kepalanya.

            “Awas Let!” tiba-tiba Jajang menarik kerah bajunya lalu melemparkannya sejauh sepuluh langkah dari tempatnya semula.

            “Jajang!” Letnan muda itu berteriak histeris ketika melihat sosok prajurit yang menyelamatkannya tak sempat berlari ataupun menghindari terjangan bola besi berduri tadi. Dalam sekejap saja tubuh prajurit itu tergilas oleh bola besi berduri itu.

            “Tembak!” terdengar suara Harlas Sitompul yang mengkomando teman-temannya untuk menembak Tavur itu.

            “Bodoh! Jangan tembak, kalian akan makin membuatnya marah!” pekik Ying Go.

            Belum sempat para bawahannya menjawab, muncul Tavur lain dari dalam tanah di belakang mereka.

            “Awas di belakang kalian!” kembali letnan muda itu memekik histeris, namun terlambat, sebuah bola besi kembali menggilas dua dari antara tujuh prajurit itu.

            “Ayo, Let!” seorang dari mereka segera menghampiri Ying Go dan memapahnya, “kita lari dari sini!”

            “Kalian lari saja sana! Tinggalkan aku!”

            “Tidak!”

            “Tinggalkan aku!”

            “Tidak!” prajurit itu lalu menyeret paksa komandannya.

            “Gilang! Awas di atasmu!” kembali terdengar pekikan dari mulut Harlas kepada prajurit yang tengah menyeret Ying Go itu. Sebuah tangan raksasa milik sesosok Tavur itu mendekat ke arah Ying Go dengan kecepatan yang nyaris tak terhindarkan. Gilang langsung saja mendorong Ying Go sehingga jatuh bergulingan di atas tanah sementara tangan itu menghempaskan dirinya sendiri hingga sejauh beberapa meter.

            “Gilang,” Ying Go memukul-mukul tanah kering tempatnya terjatuh dengan penuh kegeraman sebelum akhirnya bangkit dan berlari kembali ke pasukannya.

            “Ayo semuanya! Lari! Lari dari sini!” perintah Ying Go.

            “Ayo cepat!” Harlas turut menimpali.

            Ketujuh orang itu segera berlari secepat yang mereka bisa untuk menghindari dua Tavur itu, dua Tavur itu tampaknya mengerti bahwa buruannya mereka mencoba untuk kabur, karena itu mereka segera mengangkat bola besi mereka dan melemparkannya ke arah prajurit-prajurit yang sedang berlari itu.

            “Berpencar, sekarang!” seru Ying Go, dan berpencarlah ketujuh orang itu ke arah yang berlawanan – menghindari hantaman bola-bola besi itu – sebelum akhirnya berkumpul kembali menjadi satu kelompok setelah beberapa saat.

            Nafas mereka semua sudah mulai memburu, perut mereka sudah terasa mengeras bagai kayu, sementara peluh kembali membanjiri sekujur tubuh mereka yang sudah tiga bulan tidak dibasuh air, tapi nasib seolah masih belum jenuh bermain-main dengan mereka. Sebuah raungan bak serigala tiba-tiba terdengar dari kejauhan.

            “Oh tidak, jangan sekarang!” Harlas menggerutu.

            “Anjing-anjing setan! Siapkan senjata!” kembali Ying Go memberi perintah.

            “Kita akan mati di sini. Tolong!” Adit sang teknisi komunikasi itu mulai histeris.

            “Hei, tutup mulutmu! Jangan bikin kita makin panik dengan tingkahmu!” bentak Harlas.

            “Tapi apa yang dia katakan benar, Sersan! Peluang kita selamat dari sini nyaris nol!” sahut seorang prajurit lainnya.

            “Nyaris nol bukan berarti nol bukan?” Ying Go menoleh ke arah para bawahannya yang tinggal enam itu.

            “Tavur-tavur itu mendekat!” ujar seorang prajurit.

            “Oke,” Ying Go mendesahkan nafasnya sekali lagi, “Harlas, Adit, Galih bawa semua granat kita yang masih tersisa lemparkan semua granat ke arah dua Tavur itu. Yang lain, tembakkan semua amunisi kita ke arah anjing-anjing neraka yang bakal datang ini.”

            “Lebih mudah kita tembak saja kepala kita sendiri,” bentak Adit.

            “Lalu mati sebagai pengecut eh?” sindir Ying Go, “Begitu dirimu ingin mati? Baik! Harlas, tembak dia!”

            Harlas langsung mendekati Adit lalu memukuk wajah prajurit muda itu dengan popor senapannya sampai Adit tak sadarkan diri. “Dibuat pingsan saja beres, Let,” Harlas menoleh ke arah Ying Go.

            “Lalu siapa yang mau gendong dia sambil berjalan?”

            “Aku saja, Let!”

            “Kau yakin, Harlas?

            “Yakin!”

            “Oke, semua terus bergerak secepat yang kita bisa. Kalau ketemu anjing-anjing setan itu langsung tembak, mengerti?”

            “Mengerti, Dan!”

*****

            Rombongan itu terus bergerak dengan berjalan cepat menuju arah timur ketika di hadapan mereka kini muncul sekumpulan makhluk berwujud mirip serigala namun berbulu merah, bermata merah menyala, dengan mulut yang tak henti-hentinya meneteskan air liur.

            “Itu mereka! Tembak!”

            Keenam prajurit itu langsung menembakkan senapan mereka ke arah segerombolan serigala merah itu, beberapa dari mereka langsung terkapar tanpa daya, tapi beberapa lainnya langsung berlari dengan kecepatan yang luar bisa ke arah prajurit-prajurit itu.

            “Sial! Tembak terus!” seru Ying Go sembari mengisi ulang senapannya dengan magasin baru.

            “Eakh!” prajurit di sampingnya tiba-tiba memekik tertahan dan langsung terkapar tanpa nyawa dengan leher nyaris putus. Mata Ying Go membelalak ketika menyaksikan seekor serigala merah itu tiba-tiba sudah berada di sampingnya.

            “Anjing setan!” Ying Go menarik sangkurnya, hendak menusuk serigala merah itu tapi serigala merah itu langsung menerkamnya. Di luar dugaan tenaga serigala itu melebihi tenaga manusia biasa. Ying Go jatuh terjengkang sebelum sempat menebaskan sangkurnya. Mulut serigala itu tampak menganga lebar berusaha menerkam kepala sang letnan, tapi dengan segenap tenaganya, Ying Go berhasil mencegah mulut serigala itu melalap kepalanya.

            Di tengah-tengah usahanya mempertahankan nyawa, ia sama sekali tak menyadari bahwa satu demi satu rekannya sudah dibantai habis oleh anjing-anjing buas itu. Setelah beberapa saat beradu tenaga dengan serigala itu akhirnya Ying Go berhasil menusukkan sangkurnya ke bagian pangkal tenggorokan serigala itu hingga hewan itu meraung sejadi-jadinya sebelum roboh tak bernyawa dan menimpa Ying Go.

            “Duh, minggir kau anjing sialan!” Ying Go menyingkirkan bangkai serigala itu dari atas tubuhnya dan mencoba untuk berdiri kembali ketika ia melihat sekelilingnya sudah tak ada lagi orang yang bernyawa.

            “Ya Tuhan!” Ying Go mendesah tertahan ketika melihat jenazah kawan-kawannya sudah tercabik-cabik secara mengenaskan dan menjadi makanan serigala-serigala merah itu.

            “Setan!” Ying Go segera mencabut pistolnya dan berlari menjauhi tempat itu dengan perasaan hancur. Tapi belum sempat melangkah terlalu jauh ia dapati segerombolan besar serigala dan kunarpa-kunarpa muncul dari balik bukit cadas berwarna kehitaman yang ada di sekeliling tempatnya berada. Dengan perlahan tapi pasti, mereka mulai mendekat ke arah Ying Go. Di lain sisi dua sosok Tavur yang tadi mengejar pasukannya juga mulai mendekat.

            “Sial… masa sampai di sini saja?” ujarnya putus asa. Ia menutup matanya dan mulutnya berkomat-kamit mencoba mengucapkan setiap bait doa yang bisa ia ingat. Ia sudah bersiap menemui ajalnya di tempat itu namun…

            “Ayo bersinar Drestha!” suara seorang lelaki memecah kesunyian yang sempat terjadi untuk sesaat.

            Sang Letnan membuka matanya dan melihat sosok seorang pria berjaket hitam yang menggenggam sebuah belati berwarna keemasan sepanjang 30 cm dan dipenuhi aksara-aksara asing, tiba-tiba telah berdiri di hadapannya. Tak berapa lama kemudian pria itu tampak mengayun-ayunkan belati itu untuk mengusir Tavur di hadapannya. Monster itu menghentak-hentakkan kakinya dengan marah sebelum akhirnya mengibaskan tangannya ke arah lelaki itu. Tanpa diduga-duga, lelaki itu menahan tangan sosok Tavur itu hanya dengan tangan kirinya,

            “Ayo bersinarlah, Drestha!” seru lelaki itu sembari memainkan belatinya ke kanan dan ke kiri.

            Belati itu tiba-tiba memancarkan sinar yang sangat menyilaukan, membuat para kunarpa, serigala, dan Tavur yang berlarian ke arahnya tiba-tiba berhenti karena silau matanya melihat cahaya seterang itu. Di sisi lain kelima Contra Mundi yang berdiri di puncak tebing itupun terpaksa menutup mata mereka juga karena pancaran cahaya dari belati itu sangatlah menyilaukan.

            “Ayo membelah, Drestha!” sekali lagi lelaki yang tak lain adalah Sanjaya itu tampak berbicara pada senjatanya.

            Sanjaya menancapkan belati itu ke atas tanah dan dalam sekejap tubuhnya seolah membelah menjadi dua, kemudian menjadi empat, dan akhirnya menjadi 32 sosok.

            “Eh?” seluruh Contra Mundi yang menyaksikan hal itu terperangah, minus Helmut yang masih tampak tenang.

            Ke-32 sosok Sanjaya itu sendiri segera maju membabat empat kunarpa di hadapannya, disusul memotong kepala seekor tavur. Dengan satu tebasan, kepala monster itu jatuh berdebam di atas tanah. Para kunarpa dan tavur menjerit serta meraung marah sementara para serigala menggeram-geram tapi tampak segan untuk menyerang. Kembali belati milik masing-masing sosok Sanjaya kembali mengeluarkan pancaran cahaya yang membuat mereka tak dapat melihat musuh mereka sama sekali. Sekali lagi terdengar suara sabetan senjata. Sekali lagi empat sosok kunarpa tersayat-sayat menjadi serpihan kecil yang berserakan di atas tanah.

            “Swarnakasa[1]!” ke-32 sosok Sanjaya itu bersatu kembali menjadi satu sosok. Sososk tunggal ini akhirnya mengatupkan kedua tangannya dengan belati miliknya terselip di antara kedua tangannya dan timbullah sebuah cahaya keemasan yang segera memancar ke seluruh penjuru. Sinar keemasan itu melenyapkan setiap makhluk-makhluk mengerikan yang ada di sana dan dalam sekejap padang gersang itu bersih dari kehidupan, kecuali Sanjaya yang masih berdiri tegak tak tergoyahkan dan Tan Ying Go yang terpaku heran atas kejadian yang baru saja ia alami.

[1]Cahaya Emas

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top