Contact Person : AXEL [Chapter 09]
Aku menatap Julian dari pintu kamarku. Tidurnya masih pulas. Rasanya ragu-ragu untuk membangunkannya, terlebih lagi karena dia membutuhkan istirahat yang cukup.
Kejadian semalam sungguh membuatku panik. Tidak biasanya aku bersikap seperti itu. Orang-orang di sekitarku pun tahu, aku bisa mengendalikan emosi. Namun ketika mengetahui dua orang memukuli Julian di parkiran hotel, rasanya aku tak bisa menahan diri untuk tidak membalas mereka. Meskipun Julian belum menceritakan apapun mengenai pelakunya, aku sangat yakin mereka adalah penagih hutang yang selama ini mengejar Julian. Untung saja sekuriti tidak datang terlambat sehingga keadaannya tidak semakin parah.
Tubuh di balik selimut itu bergerak menggeliat, kemudian perlahan dia memicingkan mata ke arahku sembari menguap. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum.
"Xel," gumamnya dengan suara bangun tidur yang serak-serak basah. Aku menghampirinya lalu ikut merebahkan diriku di atas tepat tidur. Kami berhadap-hadapan. Jemariku terulur menyentuh luka sobek di bibirnya, membuat Julian berjengit dan mendesis kesakitan.
"Maaf. Gimana keadaan lo?"
"Kayak abis ditimpukin orang satu kampung."
Kuhela nafas panjang, "Penagih hutang lo, kan?" Julian tidak kunjung menyahut. Dia hanya terdiam memandangku, "Boleh gue bantu ngelunasin hutang lo?"
Meski sangat berat, akhirnya kuucapkan juga. Sebenarnya aku tidak berniat mengatakannya sebab aku menghargai keinginan Julian untuk melunasi hutang orangtuanya agar dia diterima kembali di keluarganya. Tapi dengan situasi mendesak seperti ini—penagih hutang yang terus meneror dan kini sudah melampaui batas—aku sangat ingin menolongnya.
Julian menggeleng pelan, "Ini tanggung jawab gue ke keluarga gue."
"Lo bayar ke gue kapan aja, terserah lo. Jadi hutang masih tetep jadi tanggung jawab lo kok. Cuma untuk hutang ke orang-orang itu, biar gue bayar dulu."
Julian mengalihkan pandangan dariku, "Lo udah terlalu banyak bantu gue. Gue ngerasa nggak enak."
"Udahlah anggap aja lo hutang ke gue dalam jangka waktu yang nggak terbatas." Entah apa yang membuatku berkata demikian, padahal aku tahu jumlah hutangnya tidak sedikit. Aku membelai rambutnya perlahan, "Ayolah, lo mau bikin gue khawatir lagi?"
Sungguh. Aku tidak pernah merasa khawatir seperti setelah mendengar apa yang terjadi pada Julian. Aku tidak mau hal itu terulang lagi.
"Gue nggak maksud bikin lo khawatir, Xel."
"Lo dipukulin sama penagih hutang lo. Gimana gue nggak khawatir?"
Julian diam saja. Tiba-tiba dia meraih tanganku yang sejak tadi mengusap kepalanya. Diletakannya tanganku di pipinya, "Makasih udah khawatirin gue, Xel. Tapi semakin lo perhatiin gue, gue semakin takut. Gue takut... ini semua nggak nyata."
Aku terkesiap mendengar ucapan Julian yang seakan menyindirku. Apa dia sudah tahu tentang perjanjianku dengan Veronica? Kenapa dia berkata seperti itu?
"Maksud lo?"
"Ini semua... terlalu nggak nyata."
Aku mengulum senyum. Sebenarnya jantungku berdebar tak karuan. Selangkah lagi Julian seakan ingin membuka rahasiaku, "Lo pegang tangan gue, nyata kan?"
"Bukan itu maksud gue." Dia mengerucutkan bibir, "Gue takut perasaan gue ke lo nggak akan terbalas."
Alisku bertaut. Semakin lama pembicaraan ini semakin tidak bisa dimengerti.
"Gue nggak tau apa yang bikin lo sebaik ini ke gue—"
Buru-buru aku memotong ucapannya sebelum Julian menarik kesimpulan yang akan memojokkanku, "Karena gue peduli ama lo. Kalo gue nggak suka dan nggak peduli ama lo, hubungan ini nggak akan ada."
Kalimat itu setengah jujur setengah bohong. Ya, aku peduli pada Julian dan aku mulai menyukainya. Aku paham akan hal itu. Tapi alasanku bersikap baik kepadanya adalah karena uang—satu hal yang kini kusesali. Aku teringat permintaan Veronica agar aku bisa membuat Julian benar-benar menyukaiku. Untuk yang satu itu, kurasa aku sudah berhasil. Namun untuk permintaan Veronica bahwa aku harus mematahkan hati Julian—itu yang tidak kusuka. Setidaknya aku sudah melakukan separuh pekerjaanku.
Manik mata Julian yang seakan mencari kejujuran di tatapanku. Aku jadi salah tingkah terutama karena Julian memandangku seolah aku ini menyelamatkannya dari bencana alam atau apa.
Kuakui kali ini aku bukanlah seorang Axel yang profesional. Tiap kali Julian menatapku seperti itu, jantungku berdebar-debar dan perasaanku layaknya remaja dimabuk cinta. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Julian mendekatkan tubuhnya padaku hingga kepalanya bersandar di dadaku. Tak bisa berkutik, aku pun tak bisa mengendalikan debaran jantungku.
"Kalo boleh jujur," ujarku, "...lo orang pertama yang bikin gue salah tingkah."
Julian terbahak-bahak. Dia melingkarkan tangannya di pinganggku, memelukku erat, "Gue lega dengarnya. Setidaknya bukan cuma gue yang ngerasa begitu."
"Bagus dong. Satu sama."
Julian mempererat pelukannya padaku, "Gue juga mau jujur." Dia berhenti cukup lama, "Ini pertama kalinya gue deket dengan seseorang tanpa seks dan bukan karena uang."
Aku nyaris tersedak ludahku sendiri saking terkejutnya. Pekerjaan kami memang di wilayah yang sama tapi selama ini klienku tidak pernah meminta hubungan seks sedangkan Julian... ya, Julian menjual tubuhnya. Selama ini kami belum pernah melakukannya. Aku juga tidak berani membahasnya sebab ini akan menjadi pengalaman pertamaku Bersama lelaki, jadi rasanya menakutkan.
"Dan ini pertama kalinya gue cuma ketemuan sama satu cowok..." Julian menengadahkan kepalanya.
Dia serius akan hubungan ini. Sedangkan aku? Aku sendiri tidak tahu posisiku di mana. Tak pernah aku merasa amat bersalah. Aku menghianati kepercayaan Julian padaku. Mungkin perkataan Amaya ada benarnya. Batas antara akting dan kenyataan semakin mengabur sehingga sebaiknya kuhentikan semua ini sebelum Julian benar-benar jatuh cinta padaku. Atau... memang sudah? Entahlah.
Aku beranjak dari tempat tidur. Julian tampak bingung dengan reaksiku yang tiba-tiba beringsut meninggalkannya.
"Mau kemana?" tanya Julian.
Aku tersenyum canggung sembari menggaruk kepala, "Uhm, mau ke dapur bentar. Nyiapin makan buat lo. Lo pasti lapar kan?"
Aku masih dapat merasakan tatapan penasaran Julian mengikutiku hingga aku benar-benar keluar dari kamar. Kusandarkan diriku di pintu kulkas, berusaha menenangkan diri dari debaran jantung yang menyiksa ini. Apa Julian juga merasakan hal yang sama? Atau selama ini dia juga menganggapku sebagai kliennya—sama dengan anggapanku padanya?
Saat kudengar langkah kaki mendekatiku, aku bergegas membuka pintu kulkas untuk berpura-pura mencari bahan makanan.
"Axel?" Suara Julian lirih.
Bahkan sulit bagiku untuk menarik nafas tiap Julian berada di dekatku.
"Ya?" Sengaja aku tetap menyibukkan diri memilih sesuatu yang tidak penting di kulkas. Aku malah menghitung jumlah telur persediaan kemudian selada yang setengah membusuk karena hanya Amaya yang mengonsumsi selada itu.
Julian berdiri di sampingku. Perlahan ditutupnya pintu kulkas, membuatku terpaksa menghadap ke arahnya. Jantungku berdebar-debar, aku sendiri tak mengerti kenapa, padahal Julian tidak lagi menggodaku dengan tubuh setengah telanjang karena dia sudah mengenakan kaos dan celana pendeknya. Hanya dengan melihat senyumnya, mendengar suaranya, tubuhku bereaksi berbeda—oh, sungguh memalukan. Aku menyadari sudah lama aku tidak pernah merasakan seperti ini. Hal-hal kecil yang dilakukan Julian yang membuat darahku berdesir.
"Maafin gue kalo pembicaraan tadi bikin lo nggak nyaman." Dia menundukkan kepala, "Pembicaraan tentang hubungan gue dan cowok-cowok lain."
"Oh, itu." Aku berjalan pelan ke meja dapur, menghindari Julian, "Gue juga minta maaf kalo pembicaraan soal hutang bikin lo tersinggung."
"Tersinggung?" Julian terlihat panik. Buru-buru meralat ucapanku, "Gue sama sekali nggak tersinggung, Xel. Suer. Gue seneng lo mau bantuin gue. Cuma gue ngerasa nggak enak ama lo. Itu aja! Gue sama sekali nggak tersinggung kok. Beneran." cerocosnya seperti kereta api.
Aku menahan tawa karena lega mengetahui dia bersedia kubantu dan sama sekali tidak tersinggung. Kuulurkan tangan untuk mengacak rambut Julian, "Oke, sekarang lo hubungin penagih hutang itu deh. Kita selesaikan secepatnya." Aku mengambil ponselku yang kuletakkan di meja dekat sofa. Ragu-ragu Julian meraih ponselku, "Siapa tau lo nggak mau nomor lo ketahuan. Pake nomor gue aja. Biar lo aman."
"Sekarang?"
"Ya iyalah, masa lo tunda lagi."
Julian menuruti kata-kataku. Alih-alih menghubungi penagih hutangnya itu, dia hanya mengirim pesan. Tak lama kemudian dia menunjukkan pesan balasan dari penagih hutang yang menuliskan jumlah hutang serta nomor rekening. Meski jumlahnya tak sebanyak bayaran Veronica padaku, tapi tetap saja besar. Dan artinya mulai besok aku harus mencari klien lebih banyak lagi.
"Abis ini gue transfer."
"Makasih banget Xel. Bakal gue bayar secepatnya."
Kutarik Julian dalam pelukanku. Rasanya nyaman bila melakukan sesuatu karena keinginanku. Julian melingkarkan tangannya di pinggangku lantas menyandarkan kepalanya di dadaku.
Apa aku salah bila menganggap ini semua nyata?
Mungkin Amaya benar—aku sudah terlibat terlalu jauh dan entah bagaimana aku bisa kembali. Hubungan palsu ini seolah menghipnotisku. Aku terjerat dalam sandiwaraku sendiri. Begitu fokusnya aku berakting sehingga mengaburkan batas antara sandiwara dengan kenyataan.
Mungkin aku sudah mulai melupakan hal-hal kecil yang membuatku sadar bahwa aku juga memiliki perasaan.
"Boleh gue minta tolong lo?" gumamku dan tanpa menunggu sahutan dari Julian, aku pun meneruskan, "Gue nggak pengen lo kerja dengan laki-laki manapun. Gue nggak mau lo disentuh orang selain gue."
Ini kukatakan semata-mata bukan karena aku sedang berakting sebagai kekasih Julian tetapi karena memang aku tidak rela dia disentuh orang lain. Membayangkan Julian dicium dan digerayangi lelaki lain, darahku sudah mendidih. Sikap egois dan ingin memiliki mulai muncul—yang jujur saja, menakutkan. Padahal pekerjaanku juga tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Julian meskipun aku tidak menggunakan seks.
Julian menahan tawa, "Nggak ada orang lain, Xel. Jangan kuatir, jangan cemburu."
Aku gelagapan. Seorang Axel pantang cemburu. Seharusnya orang lain yang cemburu karenaku, bukan sebaliknya.
"Gu-gue nggak cemburu kok. Itu fitnah."
Sembari mengurai pelukan, Julian tertawa. Dia memegang kedua pipiku, menarikku mendekat. Untuk waktu yang singkat, dia mengecup bibirku. Perutku mulas karena bahagia. Tidak, tidak, hal ini tidak boleh terjadi! Kenapa aku mulas akibat dicium Julian? Tidak lucu.
"Gue serius, Xel. Nggak ada orang lain." ucapnya sungguh-sungguh.
Aku memijat pelipisku, "Gue kok jadi posesif nyebelin gini sih...." Sebaris kalimat yang menyulut tawa Julian.
Dia menumbuhkan perasaan berbeda yang lama kulupakan.
***
Meluangkan waktu sejenak berdalih urusan kerja, kini aku duduk di kantin bersama Rendy. Sebenarnya dia juga mengajakku bertemu. Kebetulan sekali aku juga membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, terutama mengenai Julian.
"Udah lama gue nggak lihat lo berangkat kerja." sindir Rendy.
"Gue kan kerja tuh. Lo lupa kalo Julian juga kerjaan gue?"
"Nah, dia itu yang mau gue bicarain." Rendy tersenyum penuh paksaan, padahal biasanya dia bicara tanpa difilter.
"Oh," Seketika aku merasa tidak nyaman. Aura negatif menguar dari Rendy.
Rendy mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Dua buah kunci yang ternyata adalah kunci apartemenku, "Xel, ini kunci gue dan Amaya. Makasih selama ini udah sering nampung kami."
"Kok tiba-tiba kalian kabur gini? Jadi udah nggak mau tinggal di tempat gue?"
Rendy tersenyum simpul, "Situasinya udah nggak sehat buat kami. Hmm, lebih tepatnya nggak sehat buat Amaya."
"Amaya ngadu ke lo? Kemarin sih dia ngomongnya nggak enak tentang Julian. Kenapa ya Amaya tiba-tiba begitu?"
Rendy mendengus kesal. Aku mengerutkan dahi karena bingung, "Axel sahabat gue yang nggak peka, apa selama ini lo nggak sadar kalo sahabat lo suka ama lo?"
"Yang suka tuh... lo apa Amaya?"
Lemparan bungkus lemper dan tisu mendarat di wajahku, "Bego lo! Yah Amaya yang suka ama lo! Masa gue?"
Beberapa orang di kantin menoleh ke arah kami yang ribut sendiri persis anak SMA. Rendy menutup mulutnya dengan tangan lalu tersenyum canggung ke sekitar.
"Lo nggak peka ya. Kasihan Amaya kok bisa suka ama lo. Mendingan ama gue kan."
Aku terdiam. Kalau tentang Rendy menyukai Amaya itu, aku sudah menebak sejak dulu tapi tak sekalipun aku berusaha membantu mendekatkan mereka. Terlebih lagi karena aku tidak tahu bahwa Amaya ternyata menyukaiku.
"Maaf Ren, gue nggak pernah sadar Amaya suka gue. Tapi gue...."
"Lo nggak bisa balas perasaan Amaya, kan? Lo udah terjerat pesona Julian."
Aku tercekat. Mungkin perlu seseorang yang bermulut pedas seperti Rendy untuk menyadarkanku tentang perasaanku pada Julian.
Rendy melipat tangan di depan dada, "Gue sih bersyukur karena kesempatan gue ke Amaya lebih besar tapi gue juga nggak paham kenapa lo bisa nempel ama Julian. Sekian lama lo kerja begini, nggak pernah sekalipun lo cinlok. Kenapa malah cinlok ama cowok, coba?"
Pandanganku menerawang, membayangkan kenangan bersama Julian. Kuacak rambutku karena frustasi. Aku sebal bila Rendy benar.
"Kemarin Amaya cerita ke gue tentang sarannya supaya lo balikin uang ke Veronica dan batalin pekerjaan lo itu. Kalo gue sih nggak setuju. Lo kan udah setengah jalan, bahkan udah lebih dari setengah. Ngapain lo balikin uangnya? Itu hak lo."
Aku mengangguk setuju, "Lagian Veronica minta biar Julian jatuh cinta ke gue dan gue udah berhasil."
"Hmm, dan lo juga akhirnya jatuh cinta ke Julian juga kan?"
Giliranku menimpuk Rendy dengan gelas kertas bekas minumannya. Untung sudah kosong.
"Emangnya Veronica minta lo ngapain Julian?"
"Supaya gue bikin Julian jatuh cinta ke gue terus banting perasaan Julian. Pokoknya Vero pengen Julian sakit hati sesakit-sakitnya."
"Ouch," Rendy menyeringai seakan dia yang merasakan sakitnya, "Lo nggak mungkin tega nyakitin Julian lah."
Aku sangat setuju dengan Rendy, "Ya makanya gue bingung. Banyak hal yang gue bingung. Termasuk perasaan gue. Apa gue memang suka Julian atau ini karena pengaruh kerjaan gue? Terus kalo emang gue suka ama Julian, apa yang harus gue lakukan?"
Rendy memajukan tubuhnya lalu menoleh kanan kiri sebelum mengatakan sesuatu padaku dengan suara pelan, "Sebenarnya Amaya pengen gue pengaruhin lo untuk ninggalin Julian."
"Udah gue duga." Aku mencibir. Begitulah Amaya. Bila ada kemauannya tidak dituruti, dia akan melakukan apapun.
"Sebagai sobat, gue mohon lo pikir-pikir lagi. Tapi apapun keputusan lo, gue bakal dukung. Nah, sebagai saingan lo yang rebutin Amaya, gue sih dukung lo ama Julian daripada lo ama Amaya kan."
Aku mendorong dahi Rendy. Dia memang sialan, "Lo itu kena friendzone, dasar nggak peka."
Rendy berpura-pura sedih dengan memegangi dadanya lalu memasang tampang ingin menangis, "Brengsek lo ngingetin gue tentang friendzone." Detik berikutnya dia kembali seperti semula, "Oke, jadi sekarang apa rencana lo, Xel? Selesaikan perintah Veronica dan itu artinya lo bakal sakitin hati Julian atau lo hentikan sekarang?"
"Kalo hentikan sekarang juga artinya gue bakal sakitin Julian. Sama aja."
"Oh, iya juga. Tapi kalo hentikan sekarang, sakit hati kalian nggak parah-parah amat. Ya terserah lo sih."
"Kalo mau gue sih nggak harus dihentikan." Rasanya wajahku memanas karena sangat malu harus mengakui semua ini di depan Rendy. Pertama kalinya aku terbuka pada seseorang mengenai perasaanku pada Julian. Memang benar keputusanku memilih Rendy untuk menjadi pendengar.
Rendy mengangguk-anggukkan kepala dengan senyum menyebalkan seakan menggodaku, "Oooh, jadi nggak mau berhenti. Ternyata kalian berdua udah dimabuk cinta ya. Bagus lah. Nah, kalo gitu lo ngaku aja ke Veronica lo udah nyakitin Julian sesakit-sakitnya sampai Julian mau bunuh diri atau udah berusaha terjun dari kasur kek, atau apalah."
"Sinting lo. Veronica nggak setolol itulah."
"Kan belum lo coba. Coba aja dulu." Seringai jahil tampak di wajah Rendy. Tiba-tiba wajahnya berubah serius, "Ya yang jelas kalo lo mau lanjutin hubungan kalian, satu hal yang harus lo lakuin sekarang : jujur ke Julian tentang lo dan Veronica. Dari situlah lo bisa lihat apakah Julian mau nerima dan maafin lo."
"Itu dia, Ren!" Lagi-lagi kuacak rambutku. Keadaan ini membuatku semakin gila. Aku memilih Julian tapi aku bahkan tidak berani jujur padanya. Bagaimana ini?
Rendy menghela nafas panjang, "Mikirin perasaan itu capek ya, Xel. Gue aja udah nyerah ama Amaya seandainya kemarin dia nggak muncul dan nangis-nangis karena lo."
"Amaya nangis? Serius?" Sejenak kulupakan masalahku dengan Julian setelah mengetahui Amaya menangis karenaku.
"Dia frustasi banget karena lo ama Julian. Tapi kalo nggak karena lo dan Julian, Amaya nggak akan dekat sama gue sih. Blessing in disguise, thanks to you, Xel."
Aku terbahak-bahak, "Gue dukung lo sama Amaya karena lo itu bener-bener tulus merhatiin dia, Ren. Walo posisi lo di friendzone ya."
"Terus aja ngatain gue friendzone. Gue aduin ke Julian tentang Veronica loh biar lo tau rasa."
"Yaah, ampun bro. Lo jangan bilang dia dong. Soal itu biar gue yang jujur ke dia."
Giliran Rendy yang menertawakanku. Sudah lama kami tak bertemu dan membicarakan tentang keadaan masing-masing. Aku rindu saat-saat berkumpul bersama Rendy dan Amaya seperti dulu. Aku bahkan sudah jarang dugem—ini rekor dunia. Dulu sebelum bertemu Julian, setiap malam kuhabiskan di klub dan bar. Namun kini aku kehilangan minat untuk melakukan semua itu. Entah ini karena pengaruh usia atau....
"Lo udah mulai settle down?" Komentar Rendy sama persis dengan Amaya.
"Enggak lah. Itu cuma rumor. Gue nggak mungkin settle down hanya karena jatuh cinta."
Rendy bertepuk tangan dengan semangat bahkan menggodaku dengan siulan kampungan itu, "Cieee... gue nggak salah dengar nih, Axel nyebutin kata keramat! Jatuh cinta, bro! Astaga, cupid sudah mulai beraksi."
"Diem lo, Ren." sungutku sebal apalagi karena teman-teman sekantor Rendy yang ada di kantin itu kembali memusatkan perhatian pada kami berdua, "Udah ah, gue balik dulu."
"Good luck, bro." Rendy berdiri untuk menepuk bahuku, kemudian kami beranjak dari kantin.
***
Sepanjang perjalanan pulang, otakku tak henti memikirkan cara yang tepat untuk bicara pada Veronica. Tentu kupertimbangkan saran Rendy, yaitu untuk mengaku bahwa aku sudah melakukan perintah Veronica dengan membuat Julian jatuh cinta kemudian sakit hati.
Di atas segalanya, aku memang menginginkan Julian. Aku tidak peduli Rendy mengolokku atau Amaya membenciku karena lebih memilih Julian daripada dirinya, yang pasti keputusanku tetap—aku ingin bersama Julian. Mungkin perasaanku pada Julian belum sekuat itu, tapi aku ingin mempertahankan hubungan kami.
Satu hal yang masih sulit kulakukan yakni mengatakan yang sejujurnya pada Julian. Bila aku menginginkan hubungan kami berjalan lancar, maka aku harus memulainya dengan berkata jujur. Aku tidak bisa karena ketika aku membuka semua rahasia itu, Julian tidak akan memaafkanku.
Hancurlah hubungan kami.
Kini skenario demi skenario buruk berjejalan di kepalaku, memaksaku berhenti memikirkan rencana ke depan untuk sementara.
Sudahlah, aku pasrah. Entah apa yang akan terjadi nanti, biarlah terjadi.
Setibanya di apartemen, seperti biasa Bang Anjas menyapa dengan penuh semangat sembari sedikit bercerita mengenai berita tentang penghuni apartemen lainnya. Aku memang tidak begitu mengenal tetangga-tetanggaku seandainya Bang Anjas tidak rajin menceritakan tentang mereka. Aku menyahuti dengan senyum dan anggukan. Rasanya aku tidak ada energi untuk bersikap ramah seperti biasa. Bang Anjas menyudahi percakapan kami dan aku berjalan gontai menuju lift.
Begitu aku membuka pintu apartemenku, keadaan sudah berubah total dalam artian positif. Apartemenku menjadi sangat bersih seolah-olah ada kru yang disewa khusus untuk membereskannya. Sebelumnya memang tidak begitu jorok sih. Tidak separah kapal pecah. Tapi bisa membuat orang-orang yang gila kebersihan menolak untuk masuk ke dalam apartemenku.
Cukup lama aku tidak merasakan betapa luasnya apartemenku. Lantainya bersih, tidak kalah dengan lantai di mall. Tidak ada lagi barang atau majalah berserakan di bawah meja dekat TV. Tidak ada lagi bahan makanan yang mulai membusuk di dalam kulkas. Bahkan tidak ada debu di atas TV—aku tidak peduli TV-ku berdebu.
Aku menapakkan kaki ke dalam kamar mandi dan terperangah. Ini melebihi ekspektasiku. Aku sama sekali tidak meminta Julian melakukan semua ini. Dia mendapat jatah libur dari bosnya karena kejadian pemukulan itu dan seharusnya dia beristirahat bukannya malah membersihkan apartemen.
"Julian?" Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan, namun tak kunjung menemukan sosok Julian. Aku mengulum senyum melihat Julian terlelap di atas sofa, "Makasih udah beresin rumah." bisikku di telinganya.
Entah Julian hanya berpura-pura tidur atau memang terbangun karena bisikanku, yang kutahu dia tersenyum lebar meski kedua matanya masih tertutup. Aku bersimpuh di samping sofa, menunggunya benar-benar terbangun. Dia mengusap kedua matanya kemudian menguap.
"Lo udah pulang." gumamnya lalu dia mengulurkan tangan ke arah meja untuk mengambil ponselnya.
Ditunjukkannya sebuah email padaku. Email itu ternyata berisi scan bukti pelunasan hutangnya. Profesional sekali. Tadi sempat kukhawatirkan transferku tidak akan diakui, rupanya dugaanku salah.
"Lo udah banyak bantuin, sedangkan gue cuma bisa beresin rumah." Julian bergeser untuk memberiku sedikit tempat duduk di sampingnya.
"Gue nggak minta balasan." Aku duduk di sampingnya. Lutut kami bersentuhan dan dia sengaja berkali-kali menyenggolkan lututnya ke arahku. Dasar kekanakan, "Kebaikan itu nggak selalu harus ada balasannya."
"Sok bijak lo." Dia menjulurkan lidahnya, "Ayolah, kasih gue kesempatan buat ngebalasnya."
"Julian, gue ngelakuin ini semua karena gue sayang ama lo." Aku menghadap ke arahnya, menatap kedua manik mata itu dengan harapan dia akan menganggap ucapanku ini serius. Ya. Kali ini memang serius—bukan sebagai aktor yang sedang bersandiwara, tapi sebagai diriku sendiri, sebagai Axel.
Kurasakan Julian menahan napas dan tampak lebih canggung dari biasanya, "Sayang ama suka itu beda."
"Ya, gue tau." potongku, "Gue sayang ama lo sampai pada titik di mana gue berharap lo nggak akan ninggalin gue."
Julian tertawa pelan, "Ngapain gue ninggalin lo?"
Aku ikut tertawa bersamanya. Entah darimana datangnya harapan itu. Aku hanya khawatir bila aku mengatakan yang sejujurnya, Julian pasti meninggalkanku. Selama belum kukatakan, aku masih bisa bersamanya. Terjebak dalam perasaan seperti ini sungguh tidak menyenangkan. Seandainya saja aku bisa bersikap dingin seperti yang selama ini kulakukan pada sederet klien-klienku.
Bukannya aku menyesal memiliki perasaan lebih pada Julian. Aku menyesali keadaan kami, pada situasi sekarang dan hanya sanggup berandai-andai dan berharap.
"Justru gue yang seharusnya bilang gitu..." Julian melanjutkan ucapannya, "Gue takut lo ninggalin gue."
Tidak pernah kusangka Julian memiliki kekhawatiran yang sama denganku, walau kekhawatirannya tidak beralasan karena kemungkinan besar dia yang akan meninggalkanku bila dia mengetahui yang kulakukan adalah karena uang.
Suaraku tercekat, "Kenapa lo mikir begitu?"
Dia tersenyum kecut, lalu memalingkan wajah ke arah lain. Yang kudengar dalam keheningan adalah embusan nafas kami, "Kalau suatu hari lo sadar lo nggak suka cowok..."
"Gue emang nggak suka sembarang cowok."
Terkejut, Julian kembali menatapku.
"Cowok yang gue sayang cuma Julian." Ketika dia tak kunjung menyahut, kugenggam tangannya dan perlahan kukecup punggung tangan Julian.
Kami bertatapan cukup lama dalam diam. Tak satupun dari kami yang sanggup mengutarakan seluruh perasaan kami. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin kukatakan. Bahkan mungkin aku membutuhkan waktu lebih dari satu hari. Tapi sungguh sulit, terlebih lagi bila sebagian besar yang ingin kukatakan adalah kejujuran yang menyakitkan.
Dan aku tidak ingin melukai Julian.
Julian menarik tangannya dari genggamanku, namun hal yang lebih membuatku terkesiap adalah reaksi Julian selanjutnya. Bibirnya yang kurindukan akhirnya menyentuh bibirku lagi. Bukan. Aku tidak hanya merindukan bibirnya. Aku merindukan sensasi saat perasaan kami seolah tersalur melalui ciuman itu, juga ketika tangannya menyentuh pipiku. Aneh sekali aku merindukan Julian meski tadi pagi kami bertemu.
Rasanya seakan melayang ke langit ketujuh ketika kurasakan kecupan Julian makin memanas. Kepalaku pening, lebih parah dari saat aku mabuk. Tidak pernah ada yang memberitahuku begini rasanya ketika menyukai seseorang. Jantungku berdegup kencang sewaktu Julian mulai merapatkan tubuhnya padaku. Ciuman itu sungguh memabukkan, berbeda dengan ciuman yang selama ini kulakukan dengan wanita. Detik selanjutnya, Julian sudah berpindah posisi, duduk di pangkuanku. Kedua tangannya di pipiku, seolah tak ingin melepasku.
Tiap detik sangat berharga. Aku tidak ingin kehilangan Julian.
Ciuman kami berakhir secepat kami memulai. Aku menatap manik matanya. Tangannya membelai pipiku sembari mengamati seakan dia mencari sesuatu di wajahku. Jemarinya meraba wajahku. Lalu dia tersenyum puas.
"Gue nggak pernah bener-bener perhatiin lo..." Kurasakan telunjuknya berhenti di salah satu tahi lalat kecil di pipi kananku, "Kita punya tahi lalat di tempat yang sama." Dia menunjuk pipinya sendiri.
"Gue selalu perhatiin lo. Sejak pertama kali kita ketemu." Aku mengatakan yang sejujurnya. Memoriku dipenuhi adegan demi adegan saat aku dan Benny membicarakannya sampai saat aku mengikuti Julian ke toilet. Sama sekali tak pernah kusangka kini dia selalu ada di dekatku.
Dia menggigit bibir, menahan senyum malu. Tingkahnya sungguh menggodaku. Apalagi dengan posisi Julian yang kini berada di pangkuanku.
Entah apa yang membuatku berani bertindak. Sepertinya aku dikuasai nafsu dan insting ketika aku perlahan mendorong tubuhnya berbaring di sofa. Dia tercekat—kurasa sama terkejutnya seperti aku. Apalagi dari tatapan matanya yang seolah bertanya apa aku yakin. Aku tidak terbiasa dan ini akan menjadi pengalaman pertamaku. Tentu saja melakukan hal ini dengan Julian akan amat sangat berbeda dengan wanita. Dan aku tidak tahu apa-apa!
"Lo... yakin?" Pertanyaan Julian menamparku. Aku tahu dari nada bicaranya, Julian bukan mengawatirkan dirinya namun justru mengawatirkanku yang baru pertama kali melakukannya. Dia khawatir aku akan menyesal setelah hal itu terjadi.
Detak jantungku meningkat tiap kali Julian memandangku seperti itu—tolong, aku tidak tahu harus bagaimana. Ini sungguh canggung. Instingku mengatakan ya, tapi sebagian diriku masih menolak. Tapi aku menginginkannya. Hanya bersama Julian, bukan yang lain.
Aku pun mengatakan sesuatu yang tidak akan mungkin diucapkan oleh seorang Axel seumur hidupnya, "Gue... gue nggak tahu apa-apa. Tapi gue," Aku merasakan celana jinsku semakin mengetat. Gosh, kenapa aku tidak bisa menahan nafsuku bila di dekat Julian?
Julian tersenyum penuh pengertian. Bukan senyum menghina atau mengejek, apalagi setelah mendengar pengakuanku bahwa aku tidak tahu apa-apa. Salah satu sikap Julian yang kusuka yaitu tidak pernah sekalipun menghakimi seseorang. Dia mungkin sering tampak ketus di depan orang-orang yang tidak dikenal, tapi bila sudah mengenalnya, ia adalah pribadi yang menyenangkan.
Hanya dengan usapan lembutnya di pipiku, keyakinanku yang sempat hilang pun muncul kembali. Bila aku harus menunjukkan sisi terapuh atau terbodohku, aku tidak keberatan menunjukkannya pada Julian.
"Gue harap lo nggak keberatan kalau kita acak-acak kamar yang udah lo beresin." bisikku, tepat di telinganya. Aku beranjak dari sofa sambil mengangkat tubuhnya. Julian terperanjat dengan sikapku yang tiba-tiba, namun secepatnya ia melingkarkan kedua kakinya di pinggangku dan berpegangan erat. Aku hanya menuruti instingku.
***
Menerima kehadiran seseorang dalam kehidupan, bukanlah hal mudah bagi sebagian orang—dan aku adalah salah satu orang tersebut. Terutama bila orang itu akan memberikan pengaruh cukup kuat bagi kita saat mengambil keputusan. Tidak hanya itu, orang itu juga yang akan membuatmu sedih dan senang.
Aku tidak pernah siap akan kehadiran orang itu.
Memang aku memiliki Rendy dan Amaya sebagai orang-orang terdekatku, tetapi mereka tidak begitu memberi pengaruh pada perasaanku. Masih ada sebatas garis yang membentengi perasaanku supaya tidak goyah bila terjadi suatu hal dalam persahabatanku dengan mereka.
Itulah salah satu alasan aku tidak pernah memiliki hubungan serius dengan beberapa wanita yang pernah dekat denganku. Hubungan serius sama dengan buang-buang waktu. Lagipula itu membosankan. Aku memerlukan sesuatu yang bisa dengan mudah diganti dalam waktu cepat. Menjadi pacar pura-pura adalah caraku merealisasikan keinginanku memiliki pacar yang berbeda tiap waktu.
Aku playboy? Tidak juga. Ini pekerjaanku, bukan hubungan yang kujalin secara nyata. Aku menyamakan diriku dengan aktor. Bila mereka berakting sebagai pembunuh, bukan berarti mereka kriminal, kan? Nah, sama halnya denganku. Berganti-ganti pacar bukan berarti aku playboy.
Ternyata, menghabiskan waktu bersama Julian menyadarkanku bahwa selama ini aku kesepian. Ya. Aku malu mengakuinya. Aku memang berganti-ganti pacar tiap waktu—para klienku. Namun tak pernah sekalipun kurasakan hal seperti yang kualami dengan Julian.
Ketika aku melakukan sesuatu dengan tulus—bukan karena kewajiban melainkan karena keinginan.
Ketika aku merasa khawatir pada seseorang karena aku peduli padanya.
Dan ketika jantungku berdegup hanya dengan seulas senyum saja.
Yang pada akhirnya meyakinkanku untuk melakukannya bersama Julian.
Seks yang hebat? Jangan bergurau—aku bisa lebih baik dari itu. Aku merasa seperti orang bodoh karena ini pertama kalinya aku melakukan dengan lelaki dan di bawah bimbingan Julian—astaga, memalukan sekali. Seks paling canggung yang pernah kulakukan.
Tapi bila aku mengingatnya lagi, selalu kurasakan panas di wajahku dan debaran jantungku. Sesuatu yang kusuka dari Julian, dia tidak pernah mempermalukanku meski ini pertama kalinya bagiku. Dan, ya, pastinya performaku tidak sebagus biasanya. Rasanya ingin menceburkan diri ke kolam ikan saja.
Kupalingkan wajahku ke arah samping. Siluet punggung Julian yang bergerak naik turun selaras embusan nafasnya. Rasa bersalah tiba-tiba menyelimutiku. Lupakan performaku yang tidak bagus—kini aku mulai mengawatirkan Julian. Bagaimana kalau aku menyakitinya? Bagaimana kalau sebenarnya ia tidak merasa nyaman? Bagaimana kalau aku melakukan sesuatu yang salah tapi Julian diam saja? Berbagai macam pertanyaan dan rasa cemas berlebihan mulai menyerangku.
Terlalu berkonsentrasi dengan pikiranku sendiri, aku tidak sadar Julian sejak tadi sudah membalikkan tubuh ke arahku. Dia mengulum senyum.
"Lo nggak apa-apa, kan?" Itu hal pertama yang kutanyakan, "Gue minta maaf kalo gue bikin lo sakit... Gue janji abis ini gue bakal belajar dulu. Dan—"
Terdengar tawa tertahan dari arah Julian. Dia beringsut mendekatiku, hingga tak ada lagi jarak di antara kami. Tubuh kami yang tanpa sehelai benangpun bersentuhan sekali lagi. Luar biasa sekali pengaruh sentuhannya padaku. Detak jantungku meningkat. Perlahan telunjuk dan jari tengah Julian menelusuri rahang, leher dan dadaku. Dia mendekatkan hidungnya di dadaku—menghirup aroma tubuhku seakan ingin disimpan dalam ingatan. Kendali di dalam diriku kembali melemah. Napasku tertahan dan mataku terpejam, sewaktu kurasakan kecupan-kecupan lembut di dadaku. Sedikit lagi Julian bertindak, aku tidak yakin aku bisa menahan diri.
Rupanya dia berhenti, kemudian menatap kedua mataku. Dia sempat menciumku sebelum berkata, "Semoga lo nggak nyesel ngelakuin ini sama gue."
Hatiku sakit. Aku merasa sudah mengkhianatinya.
Semenjak itu, aku semakin yakin harus menemui Veronica untuk membatalkan segalanya. Aku tidak peduli meski aku harus mengembalikan bayaran yang sudah kuterima.
***
Aku terbiasa membohongi orang dan bermain peran. Seperti sudah menjadi bagian dari keseharianku untuk berkata bohong, meski pada akhirnya aku membenarkan sikapku karena masih dalam ranah pekerjaan. Kebiasaanku tersebut seharusnya memudahkanku saat membohongi Veronica. Ternyata situasinya amat sangat berbeda dari biasanya. Ibaratnya akan mengerjakan ujian Fisika—ya, aku sangat tolol dalam mata pelajaran itu—aku merasa tidak tenang dan gugup.
Saat Veronica menghampiriku, aku merasakan senyumanku sungguh dipaksakan. Tatapan wanita itu kuartikan sebagai tatapan menuduh dan menghakimi, meskipun sebenarnya bukan. Itu adalah cara Veronica menatap seperti biasanya. Aku saja yang berlebihan.
"Jadi udah beres?" Wanita itu membuka percakapan.
Kugelengkan kepalaku perlahan, "Justru itu yang mau gue bicarain ke lo."
Veronica memicingkan mata, "Ada sesuatu?"
"Ya. Gue mau minta maaf gue nggak bisa lanjutin pekerjaan ini. Dan uangnya gue balikin semua." Di hadapannya, aku mentransfer uang sejumlah empat puluh lima juta, kemudian kukirimkan bukti transfer melalui pesan.
"Hah? Kenapa?"
Aku mengerti keterkejutannya. Aku pun akan bersikap sama bila ada di posisi Veronica, terutama setelah selama ini aku menunjukkan perkembangan hubunganku dengan Julian yang cukup signifikan. Pembatalan yang tiba-tiba seperti ini memang sangat mencurigakan. Kuharap Veronica memercayai apapun alasan yang kuutarakan padanya, toh uang yang dia berikan padaku sudah kukembalikan utuh.
"Gue ngerasa nggak bisa bikin Julian jatuh cinta ke gue. Dan dari yang gue tahu, dia udah putus sama suami lo." Aku teringat omongan Julian mengenai hubungannya dengan klien-klien yang sudah berhenti sejak bertemu denganku.
Rahang Veronica mengeras. Dia menatapkan tajam, entah mengapa.
"Meskipun dia udah putus ama suami gue, pokoknya gue tetap pengen bikin dia sakit hati, Xel. Ayolah, tolong gue. Apa lo butuh tambahan dana?"
"Vero, dengerin gue dulu. Gue nggak bisa. Udah nggak ada harapan buat gue deketin Julian." Yang sepenuhnya bohong, "Mau lo tambahin berapa aja, tetep nggak bisa. Ini soal perasaan Julian ke gue. Mana bisa dipaksa?"
"Berarti strategi lo salah. Lo harus ulang dari awal. Pokoknya lo harus balasin dendam gue."
"Vero, stop."
Aku sudah tidak tahan mendengar emosi dan rasa dendam Veronica yang tidak masuk akal. Tingkahnya sama sekali tidak dewasa dan aku mengutarakan kekesalanku dengan perkataan yang cukup kasar.
"Nggak ada gunanya lo balas dendam. Julian udah nggak sama suami lo lagi. Dan mungkin aja sekarang suami lo lagi bercengkrama ama cewek atau cowok lain, dan lo nggak tahu."
Di kedipan selanjutnya, bulir-bulir airmata jatuh di kedua pipi Veronica. Aku sedikit menyesal membuatnya menangis, tapi aku hanya menyadarkannya bahwa dendam tanpa batas tidaklah berguna.
"Seharusnya lo dendam ke suami lo..."
"Gue... gue nggak bisa marah ke suami gue..."
Kuangsurkan kotak tisu ke arahnya. Veronica meraih beberapa helai tisu untuk menutupi hidungnya.
"Gue paham lo sayang banget ama suami lo. Tapi sikap lo ini nggak cuma ngerusak lo, tapi juga ngerusak kehidupan orang lain. Suami lo yang memulai. Apapun itu, dia yang seharusnya bertanggung jawab. Jangan lempar kesalahan itu ke semua orang di sekitar lo."
"Cowok itu juga harus tanggung jawab!" Pertama kalinya kudengar Veronica meninggikan suara karena pengaruh emosi.
"Suami lo bayar Julian..." Aku tercekat saat mengucapkannya, "Sama seperti lo bayar gue. Kami menjalaninya tanpa ada perasaan apapun. Jadi kalo lo dendam ke Julian, lo juga bakal dendam sama orang-orang lain yang dibayar suami lo buat ngelayanin nafsunya. Siklus itu nggak bakal selesai, Vero."
"Lo jangan belain dia." Veronica memotong perkataanku, "Sekalinya salah, tetep salah."
Dia benar-benar sudah dibutakan oleh dendam dan akan sulit menyadarkannya. Tapi aku tetap harus mengembalikan uangnya dan berhenti menjadi boneka bagi Veronica untuk membalaskan dendamnya. Bukan tidak mungkin, setelah Julian, nanti Veronica akan memintaku membalas dendam pada orang-orang lainnya yang pernah berhubungan dengan suaminya.
"Ver, gue minta maaf. Gue nggak bisa. Ini garansi dari gue kalo gue gagal nyelesaiin pekerjaan gue. Uang kembali seratus persen. Gue nggak ada hutang lagi sama lo, oke?"
"Xel, please...," Veronica masih berurai airmata. Ini di tempat umum dan aku tampak seperti laki-laki brengsek yang menyakiti hati wanita dan membuatnya menangis.
Aku tidak akan goyah. Hanya kuakhiri dengan seulas senyum dan ucapan maaf sekali lagi. Sayang sekali kehilangan uang, tapi aku lebih tidak rela kehilangan Julian.
-Bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top