Contact Person : AXEL [Chapter 03]
Aku hampir saja tertidur di dalam mobil seandainya tidak mendengar suara klakson di dekatku. Berjingkat kaget, aku mengusap kedua mata lalu menajamkan pandangan ke arah gang. Sial. Aku khawatir Julian akan pergi tanpa aku sempat menguntitnya. Kuteguk minuman botol yang sedari tadi membantuku terjaga saat menguntit.
Aku baru tahu bahwa pekerjaan detektif itu sangat melelahkan. Padahal aku terbiasa bergadang hingga pagi, tapi ketika harus menguntit dan berkonsentrasi penuh, rasa kantuk pasti menyerang. Belum lagi, perhatianku tidak boleh teralihkan dan tidak bisa main game di ponsel. Harus penuh kesabaran. Menyebalkan sekali.
Kulihat jam tanganku yang menunjukukkan pukul setengah delapan malam. Sosok Julian tak kunjung muncul. Aku jadi khawatir dia sudah pergi sejak tadi tanpa sepengetahuanku. Rupanya dugaanku salah. Julian muncul memakai jaket dan celana jins serta ransel di bahunya. Dia berdiri di depan gang cukup lama dan menatap layar ponselnya. Mungkin dia memesan ojek atau taksi online. Tak lama kemudian, sebuah mobil berwarna silver berhenti di depan Julian dan pemuda itu masuk ke dalamnya.
Kukemudikan mobilku untuk mengikuti mobil yang dinaiki Julian. Mau ke mana orang itu? Berdandan rapi seperti itu. Apa jangan-jangan mau bertemu suami Veronica sebelum lelaki itu pergi ke luar negeri untuk urusan bisnis? Lalu apa mereka mau bercinta seperti di toilet bar waktu itu? Oh tidak, tidak. Kalau begitu caranya, aku tidak bisa beraksi malam ini.
Menguntit ternyata tidak mudah. Berusaha mengejar mobil di jalanan yang ramai sekaligus macet membuatku semakin frustasi. Apalagi bila ada kendaraan yang mendahuluiku dan taksi Julian bertambah jauh dari pandangan. Aku harus mendahului beberapa mobil agar bisa kembali ke posisi tepat di belakang taksi itu. Sungguh menyiksa. Tapi ini demi empat puluh juta.
Dan setelah perjuangan panjang dan menguras tenaga, taksi itu berhenti di sebuah bar—berbeda dari yang biasanya kukunjungi. Aku belum pernah datang kemari sebelumnya. Bar yang sepertinya sekaligus restoran tersebut bernuansa lounge dengan suasana yang tidak begitu ramai. Lokasinya sedikit menjauhi kemacetan di Jakarta.
Kuparkirkan mobilku lalu mulai turun mengikuti sosok Julian. Dia masuk melalui pintu belakang, tidak sepertiku yang harus melalui pintu depan. Jadi dia salah satu bartender di situ?
Aku masuk lalu memilih tempat duduk yang strategis, di mana aku bisa mengawasi pintu masuk dan meja bar. Di situ aku juga dapat menyembunyikan wajahku bila Julian tak sengaja melihatku. Sekitar lima belas menit setelah aku masuk, barulah Julian muncul dengan seragamnya dan mulai melayani beberapa orang yang memesan minuman.
Kuawasi dirinya dengan seksama. Gerak-geriknya berbeda dengan Julian yang kutemui sebelumnya. Dia begitu ramah pada orang-orang di sekitarnya, menyapa dan berbasa-basi. Sampai aku berpikir Julian memiliki kepribadian ganda. Ketika tadi Galang menyapanya, sahutan Julian sangat ketus.
Aku harus mulai menyusun strategi untuk mendekati Julian. Tidak mungkin aku akan terus-terusan menguntitnya seperti orang putus asa begini.
Detik berganti menit, menit berganti jam dan aku mulai bosan menunggu sementara aku hanya bisa mengawasi dari jauh. Gatal rasanya ingin mendekat ke arah Julian. Aku harus mencari alasan yang tepat untuk menyapanya kali ini. Akan kupastikan agar kejadian salah tingkah di toilet itu tidak akan terulang.
Suasana bar yang tenang memberikan kesenangan sendiri bagiku. Sambil saling berkirim pesan dengan Rendy dan Amaya di group chat, aku menceritakan pekerjaan baruku yang luar biasa itu. Amaya dan Rendy mengejekku habis-habisan tapi segera kuancam mereka tidak akan kutraktir bila mengejekku lagi. Akhirnya mereka berhenti memanggilku 'newbie-gay' di chat. Mereka lebih takut tidak kutraktir.
"Lo kalo ngomong dijaga!"
Aku mengalihkan pandanganku dari layar ponsel ke arah asal suara yang tepat di depanku—begitu pula dengan beberapa orang lainnya yang langsung terkejut dengan suara bentakan itu. Seorang laki-laki berdiri dari kursinya dengan marah, mengakibatkan kursi itu terguling ke samping. Begitu marahnya lelaki itu, hingga dia mengacungkan telunjuk ke lawan bicaranya—laki-laki yang tampak tenang dan memasang wajah datar.
"Jangan sekali-sekali lo ngatain dia!" Lelaki yang amat marah itu kembali mengamuk, "Lo jangan pasang muka nggak bersalah dong. Tanggung jawab dong!"
Entah apa masalahnya, yang jelas sama sekali tidak elegan bila harus bertengkar di depan umum. Aku tidak memedulikan mereka dan kembali fokus membalas pesan.
"Maaf, apa bisa diselesaikan di luar?"
Aku menengadahkan kepala mendengar suara yang tak asing itu. Suara Julian. Lelaki itu berusaha menengahi pertengkaran dengan meminta kedua orang itu untuk melanjutkannya di luar bar. Namun kejadian selanjutnya membuat berpasang-pasang mata membelalak.
"Lo nggak usah ikut campur!" Tangan besar lelaki itu meninju wajah Julian yang tidak bermaksud mencampuri urusan mereka—dia hanya melakukan pekerjaannya!
Julian terhuyung ke belakang, mendesis kesakitan, memegangi pipinya. Aku terhenyak dari kursi dan mendekati mereka. Dua bartender juga ikut melerai pertengkaran itu.
"Udah bro, lanjut di luar aja bro." ujarku, sembari tersenyum sok tulus, berharap kedua orang itu akan menurutiku, "Bro, nggak enak diliatin orang." Aku berbisik, "Nggak cool."
Kedua orang itu memandangku sedikit sebal tapi tidak sampai menamparku. Aku mengangkat kedua tanganku, "Minumnya ditinggal aja, biar gue yang bayar. Kalian selesaikan di luar dulu, oke?" Kuusahakan untuk berbicara baik-baik dan mengembalikan logika berpikirnya.
"Lo nggak usah ikut campur." Laki-laki yang tadi duduk, ikut menyerangku.
Kuangkat kedua tanganku untuk melindungi diri, siapa tahu lelaki itu juga meninjuku, "Nggak bro, gue nggak niat ikut campur."
"Kita lanjut di luar." Laki-laki yang meninju Julian itu menatap tajam ke arah laki-laki satunya. Kemudian mereka beranjar dari kursinya ke pintu luar. Sekuriti tergopoh-gopoh datang dan mengawal mereka keluar.
Ke mana sekuriti itu dari tadi? Saat dibutuhkan malah menghilang. Saat orang-orang itu sudah keluar, dia baru muncul. Mengesalkan.
Aku membalikkan badan untuk mengecek keadaan Julian. Kuterkejut mendapati di belakangku tidak ada lagi sosok Julian, melainkan hanya dua bartender yang memandangku bingung. Mereka tak melepas tatapan dari gelas-gelas kosong di meja yang ditinggalkan kedua orang itu.
Aku menghela nafas panjang, "Masukin ke tagihan gue. Biar gue bayarin." ucapku. Tampang mereka berbinar.
"Makasih Pak!" ujar mereka bersamaan.
"Ke mana teman kalian yang tadi?" Mataku melihat sekeliling, berharap menemukan Julian di sekitar situ.
"Oh, Julian? Mungkin di belakang Pak. Di ruang karyawan."
Lalu aku berjalan menuju belakang, tempat ruang karyawan, tanpa menghiraukan larangan dua bartender itu yang ditujukan untukku karena terdapat tanda 'selain karyawan dilarang masuk'. Sebelum mereka benar-benar mengejarku, aku bergegas memasuki ruang karyawan itu.
Pintunya tidak ditutup dan menampakkan Julian yang sedang duduk memunggungi pintu masuk. Kepalanya tertunduk lesu. Aku berdehem untuk mengalihkan perhatiannya. Dia memalingkan wajah ke arahku. Matanya yang bulat itu membelalak ke arahku.
"Ma-mau apa lo kemari?" Tangan kanannya masih memegangi tisu di ujung bibirnya yang berdarah.
"Mastiin lo nggak kenapa-kenapa."
"Lo nguntit gue?" tuduhnya. Walaupun tuduhannya tepat, tapi aku harus menyangkal. Bagaimana aku bisa mendekatinya bila dia menganggapku orang aneh yang menguntit?
"GR banget lo." Aku mendengus. Dia mengatupkan bibirnya, tak jadi menyahutiku karena ucapanku yang mengejutkannya.
Kami terdiam beberapa saat. Julian kembali sibuk menekan-nekan lukanya dengan tisu dan memunggungiku.
"Lo... nggak papa?"
Sekilas Julian menoleh ke arahku, "Udah biasa." jawabnya santai. Aku mengerutkan dahi. Entah itu sarkasme atau kejujuran, aku tidak bisa membedakan.
"Uhm, gue tunggu di luar. Kalo jam kerja lo udah selesai, gue anter lo pulang."
Julian ternganga, "Hah?"
Jelas saja ia terkejut. Siapa yang tidak terkejut ketika orang asing yang ditengarai sedang menguntit tiba-tiba menawari tumpangan? Aku tetap berlagak tenang lantas keluar dari ruangan itu dan kembali ke tempat dudukku. Baru saat itulah aku menyadari kebodohanku. Apa yang kulakukan? Bagaimana kalau dia malah membenciku?
"Ah sial." Aku menenggak habis minumanku. Ini namanya mempermalukan diri sendiri.
"Hei," Sebuah suara memanggilku dari arah samping. Ternyata Julian. Dia meletakkan segelas minuman di mejaku.
"Gue nggak pesan." potongku.
"Dari gue." jawabnya, dengan senyum dipaksakan, "Tawaran yang tadi masih berlaku, kan?"
Aku mengerjap, "Ya."
Dia mengangguk, "Thanks." Kemudian dia kembali bekerja.
Akhirnya Julian kena perangkap.
***
Aku membaca pesan dari Amaya yang memberitahukan bahwa dia dan Rendy menginap di apartemenku. Aku hanya membalas 'ya' dengan singkat karena meski tidak diizinkan, mereka akan tetap tidur di sana. Kemungkinan aku juga akan kembali ke apartemenku pagi hari setelah mengantarkan Julian pulang.
Kulihat Julian berpamitan kepada teman-temannya, lalu berjalan menghampiriku. Aku yang sedari tadi bersandar di dekat pintu menunggunya, tersenyum ke arah Julian.
"Kita jadi pulang?" Dia membenarkan letak ransel di bahunya.
Aku mengangguk. Mulai detik ini, sandiwaraku dimulai.
Dia bergaya cuek, mengikuti di belakangku. Kedua tangannya di selipkan di saku jaket, seolah tak peduli dia akan diantar orang yang sama sekali belum dikenalnya. Aku jadi ngeri sendiri. Khawatir Julian membawa pisau atau pistol ilegal di ranselnya, lalu membunuhku di tengah jalan.
Kenapa aku jadi paranoid?
Tepat di depan mobilku, kubalikkan badan menatap Julian yang masih memasang tampang kesal. Dia tidak peduli padaku dan membuka pintu mobil lalu duduk di kursi penumpang.
"Ayo." ujarnya.
Seharusnya aku yang bersikap nyolot seperti itu, bukan dia! Aku emosional sekali melihat tingkah Julian. Kuelus dadaku, menggumamkan kata 'sabar, sabar' berkali-kali, sebelum aku meledak di mobil. Segera setelah mesin mobil kunyalakan, Julian memejamkan mata dengan nyaman—terbang ke dunia mimpi.
ANJIR. INI BUKAN SEPERTI YANG KUDUGA!
Menyebalkan sekali, kan? Aku menduga kami akan bercakap-cakap sepanjang perjalanan, sehingga setidaknya aku bisa sedikit meraih hatinya. Tapi aku justru ditinggal tidur. Kunyalakan CD beraliran rock milik Rendy yang diletakkan di mobilku dengan harapan Julian bangun dan menemaniku menyetir. Namun ia malah menutupi kedua telinganya dengan jaket dan kembali tidur. Aku mengerucutkan bibir, sebal bukan main.
Di tengah perjalanan aku baru sadar bahwa aku berpura-pura tidak tahu tempat tinggal Julian. Seharusnya aku menanyakan alamatnya sejak tadi. Kalau tiba-tiba aku menyetir hingga di depan gang kosannya, Julian pasti curiga aku menguntitnya.
Aku menepikan mobil untuk membangunkan Julian, "Hei, gue nggak tau lo tinggal di mana..."
"Mhh...?" Julian mendesah dalam mimpinya. Suara desahannya terdengar sangat menggoda. Aku menggelengkan kepala. Ini halusinasi. Aku bukan gay. Aku tidak akan tergoda dengan Julian apalagi hanya suaranya.
"Hei, hei. Alamat rumah lo." Aku menggerakkan bahunya lebih keras agar dia bangun.
"Resek ah..." gumamnya tak jelas. Aku membelalak. Apa dia bilang?
"Please, alamat rumah lo atau gue pulangin ke apartemen gue." ancamku, sangat putus asa.
Julian meringkukkan badannya ke arah pintu mobil, "...ke tempat lo aja..."
Brengsek. Niatku hanya untuk mengancam bukannya menawarkan! Kalau begini caranya, aku tidak punya pilihan lain. Kujalankan mobilku menuju arah apartemen. Ini namanya kesialan, bukan berkah.
Jalanan di Jakarta sangat lengang, sebab semua orang sudah pulang kerja dan belum saatnya mereka berangkat. Sehingga rasanya aku ingin sekali mengebut. Hanya satu jam yang kubutuhkan untuk sampai ke apartemenku. Berbeda dari biasanya yang bisa menghabiskan sekitar dua hingga tiga jam.
Kuparkir mobilku di tempat parkir khusus untukku. Sebenarnya tidak khusus, namun karena aku mengenal semua sekuriti di apartemenku, jadi mereka berbaik hati menjaga tempat parkir itu untukku. Sekuriti bernama Anjas itu menghampiri mobilku.
"Halo Bang Axel."
"Halo Bang Anjas." Kami saling menyapa seperti di sinetron.
Aku melirik Julian yang masih tidur pulas. Kutepuk bahunya untuk membangunkan orang itu. Dia pasti sengaja tidak menghiraukanku.
"Bangun atau gue tinggal di mobil."
Julian tidak menyahut. Anjas memandangku dengan tatapan iba.
"Biarin aja di sini Bang. Saya jagain deh ntar."
"Uhm," Aku ragu meninggalkan orang sendirian di dalam mobil, "Ntar dia mati kehabisan napas, gimana Bang?" gumamku. Anjas terbahak-bahak.
"Ye kagak lah. Kan jendelanya dibuka dikit. Ada udara dong."
Aku bergantian melempar pandangan dari Anjas ke Julian, lalu kembali lagi ke Anjas, "Nggak papa deh, gue tungguin dulu di sini sampai dia bangun."
"Oh, ya udah. Ntar Bang Axel tinggal teriak ye kalo butuh bantuan saya."
Aku mengacungkan jempolku. Julian pulas sekali. Entah itu sandiwara atau sungguhan. Aku tidak ada ide bagaimana membangunkannya. Dia meringkuk dengan kepala ditutupi jaket. Tiba-tiba terpikir ide licik di otakku. Aku menggelitik pinggang Julian sekuat tenaga—bahkan mungkin sedikit menggaruknya.
Dia terbangun kaget, kakinya yang meringkuk itu menendang dashboard dan kepalanya terantuk pintu, "AW!!" Julian menoleh ke arahku, "Ngapain sih lo?"
"Bangun. Udah sampai." Aku memaksakan senyumku. Ini begitu canggung.
Dia mengerjap, kemudian menoleh ke kanan kirinya dan mendapati dia sedang berada di gedung parkir, "Gue di mana?"
"Lha katanya mau ke tempat gue. Ini di apartemen gue."
"Hah? Lo mau nyulik gue?" Dia menuduhku dengan pandangan panik.
Asem banget nih orang. Tadi dia meminta ke apartemenku sekarang dia menuduhku penculik?
"Lo ini—" Aku kehabisan kata-kata, "Tadi lo yang bilang mau ke sini."
Alisnya bertaut, "Uh, lo kok tanya orang ngigau sih..." Dia menggaruk kepalanya, "Gue aja nggak ingat gimana gue sampai di sini..."
"Ngigau?" Aku syok. Jadi jawaban tadi adalah gumaman orang tidur?, "Oke, sekarang lo maunya apa?" Aku menahan emosi. Sabar, sabar.
Julian masih tampak mengantuk. Dia menggaruk pipinya lalu lehernya, meski tidak ada nyamuk yang menggigit. Wajahnya seperti anak kecil baru bangun tidur, dilengkapi dengan adegan bibir mengerucut dan cemberut.
"Gue tidur di mobil lo sampe pagian ya? Abis itu gue cabut kok." Dia menatapku memohon.
What? Tidur di mobil?
"Uhm, lo ikut aja ke dalam. Gue nggak enak ninggalin lo di mobil."
Julian terdiam cukup lama, memikirkan tawaranku. Akhirnya dia mengangguk pelan, "Oke, thanks. Kalo boleh tau, nama lo siapa? Kan gue udah ngasih tau nama gue waktu itu."
Aku mengulum senyum. Rupanya dia ingat tentang selembar tisu yang bertuliskan namanya waktu itu, "Gue—" Aku baru ingat. Sekarang hubunganku dengan Julian adalah karena pekerjaan. Seharusnya aku memakai nama samaran, bukan nama asli. Tapi entah kenapa aku malah menyebutkan nama asliku, "Gue Axel."
"Nama lo bagus."
Aku menyeringai, "Kata ibu gue, biar cocok dengan muka gue yang bule."
Julian menahan tawa. Kemudian dia menguap lebar yang menandakan kantuknya memang tak bisa ditahan. Aku tahu diri dan mengajaknya keluar mobil, naik lift, lalu masuk ke dalam apartemenku. Ketika membuka pintu dan menyalakan lampu kecil di dekat pintu masuk, aku teringat bahwa Amaya dan Rendy menginap di sini.
Sofa empukku sudah ditempati oleh Amaya yang menggulung diri di balik selimut dan kasur lipat di depan TV dikuasai Rendy. Wajahku memucat. Tidak, tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau seranjang dengan Julian.
"Uhm," Aku meringis, "Gue lupa sofa dan kasur lipatnya udah dipake teman-teman gue." Aku menunjuk ke arah sofa dan kasur lipatku.
Julian mengangguk paham, "Gue duduk di kursi aja nggak papa."
Tapi aku harus menunjukkan kesan tak terlupakan pada Julian agar dia cepat tertarik padaku. Kalau kusuruh dia tidur sambil duduk di kursi, bisa-bisa dia tidak mau menemuiku lagi. Akan kubuat dia terjerat dalam pesonaku saat ini juga!
"Jangan. Lo tidur di kasur gue aja." Aku berjalan ke arah kamarku. Dia tetap berdiri mematung di depan pintu, "Ngapain lo diem di situ?"
"Gue nggak enak aja." gumamnya pelan.
Aku mendesis kesal, lalu kutarik tangannya dan kubawa ke arah kamarku. Kami berhenti di depan pintu kamar. Kupersilakan Julian masuk ke dalam meskipun dia ragu.
"Lo tidur di mana, Xel?"
"Gampang." jawabku. Padahal sama sekali tidak gampang. Mungkin aku akan tidur di mobil. Yang jelas aku tidak mau seranjang dengan Julian, "Udah, lo lanjutin mimpi indah lo. Besok gue antar lo pulang."
Julian tidak menyahut sewaktu kututup pintu kamarku pelan. Kutinggalkan dia sendirian di kamarku. Lelah sekali hari ini. Siapa sangka aku akan langsung melakukan aksi pendekatan setelah uang lima belas juta itu kudapatkan. Semula kusangka hari ini aku hanya akan mengumpulkan informasi mengenai Julian.
Aku berjalan lunglai ke dapur. Kubuka kulkas untuk mencari makanan yang bisa sedikit meredakan rasa lapar. Kulihat Amaya membuat puding cokelat. Lumayan daripada tidak ada makanan sama sekali. Kuambil semangkuk puding itu dan kuhabiskan dalam sekejap. Tidak kenyang sih, aku butuh karbohidrat. Sayangnya tidak ada persediaan mi instan. Rendy brengsek itu pasti sudah menghabiskannya.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul lima pagi. Rasanya percuma sekali aku tidur sebab sebentar lagi harus bangun dan mengantar Julian pulang. Aku menyibukkan diri browsing di ponselku hingga tak sadar aku terlelap dengan kepala bersandar di meja makan.
***
"KYAAAAAAAAAAAAAA..."
Demi hujan badai, ada apa ini? Aku berjingkat kaget, samar-samar melihat sosok Amaya yang berdiri di depan pintu kamarku yang terbuka. Gadis itu menutupi wajah dengan kedua tangannya. Tak hanya aku yang terbangun akibat teriakannya, Rendy juga bangkit dari kasur lipat dan berlari menghampiri Amaya.
Telunjuk Amaya mengarah ke kamarku, "I-itu... cowok... siapa?!"
Perlu sepersekian detik bagiku untuk memproses kalimat Amaya. Baru aku sadar, yang tidur di kamarku adalah Julian. Wajar kalau Amaya terkejut. Aku bergegas ke arah kamarku.
"May, itu teman gue!" teriakku dari dapur. Amaya dan Rendy memandangku bingung.
Dan ketika aku sampai di depan pintu kamar, Julian sedang menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya tak kalah bingungnya dengan Amaya dan Rendy.
"Sorry, Xel..." gumam Julian meminta maaf, entah untuk apa.
Aku tersenyum kaku pada Amaya dan Rendy, "Dia Julian, teman gue." Aku memberi kode pada mereka, berharap mereka paham bahwa Julian itu salah satu 'pekerjaanku'.
"Lo nggak pernah cerita."
"Ki-kita baru kenal kok. Gue pulang aja, Xel."
Anehnya, meskipun dia sudah berpamitan, namun Julian tidak beranjak dari ranjangku. Aku mengernyit. Kualihkan pandanganku ke arah ransel Julian dan tumpukan bajunya yang dilipat rapi—yang kumaksud baju adalah jaket, celana jins dan kaosnya. ASTAGA DIA TELANJANG?
Julian menatapku dengan memohon. Tanpa bertanya, aku mengerti situasinya. Dengan segera, kudorong tubuh Amaya dan Rendy keluar dari kamarku lalu kututup pintunya. Mereka mendecak kesal dan meminta penjelasan dariku.
"Xel, lo tidur ama tuh cowok?"
"Gimana mau tidur bareng. Gue aja tidur di dapur." Aku sedikit menggerutu.
Rendy berkacak pinggang, "Terus dia itu siapa? Kok udah tidur nggak pake baju segala. Gue pikir lo udah pindah haluan."
Aku menarik mereka menjauhi kamarku agar Julian tidak bisa mendengar pembicaraan kami, "Dia itu korban klien gue. Gue disuruh deketin dia. Yang gue ceritain di group chat." bisikku.
Mata bulat Amaya membelalak. Dia menutupi mulutnya yang ternganga dengan kedua tangan, "Yang empat puluh juta itu?"
Aku mengangguk pelan, "Ya. Itu dia."
Rendy tak kalah terkejutnya, "Berarti lo gerak cepat. Hari pertama langsung ngajakin tidur."
Aku memukul kepala Rendy dengan keras, "Pala lo botak! Siapa yang ngajakin tidur? Dia ketiduran di mobil gue jadi gue nggak bisa pulangin dia ke rumah." Aku sengaja tidak menceritakan bahwa aku tahu di mana Julian tinggal.
"Ye nggak usah mukul dong, bro." Rendy mengelus kepalanya yang kesakitan sambil cemberut. Dia mengarahkan kepalanya pada Amaya—berharap gadis itu akan mengelusnya juga. Tapi Amaya justru memukul kepala Rendy sekali lagi.
"Ja-jadi lo beneran mau deketin dia?" Amaya menatapku tak percaya, "Apa lo nggak ngerasa aneh gitu?"
"Aneh sih aneh tapi demi uang segitu, siapa sih yang nggak mau?"
"Kurang banyak bro. Lagian butuh waktu buat deketin dia kan. Emangnya dia belok?"
"Dia—"
"Axel,"
Kami bertiga serempak menoleh ke arah asal suara, yaitu Julian yang sedang berdiri canggung di depan kamarku, membawa ranselnya dan sudah siap pergi. Diskusi pagi kami terhenti sementara. Dia tersenyum. Manis sekali senyumnya, ugh. Apa aku mulai aneh juga?
"Thanks, Xel. Gue mau pamit."
"Lo pulang sekarang? Tunggu, gue antar." Aku tidak perlu berganti pakaian sebab aku masih mengenakan pakaian semalam. Kuraih kunci mobilku dan siap berangkat. Julian mencegahku beranjak.
"Nggak usah, Xel. Gue bisa pulang sendiri kok." Dia menganggukkan kepala, berpamitan sambil berjalan ke pintu keluar.
"Nggak papa biar diantar Axel aja. Bisa-bisa lo nyasar." Tiba-tiba Rendy menyahuti. Aku heran karena tidak biasanya dia ikut campur masalah klienku. Aku mengiyakan ucapan Rendy.
"Ya, daripada lo nyasar malah kacau kan. Rumah lo kan jauh dari sini."
Julian menatapku curiga. Baru kusadari aku mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan, "Dari mana lo tau rumah gue jauh?"
Aku gelagapan, "Gue cuma nebak aja sih. Kayaknya jauh. Benar ya?" Senyumku terkesan memaksa. Aku merasa Rendy menahan tawa di belakangku. Kurang ajar si Rendy.
Akhirnya Julian menyerah dan mengizinkanku mengantarnya pulang. Kalau dipikir, aku tampak sangat putus asa hingga memohon untuk mengantar Julian padahal biasanya para wanita yang berebut bersamaku. Aku hanya bisa pasrah demi uang.
Ketika kami berpamitan pada Amaya dan Rendy, sepintas kulihat tatapan Amaya yang tidak suka dengan Julian. Aku tersenyum seraya mengusap rambut panjang Amaya. Mungkin dia merasa kesal karena ternyata Tika memperkenalkanku pada klien yang 'lain dari biasanya'.
Di dalam lift kami tidak saling bicara. Suasananya semakin canggung tapi aku tidak ingin memperparah suasana dengan membiarkan Julian terdiam. Bukankah aku harus menarik perhatiannya?
"Bibir ama pipi lo masih sakit?" Aku sedikit melirik ke pipi Julian yang terkena tamparan.
Kuamati wajah lelaki itu. Hidungnya mancung untuk ukuran orang Indonesia. Kulitnya tidak putih tapi juga tidak sawo matang. Penampilannya secara keseluruhan enak dipandang dan tidak ada aura gay-nya—kalaupun gay memang mengeluarkan aura. Tidak sedikitpun tampak bahwa Julian adalah penggoda suami orang. Dia malah terlihat seperti anak kuliah.
Julian menggeleng, tetapi tidak memandangku. Kami terdiam. Aku sungguh kesal. Kenapa harus aku yang mencari bahan pembicaraan?
"Biasanya lo sarapan apa?"
"Kadang dibawain makan ama teman kos." jawabnya singkat. Meski nada suaranya tak terdengar ketus, namun aku tahu dia merasa risih karena aku terus mengajaknya berkomunikasi.
"Oh," Aku memutar otak untuk mencari pertanyaan selanjutnya, "Kalo pagi lo kuliah?"
Dia membuang nafas dan akhirnya memalingkan wajahnya ke arahku. Tatapannya yang tajam itu seakan menusuk rongga mataku, "Kenapa sih lo mau nyelidikin gue?"
Serba salah. Aku hanya berusaha akrab dengannya!
"Gue nggak bermaksud nyelidikin lo kok. Cuma pengen kenal aja."
Sepersekian detik itu terasa panjang, terlebih lagi ketika kupandangi manik mata Julian yang menyiratkan kekecewaan, kekesalan dan entah emosi apa lagi. Dari bibirnya terdengar sepotong kalimat yang seperti bisikan.
"Kenapa... harus gue?"
Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya. Yang jelas, setelah itu pintu lift terbuka dan Julian mempercepat langkahnya menjauhiku. Kupikir dia akan berlari keluar parkiran untuk mencari taksi di depan pelataran apartemen. Ternyata dia berjalan menuju mobilku.
Dan sepanjang perjalanan, Julian mendiamkanku.
Saat sudah hampir sampai di kos Julian, ponselku bergetar. Kugunakan bluetooth headset di telingaku lalu kujawab panggilan masuk tersebut. Aku tidak mengenal nomornya tapi pasti salah satu klienku.
"Ya?"
"Kakak! Nanti bisa jemput Nayla nggak?"
Aku mengerutkan alis, "Nayla?" Seharusnya besok aku menjemputnya sepulang sekolah kemudian menonton bioskop, bukan hari ini, "Hari ini?"
"Bener Kak. Ternyata hari ini Nayla dan temen-temen mau cari bahan buat ngajar. Soalnya lusa kita mau adain bakti sosial—ngajarin anak-anak jalanan. Nah, Nayla pikir kenapa nggak hari ini aja pamerin Kakak ke temen-temen Nayla. Nggak papa kan, Kak?"
Dalam hati aku mengeluh, tapi Nayla juga salah satu klienku jadi tidak mungkin aku menolaknya. Kulirik Julian yang berpura-pura cuek padahal berusaha menguping pembicaraanku dengan Nayla, "Oke deh, gue jemput lo abis ini."
"Asik! Makasih Kakak! Jangan lupa jemput Nayla ya!"
Aku memutuskan sambungan. Dasar remaja. Seenaknya sendiri mengubah jadwal dan menelepon tidak pada waktunya. Mungkin dia masih belum masuk kelas sehingga menyempatkan diri menghubungiku sebelum dia lupa. Rasanya aku tidak akan sempat mandi dan berganti baju di apartemen, mengingat jarak ke sekolah Nayla seperti dari ujung ke ujung. Tiba-tiba muncul ide tidak masuk akal di otakku.
"Julian, boleh nggak gue numpang mandi di rumah lo?"
Julian tertegun sejenak, "Uhm, itu bukan rumah gue, tapi kosan gue. Nggak papa sih, tapi nggak senyaman apartemen lo."
Padahal aku tahu bagaimana keadaan kos Julian karena itu dulu tempat tinggalku selama beberapa tahun, "Nggak papa. Santai aja lagi. Thanks ya." Sukses. Dia berhasil membuat Julian selangkah lebih memercayainya dan mengizinkannya mampir di kos.
***
Ternyata aku merindukan kamar kosku yang dulu. Kini kamar ini ditempati oleh Julian—dengan tatanan berbeda dan tidak kalah kacaunya dengan kamarku dulu. Aku tidak menyalahkannya. Kamar ini memang sempit sehingga beberapa barang harus dijejalkan ke dalam kardus, persis seperti yang kulakukan dulu. Julian tergesa-gesa meraih beberapa potong baju yang tersebar di lantai dan kasurnya, lalu memasukkannya dengan asal ke dalam lemari. Aku hanya menahan tawa melihatnya panik.
"Uh, kamar mandinya ada di ujung lorong itu—bukan yang di sebelah kamar gue ya, itu tempat cuci baju." Julian menunjuk ke arah luar kamarnya, "Dan, handuk... uh," Dia mondar-mandir, membuka kardus di samping lemarinya. Dari dalam kardus itu menyembul baju-bajunya. Julian mengeluarkan handuk putih kecil seperti handuk tukang cukur lantas menyerahkannya padaku.
Serius, Julian. Itu handuk tidak akan cukup untuk mengeringkan seluruh tubuhku! Tapi mau bagaimana lagi, ini salahku karena mendadak menumpang mandi di kos Julian.
"Gue cuman punya handuk ini sih."
"Oke, makasih." Dengan sengaja aku membuka kaosku di depan Julian, tanpa bermaksud membuatnya salah tingkah. Ini sudah jadi kebiasaanku waktu aku tinggal di kos. Sayang sekali waktu kulirik reaksi pemuda itu, yang ditunjukkannya hanya sikap cuek. Dia lebih memilih berkutat dengan ponselnya.
Brengsek. Aku sedang menunjukkan tubuh kebanggaanku dan Julian malah mengacuhkanku. Gara-gara sikapnya itu, aku membasuh tubuh secepat kilat. Sejauh ini, berada di dekat Julian tidak membuatku nyaman. Biasanya aku tidak peduli dengan kenyamanan saat bersama klienku. Aku hanya berpikir 'asal bisa menuruti kemauan mereka', aku terus melanjutkan pekerjaanku.
Tapi kali ini situasinya berbeda. Amat sangat berbeda. Aku harus menarik perhatian Julian sampai pemuda itu menyukaiku dan meninggalkan suami Veronica. Itu bukan hal yang mudah terutama bila aku merasa tidak nyaman bersama Julian.
Aku berjalan masuk ke kamar Julian. Kudapati dirinya sedang tengkurap di atas kasur, memunggungi pintu kamar dan masih setia dengan ponselnya. Kuhampiri Julian sambil mengembalikan handuk pinjamannya. Dia tidak menoleh, hanya mengulurkan tangan ke arah belakang untuk menerima handuk dariku.
"Udah?" Hanya pertanyaan itu yang terlontar dari bibirnya.
"Udah. Thanks." Rasanya kesal diacuhkan begini, "Gue balik dulu, ya."
"Yup." Akhirnya dia tak lagi tengkurap melainkan beranjak dari kasur lalu menghadap ke arahku. Julian tersenyum namun wajahnya tampak mengantuk, "Thanks udah ngantar gue pulang. Sori ngerepotin lo."
"No probs. Ntar lain kali gue yang repotin lo."
"Bukannya lo udah repotin gue dengan mandi di sini?" Julian mengerjap bingung.
Astaga. Orang ini! Kenapa sih tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar pahit? Apa tidak bisa basa-basi sedikit?
Terlalu syok, aku kehilangan kata-kata dan terpaku di tempat.
"Uhm... lo ngapain diem gitu?" gumam Julian. Dia menggerakkan kelima jarinya di depan wajahku. Seakan nyawaku kembali, aku memundurkan tubuhku selangkah darinya.
"Kurang tidur." Memang benar aku tidak bersandiwara. Aku mengantuk luar biasa dan rencana tidur siangku dikacaukan oleh Nayla.
"Oh," Bibirnya membentuk huruf O, "Lo... mau numpang tidur bentar di sini?" tanya Julian ragu.
Walau tawaran itu terdengar menggiurkan, namun dengan amat sangat terpaksa harus kutolak. Aku tidak ingin kebablasan tidur dan lupa menjemput Nayla, si Tuan Putri manja itu.
"Nggak usah deh. Lain kali aja gue main ke sini."
Julian mengantarku sampai di depan pintu kamarnya. Dia mengangguk canggung dan tanpa peringatan langsung menutup pintu tepat di depan wajahku, hampir saja meremukkan tulang hidungku!
"Buset nih orang...."
Butuh keajaiban untuk membuatku tahan berada di dekat Julian.
-Bersambung-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top