Contact Person : AXEL [Chapter 08]
Belum pernah kurasakan perasaan seperti ini, ketika kekecewaan dan kemarahan berpadu, memuncak seakan meledakkan jiwaku. Tapi secuil rasa ingin tahu mengenai ayahku, sempat terbersit juga.
Ayah.
Satu kata yang tak pernah kuucapkan sejak aku lahir. Memang aku memanggil kakek dan nenekku dengan sebutan Bapak dan Ibu karena mereka juga ikut mengurusku saat aku kecil. Namun rasanya berbeda saat aku bisa mengucapkannya pada ayah kandungku.
Kuputuskan untuk menemui ibuku dan membahas mengenai hal ini. Sudah cukup lama aku tidak mengunjungi beliau. Ibuku tinggal bersama keluarga barunya—suami dan anaknya yang berusia sekitar sepuluh tahun, aku sendiri tidak ingat. Selama ini aku hanya menghubungi ibuku melalui telepon, terlebih setelah aku mengirimkan uang bulanan. Meski seharusnya menafkahi ibuku adalah tanggung jawab suami barunya, tetapi sebagai anaknya aku merasa bertanggung jawab juga.
Aku tidak yakin ibuku ada di rumah, mengingat kedatanganku ini sangat mendadak dan tanpa menghubungi beliau terlebih dahulu. Sebenarnya aku tidak begitu suka bertemu dengan beliau, sebab yang ada di pikirannya hanya memarahiku. Tidak ada sepatah kata lembut yang muncul dari bibirnya.
Rumah ibuku terletak di gang sempit, yang tak jauh beda dengan gang kos Julian. Aku harus memarkirkan mobilku jauh di luar gang. Seperti biasanya, kehadiranku menghebohkan warga. Mereka mengira aku adalah bule asli yang tidak mengerti bahasa Indonesia. Beberapa di antara anak-anak kecil menyapaku dengan bahasa Inggris, "Hello, Mister", kemudian terbahak-bahak. Bahkan mereka juga memotretku diam-diam dengan ponsel masing-masing.
Kuhentikan langkahku di depan sebuah rumah sederhana bercat krem dengan pagar berukuran setinggi pahaku dengan warna yang sama. Dua sepeda motor diparkir berjajar di teras rumah. Pintunya tertutup rapat, tidak seperti rumah-rumah di sekitarnya yang pintunya dibiarkan terbuka. Hanya sekali kutekan bel yang terletak di samping pagar, lalu seseorang membuka pintu itu.
Lebih tepatnya anak kecil, yaitu adik tiriku. Dia hanya menatapku, tak mengucap apapun.
"Mama ada?"
Seakan terkejut karena aku berbicara bahasa Indonesia, "A-ada, Mister. Sebentar saya panggilkan Mama." Kudengar dia berteriak 'Ma! Ada bule cari Mama!', aku hanya mengulum senyum.
Ibuku melangkah tergesa-gesa ke arah pintu lalu menyambutku dengan wajah sedikit terkejut dan panik, "Kamu ngapain kemari?" Nada suaranya terdengar emosi. Aku bisa menduga.
Adik tiriku berlindung di belakang tubuh ibuku. Dia memandangku penasaran. Aku menebak pasti ibu tidak pernah menceritakan tentangku.
"Axel mau tanya sesuatu, Ma." jawabku singkat.
Raut wajah ibuku semakin kesal. Beliau menoleh ke arah adik tiriku, "Fadhil, sana main dulu di luar. Ibu mau ngomong sama bule!" Ternyata ibuku juga kasar terhadap adik tiriku.
Bahkan aku tidak dipersilakan duduk untuk berbicara. Aku tidak peduli dan tetap duduk di sofa di hadapan ibuku.
"Ngomong apa, Xel? Jangan lama-lama ya. Papa Fadhil sebentar lagi pulang. Dia nggak suka lihat kamu."
Kalau saja wanita ini bukan ibuku, aku mungkin akan mendecak karena sebal, "Nggak lama kok, Ma. Axel cuma mau tahu tentang ayah Axel. Ayah kandung."
Beliau terperangah mendengar pertanyaanku. Selama ini memang beliau tidak pernah menceritakan tentang ayahku. Yang kutahu, ayah kandungku pergi menelantarkan kami sehingga ibuku harus banting tulang mencari uang serta tak lupa menyalahkan dan memakiku tiap hari. Begitu pula kakek dan nenekku yang sangat membenci ayahku. Tumbuh dalam kebencian yang teramat sangat, membuatku tidak peduli pada sosok ayahku. Tapi kejadian barusan menyadarkanku bahwa sebenarnya aku penasaran tentang ayah.
"Tumben kamu tanya tentang ayah kandungmu. Kenapa memangnya?"
"Karena Mama nggak pernah cerita. Axel bahkan nggak tahu nama aslinya."
Ibuku tidak langsung menjawab. Beliau menelisikku cukup lama sebelum akhirnya menceritakan tentang ayahku, "Ayahmu orang brengsek. Kamu nggak perlu tahu tentang dia."
"Namanya?" Aku bahkan tak tahu nama ayah kandungku.
Ibuku mendengus kesal, "James Spencer."
Jadi benar. Spencer memang nama belakangnya. Aku tidak punya nama belakang Spencer karena sejak kecil aku diasuh Kakek-Nenekku. Hanya dua hal dalam diriku yang masih ada hubungannya dengan darah kaukasian ayah—wajahku dan nama depanku, Axel.
"Mama punya fotonya?"
"Ya enggaklah. Lagian buat apa Mama simpan foto orang seperti itu? Dan memangnya kamu mau keliling dunia cari ayahmu?"
Ujung bibirku tertarik sedikit, menunjukkan senyum sinis, "Axel nggak perlu keliling dunia, Ma. James Spencer udah berhasil nemuin Axel."
"Apa?"
"Setelah sekian lama ayah kandung Axel nelantarin kita, akhirnya dia berinisiatif untuk cari Axel." Aku menjelaskan.
Kedua mata ibuku menyipit, "Orang kurang ajar! Ke mana aja dia selama ini? Kenapa baru sekarang nyariin kamu?"
Aku mengedikkan bahu, "Nggak tahu. Tapi Axel pengen tahu apa yang terjadi selama ini. Mama nggak pernah cerita."
"Penting ya? Emangnya kamu mau nikah dan butuh restu ayahmu?"
Dalam hati aku terus berujar agar diberi kesabaran menghadapi mulut pedas ibuku.
"Axel cuma pengen ngerti masa lalu Axel, Ma."
"Kamu tuh bikin Mama ingat masa lalu yang pengen Mama lupain, ngerti nggak sih? Mama nggak suka ingat-ingat tentang si bule itu!"
"Ma, please."
Masih tidak sahutan dari ibuku. Tepat saat itu ponselku berdering dan di layarnya menunjukkan nama Nova. Aku mematikan ponselku agar wanita itu tidak menghubungiku lagi.
"James Spencer telepon kamu?" tanya ibuku.
Sengaja aku tidak menjawab pertanyaan ibuku, "Ayolah, Ma. Seenggaknya Axel tahu asal-usul Axel."
"Kan kamu udah tahu. Ayah kamu bule. Lalu Mama dan ayah nggak menikah. Jadi akhirnya Kakek Nenek yang adopsi kamu. Bukannya kamu udah lihat akta kelahiranmu, kan? Apa lagi yang perlu Mama jelasin?"
"Siapa James Spencer itu?
"Bos Mama waktu magang."
"Jadi dia memang nggak mau nikahin Mama?"
"Hmm, bisa dibilang begitu."
Alisku bertaut atas jawaban ambigu yang dilontarkan ibuku. Kurasa tidak semuanya diceritakan ibuku secara jujur, "Lalu dia nggak mau tanggung jawab kasih nafkah ke Mama?"
"Udahlah Xel, yang berlalu lupain aja. Yang jelas sejak kamu kecil kan kamu udah tahu, gimana kelakuan ayah kandungmu itu. Dia nggak mau sama kamu. Kalo sekarang dia tiba-tiba cariin kamu, seharusnya kamu curiga."
Kini aku tidak tahu harus memercayai ibuku atau ayahku. Keduanya pasti akan saling menjelekkan masing-masing. Seandainya aku datang menemui James Spencer, beliau juga akan menjelekkan ibuku. Yang jelas aku sedikit mengerti tentang masa laluku yang selama ini ditutupi.
Ketika aku berpamitan, ibuku sama sekali tidak mencegah. Beliau hanya menganggukkan kepala dan mengantarku sampai pagar tanpa berkata apapun. Menyedihkan sekali, lama tak bertemu tapi tidak dirindukan. Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa.
***
Aku bukan tipikal lelaki yang akan mengeluh atau mencurahkan masalah keluargaku pada sahabatku. Meski sudah cukup lama mengenal Rendy dan Amaya, mereka berdua tidak tahu tentang sejarah keluargaku dan mereka menghormati keputusanku untuk tidak menceritakan hal itu. Sehingga dengan adanya kejadian seperti ini, aku cukup bingung ingin berbagi pada siapa.
Aku tidak munafik—walau aku berlagak kuat, terkadang aku butuh tempat untuk membagi masalahku. Dan aku tidak menyangka akan mendapat kejutan seperti ini dari James Spencer alias ayahku. Bibirku gatal untuk tidak menceritakannya pada Rendy dan Amaya. Di saat aku membutuhkan mereka, ternyata mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Sungguh sial.
Keberadaan Julian sangat membantuku.
Dia menopang dagu dengan tangan kanannya sementara pandangannya tak lepas dariku. Kini kami duduk berhadapan di sebuah restoran cepat saji. Sepulang dari rumah ibuku, perutku sudah meronta minta diisi namun aku lebih membutuhkan seseorang untuk diajak bicara. Atau setidaknya hanya menemaniku makan karena aku sedang tidak ingin sendirian. Berkali-kali aku menghembuskan nafas panjang, tak berani menatap ke arah Julian.
"Gue pesanin minum lagi?" tawarnya. Aku menggeleng pelan. Julian sama sekali tidak memaksa atau memojokkanku untuk bicara atau bercerita namun pasti dalam hatinya dia sungguh penasaran.
"Gue benar-benar pengen bunuh orang."
Julian terperangah. Alisnya bertaut, "Kalo gitu gue pulang aja deh. Gue nggak mau jadi korban pembunuhan."
Aku mengulum senyum, "Bukan lo yang pengen gue bunuh."
"Nah... akhirnya lo senyum sedikit." Diacungkannya kedua jempol ke arahku, "Dari tadi gue lihat lo udah kayak mau meledak gitu." Dia meraih gelas minumannya yang masih terisi setengah dan mengangsurkannya padaku, "Minum dulu gih. Punya lo kan udah abis."
Seketika aku menghabiskan sisa minuman Julian. Aku masih lapar dan haus tapi terlalu malas untuk memesan lagi. Mungkin karena emosiku sedang tidak baik. Julian tiba-tiba beranjak dari kursinya. Dia mengacak rambutku sebelum berjalan ke kasir untuk memesan makanan. Tak lama setelahnya, dia kembali membawa nampan berisi paket nasi ayam dan kentang goreng serta minuman soda. Diletakkannya nampan itu di hadapanku.
"Gue tau lo masih lapar."
Apa dia bisa membaca pikiranku? Padahal aku belum bilang tapi Julian bisa menebaknya. Mungkin aku tampak rakus, "Uhm, sok tau lo." Meski mengelak, tetap kubuka pembungkus nasi dan mulai kunikmati nasi ayam tersebut.
Kupikir Julian akan mengolokku rakus ternyata dia hanya tersenyum dan mencomot kentang goreng di nampan, "Makan yang banyak biar kenyang. Biar muka lo nggak kusem gitu."
Meski aku tidak mengucapkan sepatah katapun sepanjang makan siang, Julian sama sekali tidak menghabiskan waktunya dengan bermain ponsel atau membalas pesan di ponselnya. Dia duduk diam, menungguku makan sambil sesekali mencomot kentang goreng.
Kuputuskan untuk bercerita mengenai kejadian dengan ayahku, walaupun tidak seratus persen, "Ayah kandung gue tiba-tiba cariin gue."
Dia tampak terperangah namun berusaha bersikap setenang mungkin. Sama sekali tidak menghakimi, "Emang selama ini ayah lo di mana?"
"Ninggalin gue dan ibu gue sejak dulu. Gue nggak tau di mana ayah gue. Hari ini tiba-tiba ayah gue muncul. Gue terlalu emosi dan kabur begitu aja. Menurut lo gimana?"
"Wajar aja sih. Siapa yang kaget tiba-tiba ketemu sama ayah yang nggak pernah muncul atau hubungin sejak dulu?"
"Ya tapi setelah gue tanya ibu gue tentang kebenarannya, jawaban ibu gue bikin gue mikir bahwa sebenernya ayah gue tuh nggak ninggalin kami."
"Maksudnya?"
"Gue curiga sebenernya ibu gue yang sengaja menghilang dan sembunyi sehingga ayah gue nggak bisa nemuin kami."
"Sembunyi karena apa?"
Aku pun tak bisa menjawab rasa penasaran kami berdua. Dengan reaksi ibuku yang seperti itu, tentu saja beliau tak akan sudi menceritakan kejadian yang sebenarnya. Atau mungkin beliau akan menceritakan kejadian dari sudut pandangnya yang penuh kebencian terhadap ayahku.
"Xel, lo masih beruntung karena ayah lo nyariin lo." Pandangan Julian menerawang, membayangkan sesuatu hal.
"Kenapa gitu?"
"Gue diusir dari rumah ortu gue sejak lulus SMA karena ketahuan gay." Dia menundukkan kepala. Ini pertama kalinya kudengar Julian menceritakan tentang dirinya. Aku beringsut mendekat, "Dan setelah sekian lama nggak saling menghubungi, tiba-tiba mereka cari gue karena nggak bisa bayar hutang. Walau gue sakit hati, tapi gue sedikit berharap setelah gue bayar hutang mereka, gue akan diterima kembali di keluarga gue.
Aku memang tidak pernah menanyakan umur Julian, tapi aku yakin dia jauh lebih muda dariku. Bahkan mungkin dia baru dua-tiga tahun lulus SMA. Sayang sekali kehidupannya sudah begitu pelik di usia semuda itu. Jarang sekali aku merasa iba pada seseorang.
Sepertinya Julian adalah pengecualian. Meskipun demikian, aku tidak tahu yang harus kukatakan untuk membuat Julian lebih tenang—kali ini sungguh bukan karena aku ingin menarik perhatiannya, tetapi karena aku memang peduli padanya.
Ini memang salahku. Aku yang memulai pembicaraan mengenai keluarga—ceritaku yang sebenarnya—dan menggiring kami untuk bercerita tentang masa lalu masing-masing. Itu adalah hal terlarang bagi seseorang dengan pekerjaan sepertiku. Kedekatanku dengan Julian telah mengaburkan batas pekerjaan dengan perasaan. Batas yang tak boleh dilanggar.
Kulihat senyum penuh kesedihan di bibir Julian. Senyum yang ditujukan entah untuk siapa. Pandangannya kosong.
"Hei," Kugenggam tangannya. Masa bodoh dengan penilaian orang-orang di sekitar kami.
Kami beradu pandang. Dengan cepat, Julian menarik tangannya dari genggamanku.
"Ini di depan umum, Xel. Nanti kita ditegur!" Dia panik.
"Maaf. Gue nggak bermaksud bikin lo keinget tentang masalah lo."
"Bukan salah lo sih. Salah gue yang bawa-bawa masalah gue sendiri." Aku tahu senyum yang dia tunjukkan kali ini hanya senyum palsu agar aku tidak lagi menguatirkannya.
Perasaan bersalah membayangiku. Tak lama kemudian dia berdiri, membuatku menengadah ke arahnya. Dia mengulurkan tangannya kepadaku, "Xel, temenin gue ngambil baju di kosan dong."
Ragu-ragu aku menatap uluran tangannya, "Tadi katanya nggak mau ditegur orang. Kenapa sekarang ngajakin gandengan?"
"Oh," Dia salah tingkah, menarik kembali uluran tangannya. Aku berdiri lantas mengacak-acak rambutnya. Julian merengut—kalau begini, terlihat watak kekanakannya, "Udah! Nggak usah acak-acak rambut gue."
"Jutek banget sama pacarnya." Hanya dengan satu kalimat itu, Julian tersipu malu.
Mendadak kemesraan kami terhenti ketika suara anak kecil memanggil namaku dengan keras, "Om Asel!!!"
Julian mengintip dari balik bahuku, arah asal suara. Tanpa menoleh, aku sudah tahu siapa pemilik suara itu—yang tidak bisa melafalkan namaku dengan benar. Kuhela nafas panjang sambil mempersiapkan senyum palsuku di depan ibu anak kecil itu. Ya. Veronica.
Aku membalikkan badan untuk menyapa si kecil yang berlari ke arahku. Manda tersenyum lebar sambil melambaikan tangan mungilnya. Aku berjongkok untuk menyejajarkan tubuhku dengan Manda. Jemari kecil itu meraih tangan kananku lantas menciumnya. Meski tidak dikomando ibunya untuk memberi salam, namun dia tetap patuh.
"Halo Sayang, kamu sendirian?" Dia menggeleng. Pipinya memang tembam tapi dia memiliki wajah cantik dari ibunya.
"Enggak Om. Manda sama Mama. Mama lagi bayar." Dia menunjuk ke arah kasir, tempat seorang wanita berambut tergerai dan berpakaian serba hitam itu berdiri. Aku menelan ludah. Bagaimana kalau situasinya makin kacau? Sebab Veronica belum pernah bertatap muka dengan Julian. Aku tidak yakin wanita itu akan siap bertemu 'rivalnya'.
"Kalau gitu, Om Axel pulang dulu ya. Manda balik ke Mama aja." Saat aku berdiri dan bersiap kabur bersama Julian, suara Veronica menghentikan aksi kaburku.
"Axel?" Veronica menghampiri kami, membawa nampan berisi makanan. Saat kami beradu pandang, aku berusaha menghilangkan senyum canggungku tetapi ketika Veronica melihat seseorang yang berdiri di belakangku, senyumnya memudar.
"Hei, Vero. Nggak nyangka kita ketemuan di sini."
"Manda minta makan siang. Jadinya gue kemari. Uhm, kalo lo?"
"Gue udah mau balik. Udah selesai makan." Sengaja aku tidak mengenalkannya pada Julian.
Rupanya Veronica tidak begitu saja melepaskan kami tanpa menginterogasi lebih lanjut, "Kok cepat banget baliknya? Ayo ngobrol dulu ama gue. Dan cowok itu... siapa?"
Aku sedikit membelalakkan mata, mengisyaratkan bahwa ini bukan saat yang tepat untuk mengenalkannya dengan selingkuhan suaminya. Tapi senyuman dingin Veronica membuat bulu kudukku meremang. Aku menarik pergelangan tangan Julian, mengajaknya mendekat. Julian tidak kenal Veronica dan dia sama sekali tidak mencurigai apapun.
"Kenalin ini Julian, pacar gue." Kupelankan suaraku karena tak ingin Manda mendengar hal yang belum bisa dicerna anak sekecil itu.
Julian tersenyum lalu mengangguk untuk memperkenalkan dirinya. Kulihat Veronica menatapnya tajam, dari ujung kepala hingga kaki, tanpa sedikitpun rasa sungkan. Lantas dia membalas senyuman Julian dengan senyuman tipis yang tampak kejam. Julian melirik ke arahku—mungkin tidak menduga bahwa seorang wanita yang baru dikenalnya hari ini, bisa mendadak menunjukkan ekspresi seperti nenek sihir.
"Ya udah gue balik dulu ya, Vero."
"Uhm, oke. Kabar-kabarin gue tentang perkembangannya."
Huff. Perkembangan sandiwara, pastinya. Aku mengangguk. Rasanya ingin segera membawa Julian pergi dari situ. Situasi yang tidak sehat. Aku juga cemas kalau Veronica tiba-tiba tak bisa menahan diri untuk tidak menampar atau menjambak Julian.
"Cewek tadi mantan pacar lo?" Itu adalah pertanyaan pertama yang dilontarkan Julian sesampainya di mobil. Untung saja saat itu aku tidak sedang meminum sesuatu sehingga tidak perlu ada adegan memuncratkan air seperti di drama.
"Nggak lah. Lo cemburu?" tembakku balik. Julian mengedikkan bahu.
"Gue nggak cemburu cuma tatapan cewek tadi bikin gue merinding. Kayak dendam banget sama gue."
Aku terdiam sejenak. Kupikir Julian tipe lelaki yang tidak peka terhadap tingkah polah wanita, ternyata tidak seperti itu. Seandainya Julian tahu, sikap dan tatapan tajam Veronica bukan diakibatkan karena kecemburuannya pada hubunganku dan Julian melainkan karena Julian pernah menjadi laki-laki simpanan suaminya.
Kukaitkan jemariku dengannya. Kudekatkan buku-buku jari Julian ke bibirku kemudian kukecup satu-persatu. Buru-buru Julian menarik tangannya dari genggamanku. Wajahnya makin merona malu.
"Apaan sih cium-cium segala?" protesnya. Protes hanya di mulut saja tapi dalam hati pasti tidak menolak. Dasar Julian.
"Ya kan pacarnya, masa nggak boleh cium sih?"
Julian memutar bola mata, sok ketus.
"Udah, lo nggak usah mikirin Veronica. Mungkin dia pernah nyimpen perasaan suka ke gue dan sekarang dia nyesel karena gue udah punya lo." Dan Julian sengaja memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil, sama sekali tak berkomentar. Aku menebak mungkin karena dia malu. Satu hal yang kuherankan dari sikap Julian terhadapku. Dia sama sekali tidak bertingkah seperti seseorang yang sudah terbiasa 'menjual diri' atau setidaknya terbiasa menjadi selingkuhan orang lain. Sikapnya terlalu polos. Atau dia juga hanya bersandiwara?
Ah sudahlah. Yang terpenting pekerjaanku tidak terganggu.
***
Aku tidak bisa tidur. Bagaimana aku bisa memejamkan mata ketika sekarang posisi Julian tepat di atasku? Dia sedang manja seperti kucing, tiba-tiba merangsek ke atas tubuhku lalu memelukku layaknya guling. Sial. Aku juga menyalahkan diriku yang secara reflek mengusap-usap kepalanya, sehingga tidur Julian semakin pulas. Hangat hembusan nafasnya terasa di leherku, lalu dia mulai menggeliat, sedikit mengubah posisi. Kenapa dia harus menggesekkan 'miliknya' ke pahaku? Rasanya celana dalamku semakin ketat saja.
Hanya ada dua pilihan; menyuruh Julian bertanggung jawab karena sudah membuat milikku menegang atau tidur di sofa. Aku belum sampai pada tahap yang begitu buas jadi kupilih yang kedua. Pelan-pelan kusingkirkan lengan dan kaki Julian yang menempel di tubuhku. Kudengar erangan protes dari bibirnya, tapi kuabaikan. Begitu kudengar erangan kedua, aku hanya bisa memberinya sebuah kecupan sebelum kabur ke sofa.
Langkahku terhenti saat kulihat lampu dapur menyala. Sosok wanita berambut panjang berdiri menghadap kulkas, membelakangiku. Nyaris saja aku berteriak karena kukira itu sosok mak lampir, namun ternyata itu Amaya. Dia juga terkejut melihatku bangun.
"Lo bikin gue kaget, Xel!"
"Gue lebih kaget lagi, tau! Gue pikir lo nenek lampir."
Amaya menahan tawanya, "Maaf Xel, gue pikir lo dengar gue datang. Pules banget tidur lo."
Aku tidak mengaku bahwa sebenarnya aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata namun kehilangan fokus terhadap dunia sekitar. Salahkan Julian. Seolah bisa membaca ekspresiku, Amaya mengulum senyum.
"Apa... Julian nginep di sini?" Dia berbisik. Ragu-ragu aku menganggukkan kepala.
"Dia tinggal di sini untuk sementara waktu." sahutku. Tak kuduga raut wajah Amaya berubah menjadi lebih serius. Tidak ada lagi senyum manis di bibirnya. Dia meraih segelas air putih dan membawanya ke meja makan tanpa berkata apapun, "Jangan bilang lo juga nggak setuju, kayak Rendy. Kenapa sih kalian nggak ada yang dukung gue?"
"Karena hal ini udah bukan permainan lagi, Xel. Lo udah jarang gaul lagi ama kita. Dan gue amatin, ini semua karena lo terlalu berdedikasi ama pekerjaan lo."
"Ya bagus kan kalo dedikasi ama pekerjaan." gumamku kesal karena terus dipojokkan.
"Yang jadi masalah, pekerjaan lo ini bawa-bawa perasaan. Okelah, lo bisa bilang bahwa lo bisa ngendaliin perasaan lo, tapi gue yang nggak yakin."
"Kok jadi lo yang bete?"
"Gue bete karena—" Amaya menghentikan ucapannya, lantas menghela nafas panjang, "Gue bete aja pokoknya."
"May," Aku meraih dagunya agar dia tidak lagi memalingkah wajah dariku, "Sorry gue udah nyuekin lo dan Rendy. Gue nggak bermaksud begitu."
"Tapi kenyataannya begitu,"
"Iya, iya, ini salah gue."
"Gue nggak nyalahin lo Xel. Gue cuma nggak begitu suka dengan keadaan sekarang."
"Padahal sebelumnya kalian udah dukung gue dapat puluhan juta."
"Xel, dengar. Gue nggak mau lo jadi gay beneran!"
"Sssst!" Aku membelalak karena suara Amaya cukup keras hingga bisa membuat Julian terbangun.
Amaya meraih tasnya di atas meja, lalu mengeluarkan dompet kecilnya, "Oke. Gue mau lo jadi pacar gue. Berapa?"
Aku tersentak dengan sikap Amaya. Jujur saja aku tersinggung dengan penawarannya itu meskipun itu adalah pekerjaanku sehari-hari. Tapi aku tidak pernah menyangka bila sahabatku yang mengatakan hal itu, rasanya akan berbeda.
Kumasukkan kembali dompet Amaya ke dalam tasnya, "Lo kenapa sih?"
"Gue serius, Xel. Emangnya gue nggak boleh jadi pacar pura-pura lo? Apa ada peraturan yang ngelarang tentang itu?"
"May, lo kerasukan apa sih?"
"Gue nggak kerasukan apa-apa, Xel! Gue cuma pengen jalan bareng lo, kayak dulu. Gue, lo ama Rendy."
"Yah kan nggak perlu bayar gini lah."
"Karena kalo nggak gini, lo bakal nolak gue dengan alasan Julian, Julian, Julian, Julian. Gue kesel dengernya, Xel."
Entah apa yang terjadi dengan Amaya, tapi perkataannya seperti orang yang sedang cemburu buta. Kuusap rambutnya perlahan dan dia menepis tanganku.
"Besok kita jalan bareng. Berdua. Nggak usah ajak Rendy, oke?" Kutarik kepalanya ke arah dadaku. Amaya mulai luluh dan melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, "Kita kencan seharian. Lo ama gue. Berdua."
"Terus gimana Julian?"
"Dia kerja. Lagipula dia udah tahu kita sobatan dari dulu. Dia nggak ada hak ngelarang gue."
Amaya mempererat pelukannya padaku, "Sorry, gue udah nyolot ke lo. Gue lagi bete aja."
"Gue yang minta maaf karena udah cuekin kalian berdua."
Amaya memundurkan tubuhnya dan kini kedua manik mata indah itu menatapku, "Please pertimbangin permintaan gue. Jangan lanjutin pekerjaan lo yang ini."
"Hei, gue janji nggak akan kebawa perasaan."
Namun dari lubuk hatiku yang terdalam, kurasakan pemberontakan. Sebenarnya aku sadar bahwa janji itu akan sulit kutepati.
***
Berkencan seharian dengan Amaya benar-benar kami praktekkan dalam arti sebenarnya. Seusai tidur dua jam saja, kami berangkat jogging mengelilingi gedung-gedung di sekitar apartemenku sambil mencoba nasi bungkus di warung kaki lima. Belum pernah kulihat Amaya serakus itu. Dulu kupikir dia sangat menjaga penampilan di depanku dan Rendy, ternyata tidak juga. Dia menghabiskan dua bungkus nasi dan dua gelas teh hangat.
"Percuma lo jogging, balik-balik juga gendut lagi."
Dia mengusap bibir dengan punggung tangannya, "Bodo amat. Gue nggak niat diet juga kok." Lalu dia bersendawa keras sekali. Beberapa tukang ojek yang berada di kaki lima itu memandanginya dengan syok. Aku hanya bisa menepuk dahi.
"Kenapa Bang? Nggak pernah liat cewek cantik sendawa?" ujar Amaya saat menyadari berpasang-pasang mata memandangnya heran.
Kalau kupikir, aku sedikit lupa bagaimana kegilaan sahabatku yang satu ini. Semenjak kami jarang bepergian bertiga, aku tidak ingat bahwa Amaya masih segila dulu saat pertama kali kami bertemu. Dia tidak pernah berhenti memberikan kejutan padaku dan Rendy dengan tingkahnya yang tak bisa diduga. Sama seperti sekarang ini—dengan memintaku berkencan seharian dengannya.
"Abis ini kita ke mana?"
"Ya balik dulu ke apartemen gue lah. Gue mau mandi."
"Ya kalo itu gue tau, Dodol. Maksudnya setelah mandi." Amaya menoyor kepalaku dengan telunjuknya, "Gue kok pengen ke Dufan ya?"
"Gila lo, May. Ngapain lo ke Dufan? Mau jadi badut Ancol?"
Sekali lagi dia menoyor kepalaku, "Ya mau main lah! Emangnya gue mau cuci baju di Dufan?"
Kami tak sadar saling mencela dan menghina, hingga sampai di apartemenku dan Julian menyambut kami dengan wajah bingung. Oh ya, aku meninggalkannya tidur sendirian semalam. Pasti tadi pagi dia terbangun sambil mencariku.
"Pagi," Aku berjalan ke arah Julian dengan harapan dia akan memelukku mesra. Tapi rupanya Julian menghalangiku mendekat dengan kedua tangannya.
"Lo bau keringat." sahutnya ketus. Amaya menutup mulut menahan tawa, sembari berlalu ke kamar mandi.
Lantas Julian kembali memunggungiku, menyibukkan diri dengan bahan masakan—entah apa. Dengan sengaja aku melingkarkan tangan di pinggangnya dan menopang daguku di bahunya. Julian menggeliat, berusaha melepaskan diri dari pelukanku.
"Bau, tau! Minggir, ah." protesnya sambil terus berusaha melepaskan diri. Alih-alih bergerak, aku mulai melancarkan aksi gombalku dengan ciuman-ciuman kecil di sepanjang tengkuknya. Kemudian Julian tak lagi berontak.
"Maaf ya gue tadi jogging ama Amaya, lupa pamit ke lo."
Memang aku sengaja tidak pamit.
"Lo jogging dari semalem?"
Aku berdeham. Ternyata Julian sadar aku menghilang sejak semalam, "Uhm, gue kebangun karena ada Amaya lalu tidur di sofa deh."
"Oh, oke." Dia berhasil melepaskan diri dari pelukanku dan berjalan ke kulkas mencari sesuatu yang tak kunjung didapatnya, "Xel, lo punya cabe nggak?"
"Abis kayaknya." Lalu dia sibuk lagi, "Lo nggak marah?"
Mendengar kata 'marah', dia pun membalikkan tubuhnya ke arahku sambil memandangku bingung, "Marah buat apa?"
Nah!
"Gue pikir lo marah karena gue tidur di sofa semalam."
Julian benar-benar menunjukkan reaksi berlebihan dengan mulut terbuka dan wajah bodoh, untung tidak ditambah liur dari bibirnya. Ekspresinya seolah mengolokku.
"Xel, please, gue bukan remaja lebay." Julian mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Aku cemberut dan berjalan mendekatinya.
"Ada satu lagi. Ntar malam gue nggak bisa nganterin lo kerja."
Julian menjentikkan jari di depanku, "Itu lagi! Axel, gue bukan anak kecil. Gue udah terbiasa hidup sendiri, tanpa lo antar jemput juga nggak masalah."
Aku hanya merasa tidak enak karena hari ini aku akan bersama Amaya seharian, meninggalkan Julian tanpa teman. Aku lupa bahwa sebelum ini hidup kami tak ada hubungannya sama sekali dan Julian sudah terbiasa tanpa kehadiranku. Aku benar-benar melupakan hal sepenting itu.
"Gue pacar lo, Xel. Jangan jadiin gue beban. Oke?" Julian menepuk kedua pipiku pelan, "Dan lo bau. Gue jadi nggak bisa cium."
Tawaku meledak. Kuraih pinggang Julian, membawanya mendekat ke tubuhku, meski dia berontak lagi, "Ayolah, masa lo bisa nolak pesona seorang Axel sih? Hanya karena bau keringat? Itu kan seksi."
Julian mendengus, kemudian membuang muka. Masih menolak untuk bercumbu meskipun sudah kugoda sedemikian rupa.
"EHEM!!"
Shit, Amaya.
Sontak Julian kabur ke arah kamar, meninggalkan bahan masakan yang sudah dia siapkan. Ini semua gara-gara kemunculan Amaya yang mengagetkan kami berdua dan membuat Julian malu.
"May," Aku berkacak pinggang di hadapannya. Wanita itu mengedikkan bahu, tak merasa bersalah.
"Gue nggak suka pagi-pagi disuguhin adegan mesum kalian berdua." jawabnya enteng.
***
Semilir angin pantai berembus di wajahku, disertai debur ombak yang saling melengkapi suasana damai—sesuatu yang sudah lama sekali tidak kurasakan. Kuhirup nafas dalam-dalam, berusaha menyimpan sebanyak mungkin memori dengan memfokuskan seluruh inderaku. Aku dan Amaya menyempatkan diri ke pantai Ancol sepulang dari Dufan, walaupun waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
Amaya berdiri di sampingku, sibuk sendiri dengan ponselnya. Kusenggol lengannya sehingga dia berhenti mengetik di ponsel.
"Apaan?"
"Kan lo yang ngajak ke pantai, kenapa lo malah sibuk ama ponsel. Rendy ya?"
Amaya mengulum senyum, "Yup. Dia bete karena kita tinggalin. Salah sendiri hari ini lembur." Dia menjulurkan lidah ke arah ponselnya. Aku tertawa.
"Ya udah lain kali dia harus ikut jalan seharian ama kita. Jangan dugem mulu. Capek."
Amaya berpura-pura terkejut di depanku, "Oh my gosh, sejak kapan seorang Axel lelah dugem? Gue syok dengernya." Tapi sejurus kemudian pandangannya menerawang, "Jangan-jangan lo udah siap settle down?"
Aku belum pernah memikirkan hal itu. Bagiku hidup yang sekarang ini sudah kuanggap settle down, apapun pendapat orang lain. Seperti Rendy yang berpendapat bahwa settle down adalah bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji tetap setiap bulan. Lain halnya dengan ibuku yang berpendapat bahwa settle down adalah menikah. Sedangkan bagiku hidup begini sudah settle.
Dan bagi Amaya lain lagi.
"Jangan-jangan lo settle ama Julian? Segila-gilanya lo, gue masih nggak setuju lo ama Julian."
Aku ternganga, dalam arti sebenarnya—dengan mulut terbuka dan mata membelalak. Berlebihan pokoknya. Dan lebih gila lagi karena aku justru bertanya, "Kenapa lo nggak setuju gue ama Julian?" Lalu Amaya bertingkah panik, menjejakkan kakinya ke pasir sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Otak lo di mana sih, Xel? Udah jelas kan Julian itu cowok! Astaga! Jelas dong gue nggak setuju. Mending lo sama gue aja lah."
"Kan kalo sama-sama sayang, lo mau apa coba?"
Amaya membuka mulut mau bicara, namun diurungkan niatnya. Alih-alih dia justru menghela nafas panjang, "Oke, gue minta bantuan Rendy buat bikin lo dan Julian putus."
"Wha-what?! Ngapain?"
"Karena udah jelas lo nggak bisa kendaliin perasaan lo ke Julian dan tinggal satu senti lagi," Amaya menunjukkan ukuran satu senti dengan telunjuk dan jempolnya, "Satu senti lagi, lo bakal terperangkap dalam perasaan lo ke Julian."
"No."
"Yes. Dan lo kembaliin uang itu."
"Udah gue pake." sahutku asal. Tentu saja aku keberatan. Ini sudah setengah jalan, mana mungkin aku hentikan tiba-tiba.
"Gue ama Rendy bakal patungan buat pinjemin lo uang yang udah lo pake. Titik." Dia membalikkan badan lalu berlalu ke arah parkiran mobil.
"Maaf May, gue nggak bisa dengerin apa kata lo."
Amaya menghentikan langkahnya, kembali menatapku dengan pandangan yang seakan meremehkan, "Hah?"
"Meski lo sahabat gue, untuk kali ini, gue nggak mau turutin apa kata lo. Gue nggak peduli. Yang terjadi nanti, itu urusan nanti. Urusan gue sama Julian. Bukan urusan lo atau Rendy."
"Kok gitu?"
Pertanyaan seperti itu kurasa tidak perlu dijawab. Seharusnya dia sudah tahu jawabannya—bahwa aku tidak akan menyerah begitu saja pada pekerjaanku. Lagipula ini hanya berhubungan dengan perasaan, bukan sesuatu hal yang mengakibatkan hidup dan mati. Hmm, ralat—bagi sebagian orang, perasaan bisa dikaitkan hidup dan mati.
Aku berlalu begitu saja, mengabaikan sosok Amaya yang mengejarku sambil terus menyuruhku untuk segera putus dengan Julian.
Mungkin dia butuh sedikit pencerahan dari Rendy.
***
Benny tersenyum melihat sosokku, entah apa yang membuatnya tersenyum selebar itu. Padahal aku berkunjung hanya untuk menjemput Julian. Dia langsung meracik minuman kesukaanku setibanya aku di bar. Tinggal sepuluh menit lagi sebelum bar ditutup. Kupikir aku terlambat mengingat tadi aku sempat mengantar Amaya membeli sesuatu di supermarket 24 jam lalu mengantarnya pulang. Hari ini jadwalku padat sekali.
Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Bar sudah sepi, tidak seperti biasanya yang masih ramai meski akan tutup lima belas menit lagi. Tidak kutemukan sosok Julian.
"Julian kan anak baru. Dia di belakang, buang sampah dan beresin gelas." Seolah mengerti isi pikiranku, Benny menyahut.
Seulas senyum di bibirku, menandakan terimakasih atas pemberitahuannya. Lalu kuserahkan gelasku pada Benny. Dia mengisinya lagi.
"Gue nggak nyangka akhirnya Julian jadi ama lo." gumamnya, "Gue pikir dia bakal sama om-om yang waktu itu."
"Mereka putus." Aku mengatakan putus karena tidak mungkin aku menceritakan keadaan sebenarnya bahwa om mesum itu membayar Julian.
"Terus lo kejar Julian?"
"Nggak juga sih. Gue udah kejar Julian sejak waktu itu lo ceritain tentang dia dan om-om itu."
Benny menghentikan kegiatannya mengeringkan gelas, "Serius lo? Lo cinta pandangan pertama ama dia?"
"Gue suka aja sih, nggak cinta."
"Tapi..." Dia menyeringai aneh, "Kalo untuk ukuran suka, sikap lo dan apa yang lo perbuat ke Julian itu udah sangat berlebihan, tauk."
"Oh ya?" Dahiku mengernyit, "Gue nggak anggap itu berlebihan sih. Tapi..."
Itu adalah tuntutan pekerjaan.
"Ben!" Salah seorang bartender berteriak ke arah kami, "Kita dipanggil satpam di bawah! Katanya ada yang mukulin bartender kita."
"Hah? Yang tugas malam ini kan cuma kita bertiga—"
"Iya! Anak baru itu yang dipukulin!"
Aku dan Benny saling bertukar pandang. Panik. Anak baru itu.... bukannya Julian?
-Bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top