Contact Person : AXEL [Chapter 06]
Satu-satunya hal yang kusesali adalah memberikan kunci cadangan apartemenku pada Rendy dan Amaya sehingga dengan mudah mereka bisa masuk. Saat Julian ada di sana semalam. Saat mereka menyaksikan aku dan Julian tidur di ranjang yang sama. Akibatnya, sekarang mereka terlibat perbincangan seru mengenai hubunganku dan Julian dan bersikap seolah aku tidak ada di situ.
Tapi sejujurnya aku tidak merasa berada di tempat yang sama dengan mereka berdua. Tubuhku memang ada di apartemen namun pikiranku melayang ke mana-mana. Aku termenung, sama sekali tak peduli dengan Rendy dan Amaya yang membicarakan diriku. Suara mereka terdengar bak gema samar di telingaku.
Yang ada di benakku hanyalah apa yang kulakukan pada Julian tadi malam. Tadi pagi aku terbangun dengan lengan melingkar di pinggang Julian. Tidak seharusnya aku melecehkan Julian saat dia tidur. Apa mungkin harus menunggunya sampai bangun? Tidak, tidak. Itu lebih parah.
Dalam hati aku menduga Julian pasti tahu apa yang kulakukan. Mustahil dia tidak merasakan kecupan-kecupanku di sepanjang tengkuk dan bahunya. Namun bisa saja dia mengira itu hanya mimpi.
"Axel? Lo dari tadi ngelamun?"
Bahkan tadi pagi kubangunkan Julian dengan tepukan lembut di bahu. Dan aku menyaksikannya menggeliat sembari menguap—sungguh seksi. Membuat keyakinanku, bahwa aku tidak menyukai laki-laki, sedikit goyah.
"Axel!"
Terperangah, aku mengerjapkan mata.
"Kenalin kami ke Julian." ujar Rendy dengan senyum lebarnya.
Aku ternganga, "Buat apa? Mau kepoin kerjaan gue? Julian itu kerjaan gue, bukan gebetan beneran woi! Kok kesannya kayak gue abis jadian dan berkewajiban ngenalin ke kalian." protesku.
Samar-samar kudengar Rendy membisikkan sesuatu pada Amaya, "Bohong. Gue pernah mergokin mereka berantemnya kayak orang baru jadian..." Lalu tawa Amaya meledak.
Aku melempar mereka dengan bantal sofa.
"Bukan gitu maksud kami, Xel. Kami rasa Julian itu tipikal yang jutekin lo jadi siapa tau kalo ada kami, Julian nggak bakal jutekin lo lagi."
Rendy menambahi, "Lo tau kan, kami itu pencerah suasana."
"Dih," Kucibir tingkat kepercayaan diri Rendy yang selangit.
"Ya siapa tau Julian jutek karena ngerasa canggung dengan suasananya. Kalo ada kami kan makin asyik." Amaya tak kalah percaya diri juga.
"Ya udah sekarang kita jemput pacar baru lo itu buat makan siang rame-rame. Cepat telpon Julian, gih!"
Semudah itu aku menuruti keinginan mereka. Tak ingin dikuping, aku berjalan ke arah balkon untuk menelepon Julian namun rupanya kedua temanku itu tak akan membiarkanku sendirian dan mengacaukan jadwal kencan-makan-siang ini. Amaya bahkan berusaha mendikte apa saja yang harus kuucapkan agar Julian tidak menolak ajakanku.
Suara 'halo' dari bibir Julian terasa berbeda bagiku—tentu saja terdengar kesal karena melihat namaku muncul di caller ID.
"Makan siang bareng yuk? Gue jemput."
"Nggak ah. Gue nggak pengen keluar kamar."
"Bentar doang cuman makan siang. Ayolah." rayuku. Bingung kehabisan bahan rayuan dengan orang sedingin es, "Lo yang tentuin makan di mana."
"Gue belum gajian."
"Gue yang bayarin." Amaya dan Rendy mengacungkan jempol karena itu artinya aku juga harus mentraktir mereka. Kuacungkan jari tengah ke arah mereka.
"Gue bukan pacar lo."
Jadi aku harus bagaimana? Astaga, ingin sekali rasanya aku mencabuti alisku saking kesalnya!
Kuhela nafas panjang, "Terserah lo deh. Yang jelas gue bakal ke sana sebentar lagi buat jemput lo. Siap-siap ya."
Dia berpikir cukup lama. Kuduga hanya mencari alasan untuk menolakku, "Gue... gue ada janji abis ini."
"Ya udah abis makan siang, gue antar lo ke tempat janjian lo. Oke?" Tak ingin lagi mendengar penolakan Julian, kuakhiri pembicaraan itu.
Sangat jelas di telingaku, Julian menggerutu dan akhirnya mengiyakan ajakanku juga meski setengah hati. Aku tersenyum lebar begitu pula dengan Amaya dan Rendy. Sengaja aku tidak memberitahu Julian bahwa aku akan mengenalkannya pada kedua sahabatku.
***
Tentu saja Julian terperanjat ketika membuka pintu mobilku dan mendapati Amaya dan Rendy duduk di kursi belakang menyapanya dengan semangat empat lima. Hampir saja dia menutup pintu dan berlari kembali ke tempat kos bila saja Amaya tidak segera keluar untuk memperkenalkan diri dengan sopan.
"Hai! Gue Amaya. Kita pernah ketemu waktu lo di apartemen Axel." Diulurkan tangannya ke arah Julian yang segera menjabatnya canggung.
"Julian." Dia tersenyum kaku.
Rendy melambaikan tangan dari dalam mobil, "Gue Rendy. Salam kenal."
"Yuk, kita berangkat." ajak Amaya yang lalu memberi kode agar Julian duduk di samping kursi kemudi. Meski keberatan, akhirnya Julian menurut dan duduk di sampingku. Aku melemparkan senyum hangatku padanya dan dia malah membuang muka.
Memang nasibku selalu sial.
"Kita ke mana nih, Julian?" Dengan kepribadian cerianya, Amaya berusaha mengajak Julian mengobrol, "Kasih saran dong tempat makan yang oke gitu. Mumpung Axel mau bayarin."
Julian tertawa pelan. YA! Ini keajaiban melihat Julian tertawa setelah sekian lama dia bersikap seolah patung tanpa ekspresi.
"Tempat yang mahal?" Dia melirikku jahil. Amaya berseru bahagia.
"Oh, jadi kalo gue yang bayarin, lo sengaja pilih tempat mahal gitu?"
Julian mengerucutkan bibir, "Kan tadi lo bilang, gue yang tentuin makan di mana. Makan steak yuk?" Dia menolehkan kepala untuk meminta persetujuan dua sahabatku yang sepertinya sudah berpihak padanya. Meski aku tahu Amaya dan Rendy berniat membantuku mencairkan suasana, tetapi ini lebih mirip pertarungan satu lawan tiga.
"Kalo gitu di Stop and Steak aja." usul Rendy, "Restoran teman gue. Siapa tau kita dapat diskon?"
Julian menjentikkan jari lalu berkata setuju. Tiba-tiba dia jadi senang begini. Aku kagum dengan kekuatan Amaya dan Rendy.
"Oke, Pak Sopir, tujuan kita ke Stop and Steak." Amaya mengomando.
"Kalian ini beneran nggak sopan. Gue yang nyopir, gue yang bayar."
Dan mereka semua terbahak-bahak.
***
Berada di dekat Julian membuat kemampuan aktingku menurun. Dalam hal berkencan dan memperlakukan 'kekasih pura-pura' selayaknya orang paling istimewa di dunia, adalah keahlianku. Sayang sekali saat keahlian itu sangat dibutuhkan, aku malah bertingkah seolah orang yang baru pertama kali berkencan. Aku lebih banyak berdiam diri dan membiarkan Amaya serta Rendy mengobrol heboh dengan Julian.
Dari situ aku mengetahui fakta mengenai Julian. Dia anak kedua dari tiga bersaudara dan seluruh keluarganya tidak tinggal di Jakarta. Dia berencana untuk kuliah D3 bila tabungannya sudah cukup dan sama sekali tidak menyukai pekerjaannya di bar. Aku berharap Amaya menanyakan tentang kehidupan cinta Julian.
Tak perlu lama menunggu, karena Rendy yang tidak bisa menahan rasa penasarannya, "Ngomong-ngomong lo single nggak? Besok malam temen gue mau ngadain acara khusus yang single. Ikut yuk?"
"Uhm, sorry, gue kerja. Nggak bisa ikut."
Amaya meneruskan rasa penasaran Rendy yang belum terjawab, "Jadi itu artinya lo nggak single?"
Entah kenapa jantungku berdebar menunggu jawaban Julian—padahal kami semua sudah tahu dia adalah selingkuhan suami Veronica, jelas saja dia tidak single. Julian menunduk sejenak, kemudian mengedikkan bahu dan aku bersumpah melihat wajahnya merona merah.
"Hubungan gue nggak jelas," sahutnya. Ya. Menjadi selingkuhan laki-laki beristri memang bukan hubungan yang jelas.
"Hmm, dibuat jelas aja. Axel juga single tuh." Tanpa merasa bersalah, Rendy menunjukku. Aku tersedak jus yang sedang kuteguk, membuatku terbatuk-batuk. Begitu pula Julian yang menghentikan kegiatannya mengiris daging.
Julian sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari daging steak-nya. Kami benar-benar salah tingkah. Sempat kutendang tulang kering Rendy. Dia tersenyum jahil lalu menjulurkan lidah padaku.
"Ren, udah lo jangan gangguin Julian." Amaya menyenggol pelan lengan Rendy. Dia tersenyum pada Julian yang tampaknya masih syok, "Julian, maafin Rendy ya. Dia emang sering begitu."
Seulas senyum manis tampak di bibir Julian. Tidak seperti biasanya, senyum terpaksa dan berujung dengan umpatan.
"Kalian emang pasangan yang manis. Udah pacaran berapa lama?" Giliran pertanyaan Julian yang membuat Amaya dan Rendy tersedak. Aku bahagia sekali mendengar pertanyaan polos Julian. Tanpa sadar aku mengarahkan telapak tanganku kepada Julian, mengajaknya tos. Kami beradu tos sambil tertawa puas.
"Ka-kami nggak pacaran." jawab Amaya salah tingkah. Di lain pihak, Rendy sama sekali tidak mengelak. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Rendy selalu mengejar Amaya namun tidak mendapat respons positif dari wanita itu. Mereka tetap berteman dan bertingkah gila layaknya sahabat, tapi tidak bisa beranjak ke hubungan yang lebih serius.
Namun aku tahu, mereka berdua lebih dekat daripada hubunganku dengan Amaya atau aku dengan Rendy. Tiap kali ada masalah, mereka pasti saling menghubungi terlebih dulu, baru menghubungiku. Kadang aku merasa terabaikan. Peduli setan, yang terpenting aku tidak terjebak dalam friendzone—seperti Rendy.
"Tapi beneran lho, gue pikir kalian itu udah lama banget pacaran." Julian menambahi. Senang sekali bisa mengerjai Amaya dan Rendy. Saking bahagianya, aku tidak sadar sudah melingkarkan lenganku di bahu Julian, menariknya mendekatiku—sebagai tanda aku setuju dengan perkataan Julian. Kali ini Julian tidak mengelak atau menepis tanganku.
"Gue juga mikir gitu, Julian. Mereka udah kayak suami-istri. Kalo cekcok pun yang dibahas masalah Rendy pulang telat." sambungku. Julian menatapku dengan binar bahagia, lalu dia menutup mulut untuk menahan tawa.
"Berisik lo Xel. Nggak usah nambahin deh." Amaya mengerucutkan bibir lalu menendang kakiku dari bawah meja, namun justru terkena kaki Julian. Wanita itu menampakkan wajah bersalah terlebih lagi karena Julian memekik kesakitan dengan tendangan tiba-tiba itu, "Sorry Julian! Gue nggak sengaja."
Berakting sebagai 'calon pacar' yang baik, aku mengulurkan tangan ke bawah meja untuk mengusap kaki Julian yang baru saja ditendang Amaya. Kurasakan Julian berjengit kaget saat kusentuh. Sambil masih mengusap kakinya, aku tersenyum pada Julian untuk memastikan aku tidak bermaksud mengerjainya.
"Lo tuh ya, Julian ini baru jatuh dari motor. Masa lo tendang?"
"Julian, sorry!" Amaya meraih kedua tangan Julian untuk meminta maaf.
Julian menggeleng pelan, "Gue nggak papa. Beneran kok." Dia sedikit menarik kakinya yang sedang dalam belaianku. Dalam hati aku tertawa, menikmati wajah salah tingkah Julian itu menyenangkan, "Uhm, ngomong-ngomong gue pamit duluan ya. Gue harus siap-siap berangkat kerja."
"Biar Axel antar lo." sahut Rendy, diiyakan oleh Amaya.
Aku mengerutkan dahi memandang Rendy yang malah meraih buku menu, "Kalian nggak pulang bareng gue?"
Amaya melambaikan tangannya, "Gampang. Gue ama Rendy bisa naik taksi. Kita di sini aja dulu. lo balik duluan sama Julian."
"Jangan lupa lo bayarin tagihan yang ini." Rendy mengacungkan telunjuknya seakan aku berniat melarikan diri dari janjiku.
"Iya, iya lo tenang aja." Kemudian kupastikan Julian tidak masalah pulang denganku, "Gue anter lo balik ke kos. Oke?"
"Gue bisa pulang sendiri." Dia beranjak berdiri dari kursi.
Reflek, kuraih pergelangan tangannya. Aku bisa merasakan Rendy dan Amaya memandang kami sambil menahan senyum. Julian diam saja bahkan tidak memakiku seperti biasa.
"Gue antar, yuk?" ajakku sekali lagi. Menyerah akan kegigihanku, Julian mengangguk setuju. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Amaya berteriak 'YES' tanpa suara. Tak jauh berbeda dengan Rendy yang tersenyum lebar seraya melambaikan kedua tangannya.
Sepertinya wajahku sudah memerah.
Aku berterima kasih pada Amaya dan Rendy. Karena bantuan mereka, makan siang bersama Julian tak lagi diliputi aura kemarahan atau perseteruan antar kami berdua, melainkan lebih menyenangkan. Tidak hanya itu, sesampainya di kos, Julian tampaknya lebih menerima keberadaanku dan tak lagi mengelak.
"Lo nggak mampir?"
Adalah hal yang sangat langka ketika Julian mengajakku masuk ke dalam kamar kosnya! Atau mungkin ini sekedar basa-basi?
Belum sempat kujawab ajakan Julian, suara klakson sepeda motor dibunyikan berkali-kali. Dari balik kaca spion, kulihat seseorang mengendarai sepeda motor Julian berhenti di belakang mobilku. Aku tak dapat melihat wajah pengemudinya karena tertutup helm.
Julian hanya mengulum senyum sembari menggumam, "Dasar Galang." Lalu dia keluar dari mobilku tanpa membahas ajakannya lagi. Sial!
Aku mengikutinya turun sekaligus menyapa Galang. Entah apa yang dilakukannya dengan mengendarai motor Julian.
"Julian, makasih banget. Bagus banget nih motor!" Dia mengacungkan jempolnya pada Julian, "Eh Mas Bule! Kapan gue ajak keliling Jakarta naik motor baru gue?"
Aku terperangah. Bergantian kutatap motor itu, kemudian Julian, "Bukannya itu motor Julian?"
"Barusan dia jual ke gue. Bayarnya cicilan kok. Lagian gue barusan dapat proyek ya uang gue lagi banyak."
"Lo bilang itu motor kesayangan lo...." Setengah berbisik, aku ingin memastikan pada Julian.
Dia menghela nafas panjang, senyum terpaksa itu muncul lagi, "Gue... lagi butuh duit. Mumpung Galang pengen beli motor, gue tawarin ke dia."
Galang yang terlihat sangat menikmati motor barunya itu menyahut, "Tenang aja Mas Bule. Gue bakal antar Julian pergi kerja kok."
"Julian tanggung jawab gue. Gue yang antar jemput dia, Lang. lo tenang aja." Aku tidak tahu apa yang merasuki hingga berkata demikian. Sejak kapan Julian menjadi tanggung jawabku? Memangnya aku bapaknya?
Julian mendengus pelan. Dia menggelengkan kepala, "Gue tanggung jawab lo? Huh."
Galang yang tak tahu apa-apa, kebingungan bergantian menatap kami berdua, "Mas Bule itu kakak sepupunya Julian ya?"
"Bukan, Julian tuh calon pacar gue." Kukedipkan satu mataku ke arah Julian yang langsung berlagak muntah.
Pasti dalam hati, Galang menganggap kami disfungsi. Tapi karena dia juga tak kalah disfungsinya, maka dia hanya menanggapi dengan tawa garing yang membuatku geli.
"Hahaha. Hmm, baiklah kalo bercinta, tolong jangan bikin gue harus tutup telinga ya."
"Galang!" Julian syok.
Tak ingin menanggapi lebih lama, Galang berpamitan pada kami, meninggalkan Julian yang berusaha keras untuk meyakinkan Galang bahwa dia tidak akan bercinta denganku. Kesal karena diabaikan Galang, Julian melimpahkan kekesalannya padaku.
"Gue bisa berangkat kerja sendiri. Nggak usah lo antar!" sungutnya.
Sial. Lagi-lagi sikap juteknya kambuh. Sengaja tak kubahas lagi namun kuikuti Julian hingga masuk ke kamar kosnya. Jelas saja dia bertingkah menyebalkan dengan menutup pintu kamarnya sebelum aku masuk. Tak kalah cerdik, kuganjal pintunya dengan kakiku. Meski sangat sakit sewaktu dia menutup pintunya dengan keras, aku menahan kesakitan itu.
"Xel, pulang aja sana. Gue berubah pikiran. lo nggak usah mampir." Dia berusaha menutup pintunya.
Aku mendorong pintu itu sekuat tenaga. Apa gunanya aku push up-sit up ratusan kali tiap pagi kalau untuk mendorong pintu saja tak kuat? Julian sedikit terjerembap sewaktu aku berhasil membuka pintu kamarnya. Kututup dan kukunci dengan segera. Tak lupa, kumasukkan kunci kamarnya di saku celana jinsku yang cukup dalam, sehingga bila dia ingin merebutnya kembali, dia harus merogoh celanaku dan kemungkinan besar akan menyentuh bagian tubuhku yang tidak ingin dia sentuh.
Senyum kemenangan di bibirku membuat Julian semakin sebal denganku.
"Sebenernya apa sih mau lo, Xel? Apa maksud dari semua sikap dan kata-kata lo ke gue dari kemarin-kemarin itu?"
Oke, kini saatnya serius.
"Gue bener-bener pengen deket ama lo." jawabku, tentu saja dengan tatapan serius dan sebisa mungkin tak ketahuan bila berbohong.
Namun hati kecilku berseru, bahwa semua yang kukatakan bukanlah kebohongan. Ini bukan waktunya berdebat dengan hati kecil, yang terpenting adalah agar Julian menerimaku untuk lebih dekat dengannya. Karena dia tak kunjung menjawab, aku beranjak mendekatinya. Dia mengangkat kedua tangannya untuk menghalangiku.
"Lo bukan gay."
Aku mengerutkan dahi, "Terus?"
"Lo cuma mau coba-coba gimana rasanya deketin cowok. Apa lo taruhan ama Amaya dan Rendy supaya bisa dapetin pacar cowok?"
Wow. Tuduhan yang menyudutkan tapi ada benarnya. Apa dia bisa membaca niat burukku?
"Kenapa lo nuduh gitu?" Aku berlagak sebagai korban. Dia memundurkan tubuhnya perlahan.
"Sebab... cowok seperti lo bisa dapetin siapa aja—cowok dan cewek manapun. Nggak mungkin lo milih gue."
"Hei, hei, kok lo curiga gitu sih?" Kuulurkan tanganku ke arahnya.
"Stop." Dia mengomandoku agar tidak menyentuhnya. Aku buru-buru menarik kedua tanganku. Julian menghela nafas panjang, "Gue selalu curiga."
"Gimana kalo sekali ini lo nggak usah curiga? Gue mau buktiin kalo semua ini bukan taruhan."
Julian tersenyum sinis, "Dan itulah yang bakal dikatakan orang yang taruhan."
Damn! Julian adalah orang tersulit yang pernah kudekati.
"Terus gue harus gimana supaya lo percaya?" Mungkin aku sudah di ambang batas keputusasaan
"Gue nggak ada niat buat percaya ama lo."
ASTAGA, SIAPAPUN—TOLONG AKU! Aku sudah kehabisan ide! Pekerjaan ini sungguh melelahkan. Apa aku tidak berjodoh dengan empat puluh lima juta itu?
"Oke, gue tunggu di luar kamar lo sampai lo berubah pikiran." Benar-benar putus asa, kubuka pintu kamar Julian lalu aku menunggunya di depan pintu, duduk bersila hingga keajaiban tiba.
Dan aku melakukan kesalahan terbesar karena menyerah begitu saja. Tak lama kemudian, terdengar suara-suara dari dalam kamar Julian, seperti benda didorong. Lalu suara debuman pelan. Kuputuskan untuk memeriksa suara itu dari arah tangga. Tak kuduga Julian kabur melalui jendela kamarnya dan berlari secepat kilat menuju luar gang. Dia melompat dari lantai dua ke lantai satu! Demi apa!
"JULIAN! LO MAU KE MANA?!" Sambil mengejarnya, aku berteriak-teriak persis orang panik. Aku tak pernah sepanik ini, sebab ini pertama kalinya ada seseorang yang melarikan diri dariku. Bahkan beberapa orang keluar dari kamar mereka untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Kupikir Julian sudah benar-benar hilang dari pandangan saat aku sampai di depan mulut gang. Rupanya dia baru saja masuk ke dalam angkot—sempat kulihat punggungnya yang memanggul tas ransel. Aku tidak peduli lagi ketika aku melompat naik ke dalam angkot itu dan jatuh tengkurap di antara kursi penumpang.
"Woi Bang! Jangan ngagetin dong! Kalo Abang mati, saya masuk penjara!" Pengemudi angkot itu memarahi tingkahku yang tak beda jauh dengan film action.
Sial. Aku tidak lagi cool.
"Maaf Bang, saya buru-buru." jawabku. Beberapa penumpang membantuku berdiri dan bergeser untuk memberiku tempat duduk. Terutama remaja-remaja SMA yang langsung berbinar melihatku.
Sedangkan fokusku hanya untuk mencari sosok Julian. Tepat sekali pemilihan tempat dudukku karena aku duduk di sampingnya. Perjuanganku berlari dan melompat tidak sia-sia. Aku menyapanya dan dia membuang muka.
"Hebat banget lo lompat dari jendela."
"Hebat juga lo lompat ke angkot."
Kami saling melempar kalimat sindiran. Aku sengaja meletakkan tanganku di lututnya, dia memukul tanganku sekuat tenaga kemudian memelototiku. Kedua gadis SMA di hadapan kami terkikik geli. Namun sewaktu kuletakkan tanganku di pahanya, aku sangat tahu dia menyukainya, hanya berusaha jual mahal.
"Gue bersumpah bakal tonjok idung lo kalo kita udah turun dari angkot." desisnya.
Kedua gadis SMA itu ternganga. Aku menebarkan senyum penuh pesonaku ke arah mereka.
"Hehehe, adik saya ini bandel banget. Suka kabur dari rumah gini. Kalian yang nurut ama kakak kalian ya." ujarku seenaknya.
"Enak aja kabur, pala lo!" Umpatan Julian segera kuhentikan.
"Heh, Dek! Nggak boleh ngomong kasar di depan umum. Dimarahin Mama lho."
Tanpa merasa bersalah, dia memukul kepalaku dari belakang, "Mama, mama... idung lo! Ogah banget gue jadi adik lo."
"Ssst! Jangan ngomong kasar. Di sini ada anak kecil." Seorang ibu tambun sibuk menutupi kedua telinga anaknya yang berseragam SD.
"Maaf, Bu...." Julian menunduk persis anak kecil sehabis dimarahi gurunya. Aku menahan tawa dan kembali berakting sebagai kakak yang santun.
"Maafin adik saya, Bu. Dia emang bandel." Dan sempat kupergoki kedua gadis SMA itu diam-diam mengambil gambar kami dengan ponsel mereka. Aku tidak mengerti apa fungsinya. Apa mungkin kami mirip selebritis?
Dan sepanjang perjalanan kami lalui dalam diam. Julian memalingkan muka ke arah lain, sama sekali tidak memedulikan keberadaanku di sampingnya.
***
Pukul dua dini hari bukan merupakan waktu yang tepat untuk menghabiskan waktu di warung kopi pinggir jalan. Tapi apa boleh dikata, sejak tadi tidak ada satupun taksi online yang bisa kutemukan melalui aplikasi. Entah mengapa. Kami memutuskan untuk menikmati kopi pahit yang membuatku muak itu. Aku menyandarkan kepalaku di meja. Aku tidak sanggup menahan kantuk.
"Ini hari terakhir gue kerja di situ." Kalimat Julian membangunkanku.
Sontak kutengadahkan kepala memandang Julian yang duduk di sampingku. Dia berbicara tanpa melihat ke arahku.
"Lo dipecat?"
"Udah sejak sebulan lalu gue tau bakal ada pengurangan karyawan. Gue juga udah menduga bakal dipecat karena gue karyawan terbaru."
"Jadi karena itu lo jual motor ke Galang?"
Dia menggeleng pelan, "Nggak juga sih. Gue emang butuh uang lebih untuk keperluan keluarga gue."
Aku tak berkomentar. Lebih baik aku mengamati Julian saja. Dia tampak kelelahan, seakan ingin tidur tapi memaksa untuk bangun.
"Gue udah dapat kerja sih, walau cuma sementara aja."
Kutepuk bahunya pelan. Seandainya Julian bekerja sepertiku, mungkin uang yang dia dapat akan cukup banyak, mengingat Julian memiliki fisik yang mendukung untuk bekerja sebagai pacar pura-pura. Tapi mana mungkin aku mengusulkan hal itu.
Yang kutahu, ketika sampai di tempat kos Julian dan mengantarnya hingga masuk ke dalam kamar, tujuan utamaku adalah menemui bapak kos. Aku tahu beliau adalah orang yang rajin beribadah, sehingga pasti sudah bangun untuk melaksanakan sholat Subuh. Rumah beliau terletak tepat di samping rumah kos.
Bapak kos tampak terkejut melihat kedatanganku di pagi buta, "Nak Axel, kan? Lama nggak ketemu. Apa kabar?"
"Baik, Pak. Saya cuma mampir sebentar, ada keperluan sama Bapak."
"Ada apa ya, Nak?"
"Saya mau bayarin kos Julian, Pak."
Beliau memandangku bingung, "Bayarin kosnya Julian? Yang tinggal di kamar kamu dulu itu, kan?"
Aku mengangguk sopan, "Ya, Pak. Saya mau bayar untuk beberapa bulan ke depan."
"Hah? Buat apa Nak?"
"Nggak papa, Pak. Saya hutang budi sama Julian. Tolong jangan bilang dia kalo saya yang bayar kosnya, Pak."
"Oh, oke oke." Meski masih sedikit terkejut, beliau mencari secarik kertas untuk menuliskan jumlah yang harus kubayarkan, "Kamu transfer ke nomor rekening biasanya saja, Nak Axel. Masih kamu simpan nomor rekening saya?"
Aku mengangguk pelan, lalu meraih ponselku untuk mengirimkan sejumlah uang yang beliau tuliskan lewat aplikasi bank, "Sudah saya kirim, Pak." Lantas kukirimkan bukti transfernya ke WhatsApp beliau.
"Saya catat dulu ya Nak Axel. Semoga kebaikanmu dibalas sama Yang Kuasa."
Hingga detik ini, aku tak mengerti apa yang membuatku melakukan ini semua untuk Julian, di belakangnya dan tanpa sepengetahuannya. Seharusnya aku memberitahunya bahwa aku berbuat layaknya pahlawan. Siapa tahu Julian langsung jatuh cinta padaku.
Tapi tidak. Aku memilih untuk merahasiakan ini semua. Aku hanya ingin memposisikan diriku sebagai temannya, yang mendukungnya ketika dia kesulitan. Aku tidak berharap mendapat balasan setimpal darinya. Bisa sedikit membantunya, aku sudah senang.
***
Aku sangat menyesal hari ini kuhabiskan malam menemani Nayla di acara ulang tahun temannya di sebuah hotel bintang lima. Seharusnya aku berada di pesta teman Rendy. Amaya juga ada di sana, begitu pula Benny yang sedang libur kerja. Rasanya ingin kubanting ponselku ketika Line-ku dipenuhi foto-foto mereka di pesta itu. Begitu menyenangkan.
Tapi apa boleh buat, ini adalah resiko pekerjaan. Aku harus bersikap profesional. Toh lain kali aku bisa datang ke acara Rendy yang notabene hampir diadakan tiap malam. Kulihat Nayla melambaikan tangan ke arahku. Kubalas lambaiannya dengan kecupan jauhku. Teman-teman gengnya berteriak bahagia, begitu pula Nayla yang tersipu malu.
Nayla menyuruhku untuk berdiri agak jauh dari gengnya. Dia tidak ingin gadis-gadis genit itu menggerayangiku atau bertanya aneh-aneh padaku. Sebuah pemikiran brilian yang aku sendiri tak paham—lantas apa fungsinya aku berada di sini bila Nayla tak ingin aku dekat dengannya? Aneh.
Sudahlah. Toh lebih baik begini. Aku tak tahan mendengar jeritan gadis-gadis itu. Dugaanku salah saat berpikir suasana akan lebih baik bila berjauhan dengan gadis-gadis itu, karena rupanya seorang pemuda, teman sekolah Nayla, berusaha mengobrol denganku. Bisa dibilang ingin mengorek-ngorek tentang jati diriku.
"Jadi kakak ini pacarnya Nayla ya? Ketemu di mana?"
"Kenapa pengen tau?" sahutku, walaupun ketus namun disertai senyum.
"Yah soalnya kakak terkenal banget di sekolah kita sih."
Mungkin ini salah satu pemuda yang membuat Nayla kesal, "Terkenal atau lo aja yang sengaja cari tau?"
Pemuda itu memutar bola matanya, "Nayla itu bukan cewek baik-baik. Gue cuman ngasih peringatan aja."
"Lo pernah ditolak Nayla, ya?" Aku hanya menebak. Wajah pemuda itu merah padam seakan kubuka rahasianya di depan umum, "Ya kalo gini kelakuannya, jelas aja ditolak ama Nayla."
"Ma-maksud kakak apa sih?"
Aku mengedikkan bahu, "Nggak ada maksud. Cuman gue nggak suka aja kalo pacar gue dikatain bukan cewek baik-baik. Lo beruntung karena gue lagi nggak minat berantem."
Pemuda itu mengepalkan kedua tangan, menahan amarah yang memuncak. Lagipula siapa suruh memulai pertengkaran denganku? Aku tidak pernah menjelekkan orang di depan pacarnya. Itu tidak etis. Apa pemuda ini tidak pernah diajari sopan santun?
Sepertinya Nayla menyadari ada yang tidak beres dengan kami. Dia berjalan cepat menuju ke arahku dan pemuda itu berlalu begitu saja.
"Ada apa, Kak? Andre ngajakin berantem?"
Aku mencibir, "Pengecut gitu. Beraninya cuman di belakang."
Nayla panik, "Emang dia bilang apa sih, Kak?"
Kuusap rambutnya dengan sayang. Aku tidak ingin Nayla tidak menikmati pestanya hanya gara-gara pemuda brengsek seperti itu, "Udah Nay, nggak usah dipikirin. Lo nikmatin aja pestanya. Gue tungguin di sini. Bentar lagi mau acara tiup lilin kan? Ke sana dulu gih."
Walau setengah hati, Nayla mengangguk dan kembali berkumpul bersama teman-teman gengnya yang langsung memberondongnya dengan puluhan pertanyaan.
Aku terperangah saat sebuah gelas berisi cola disodorkan ke arahku. Aku menoleh ke sampingku karena kupikir Nayla berbaik hati mengambilkanku minuman.
Ternyata Julian.
"Hei," sapanya, kali ini ditambah senyuman manis.
"Oh, he-hei Julian. Gue nggak tau lo kerja di hotel ini." Aku gugup sekali melihatnya dalam balutan seragam hotel—astaga, aku berlebihan.
"Gue cuma bantu kalo ada acara-acara aja. Lo diundang anak SMA itu?" Dia menunjuk ke arah panggung di mana seorang gadis yang mengenakan gaun pesta itu mulai memotong kue ulang tahunnya yang seukuran kue pernikahan.
"Nggak sih. Bukan gue yang diundang." Aku merasa sangat tidak enak dan bersalah mengakui Nayla sebagai pacarku di depan Julian, "Adik teman gue minta ditemenin. Katanya dia pengen kelihatan keren ngegandeng cowok bule." Akhirnya kubuka rahasia Nayla walau hanya sepersekian bagian.
Julian menahan ledakan tawanya. Dia melirik ke jam tangannya kemudian berpamitan padaku, "Gue ke belakang dulu ya. Lanjut kerja."
"Eh, lo selesai jam berapa?"
Dia memandang ke langit-langit ruangan untuk berpikir, "Dua jam setelah acara selesai. Itupun kalo gue udah selesai beres-beres. Kenapa, Xel?"
"Abis anterin Nayla pulang, gimana kalo kita pergi ke acara Rendy? Biasanya tengah malam baru ramai."
"Gue kan nggak diundang."
"Kan ada gue. Tenang aja. Setuju nggak?"
"Uhm, gue belum mandi habis kerja seharian." Entah mengapa penolakannya kali ini terdengar sangat menggemaskan. Alasan belum mandi itu biasanya dilontarkan bila seseorang sangat peduli terhadap pendapat orang lain, terutama orang yang dia suka.
Kudekatkan bibirku ke telinga Julian lalu kubisikkan sesuatu, "Gue nggak peduli. Gue tetap suka."
Julian menunduk, salah tingkah dan menggigit-gigit bibir. Aku menang!
"O-oke, gue tunggu ntar setelah jam kerja gue selesai. Gu-gue duluan ya."
Sempat kulihat Julian hampir jatuh tersandung meja dalam perjalanan menuju ke bagian belakang ruangan untuk melanjutkan pekerjaannya. Dia memang lucu.
Tunggu! Apa-apaan ini? Ini namanya menyalahi aturan bila aku mulai memuji klienku. Aku hanya pacar pura-pura bukan pacar sungguhan!
-Bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top