Contact Person : AXEL [Chapter 05]

Meski aku dilahirkan dalam keluarga yang tidak harmonis, tetapi ibuku yang dramatis itu selalu mengajariku agar menjadi orang yang bertanggung jawab—bukan orang beriman atau jujur, tapi bertanggung jawab. Mungkin belajar dari pengalaman di mana ayah kandungku tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya, ibuku tidak ingin memiliki anak yang seperti itu. Walaupun aku tidak lagi tinggal bersama ibuku, ajaran itu masih melekat di otak. Sehingga sebagai wujud anak yang bertanggung jawab, aku mengirimkan uangku untuk ibu tiap bulan. Hebatnya, beliau tidak pernah bertanya mengenai pekerjaanku.

Bicara tentang tanggung jawab, aku merasa bertanggung jawab karena ulahku menyebabkan Julian tidak fokus menyetir dan jatuh dari motor. Tentu saja aku menawarkan untuk mengantarnya ke tempat tujuan. Berkat paksaan Bang Anjas dan Bang Dwi, akhirnya Julian mengiyakan penawaranku.

Ketika aku membantunya memasang sabuk pengaman, Julian mengerutkan dahi sambil berujar, "Gue cuma luka gores, bukan cacat permanen kok. Masih bisa pake sabuk pengaman sendiri."

Menyebalkan, kan?

Sepanjang perjalanan, beberapa kali kulirik Julian yang menguap dan berusaha untuk tidak terlelap di mobilku. Pasti semalam dia tidak tidur karena berkencan dengan suami Veronica. Otakku mulai membayangkan apa saja yang mereka lakukan selama berkencan. Seakan memutar video porno, kubayangkan laki-laki paruh baya sedang mencumbu tiap jengkal tubuh Julian, membuatnya mendesah penuh kenikmatan. Aku tidak pernah melihat tubuh Julian tapi aku sudah berani membayangkan bagaimana rupanya.

Jantungku berdegup kencang ketika gambaran Julian menggeliat, tangan mencengkeram ujung sprei, lalu dari bibirnya muncul desahan tertahan—

"AWAS, XEL!"

Teriakan Julian membuyarkan lamunanku dan dengan reflek yang sangat cepat, kuinjak rem sekuat tenaga. Aku terengah-engah seolah habis lari maraton.

Dia menatapku dengan pandangan menuduh, "Lo gila, Xel! Hampir aja lo nabrak mobil depan, tau."

"Sorry, gue ngelamun. Sorry." Aku terus meracau. Untung saja masih lampu merah.

Aku berusaha menenangkan diri dari pikiran mesumku membayangkan Julian sedang bercinta. Sudah kuduga ada yang mengganjal di selangkanganku. Ini keterlaluan. Bagaimana aku bisa bergairah membayangkan tubuh laki-laki? Apa aku sudah mulai tidak normal?

Pikiran porno itu membuatku keringat dingin. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri dan itu yang paling kutakutkan. Seharusnya aku bisa menahan diri untuk tidak membayangkan tubuh telanjang Julian yang sedang bercinta. Kusemangati diriku untuk membayangkan sepasang payudara indah.

"Lo nggak papa, Xel?" Bahkan suara Julian terdengar samar di telingaku. Aku memandangnya bingung.

"Gue baik-baik aja."

"Sebentar lagi sampai kok. Lo turunin gue di depan gang aja."

Aku tidak menjawab ketika lampu hijau menyala. Kujalankan mobilku dalam keheningan yang canggung. Aku tahu Julian tidak berani mengajakku bicara mengingat kejadian barusan—aku hampir saja menabrak mobil depanku. Hanya sesekali dia berkata-kata ketika memberiku petunjuk arah tujuannya. Julian memintaku menepi di depan sebuah gang yang sebenarnya cukup besar untuk mobil.

Aku khawatir dengan keadaannya. Aku bahkan tak tahu apa yang akan dia lakukan di gang itu, "Lo bisa jalan?"

Julian mengangguk yakin, "Ini luka kecil. Tenang aja. Oh ya, tolong jagain motor gue. Gue nggak ngerti kapan bisa ke tempat lo—"

"Gue jemput lo."

Ugh, lancangnya mulutku! Kenapa tidak pernah bisa sinkron dengan otakku? Sudah jelas aku sedang ingin menghilangkan Julian dari pikiranku, tetapi mulutku malah berkata lain.

"Oh..." Julian seperti menahan senyum sehingga akhirnya seulas seringai dipaksakan olehnya, "Gue bisa naik ojol ke tempat lo. Tapi... bukannya lo harus kerja?"

Kepalang tanggung.

"Nggak papa, gue jemput lo. Jam berapa?"

Bukannya mengiyakan, dia semakin defensif, "Nggak usah. Gue bisa pulang sendiri. Makasih bantuannya, tapi gue nggak semanja itu dan ini cuma luka kecil. Lo nggak usah lebay."

Dalam hati kuucapkan mantra 'empat-puluh-juta' berkali-kali karena itu satu-satunya hal yang menyadarkanku mengapa aku mengabaikan norma kewajaran untuk mengejar cinta seorang laki-laki.

Julian memicingkan mata, "Ada apa sih dengan lo dan sikap lo yang overprotektif ini? Gue bukan adik, sahabat atau pacar lo. Gue nggak suka dengan perlakuan lo ini."

Wajar dia curiga. Aku belum mengenalnya dekat namun pendekatanku begitu gencar seolah terdapat tenggang waktu untuk mendapatkan cintanya. Memang begitulah keadaannya. Aku tidak berani menatap Julian. Aku khawatir dia akan menangkap kebohongan di balik mataku padahal perjalanan masih panjang. Aku tak ingin Julian menjauh sebelum aku bisa menarik perhatiannya.

"Gue... pengen kenal lo lebih jauh."

"Huh," Julian mencibir. Dia membuka sabuk pengaman dengan keras hingga menimbulkan bunyi ctak, "Lo ngomong gitu seolah gue cewek. Maaf, gue nggak pengen lo kenal lebih jauh."

Perkataannya membuatku frustasi.

***

Rasa frustasi membawaku kemari—ke tempat seseorang yang sudah beberapa bulan ini kuhindari. Berkali-kali kubunyikan bel, kuhubungi ponselnya tapi tak ada sahutan. Dan ketika akhirnya pintu rumahnya terbuka, wanita itu terkejut akan kedatanganku.

Wanita itu mengenakan kaos oblong putih dan celana piyama bermotif beruang, seperti anak kecil. Dia membukakan pagar lalu mempersilakanku masuk. Wajahnya tampak panik—mungkin karena aku tak banyak bicara dan berusaha menahan emosi.

"Masuk dulu, Xel." Dia menuntunku ke dalam ruang tamu di rumah minimalisnya, "Tumben lo mendadak muncul gini."

Suaranya seolah hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga kananku, tak kuhiraukan. Yang ada di dalam pikiranku hanya apa yang ada di balik kaos putih tembus pandang itu. Aku beringsut maju, meletakkan tangan kananku di tengkuknya lalu kutarik wajahnya mendekatiku.

Kucumbu bibirnya yang lembut. Dia memberontak, mendorong dan memukul dadaku, aku tak peduli. Semakin kueratkan pelukanku di pinggangnya. Dia berhasil melepaskan diri dari ciuman paksa yang kulakukan.

"Xel! Stop! Lo apa-apaan sih?" bentaknya. Kedua matanya berkaca-kaca. Rasa bersalah dan penyesalan menyerangku.

"Sorry, Del... gue—"

"Sekarang gue udah jadi istri orang, Xel! Lo lupa?"

Aku tidak lupa tapi berusaha melupakan kenyataan itu. Lagipula aku ingin memastikan bahwa aku masih bernafsu mencumbu wanita.

Della menatapku tak percaya, "Kita udah nggak bisa kayak dulu lagi, Xel. Keadaan udah beda. Gue punya suami."

Ya. Keadaan memang sudah berbeda.

Aku dan Della bukan sepasang kekasih, hanya partner seks. Ketika kami membutuhkannya, kami melakukannya. Aku tidak ingin terbelenggu dalam hubungan resmi dan Della sangat mengerti hal itu. Selama bertahun-tahun, kami tidak mempermasalahkan status kami. Sewaktu Della memutuskan untuk menikah, aku sangat terkejut. Rupanya hanya aku yang tidak memikirkan status kami, sedangkan Della menginginkan hubungan yang pasti yang dia dapat dari suaminya kini.

Memang aku tidak pernah mencintai hatinya. Hanya mencintai tubuhnya. Mungkin ini hukuman bagiku karena menyia-nyiakan Della.

Pernikahan Della yang membuatku menjauhinya selama beberapa bulan ini.

"Xel, please, lo pulang aja. Sehebat-hebatnya lo dalam seks, gue udah nggak bisa ama lo lagi." gumamnya.

"Gue tau." Pasti kini pandanganku sudah sangat putus asa, hingga Della tak ragu untuk berjalan mendekatiku lagi, "Gue cuma mau buktiin."

"Apa lagi yang perlu lo buktiin?" Alis Della bertaut.

Tidak, tidak. Mana mungkin aku bercerita pada Della mengenai Julian dan bahwa aku ingin membuktikan aku masih menyukai wanita?

Kuusap wajahku dengan kedua tangan. Rupanya Della masih menunggu penjelasanku. Tidak ada yang bisa kujelaskan padanya karena aku sangat malu.

"Tentang klien lo?" tanya Della, "Apa lo jatuh cinta ama klien lo?"

Tak kusangka tebakan Della mengenai klienku benar. Memang begitulah awal pertemuan kami. Dulu Della adalah klienku. Dari situ hubungan kami menanjak—tak hanya sekedar klien, namun lebih dari itu. Della adalah satu-satunya klien di mana aku tak lagi mementingkan sumpahku—untuk tidak bercinta dengan klien.

"Kalo lo udah mulai nggak nyaman dengan pekerjaan lo, mungkin lo harus pertimbangkan untuk mundur..."

Ucapan Della ada benarnya. Apa aku harus mundur?

"Lo benar, Del. Mungkin gue harus mundur."

Della menepuk bahuku pelan. Dia tersenyum. Senyum yang dulu sangat kusukai tiap kali kami habis bercinta.

"Kalo ada apa-apa, gue bersedia bantu, Xel. Asal jangan tiba-tiba cium gue kayak tadi." guraunya. Aku jadi tak enak hati.

"Sekali lagi maafin gue, Del. Kayaknya gue kerasukan."

"Yah wajar, dari dulu lo emang nggak bisa ngendaliin diri di depan gue." Della menyombong. Kuacak rambutnya, lalu dia memukul lenganku pelan sembari cemberut.

"Untung suami lo udah berangkat kerja ya. Bisa-bisa gue bikin lo berantem ama suami. Maaf ya."

Aku tidak ingin berlama-lama bersama Della atau aku akan melakukan sesuatu yang tidak kami inginkan. Della mengantarku ke depan kemudian memberiku pelukan erat sebelum aku masuk ke mobil.

"Gue harap lo udah nggak perlu cari klien lagi. Gue selalu berdoa supaya lo dapet pekerjaan lain, Xel." ujar Della tulus. Aku menyahutinya dengan senyum.

Saat itu juga, kuputuskan untuk menemui Veronica.

***

Veronica tetap cantik seperti biasanya, mengenakan kemeja lengan pendek dengan celana panjang, berpakaian resmi seperti akan pergi kerja. Dia tidak mengajak serta anaknya. Ketika aku menghubunginya, Veronica sudah mengetahui kemarin suaminya pergi entah ke mana dan baru pulang pagi hari. Aku melaporkan apa yang kutahu—suami Veronica berkencan dengan Julian semalam.

Tapi ketika kami memulai pembicaraan, Veronica meletakkan amplop cokelat di atas meja. Aku melemparkan pandangan penuh tanda tanya. Wanita itu tersenyum manis.

"Sekedar tambahan. Lima juta. Cukup kan, Xel?"

Aku tak bisa berkata-kata. Dulu sempat terbersit keinginanku untuk meminta tambahan uang padanya namun di pertemuan kali ini seharusnya aku mengembalikan uang milik Veronica karena aku tidak sanggup melanjutkan misinya.

"Ver, gue..." Kudorong kembali amplop cokelat ke arahnya, "Kayaknya gue nggak sanggup dekatin Julian."

"Kenapa Xel? Kan nggak jauh beda ama cewek? Well, beda secara fisik. Ta-tapi kalo soal pendekatan kan sama."

Sama? SAMA? Apa Veronica sudah gila?

"Lo kan nggak perlu pake perasaan buat deketin dia. Ini pekerjaan lo, seharusnya lo udah terbiasa." Suara Veronica terdengar putus asa.

Aku menggigit ujung bibirku, "Gue bantuin cari temen gue yang gay dan bisa ngedeketin Julian. Tapi... bukan gue."

"Ayolah Xel, gue mohon."

"Ver, kenapa harus gue sih? Banyak cowok gay yang emang nggak perlu berpura-pura seperti gue."

Veronica tidak bisa menjawabnya karena dia juga tahu di dunia ini banyak lelaki yang menyukai sesama jenis. Kami sama-sama menghela nafas panjang. Dia tak lagi memaksaku untuk menerima uang lima juta itu. Naluriku menyuruh untuk menolak namun entah kenapa amplop cokelat itu seakan melambaikan tangan menggodaku untuk menerimanya.

Ini dilema. Berpura-pura menjadi gay atau menolak rejeki?

"Ver,"

Veronica memandangku penuh pengharapan. Seharusnya aku menolaknya tapi aku tidak tega apalagi diiming-imingi uang.

"Setelah gue pikir-pikir lagi, kayaknya nggak papa gue deketin Julian." Kuraih amplop cokelat di hadapannya untuk kuperiksa isinya. Kupastikan bahwa jumlahnya memang benar lima juta, "Tambahannya gue ambil. Thanks."

Semudah itukah aku menyerah pada uang? Meski aku harus menukarnya dengan harga diriku?

Jawabanku membuat raut wajah Veronica yang semula sedih, kini terlihat bahagia. Wanita itu bahkan meraih tanganku untuk menyalami. Seharusnya aku mengembalikan empat puluh juta itu bukannya malah menyetujui kelanjutan hubunganku dengan Julian.

Kini aku tidak tahu harus berbuat apa.

***

"Lho, ngapain lo di sini?"

Ekspresi Rendy menyiratkan kekagetan melihat kemunculanku yang tak diduga di kantin kantornya. Ini yang kedua kalinya aku menemui Rendy di kantor. Aku menyahutnya dengan senyum. Dia menarik kursi di hadapanku sembari meletakkan segelas kopi hangat kesukaannya—tanpa gula.

Kupejamkan mata lalu kupijat pelipisku. Rendy menyadari aku sedang ada masalah sehingga dia mengangsurkan segelas kopi itu padaku.

"Minum dulu gih. Baru cerita."

Sama sekali tidak kusentuh kopi pahit itu. Tapi aku juga tak kunjung bercerita mengenai permasalahanku.

"Empat puluh juta?" Hanya itu yang diucapkan Rendy. Aku mengangguk lesu.

"Sekarang empat puluh lima."

Spontan, dia memukul meja, "Anjir! Kaya lo ya! Traktir gue dong." Bahagia sekali dia melihat sahabatnya merana. Beberapa saat kemudian, Rendy baru menyadari bahwa aku tidak main-main. Dia berdehem, "Jadi gimana?"

"Nggak ngerti deh gimana gue harus deketin Julian." Kuacak-acak rambutku, frustasi, "Udah juteknya minta ampun, cowok pula."

Rendy menahan tawa. Aku tahu dia pasti sedikit senang melihatku kelabakan. Biasanya aku tidak pernah mengeluh mengenai pekerjaanku. Kulakukan dengan gembira—tentu saja karena selama ini klienku hanya wanita. Ketika dihadapkan pada situasi yang dilematik seperti ini, aku bingung ke mana harus mengadu. Rendy adalah satu-satunya pilihan. Sempat terpikir untuk mengadu pada Benny—si bartender—namun kami tidak begitu akrab.

Tiba-tiba Rendy meletakkan tangannya di atas tanganku. Aku berjengit kaget dan dia menyeringai jahil.

"Latihan ketahanan, bro. Gue pegang tangan lo, berapa lama lo bisa bertahan?"

"Ngaco lo!" Aku panik, berusaha menarik tangannya dariku, "Orang-orang ngelihatin kita!"

Rendy bersikukuh. Dengan tenang dia melirik jam tangannya, "Masih semenit. Tunggu sampai lima menit. Tenang bro, tenang. Kalo lo masih panikan gini, kapan majunya?"

"Nggak harus gini juga, kali Ren." Aku merasa risih terutama dengan perhatian orang-orang di sekitarku. Ini di tempat umum, demi apa? Rendy seakan tak memiliki rasa malu.

"Apa mau gue cium sekalian?" ancamnya—mengerikan.

"Jangan Ren. Lo tega banget ngehancurin harga diri gue di depan umum."

Rendy menggeleng pelan, "Seharusnya harga diri gue yang hancur karena ini kantor gue. Lo nurut aja sama gue."

Sengaja Rendy menggerakkan ibu jarinya seolah mengusap lembut punggung tanganku. Sedikit geli rasanya walaupun ada rasa aneh dalam diriku. Ulu hatiku diremas-remas dan bulu tengkukku meremang. Ini bukanlah sensasi bertemu hantu.

Senyuman Rendy semakin lebar. Dia berhasil menaklukanku. Aku tak lagi protes saat dia melepaskan genggamannya.

"Nah, gimana rasanya?"

"Setan lo." makiku. Dia terbahak-bahak, "Kalo cuma genggam tangan, gue juga bisa. Nggak perlu latihan. Yang gue takutkan adalah perasaan gue. Gimana kalo gue kena karma karena permainin perasaan orang?"

Tawa Rendy terhenti, "Kalo gitu lo nggak usah kerja begini dong. Kerjaan lo kan emang permainin perasaan orang dan nipu orang."

Aku mencibir. Kenapa dia tidak membela sahabatnya?

"Kalo emang lo nggak sanggup, kenapa nggak lo balikin uangnya aja?"

"Tadinya sih gitu. Tapi Veronica nambahin lima juta, gue bisa apa?"

"Lo bisa nolak." Rendy menyilangkan tangan di depan dadanya. Mungkin bagi Rendy, mudah saja menolak. Namun bagiku, ini adalah kesempatan yang sangat langka, "Denger Xel, kalo emang lo mau terima uangnya, ini adalah konsekuensi yang harus lo tanggung. Lagian ini kan cuma sandiwara, lo nggak usah pakai perasaan, bisa kan?"

Tak kunjung kujawab pertanyaan Rendy yang satu itu. Secuil dari diriku tak yakin aku sanggup tidak menggunakan perasaanku pada Julian. Seharusnya aku bisa bersikap datar, menyetel perasaanku agar berada di titik nol, selayaknya yang kulakukan pada klien-klienku yang lain. Entah kenapa dengan Julian, hal itu sulit kulakukan.

"Gue akan coba semampu gue."

"Nggak ada kata 'coba', Xel. Lo udah terima uangnya, jadi lo harus bisa."

Rendy benar. Saat aku sudah menyetujui pekerjaan ini, tidak ada lagi kata 'mencoba' tetapi 'wajib' terlebih lagi uang sudah di tangan.

"Udah lah, anggap aja ini pengalaman sekali seumur hidup. Dibikin asyik-asyikan aja, Xel. Kalo lo butuh wawancara tentang gay sex bisa gue tanyain teman gue."

Aku mengacungkan jari tengah ke arah Rendy, dia terkekeh geli.

"Nah sekarang lo telepon Julian—atau siapalah itu namanya—dan ajak dia makan malam."

"Ogah."

"Tolol lo." Dia memukul kepalaku keras sekali hingga telingaku berdengung. Aku memelototi Rendy, "Udah cepetan sana. Atur kencan lo ama Julian. Semakin cepat selesai, semakin baik. Lo nggak usah lama-lama jadi gay."

Sepersekian menit kupikirkan saran Rendy, akhirnya kutekan nomor Julian untuk menghubunginya. Rendy tampak senang karena berhasil menyetirku. Sambungan teleponku dijawab oleh suara 'halo' Julian. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang.

"Uhm Julian, boleh gue jemput lo?"

Julian diam saja. Aku kesal tidak dihiraukan seperti itu. Wanita-wanita yang kukenal tidak pernah memperlakukanku seperti ini.

"Julian?"

"Oke, jemput gue di tempat tadi. Sejam lagi."

Rendy mengacungkan kedua ibu jarinya padaku. Berhasil, gumamnya. Bahkan dengan gilanya, Rendy menggumamkan 'Panggil dia sayang'. Aku mengepalkan tinju kepadanya. Ide macam apa itu.

"Mm, ya udah sampai nanti ya."

"Ya."

Sikap ketus Julian memang tidak bisa hilang, hingga keketusanku terkalahkan olehnya. Di hadapanku, Rendy menaik-naikkan alis untuk menggodaku.

"Tuh kan, Julian mau-mau aja lo jemput. Kayaknya dia emang suka sama lo."

Aku menggeleng pelan, "Itu bukan karena Julian suka gue, melainkan karena dia kasihan ama gue yang selalu mohon-mohon supaya bisa deketin dia. Harga diri gue jatuh ke jurang."

"Seenggaknya Julian gampang diajak kompromi. Jadi tinggal gimana lo bikin dia semakin tergila-gila sama lo."

Bicara memang mudah tetapi realisasi itu susah.

"Nggak tau ah. Gue pikir ntar aja sambil jalan."

***

Sudah hampir setengah jam aku menunggu Julian di depan gang tempat aku menurunkannya tadi pagi. Laki-laki itu tak kunjung muncul. Aku kesal sekali sebab dia bilang satu jam lagi dia akan menyelesaikan urusannya, tapi ini sudah hampir dua jam sejak perhitunganku tadi. Kuhubungi ponselnya berulang kali, tidak diangkat.

Dan sewaktu panggilanku akhirnya terhubung, suara anak kecil yang menyahut, "Halo?"

Aku terperanjat. Kenapa ada anak kecil segala?

"Halo, Julian ada?" tanyaku. Anak itu tidak menjawab, sepertinya langsung meletakkan ponsel itu begitu saja tanpa mematikan ataupun menyerahkannya pada Julian, sehingga bisa kudengar suara-suara di situ.

Kutajamkan pendengaranku. Samar-samar kudengar suara Julian sedang berbicara—lebih tepatnya bercerita, lalu tertawa bersama dengan derai tawa anak-anak kecil.

Tunggu. Anak-anak kecil? Apa yang dia lakukan bersama anak kecil?

Sesaat kemudian Julian seakan menyadari sesuatu terjadi dengan ponselnya. Kudengar suaranya berkata, "Reno jangan mainin hape Kak Julian." Lalu dia menyahut 'halo'.

"Hei, gue udah nunggu setengah jam di depan gang. Kapan lo selesai?"

"Maaf Xel, gue lupa ngabarin lo. Anak-anak SMA baru aja pulang. Gue masih baru aja nyelesaiin dongeng. Lo masuk kemari aja."

"Oh, oke. Rumah yang mana?"

"Rumah tingkat dua dengan cat oranye. Langsung keliatan dari ujung gang kok."

Kuparkirkan mobilku di tempat yang tidak dilarang, kemudian berjalan masuk ke dalam gang menuju rumah dengan cat oranye itu. Pagar rumah itu terbuka lebar begitu pula dengan pintu depannya. Suara anak-anak kecil terdengar jelas sekali. Mereka bergurau dan tertawa-tawa. Aku hanya bisa menebak bahwa rumah itu kemungkinan adalah panti asuhan.

Seorang anak kecil yang mengenakan seragam putih merah menyambutku di depan pintu. Dia mengulum permen lolipop.

"Cari siapa, Pak?" sapa anak itu. Aku berjongkok, berusaha menyejajari tubuh anak tersebut.

"Kak Julian ada?"

"Masuk aja, Xel!" Julian memanggilku dari dalam, membuat anak itu berjengit kaget lalu berlari masuk. Aku mengikutinya.

Disambut oleh anak-anak kecil dengan rentang usia yang berbeda—baik balita, TK maupun SD—yang sedang sibuk bermain di atas tikar, aku mengedarkan pandangan mencari sosok Julian. Anak-anak itu menatapku penasaran. Julian muncul dari salah satu kamar sembari menggendong bayi yang kira-kira berusia setahun.

"Tunggu sebentar, Xel. Bunda belum pulang dari warung, gue nggak bisa ninggalin mereka sendirian."

Bayi itu merengek, menepukkan kedua tangannya di wajah Julian untuk meminta perhatian. Sama sekali tidak bersikap ketus seperti biasanya, Julian malah dengan sabar meladeni kelakuan bayi itu. Dia tersenyum, menggoda bayi itu dengan berpura-pura menggigit lengan si bayi. Aku menahan tawa melihatnya.

Ini pertama kalinya aku mendapati Julian tersenyum begitu tulus dan tidak dipaksakan. Sisi lain Julian yang kusaksikan dan jujur aku sangat menikmatinya.

Sedikit menikmatinya. Tolong garis bawahi kata 'sedikit' karena aku tidak suka memandangi laki-laki. Aku normal. Sangat normal. Kulakukan ini semua demi empat puluh lima juta.

Satu hal yang kubenci adalah reaksi yang ditunjukkan tubuhku. Ketika aku mati-matian menyangkal mengenai perasaanku pada Julian, jantungku berdegup kencang seperti saat aku menyukai seorang gadis.

Julian memalingkan wajah ke arahku, "Xel, lo mau minum apa?"

"Oh, nggak usah repot-repot." sahutku.

"Kalo mau minum, gue ambilin di dapur. Masih ada minuman dingin yang tadi dibawain anak-anak SMA."

Ah, kenapa Julian jadi begitu ramah di depan anak-anak kecil? Aku merutuk diriku sendiri yang tidak bisa mengendalikan debaran jantungku. Akhirnya kuputuskan untuk duduk bersila di atas tikar bersama anak-anak kecil lainnya. Lemas rasanya lututku memandang Julian tertawa-tawa bersama bayi itu.

Julian ikut duduk bersila di sampingku—masih tetap menggoda si bayi yang mulai terkekeh senang. Sesekali Julian dengan tegas memperingatkan anak-anak SD yang sedang bermain itu agar jangan berteriak-teriak keras karena bisa membangunkan bayi yang sedang tidur. Lalu anak-anak itu meminta maaf pada Julian.

"Lo voluntir di sini?" tanyaku pada Julian.

"Nggak juga sih. Ini udah kayak rumah gue."

Jadi dia juga pernah tinggal di panti asuhan atau ini hanya perumpamaan karena dia sering sekali menjadi voluntir di sini? Aku tak berani menanyakan hal itu, takut menyinggung perasaan Julian.

"Gue nggak pernah tinggal di panti asuhan kok—kalo lo emang mau tanya itu." ujar Julian.

Wajahku memerah malu karena ketahuan. Dia mungkin bisa membaca pikiranku, "Sorry, gue nggak maksud—"

"Lo bukan orang pertama yang penasaran tentang hal itu kok. Tenang aja." Julian memandangi anak-anak itu. Pandangannya menyiratkan kebahagiaan, seakan sedang menatap anak-anak kandungnya, "Adik-adik ini yang bikin gue ngerasa keberadaan gue berarti. Masih ada yang butuh gue."

Sedih sekali mendengar pengakuan Julian. Aku baru mengenalnya beberapa saat—entah apa yang terjadi di kehidupan pribadinya hingga dia merasa sama sekali tidak berarti.

Tak lama kemudian, terdengar sapaan salam dari arah luar. Kami sama-sama beranjak untuk menyambut orang tersebut—yang ternyata orang yang dipanggil Bunda oleh Julian. Wanita itu seusia ibuku atau mungkin lebih tua. Beliau mengenakan daster batik sambil menenteng plastik hitam. Di belakangnya, seorang gadis bertubuh tambun mengikuti.

Keduanya terkejut melihat sosokku.

"Nak Julian, ini siapa?" tanya Bunda.

"Bunda, ini teman Julian. Namanya Axel." Dia memberiku isyarat untuk memperkenalkan diri, "Xel, ini Bunda. Pemilik rumah asuh ini."

Kujabat tangan wanita itu, disusul gadis remaja di belakangnya itu yang langsung memperkenalkan diri sebagai Desty. Semangat sekali si gadis itu. Julian memelototi Desty karena bertingkah genit padaku.

"Bunda, saya balik dulu ya." pamit Julian lantas mengangsurkan bayi dalam gendongannya itu pada Desty.

"Lho, Kak Axel juga pulang?" Desty panik. Aku mengernyit.

"Ya iyalah. Dia ke sini emang jemput gue, Des." sahut Julian sedikit ketus, "Yuk, balik." Julian mengajakku buru-buru pulang setelah tadi dia begitu lekatnya dengan anak-anak kecil di situ. Aku mengangguk saja.

Bunda membawakan Julian sekantung rambutan sebagai tanda terimakasihnya. Aku baru mengetahui bahwa Julian sangat menyukai buah rambutan hingga kantung itu didekapnya erat. Dia tidak memperbolehkanku membawakannya. Beberapa menit kutunggu Julian berpamitan dengan anak-anak kecil di situ.

Bunda mengajakku mengobrol sembari menunggu. Rupanya tak hanya Desty yang penasaran dengan asal-usulku.

"Nak Axel teman kerja Julian?"

Aku mengangguk pelan, berbohong tidak apa-apa kan?, "Ya, Bunda. Saya teman kerjanya."

"Kak Julian nggak pernah cerita kalo punya teman seganteng Kak Axel." celetuk Desty. Bunda menyenggol lengan gadis itu.

"Saya teman barunya." Hanya itu saja yang bisa kujelaskan. Jujur, aku belum menyiapkan skenario kebohonganku.

"Apa Nak Julian habis jatuh dari motor? Bunda lihat tangannya diperban."

"Ya, tadi pagi dia jatuh. Makanya saya antar jemput Julian." Aku mengangguk sopan.

"Tolong jagain Nak Julian ya. Dia itu ceroboh banget." Sepertinya Bunda sangat mengenal Julian.

"Memangnya Julian itu sering kemari, Bunda?"

"Julian itu—" Omongan Bunda terpotong dengan kemunculan Julian yang lalu meraih tangan Bunda untuk menyalaminya.

"Bunda, saya pulang dulu."

Bunda memeluk tubuh Julian, "Ati-ati ya, Nak. Rambutannya dibagi ama Nak Axel."

"Ogah ah, Bun. Ini buat saya sendiri aja." Julian mencibir ke arahku. Dasar kekanakan.

"Kak Axel-nya buat aku aja." bisik Desty. Meski berbisik, aku masih bisa mendengarnya. Julian melemparkan pandangan jijik kepada gadis itu.

"Dih, ogah. Mending buat gu—" Buru-buru Julian meralat ucapannya, "Buat teman gue aja."

Mungkin ini cuma perasaanku saja, namun Julian akan mengucapkan 'aku untuk dirinya' dan dia terlalu gengsi sehingga meralatnya. Aku jadi besar kepala. Pasti sekarang wajahku sudah memerah seperti tomat.

Julian memergokiku menundukkan kepala, lantas dia berkata, "Lo nggak usah GR gitu, Xel."

Ingin rasanya kubalas 'lo nggak usah sok posesif gitu', tapi aku takut Julian marah dan tidak mau kudekati. Akhirnya kami berpamitan dan tidak satupun dari kami yang membahasnya lagi. Dalam perjalanan menuju mobil, aku memeriksa luka di siku dan lengan Julian. Tampaknya ia malas mengurus lukanya sehingga perban itu mulai memerah membentuk bekas darah.

"Lo nggak ganti perban?" Kugenggam pergelangan tangan Julian agar dia berhenti berjalan. Dia mendecak kesal.

"Nggak ada perban."

"Ada kotak P3K di mobil gue. Sini yuk."

"Kenapa sih lo selalu sok perhatian?" Dia menghentakkan tangannya. Aku tertegun, "Gini Xel, kita baru kenal beberapa hari. Apa lo pikir gue nggak gerah diperhatiin seperti ini?"

Aku menatap kedua mata Julian yang menunjukkan kekecewaan. Aku tidak mengerti kenapa harus kecewa. Toh aku melakukan perbuatan baik, tidak menyakitinya. Kalau diteruskan, ini akan menjadi perdebatan yang seru. Hanya saja situasinya tidak pas karena kami masih berada di gang dengan kemungkinan seluruh penduduk akan menonton pertengkaran kami.

"Kita bicarain di mobil." Aku serius. Perdebatan seperti ini tidak layak dilakukan di depan umum, "Julian?"

Dia menghela nafas panjang, "Oke, oke."

Julian sudah mendahuluiku berjalan ke arah mobil lalu langsung masuk setelah kubuka kunci mobil. Dia duduk begitu saja, mengabaikanku. Aku meraih kotak P3K di dashboard mobil. Julian memicingkan mata ke arahku.

"Jadi lo tetap mau sok perhatian?" tuduhnya.

"Diem dulu."

Kuraih tangan Julian, lalu perlahan kubuka perban yang menutupi luka di sikunya. Sudah penuh darah.

"Gue bisa sendiri." Julian memang keras kepala. Dia meraih kotak P3K untuk mencari perban baru. Kubiarkan dirinya melakukan apa yang dia suka. Aku tidak peduli. Semakin kupaksa, semakin Julian menolak.

Kukemudikan mobil menuju apartemen. Julian tidak protes ataupun menanyakan tujuan kami. Dia masih sibuk mengganti perban. Dalam hati aku bersyukur karena dia tidak lagi membahas mengenai perlakuanku yang istimewa padanya. Memang aku 'harus' mendekatinya, tapi bukan berarti aku ditodong untuk menjelaskan mengapa.

"Lo mandi dulu aja di apartemen gue. Baru berangkat kerja." Aku memberi saran dengan maksud baik, bukannya sok perhatian.

"Hari ini gue libur."

Jackpot!

Itu artinya aksi pendekatan bisa kujalankan lebih lancar.

"Kalo gitu, lo mau makan malam apa?" Kukendalikan diri agar tidak terkesan agresif dan memaksa.

Agak lama dia berpikir, sampai akhirnya dia melontarkan jawaban, "Sebenernya kangen masakan rumah. Tapi gue nggak bisa masak. Emang lo bisa masak?"

Sedikit membusungkan dada, aku membanggakan salah satu keahlianku yaitu memasak. Aku bersyukur dilimpahi fisik yang menarik meski tidak dengan otak sejenius Einstein. Tak hanya itu, aku juga hobi memasak. Beruntunglah wanita yang nantinya menjadi istriku. Mungkin aku lebih ahli memasak daripada wanita itu.

"Tenang aja. Lo mau makan apa? Gue bisa masakin."

Dari sudut mataku, kulihat Julian mengulum senyum sambil berpikir, "Sayur asam? Sambal?"

"Lo yang bantuin belanja ya."

Tidak kusangka sikap ketusnya luntur seketika dan mengiyakan ajakanku. Kurasa sayur asam dan sambal tidak cocok untuk makan malam, tapi selama hal itu bisa mengubah mood Julian menjadi lebih baik, aku rela memasak untuknya.

***

Aku dihadapkan pada situasi yang menurutku cukup sulit. Aku tidak pernah menyangka mendekati seorang laki-laki lebih sulit daripada mendekati wanita. Padahal semestinya aku sangat mengerti keinginan mereka, karena aku sendiri juga laki-laki. Pada kenyataannya tidak seperti itu.

Seperti yang terjadi sekarang ini.

Aku dan Julian baru saja selesai makan malam dan pemuda itu kini sedang duduk di sofa kesayanganku sambil menonton televisi. Tampaknya dia sedang bosan. Beberapa kali dia mengubah saluran televisi sembari menguap.

Kalau dia adalah wanita, aku akan duduk di dekatnya, bertanya hal klise atau memuji dirinya, lalu beringsut mendekat untuk memberikan sentuhan-sentuhan kecil yang membuatnya sadar bahwa aku sedang mendekatinya.

Tapi ini adalah Julian—seorang pemuda dengan kepribadian luar biasa menyebalkan.

Kadang aku berpikir kenapa suami Veronica berselingkuh dengan laki-laki yang susah didekati seperti Julian? Tidak bisakah dia memilih laki-laki yang ramah, dengan senyum secerah matahari dan kata-kata yang santun? Tentunya akan lebih mudah bagiku.

Aku duduk di sampingnya. Tubuh kami dipisahkan oleh sebuah bantal kecil. Julian melirikku tajam, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada televisi.

Aku menimbang-nimbang untuk menarik perhatiannya dengan sentuhan-sentuhan atau pertanyaan seputar kehidupan sehari-harinya. Kalau aku tiba-tiba menyentuhnya, aku khawatir tidak bisa menahan syok bila ternyata Julian membalas sentuhanku dengan penuh nafsu.

Aku mengamatinya seksama. Tidak pernah aku benar-benar meluangkan waktu untuk memperhatikan Julian. Pemuda itu memang tidak setampan model, namun sesuatu yang ada pada dirinya membuat Julian tampak menarik. Aku menyukai garis rahangnya—tunggu, apa yang kukatakan? Kenapa aku memuji Julian?

Saat Julian sedang berkonsentrasi, bibirnya sedikit mengerucut. Dia terlihat semakin ketus saja. Aku memergokinya sesekali menggigit bibir. Debaran jantungku meningkat. Ah, shit. Ini tidak seharusnya terjadi.

"Sini gue bantuin ganti perban." Bermaksud berbasa-basi, aku seakan menggali kuburku sendiri. Sikapku seperti kekasih yang sok perhatian. Kukira dia akan menghindar dengan serentetan sikap ketusnya itu. Ternyata tidak.

Julian dengan patuh mengulurkan tangannya yang diperban itu ke arahku. Dia bahkan tak mengomel. Aku duduk menghadap ke arahnya. Sangat jelas sekali bahwa dia tidak ingin bertatapan pandang denganku, karena ketika tanganku mulai menyentuh lengannya, dia langsung memalingkan wajah.

"Lo jelek banget kalo cemberut." gurauku sembari perlahan melepas perbannya untuk diganti dengan yang baru.

Julian mendengus, "Gue nggak peduli. Lebih bagus kalo gue jelek."

Aku tertegun dengan sahutannya. Mulai lagi sikap menyebalkannya. Tapi ini juga salahku karena memulai mengatainya jelek.

"Kenapa? Lo nggak suka wajah lo?"

Dia menggeleng pelan. Aku meninggalkannya sebentar untuk mengambil kotak P3K di kamar mandi. Dia masih memasang tampang cemberutnya saat aku kembali membawakan perban baru. Aku tak berkata-kata. Kubiarkan Julian terdiam dengan pikirannya. Julian mendesis kesakitan saat aku dengan sengaja mengenai lukanya dengan antiseptik.

Kini dia berani menatapku. Tidak lagi memalingkan muka.

Aku tersenyum. Kuulurkan tanganku menyentuh pipinya yang masih sedikit memar. Julian berjengit kaget, sedikit memundurkan tubuhnya.

"Gue ambilin kompres ya?" Aku menawarkan.

"Nggak usah, Xel. Makasih. Gue udah baikan."

Aku menebak yang membuat pipinya memar adalah suami Veronica. Namun apa boleh buat, aku juga tidak bisa melakukan apa-apa untuk membela Julian. Lagipula seharusnya Julian bisa membela dirinya sendiri.

Kuacak rambut Julian, "Gue ambilin bantal dan selimut. Lo nginep di sini aja."

Dia memandangku ragu, "Gue udah mau pamitan kok." Bergegas dia berdiri, lalu meraih jaket yang dia letakkan di kursi dapurku. Aku membiarkannya salah tingkah—memang itu bagian dari rencanaku. Dan begitu dia sampai di pintu depan, dia berusaha keras untuk membukanya.

Aku tersenyum lebar, "Kuncinya di celana dalam gue. Lo berani ngambil?"

Lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya. Lucu sekali, "Axel, jangan becanda. Gue mau pulang."

"Waduh, gimana ya? Tapi gue nggak kasih izin lo pulang." Kata-kataku terdengar semakin menyebalkan. Aku memang jago membuat orang naik pitam.

Kedua tangannya mengepal. Kurasa dia akan meninju wajahku, namun dugaanku salah. Dia menyerah dan kembali duduk di sofa. Di sampingku.

"Hehehe, nah gitu dong baru namanya Julian." Kutepuk-tepuk punggung. Dengan cepat, dia menepis tanganku.

"Mana bantalnya? Gue mau tidur."

Aku sengaja mengedikkan bahu, "Lho, kan malam ini lo tidur bareng gue di kamar."

Tak hanya Julian yang ternganga kaget, melainkan peri-peri imajiner di sekitarku yang tertegun mendengar keberanianku mengajak Julian tidur satu ranjang.

***

Mengajak Julian tidur seranjang denganku adalah kesalahan terfatal dalam hidupku.

Aku lupa bahwa terakhir kali dia menginap di sini, dia melucuti seluruh pakaiannya—kecuali celana dalam—walau kamarku dilengkapi AC yang cukup dingin. Dan kini dia meringkuk di sampingku, memunggungiku tanpa busana. Bila aku bergerak sedikit, tubuhku akan menyentuh kulitnya secara langsung.

Alhasil aku tidak bisa memejamkan mata sedikitpun.

Ketika mataku sudah bisa menyesuaikan dengan gelapnya kamar, kupalingkan wajahku ke arah samping. Siluet punggung Julian yang bergerak naik turun selaras embusan nafasnya. Dengan ragu, kujulurkan jemariku untuk menyentuh punggungnya—tolong jangan salah sangka, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menyentuh tubuh laki-laki.

Perlahan kutelusuri tengkuk dan punggungnya dengan telunjuk dan jari tengahku. Tidak ada bedanya dengan kulit wanita pada umunya. Aku berhenti sejenak, khawatir dia terbangun. Dia tertidur pulas sekali. Mungkin karena dia sibuk berkencan dengan suami Veronica hingga terjaga semalam.

Tubuhku beringsut mendekatinya dan kini tubuh kami hanya berjarak beberapa senti. Bila Julian membalikkan badan, dia akan menindihku.

Entah kegilaan apa yang ada di otakku ketika kudekatkan hidungku di tengkuk Julian untuk menghirup aroma tubuhnya. Kendali di dalam tubuhku melemah, membuatku memilih keputusan yang salah. Semakin aku merangsek maju. Kukecup tengkuk Julian. Ya, aku memang sudah gila, aku mengakui. Mungkin dia berpikir sedang tidur dengan pacarnya sehingga tanpa sadar dia semakin memposisikan punggungnya agar nyaman bersentuhan dengan dadaku. Aku menahan napas seolah sedikit embusan akan membangunkan Julian.

Dia tidak lagi bergerak atau berpindah posisi. Dan tingkahku semakin menjadi. Aku mengecup daun telinganya, turun menuju tengkuk dan berhenti di bahunya sewaktu kudengar desahan Julian yang mengakibatkan bagian bawah tubuhku bereaksi berbeda.

Sepertinya ada yang salah denganku.


-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top