Contact Person : AXEL [Chapter 10]
Sedikit lega rasanya bisa mengakhiri pekerjaanku dengan Veronica, namun hal terpenting justru belum berakhir—yakni saat aku harus mengakui segalanya di depan Julian.
Aku bisa menunda nanti saja. Selama tidak ada yang membongkarnya, aku tidak perlu mengatakannya sekarang. Ibaratnya kami adalah 'pengantin baru' yang berada dalam masa-masa bulan madu. Aku masih ingin menikmati waktuku bersama Julian, tanpa ada gangguan dan kurasa Julian juga menginginkan hal yang sama.
Seusai pertemuanku dengan Veronica, aku langsung kembali ke apartemen sembari membawa pulang makanan untukku dan Julian. Saat aku pulang, kudengar suara tawa Julian. Kurasa dia sedang menonton koleksi film pemberian Galang. Aku tidak langsung menghampirinya, melainkan menyiapkan makan malam terlebih dulu.
Tak seberapa lama kemudian, kudengar langkah ringan menuju ke arahku lantas kedua tangan yang melingkar di pinggangku. Julian menyandarkan kepalanya di punggungku.
"Sebenernya lo pulang kerja jam berapa, sih?"
Aku hanya menjawabnya dengan tawa, "Kan gue pernah bilang kalo gue detektif."
"Kalo bohong yang masuk akal dikit. Gue gigit nih." Julian tidak main-main dengan ancamannya. Dia menggigit-gigit bahu dan lenganku meskipun gigitannya sama sekali tidak sakit, hanya geli.
Untung saja dia tidak memperpanjang topik tentang pekerjaanku sebagai 'detektif'. Dia melongokkan kepala dari samping tubuhku untuk melihat makanan apa yang kubawa, namun kuhalangi usahanya. Aku membalikkan tubuh, menghadap ke arahnya.
"Gimana keadaan lo? Udah baikan?" Aku mengusap pipinya yang masih tampak lebam.
"Ya lumayan." Dia menaikkan alis dengan bibir mencibir.
"Memar di perut lo?" Perlahan tanganku menyibakkan kaos yang dikenakannya untuk memeriksa memar bekas pukulan dan tendangan di perutnya. Julian menurunkan tanganku, tidak ingin aku memeriksa memarnya.
"Gue nggak boleh liat?"
Dia menggeleng pelan, tapi setelah menatapku, dia tiba-tiba berubah pikiran. Disibakkan kaosnya hingga sebatas dada sehingga luka memarnya tampak jelas. Memar-memar di tubuh Julian mulai berubah warna menjadi biru keunguan, begitu pula luka sobek di ujung bibirnya yang agak mengering.
"Tadi udah gue olesin minyak." Dia menerangkan.
"Bukan minyak telon kan?"
Julian tertawa tapi setelahnya mendesis kesakitan karena luka di tepi bibirnya.
"Luka di bibir lo lama kering tuh apa karena gue cium terus?"
Aku bermaksud menggodanya tapi keadaan berbalik ketika Julian malah menggodaku.
"Justru lama sembuh karena lo kurang banyak ciumnya."
Anjir.
Aku menahan tawaku, namun kulihat Julian menunjukkan wajah serius. Kupikir kami masih bergurau. Baiklah kalau itu maunya, maka kuputuskan untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih. Aku melangkah maju dan memojokkannya di antara meja makan. Julian tidak melepaskan pandangannya dariku. Alih-alih, dia malah tersenyum congkak, seperti waktu pertama kali kami bertemu di toilet bar.
"Jadi mau berapa banyak?" Aku mengecup bibirnya singkat. Julian memejamkan mata, sedikit memajukan tubuhnya, ingin lebih. Tapi sayang sekali aku sengaja tidak memberikan apa yang dia mau meski sebenarnya aku juga menginginkan hal yang sama.
Julian mengulum senyum. Dia menaikkan satu alisnya, memandangku sedikit mengejek, "Cuma segitu, Xel? Cupu ah."
Sebersit memoriku kembali saat-saat kami bertengkar karena aku mencium pipinya pertama kali. Sewaktu Julian menantangku untuk mencium bibirnya, bukan hanya ciuman pipi saja yang dianggapnya ciuman anak kecil.
Dia menarikku mendekat hingga tidak ada jarak serta mengamit salah satu pahaku di antara kedua kakinya. Julian melancarkan aksi ciumannya, memulainya dengan lambat. Sepertinya tiap kali dia yang mengawali ciuman, aku seakan kehilangan fokus. Di sela ciumannya, dia masih sempat tersenyum dan mengejekku dengan sebutan cupu. Aku membalasnya dengan tawa kecil lantas melanjutkan ciuman kami.
"Gue masih cupu?" tanyaku.
"Masih," sahutnya.
"Tapi bibir lo berdarah," Perlahan kuseka darah di tepi bibirnya.
Julian sepertinya tidak peduli akan hal itu. Dia justru menjilat bekas luka di ujung bibirnya, "Kan udah gue bilang, ciumannya kurang banyak." Dan senyumannya membuat degupan jantungku semakin cepat.
Oh, aku bisa gila kalau terus begini.
Kemudian Julian menarik kursi di sampingnya, mendorongku untuk duduk. Aku benar-benar tidak bisa menebak jalan pikirnya. Yang kutahu setelahnya dia duduk di pangkuanku seraya melingkarkan kedua tangannya di leherku.
"Nice." Aku memuji usahanya.
"Ssst," Dia mengunci bibirku dengan kecupan. Bibir yang sudah menjadi canduku itu beranjak menuju rahang dan leherku. Buyar sudah konsentrasiku. Julian tahu titik kelemahanku. Julian menikmati waktunya menyiksaku, sementara tangannya dengan lihai membuka kancing kemejaku satu persatu.
"Hei," Aku menggenggam tangannya, "Jangan di sini."
Dia mengecup bibirku, lantas tertawa pelan, "Cupu."
"Tapi lo suka kan?"
Tawanya tertahan. Dia beranjak dari pangkuanku lantas perlahan menarik kerah kemejaku agar aku berdiri mengikutinya, "Mau lanjut di mana?"
Tatapan itu dan dari caranya berbicara padaku, benar-benar membuatku mabuk.
"Kamar cuma beberapa langkah."
Julian tidak menunggu lama untuk menggandengku menuju kamar.
***
Aku bangun kesiangan keesokan harinya, terlalu lelah dengan aktivitas malamku dengan Julian. Entah berapa kali kami melakukannya, yang jelas aku akan merasa sangat bersalah kalau Julian sampai kesusahan berjalan saat bekerja nanti malam. Tentu saja karena ulahku. Namun ketika kuraba sampingku, sosok Julian sudah tidak ada. Aku malas membuka mata untuk mencarinya, tapi samar-samar kudengar suara Julian bercakap-cakap dengan seseorang.
Ada tamu?
Aku menyeret kaki menuju pintu kamar, hanya membukanya sedikit seukuran kepalaku agar bisa mencuri dengar. Aku tidak bisa menangkap suara lawan bicara Julian.
"Coba gue cek apa dia udah bangun." ujar Julian.
Aku bergegas lari ke arah tempat tidur, menyelimuti tubuhku dan menunggu hingga Julian masuk ke kamar. Saat pintu kamar dibuka, aku berpura-pura baru bangun. Wajah Julian tampak senang melihatku sudah bangun. Dia merangkak ke tempat tidur dan dengan nyaman berbaring di atas tubuhku.
"Gue pikir lo juga belum bangun..." gumamku tidak jelas karena dibarengi menguap.
Senyuman Julian lebih cerah dari matahari pagi—astaga apa yang membuatku sok puitis seperti ini? Aku heran, kenapa Julian sama sekali tidak terlihat kesakitan atau lelah setelah aktivitas semalam?
Dia mencium mata kananku, "Bangun, Xel. Ada Ben di luar. Dia jenguk gue."
Aku mengernyit, "Ben? Benny bartender itu?" Aku tidak ingat memberikan alamatku pada Benny, "Kok dia tau lo tinggal sama gue?"
Sekarang giliran Julian yang mengernyit, "Kan lo yang waktu itu kasih alamat lo ke dia abis kejadian gue dipukulin."
Oh. Aku sendiri tidak ingat karena saat itu aku sangat panik mendengar Julian dipukuli orang tidak dikenal.
"Yuk, Ben udah nungguin. Dia mau pamit." Julian mengulurkan tangannya padaku agar aku segera bangun.
Aku menurut saja waktu Julian menggandengku keluar kamar. Benny duduk di sofa sedang memainkan ponselnya. Dia berdiri dan menyapaku seketika melihat kami keluar dari kamar.
"Xel, sorry ganggu. Gue cuma mau cek keadaan Julian. Gue juga disuruh bos untuk mastiin dia udah bisa masuk nanti malam atau belum."
"Tenang Ben, gue udah baikan kok. Gue masuk kerja nanti malam." sahut Julian.
Benny bergantian menatapku dan Julian, kemudian mengulum senyum. Aku merasa Benny mengerti apa yang terjadi semalam dari senyumannya yang penuh arti itu. Kini aku menatap leher Julian untuk memastikan apa aku meninggalkan bekas ciuman yang sangat kentara hingga Benny bisa langsung menebak kami melakukan sesuatu tadi malam. Dan ternyata tidak ada bekas ciuman yang mencolok di leher Julian.
"Makasih udah jenguk Julian. Duduk dulu, Ben. Lo mau minum apa?" Aku berusaha mengalihkan fokus Benny.
Benny menolak dengan sopan, "Nggak usah, Xel. Makasih. Gue lega lihat Julian udah baikan. Karena ini pertama kalinya ada kejadian gitu di bar. Biasanya nggak pernah."
Aku dan Julian saling melempar pandangan penuh arti.
"Tenang Ben, habis ini udah aman kok. Nggak akan ada kejadian kayak gitu lagi. Bilang ke bos lo, nggak usah bawa-bawa polisi juga."
Meski mungkin Benny tidak paham konteks pembicaraanku, dia tetap mengangguk pelan lalu beranjak ke arah pintu keluar, "Ya udah, gue pamit."
"Thanks, Ben." Julian melambaikan tangan dengan ceria. Sepertinya seks justru menambah energi Julian.
Setelah pintu ditutup, Julian menghadap ke arahku, "Tadi Ben tanya apa gue kenal orang-orang yang mukulin gue? Soalnya bos gue pertimbangin buat bikin laporan ke polisi dari kemarin, tapi bos kuatir nanti gue malah dipukulin lagi..."
"Terus gimana?"
"Gue bilang nggak usah lapor polisi. Nanti masalahnya makin panjang, toh gue udah baikan. Sekarang tinggal gimana caranya gue lunasin hutang gue ke lo." Dia tersenyum kecut.
"Kan udah bilang, kapanpun lo bisa. Gue nggak minta sekarang. Semua terserah lo." Aku membelai rambutnya.
"Dan karena sekarang udah nggak ada orang yang ngejar-ngejar gue, mungkin besok gue balik ke kosan gue, Xel."
Tunggu.
Aku sampai lupa kalau Julian hanya sementara saja tinggal bersamaku. Meskipun aku sebenarnya tidak rela dia kembali ke kosnya, tapi aku juga tidak melakukan apapun untuk mencegah Julian. Bodohnya aku malah diam saja.
Aku dihantui rasa takut dan khawatir bila sewaktu-waktu rahasiaku terbuka di depan Julian dan aku sama sekali tidak siap. Mungkin karena itu, akhirnya aku diam saja dan membiarkan Julian memutuskan kapan kembali ke kosnya.
***
Sudah lama aku, Rendy dan Amaya tidak berkumpul dalam satu lokasi yang sama dan di waktu yang sama. Aku merindukan saat-saat kegilaanku bersama mereka. Kini saat kami berkumpul, entah mengapa kerinduan itu perlahan menguar, tergantikan dengan rasa jengah. Terlebih lagi Amaya memandangiku seakan aku sudah melakukan kesalahan besar.
Aku memang mengundang mereka makan malam sekaligus untuk memberitahu kabar terbaru mengenai Veronica. Aku ingin mereka mengetahuinya langsung dariku, bukan dari sekedar pesan di ponsel. Namun jika dilihat dari ekspresi wajah Amaya yang sedikit kesal, aku menduga sahabatku ini sudah bisa menebak berita yang akan ia dengar.
"Gimana kabar kalian?" Aku membuka percakapan.
Di saat bersamaan, Rendy dan Amaya menjawab berbeda, "Baik" dan "Lagi bete."
Tentu sudah bisa ditebak siapa yang menjawabnya.
Aku memaksakan senyumku ke arah Amaya yang kemudian memalingkan wajah, "Ada apa sih, May?"
Rendy berusaha mencairkan suasana, "PMS mungkin. Ya nggak, May?" Seraya menyenggol lengan Amaya.
"Berisik, Ren." ketus wanita itu. Aku menggigit bibir menahan tawa. Aku iba pada Rendy yang hanya dianggap sebagai teman oleh Amaya.
"Lo ngajakin kita dinner pasti buat ngomong sesuatu kan? Langsung aja, Xel." Sikap ketus Amaya semakin menjadi-jadi.
"Gue kangen ama kalian. Pengen banget ketemu kalian."
Amaya mendengus sinis. Aku paham perasaannya.
"May," Rendy menggenggam tangan Amaya, namun wanita itu dengan segera menarik tangannya dari genggaman Rendy, "Gue juga kangen ngumpul bareng kalian. Lo nggak kangen, May?"
"Salahin Axel yang sok sibuk ama pacar barunya."
Aku tidak mengiyakan ataupun menyangkal ucapan Amaya dan hal itu justru membuatnya tampak kesal.
"Gue udah kembaliin uangnya ke Veronica. Semua."
"Yang benar?" Rendy sedikit memajukan tubuh, masih tak percaya. Amaya memutar kedua bola matanya. Aku mencoba bersikap tenang dan menghiraukan reaksi berlebihan Amaya.
"Iya benar. Sesuai saran kalian."
Di sela usaha kerasnya menahan emosi, Amaya sempat bertanya, "Jadi sekarang Julian udah bukan job lo lagi?"
Aku dan Rendy menatapnya tak percaya. Kami sedikit tak menduga Amaya akan melontarkan komentar tersebut.
"Bukan." Aku menghela napas sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi sekarang Julian pacar gue."
Entah karena suaraku yang terlampau lirih atau karena keterkejutan Amaya, wanita itu memekik 'hah' begitu lantang hingga beberapa pengunjung lainnya menoleh ke arah kami. Rendy bergegas meminta maaf pada orang-orang di sekitar, sementara Amaya tak peduli.
"Lo jadian beneran ama dia? Lo udah gila? Nggak normal?"
"May,"
Rendy mengusap punggung Amaya pelan, "May, biar Axel selesaiin ceritanya dulu."
"Cerita apa lagi? Cerita tentang ketidaknormalan dia?"
"May, cukup May. Gue nggak suka cara lo nge-judge gue." Aku memotong makiannya.
Kedua manik mata Amaya berkaca-kaca, namun dia berusaha keras mengendalikan diri. Setelah lebih tenang, dia meraih gelas minumannya lalu meneguknya habis. Kini cara bicaranya lebih pelan dan halus dibandingkan sebelumnya.
"Oke, lo boleh berpikiran terbuka. Itu urusan lo. Tapi gue masih nggak bisa, Xel. Kenapa gara-gara Julian, lo jadi begini? Gue nggak suka karena Julian udah ngubah sobat gue."
"Jadi salah kalau gue jatuh cinta sama Julian?" Aku balik bertanya.
Amaya tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawabnya.
"Nggak ada yang salah, Xel." Giliran Rendy buka suara, "Cuma rasanya kayak lo mutusin ini semua tanpa mikir panjang. Hanya berdasar perasaan sesaat."
Yang benar saja? Kupikir Rendy mendukungku karena dengan begini dia bisa mendapatkan Amaya.
"Gue udah pikir baik-baik."
"Tapi lo nggak cerita ke kami." sahut Amaya.
Aku tidak sepenuhnya setuju sebab aku menceritakannya pada Rendy. Lelaki itu menyenggol lengan Amaya. Kemudian Amaya paham hanya dia yang tidak diberitahu.
"Oh, oke. Jadi cuma gue yang nggak tahu. Oke." Amaya meraih gelasnya yang sudah kosong. Ketika menyadarinya, dia meraih gelas Rendy dan menenggak isinya hingga habis.
"Gue pesanin minum lagi ya, May?"
"Diem Xel atau gue lepas kendali."
Aku menunggunya tenang. Tidak satupun dari kami mengucap kata-kata. Sulit rasanya menceritakan sesuatu yang tidak disukai oleh Rendy dan Amaya. Aku tidak berharap banyak. Mereka tidak menerima keadaanku, aku tidak masalah. Aku hanya ingin berbagi. Bukankah itu gunanya sahabat? Kecuali mereka tidak lagi menganggapku sahabat karena aku bukan lagi Axel yang dulu, Axel yang lurus, Axel yang normal bagi mereka. Kini aku adalah Axel yang terlibat terlalu jauh dengan'perasaan sesaat' dan Amaya menyalahkan Julian karena mengubahku.
"Kan udah gue bilang kalo lo nggak seharusnya terima pekerjaan ini. Jadi kacau kan..." bisik Amaya.
Aku meraih tangannya lantas kugenggam erat, "May, bagi gue ini nggak kacau. Gue cerita hal ini karena kalian sahabat gue. Gue paham kalau lo nggak bisa terima gue yang seperti ini. Dan gue minta maaf karena nggak bisa jadi Axel yang lo mau, May. Tapi gue nggak akan minta maaf atas perasaan gue ke Julian."
Kudengar helaan nafas Rendy.
"Jadi lo serius ke Julian?"
Aku menganggukkan kepala.
"Lalu rencana lo ke depannya?"
Baik aku dan Rendy sama-sama mengerutkan dahi dengan pertanyaan Amaya.
"Rencana apa ya?"
"Ya rencana lo ama Julian. Apa lo bakal kasih tahu Julian tentang pekerjaan lo ini atau gimana?"
"Uhm..."
"Kayaknya Axel nggak kepikiran apa-apa." Rendy yang mewakiliku menjawab. Amaya tertawa pelan dengan nada mengejek.
"Lo udah jadian tapi nggak mikirin gimana kalau ntar Julian tahu semuanya."
"Bukannya gue nggak mikirin itu semua, May. Gue mikir cuma gue takut apa yang terjadi setelah gue jujur ke dia. Apakah dia mau terima gue atau..." Aku bergantian menatap Amaya dan Rendy.
"Orang bego mana yang mau terima udah dibohongi selama ini."
"May!" potong Rendy.
Aku mengusap wajahku. Ya aku tahu Julian pasti tidak akan sebodoh itu mau menerimaku lagi setelah semuanya terbongkar. Bagaimanapun hubungan kami berawal dari sebuah sandiwara. Siapapun pasti emosi bila hal itu terjadi pada mereka.
"Udah May, biarin Axel nikmatin dulu perasaan ke Julian. Perkara nanti dia mau jujur atau enggak, itu urusan dia."
Amaya memutar bola mata, masih saja kesal dengan keputusanku memilih Julian.
"Yang terbaik aja buat lo sama Julian, Xel." ujar Rendy. Amaya tidak menyahut.
Keheningan yang canggung terpotong sejenak waktu makanan yang kami pesan datang. Kemudian hanya aku dan Rendy yang berbincang-bincang. Amaya jelas menunjukkan kekesalannya padaku sehingga dia tidak mau bicara denganku.
"May, besok party, yuk? Udah lama nggak kumpul nih. Xel, ajakin Julian sekalian kalo dia nggak sibuk."
Amaya meletakkan sendok dan garpunya, lantas menoleh ke arah Rendy, "Gue nggak ikut, Ren. Gue ada janji sama teman."
"Julian besok kerja, tapi gue ikut kok. Ayolah May, ikut juga lah. Kan udah lama nggak kumpul nih." Aku berusaha merayunya. Mungkin Amaya bersedia ikut bila tahu Julian tidak bisa datang.
"Gue ada janji, Xel. Sori guys, gue nggak ikut."
Entah sampai kapan Amaya butuh waktu untuk menerimaku apa adanya, meski aku ragu hal itu akan terjadi. Apalagi kalau Amaya memang benar menyukaiku. Julian akan selalu dianggapnya sebagai saingan yang tidak akan dia maafkan.
***
Aku terlalu malas untuk pulang, apalagi setelah makan malam penuh emosi bersama Amaya dan Rendy. Aku butuh mendinginkan kepala di tempat Benny.
"Kayaknya lo stres banget, Xel." Benny mengangsurkan minuman ke mejaku.
"Biasa. Kerjaan gue." Aku berdalih, walau sebenarnya bukan karena pekerjaan. Benny tidak membahasnya lagi dan melanjutkan kesibukannya meracik minuman.
Pikiranku kembali melayang pada pertanyaan yang dilontarkan Amaya dan Rendy, serta kemungkinan terburuk apabila akhirnya Julian tahu rahasiaku. Aku tidak bisa membayangkan seberapa marahnya Julian bila semuanya terbongkar. Semua ini memang salahku. Tapi terlambat kalau aku berandai-andai untuk memutar waktu dan mengulang dari awal. Ini konsekuensi yang harus kujalani karena kebodohanku.
Aku sangat sibuk dengan pikiranku, sampai-sampai aku tidak sadar saat Julian menepuk bahuku.
Wajahnya tampak khawatir, "Xel, lo nggak papa?"
Mataku mulai berat, bukan karena mengantuk tapi karena pusing, "Nggak papa."
"Lo kelihatan pucat." Benny menimpali.
"Lo pulang aja deh. Nggak usah nungguin gue." Julian bersikeras menyuruhku pulang, "Tapi lo sanggup nyetir, nggak?"
Aku melirik penanda waktu di ponselku. Tidak lama lagi bar akan tutup dan jam kerja Julian selesai. Tidak ada bedanya aku pulang sekarang atau nanti.
"Gue di sini aja, sambil ngilangin pusing."
Julian dan Benny saling berpandangan. Benny memutuskan untuk memberiku obat sakit kepala. Kutolak mentah-mentah karena aku tidak bisa sembarangan minum obat, terutama yang membuatku mengantuk.
"Udah, lo kerja aja. Gue nggak papa." Aku mendorong Julian menjauhiku. Aku tidak ingin dia dimarahi bosnya karena berbincang-bincang saat bekerja.
Benny meletakkan segelas air putih dingin di depanku. Aku tersenyum, berterimakasih. Selama beberapa menit aku sempat memejamkan mata sejenak, berusaha mengurangi sakit kepalaku.
"Axel?" Suara khas seseorang memanggil namaku dari belakang. Sepertinya aku pernah mendengar aksen itu.
Aku membalikkan tubuh dan hampir saja terjatuh dari kursi bila tidak berpegangan pada meja di sampingku.
"Pak Spencer?" Tidak hanya aku yang terkejut. Benny yang berdiri di sekitarku juga memandangi ayahku dengan penasaran.
Ayahku berdiri dengan senyum cerahnya dan kedua tangan terbuka lebar seakan berharap untuk memelukku. Aku sengaja tidak maju mendekatinya. Alih-alih aku mengedarkan pandanganku ke sekitar, mencari sosok asistennya yaitu Nova. Rupanya beliau datang sendirian, tanpa ditemani Nova.
Bukannya aku tidak mau bertemu ayahku, tapi aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi bila bertemu beliau. Banyak sekali pertanyaan tak terjawab yang ingin kuutarakan namun harga diriku terlalu tinggi. Lagi-lagi aku teringat perlakuan ibu padaku ketika aku bertanya mengenai ayah.
Ayahku menurunkan kedua tangan karena aku tidak kunjung menyambut pelukannya. Beliau tersenyum, "Tidak susah mencarimu. Ayah punya banyak kenalan, Nak."
Nak.
Jujur saja, sebutan singkat itu membuat dadaku bergemuruh. Bahkan ibuku tidak pernah memanggilku demikian. Aku merindukan panggilan yang tak pernah kudengar sejak kecil. Satu yang terpenting, aku merindukan ayah yang tak kumiliki waktu aku kecil.
"Pak Spencer." Mulutku terkatup rapat sewaktu Ayah terlihat kecewa dengan panggilan resmi yang kuucapkan, "Ayah," Barulah beliau tersenyum simpul, "Dari mana Ayah tahu aku ada di sini?"
Aku masih kesal karena tidak lagi punya tempat di mana aku bisa menjaga privasi dari ayahku. Kalau beliau bisa mencari tahu tempat nongkrong favoritku, kemungkinan besar beliau juga tahu apartemenku. Ayah duduk di sebelahku, kemudian memesan segelas minuman pada Benny. Aku melihat sikap Benny yang terlihat ingin mencuri dengar pembicaraan kami. Segera setelah minuman ayahku siap, aku mengajak beliau pindah di tempat duduk yang jauh dari keramaian. Aku tidak ingin Benny mengetahui permasalahan keluargaku.
Kini aku bisa melihat kemiripanku dengan beliau. Dari cara beliau berjalan, postur tubuh serta wajah. Hanya saja kulitku tidak seperti beliau. Beliau mengenakan setelan jas kerja, begitu resmi. Kuakui meskipun sudah usia lanjut, beliau masih memerhatikan penampilan.
Sempat terjadi keheningan selama beberapa menit sebelum kubuka mulut, "Ayah mau bicara apa?" Aku tidak ingat caranya basa-basi.
Ayah mengulum senyum, "Ayah cuma pengen ketemu anak Ayah. Rasanya Ayah sudah putus asa karena nggak bisa menemui kamu. Untung saja Nova berhasil menemukan kamu, Nak. Ayah juga mau minta maaf karena Ayah malah bikin kamu emosi waktu itu. Seharusnya Ayah jujur dari awal, tapi Ayah takut kamu nggak mau nemuin Ayah."
"Axel bingung mau bicara apa." Aku melunak, tak lagi bersikap tidak acuh pada beliau, "Banyak sekali yang mau Axel tanyakan tapi nggak tau mau mulai darimana."
"Axel... ya. Namamu Axel, kan? Satu-satunya yang bikin Ayah yakin kalau kamu itu anak Ayah, karena nama itu adalah pemberian Ayah."
"Jadi Ayah tau kalo Mama mengandung Axel?"
Ayah menggeleng, "Ayah nggak tau karena ibumu kabur begitu saja. Padahal apapun yang terjadi, Ayah bersedia menikahi ibumu."
Ini hanya tebakanku saja tapi harus kupastikan demi memuaskan rasa penasaranku, "Apa karena Ayah sudah punya istri waktu itu?"
Beliau tidak langsung menjawab namun menganggukan kepala setelahnya, "Ibumu magang di perusahaan Ayah dan saat itu Ayah dalam proses cerai dengan istri pertama Ayah. Kami nggak memiliki keturunan. Ayah pernah cerita pada ibumu, seandainya Ayah punya anak, akan kunamai Axel. Dan ternyata...."
"Mama memang kabur waktu itu, tapi usaha Ayah nggak sekeras sekarang. Buktinya Ayah nggak bisa nemuin Mama." selorohku kesal. Aku heran. Kini beliau bisa menemukanku dengan mudah tapi kenapa tidak berpuluh-puluh tahun lalu saat ibuku kabur?
"Ayah pikir ibumu memang tidak serius dengan Ayah, makanya dia kabur. Ayah tidak tau kalau dia mengandung bayi Ayah,"
Alasan yang dibuat-buat. Atau aku terlalu skeptis untuk mendengar apapun yang terucap dari bibir ayahku?
"Ayah minta maaf selama ini nggak pernah mengurusmu. Biarkan Ayah menebus kesalahan Ayah. Mungkin Ayah nggak bisa memberimu kasih sayang, tapi apapun yang kamu butuhkan, Ayah bakal bantu kamu, Nak. Hanya dengan itu Ayah bisa menebusnya. Tolonglah, Axel."
"Axel nggak butuh bantuan Ayah."
"Sepengetahuan Ayah, pekerjaanmu tidak menjanjikan masa depan yang bagus. Kamu bisa kerja di salah satu anak perusahaan Ayah. Tinggal pilih yang mana yang kamu suka, Nak."
Aku mencibir, "Axel memilih pekerjaan ini karena Axel nggak suka bekerja monoton di perusahaan."
Beliau terdiam untuk beberapa saat.
"Axel, pekerjaanmu ini terbatasi usia. Tidak akan ada wanita," Beliau berdehem, "yang menyewamu kalau kamu sudah tua."
Pembicaraan ini membuatku malas menyahuti. Meski aku tahu tidak ada yang mendengar omongan kami, tetap saja aku merasa tidak nyaman. Tapi semakin aku menolak, ayahku tidak akan beranjak dari bar. Mungkin sebaiknya aku berlagak menerima saja.
"Ayah akan mencarikan posisi tepat yang sesuai dengan pendidikanmu juga minatmu, Nak. Ayah janji."
"Axel menghargai usaha Ayah. Tapi maaf Yah, Axel lebih suka dengan pekerjaan yang sekarang ini. Tenang saja, Yah. Axel sudah menabung dan investasi untuk masa depanku. Tidak ada bedanya dengan karyawan kantor."
Beliau menghormati apapun keputusanku dan memahami kesulitanku mengubah segalanya. Sama sekali tidak ada paksaan. Sudah bertahun-tahun ini menjadi bagian dari gaya hidupku. Adalah mustahil bila aku bisa mengubahnya dalam sekejap.
Aku mulai menyukai wibawa ayahku juga sikap sabarnya menghadapiku yang keras kepala ini. Beliau meletakkan kartu namanya di meja.
"Hubungi Ayah kapan saja, Nak, walau cuma untuk ngobrol atau menginterogasi Ayah tentang masa lalumu. Ayah akan jawab."
Hatiku terasa hangat.
"Axel Davis Spencer. Ya. Itu nama yang Ayah berikan untuk anak Ayah seandainya ada." Beliau mengulurkan tangan untuk mengusap rambutku, "Ternyata Ayah memang punya anak.... yaitu kamu. Ayah berterimakasih pada ibumu yang masih mengingat pesan Ayah untuk memberi nama Axel."
Aku terdiam memikirkan namaku yang ternyata pemberian ayah, hanya saja tanpa kata 'Spencer'.
"Sampai nanti, ya." Ayah menepuk bahuku, "Biar Ayah yang bayar semua."
Aku membuka mulut untuk menolak, tapi beliau menggeleng pelan dan hebatnya aku menurut begitu saja.
"Thanks, Yah."
Cukup lama aku termenung memikirkan ucapan ayahku. Beliau berusaha keras untuk memperbaiki hubungan kami dan aku tidak memberi kesempatan hanya karena sikapku yang kekanakan dan didasari rasa marahku selama ini.
Padahal sebenarnya ayahku tidak seratus persen bersalah. Ayah bukannya 'meninggalkanku' waktu kecil, melainkan karena beliau tidak tahu bahwa aku ada. Bahwa ibuku mengandung anak beliau.
Aku mengacak rambutku. Bisa dibilang level sakit kepalaku sudah meningkat dan aku butuh tempat untuk menenangkan diri. Kakiku melangkah lunglai ke arah toilet. Sesampainya di sana, kunyalakan kran air dan mulai membasuh wajahku.
Aku belum pernah merasakan lelah secara emosional sampai separah ini. Ternyata mempengaruhi fisik juga. Tidak kuhitung berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk termenung di depan cermin wastafel toilet.
Pintu toilet terbuka, kemudian kulihat Julian masuk seraya tersenyum. Dia membawakan segelas air putih. Aku meraih gelas itu dan menenggak habis isinya. Julian terdiam di sampingku, sama sekali tidak berkomentar atau bertanya. Hanya menunggu reaksiku.
Aku menatapnya cukup lama lantas kupaksakan untuk tersenyum, "Tampang gue udah kacau banget ya?"
Julian tidak menjawab, hanya menepuk pipiku pelan, "Gue panggilin taksi ya? Mobil lo dititipin di sini aja dulu. Besok pagi kita ambil."
Aku menjawabnya dengan gelengan.
Tidak pernah sebersitpun terlintas di pikiranku bahwa Julian di hadapanku ini adalah Julian yang sama dengan yang kutemui di toilet ini. Julian yang dengan ketusnya menegurku karena memandangnya terlalu lama dan pada akhirnya memberikan selembar tisu bertuliskan namanya.
"Lo ingat nggak? Di sini kita pertama kali ketemu."
"Iya, gue ingat." Dia menahan tawa, "Gue ngomong bahasa Inggris ke lo, demi apa. Gue pikir lo bule beneran."
"Terus gue pengen kenalan sama lo."
"Sumpah, lo awkward banget, Xel. Geli gue ingatnya." Kini tawanya tak terbendung. Aku ikut tertawa bersamanya, "Gue curiga jangan-jangan lo nguntit gue."
Tuduhan itu tak sepenuhnya salah karena aku memang menguntitnya sebagai bagian dari pekerjaanku. Tapi mana mungkin aku mengakuinya.
"Itu namanya jodoh, tau." Aku berkelit.
Julian tersenyum lebar, "Akhirnya lo ketawa."
Aku terkesiap. Dia kembali menepuk bahuku, lalu mengambil gelas kosong dari tanganku, "Ya udah kalo lo nggak mau pulang duluan, sebentar lagi gue selesai kok."
Kugenggam pergelangan tangan Julian, mencegahnya pergi, "Jangan pindah dari apartemen gue..." Suaraku lirih.
Julian membelalakkan mata, "Kan situasinya udah aman, Xel."
"Iya tapi," Aku mencari alasan yang tepat agar dia setuju. Setelah terdiam cukup lama, aku menyerah. Rasanya sakit kepala ini membuatku tidak bisa berpikir jernih, "Please, Julian..."
"Xel," Dia merangsek maju, mengecup bibirku, "Kita omongin besok aja, kalo lo udah nggak pusing lagi."
Aku setuju dengan usulnya sebab sekarang aku tidak bisa fokus memikirkan apapun. Aku mengangguk dan Julian keluar dari toilet, meninggalkanku sendirian. Jujur saja, ternyata aku merasa lebih lega walaupun hanya sedikit.
-Bersambung-
***
Halo teman-teman semua,
Contact Person : Axel sudah dibukukan dalam bentuk cetak dan E-book. Jadi mohon maaf kalau chapter yang ada di sini tidak lengkap, hanya sampai Chapter 10.
Untuk keterangan lebih lanjut di mana dan gimana kalian bisa beli bukunya (cetak dan PDF), bisa cek poster di bawah ini atau cek part terakhir yang judulnya "Ready Stock Novel Cetak & E-Book"
Ditunggu ya pembeliannya 💕 Thanks guys, semoga kalian sehat-sehat selalu.
- Ricca Sophia-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top