Contact Person : AXEL [Chapter 01]

Yuk, baca ini dulu sebelum kalian baca Chapter 1.

Halo teman-teman semua,

Contact Person : Axel sudah dibukukan dalam bentuk cetak dan E-book. Jadi mohon maaf kalau chapter yang ada di sini tidak lengkap, hanya sampai Chapter 10.

Untuk keterangan lebih lanjut di mana dan gimana kalian bisa beli bukunya (cetak dan PDF), bisa cek poster di bawah ini atau cek part terakhir yang judulnya "Ready Stock Novel Cetak & E-Book"


Terima kasih. Sehat-sehat selalu, guys!

***

Sebelumnya, aku mau minta maaf karena lama banget hiatusnya. Sebenernya aku sempat nggak pengen lanjutin cerita ini. Tapi kayaknya sayang banget kalo nggak aku lanjutin. Axel ini udah ada sejak 2014-2015. Mungkin pembaca lama udah pada nikah dan punya anak semua ya. Hehehe.

Aku pengen buat Axel dan Julian bahagia, walaupun cuma dalam tulisan. Dan semoga ending bahagia yang sederhana ini bisa bikin kalian semua lega.

They deserve their own happiness.

Terima kasih buat yang udah baca dan dukung Axel selama bertahun-tahun. Semoga cerita ini punya tempat tersendiri di hati kalian.

-Ricca Sophia-

***


Seorang gadis berambut panjang berseragam SMA tampak berjalan tergesa-gesa dari kejauhan. Sosok itu menghampiri sebuah kafe tempatku sedang menikmati secangkir kopi hitam. Semula aku belum yakin bahwa gadis SMA itu adalah gadis yang sama dengan yang menghubungiku kemarin untuk membuat janji temu di kafe ini. Aku tidak menyangka foto profil Line-nya terlihat begitu dewasa, namun ternyata dia masih remaja. Dia tahu wajahku lalu melambaikan tangannya dengan ceria, tipikal anak SMA. Aku hanya menyahuti dengan anggukan.

Dia menarik kursi di hadapanku. Senyum manis mengembang dari bibirnya yang dilapisi liptint, "Udah lama nunggu ya, Kak? Maaf tadi Bu Guru ngasih pengumuman dulu setelah bel pulang. Makanya Nayla pulang telat."

Aku tersenyum, "Nggak lama kok. Tapi lain kali Line dulu kalo mau ngaret."

Nayla tidak terbiasa dengan ucapanku yang tidak disaring, namun dia berusaha tersenyum. Tiap orang memiliki kepribadian yang berbeda dan aku adalah laki-laki yang tidak bisa berbicara basa-basi walaupun dengan wanita.

"Maaf ya, Kak Axel. Nayla nggak maksud ngaret."

Permohonan maafnya terdengar tulus. Aku mengangguk. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas selempangnya. Sebuah amplop. Kedua mataku berbinar. Aku bisa memperkirakan isi amplop itu dari ketebalannya. Meski tak tembus pandang, tampak sekilas warna kemerahan. Dalam hati, aku tersenyum puas.

"Ini, Kak, sesuai perjanjian kita." Nayla mengulurkan amplop itu dan segera kuterima. Sebelum mengiyakan permintaannya, tentu harus kuhitung isi amplop itu. Aku tidak mudah dibodohi. Sejujur apapun seseorang terlihat, kita tak boleh memercayainya seratus persen.

"Kok cuma tiga setengah juta, sih? Perjanjian kita kan empat juta." Kukembalikan amplop itu lagi padanya, "Atau kita batalin aja."

"Aduh, Kak. Kan cuma tiga kali ketemuan aja, masa segitu? Ayolah Kak Axel, diskon dikit dong."

"Nayla, gue bukan kerja sosial. Jadi kalo lo nggak sanggup bayar, mending lo cari bantuan dari temen sekolah lo aja. Gratis, malah. Dan jangan pikir gue nggak tau berapa uang jajan lo sebulan, Nayla. Empat juta tuh bukan apa-apa."

Wajah cantik Nayla semakin ditekuk. Aku tidak berbohong. Aku sangat mengerti hedonisme yang terjadi di kehidupan SMA jaman sekarang. Tidak kubiarkan anak SMA mempermainkanku dengan meminta diskon.

"Oke, oke. Nih!" Dengan kesal dia meletakkan lima lembar seratus ribuan di atas amplop, "Jadi mulai besok Kak Axel jemput Nayla di sekolah. Nayla pulang jam dua siang. Kakak harus datang lebih awal biar teman-teman Nayla belum pulang. Terus Kakak pake baju kayak anak kuliah, jangan pake setelan jas."

Aku menyeringai, "Emang lo pernah liat gue pake setelan jas?"

"Enggak sih, tapi Nayla pernah dengar aja ada yang minta Kak Axel pake jas."

"Terus, lo mau ganti nama gue jadi siapa?"

Nayla tersipu malu. Dia menatapku dengan penuh kekaguman. Anak SMA yang satu ini mudah sekali berubah ekspresi—dari cemberut lalu tersenyum malu, "Uhm, Nayla udah mikir nama yang kira-kira cocok buat Kakak. Vano."

"Oke, Vano." Aku mengulang nama pemberiannya sekali lagi agar lebih mendalami peran dan tidak tertukar dengan nama-nama samaranku yang diberikan oleh klien.

Seakan teringat sesuatu, Nayla sedikit terlonjak kaget, "Oh ya Kak, kita belum selfie berdua. Kan Nayla harus ganti foto profil Line, buat pamerin ke grup kalo kita pacaran."

Anak ini banyak maunya. Aku menghela nafas panjang, "Duduk sini. Cepet." Aku menyuruhnya duduk di sampingku. Dia duduk sangat dekat denganku, menyandarkan kepalanya di bahuku. Rambutnya yang tergerai itu mengenai leherku dan membuatku geli. Kemudian dia merentangkan tangannya yang menggenggam ponsel. Dengan beberapa kali jepretan serta beberapa kali berganti pose, akhirnya dia puas dengan hasilnya. Tentu saja dia langsung mengganti foto profil Line-nya.

"Kak, makasih banget ya. Nayla yakin cowok brengsek itu pasti bakal nyerah nguntit Nayla kalo dia tau Kak Axel itu pacar Nayla."

Aku mengedikkan bahu, "Gue nggak jamin sih. Tapi semoga aja dia nggak ganggu lo lagi." Kulirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku masih ada janji dengan gadis lain, "Nayla, gue pamit dulu. Masih ada urusan."

"Oh, oke Kak. Sampai ketemu besok ya. Jangan lupa jemput Nayla."

Hanya dengan kedipan satu mataku, wajah Nayla sudah memerah bak kepiting rebus. Dalam hati, dia pasti menggelepar bahagia.

Mungkin kalian sempat menerka apa sebenarnya pekerjaanku? Aku seorang penyedia jasa kekasih pura-pura. Dengan bayaran yang sesuai, aku bersedia menjadi kekasih gadis-gadis yang memintaku. Tidak jarang mereka menggunakan jasaku untuk membuat orang lain cemburu. Aku juga pernah disuruh merayu seorang gadis oleh pacarnya sendiri. Lelaki itu beralasan bahwa untuk memutuskan gadis itu, perselingkuhan adalah alasan yang tepat. Aku tidak mengerti jalan pikirnya, tapi kalau bayarannya sesuai aku pasti setuju.

Baru-baru ini sedang tren di kalangan gadis SMA untuk memamerkan pacar yang tampan di depan teman-temannya untuk meningkatkan status mereka, sehingga banyak sekali gadis SMA yang menggunakan jasaku. Kalau dibilang aku gigolo, tidak juga sih. Aku tidak pernah melakukan hubungan seks dengan mereka. Aku sangat membatasi apa yang boleh dan tidak boleh kulakukan. Selama masih dalam batasan pelukan, bergandeng tangan atau berciuman, tidak masalah buatku. Untuk ciuman pun kubatasi hanya ciuman pipi atau bibir. Di bawah wajah adalah area terlarang.

Orang-orang mengetahui jasaku dari rekomendasi teman-teman mereka. Aku sendiri tidak pernah secara blak-blakan memasang iklan jasaku di internet atau di koran layaknya iklan lowongan pekerjaan, tapi selalu saja ada klien yang menghubungiku.

Sudah beberapa tahun aku melakukan pekerjaan ini dan aku sangat menikmatinya. Aku bisa mengatur jam kerjaku sendiri serta bisa memutuskan klien mana yang kuterima atau kutolak. Pekerjaan yang sangat menyenangkan bagi seorang lelaki terutama karena bisa bersama beberapa wanita dalam satu waktu tanpa harus takut dicurigai atau dicemburui.

Kini aku menemui klien selanjutnya, seorang gadis yang kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Berbeda dengan Nayla yang berparas cantik, Puspa adalah gadis biasa dan sangat sederhana. Sudah dua kali kami bertemu dan Puspa selalu mengenakan kemeja dan celana jins biru pudar. Sehingga untuk menyeimbangi gaya berpakaiannya, aku mengenakan kaos berkerah dan celana jins. Tak lupa kacamata baca tanpa minus yang membuatku tampak sedikit kutu buku. Itu permintaan Puspa.

Kuparkir mobilku cukup jauh dari tempat kami bertemu, yaitu di depan fakultasnya. Sesuai permintaannya lagi, dia ingin aku bergaya sederhana—pergi ke mana-mana menggunakan Transjakarta. Yang benar saja. Untuk menjiwai peranku, aku berjalan kaki ke tempat pertemuan kami supaya tubuhku sedikit bau keringat dan matahari, tapi tetap menolak menggunakan transportasi umum.

Puspa sedang berbincang-bincang di depan pintu kelas bersama teman-temannya. Aku langsung tahu sosoknya dilihat dari belakang. Kucir kuda itu sungguh khas Puspa. Kuhampiri Puspa yang sedang mengobrol dengan beberapa temannya dan seorang laki-laki paruh baya berkemeja rapi, sepertinya itu dosen.

"Puspa, maaf baru datang." Aku menepuk bahunya pelan, lalu tersenyum sopan ke arah teman-temannya satu persatu, termasuk ke arah dosen itu. Bibir Puspa menyunggingkan seulas senyum manis.

"Hei, Gandhi. Nggak lama kok. Lagian aku lagi ngobrol ama anak-anak."

Oh ya, aku lupa kali ini namaku Gandhi. Kutunjukkan aktingku sebagai kekasih yang santun dan gentleman. Kutawarkan bantuan untuk membawakan diktat-diktat tebal dalam dekapan Puspa. Dia menyerahkan dengan senang hati. Bisa kulihat tatapan kagum dari teman-temannya, tapi ketika kupalingkan wajah ke arah dosen itu, dia memandangku sebal. Puspa tak pernah menceritakan alasan menggunakan jasaku. Kupikir dia hanya ingin pamer ke teman-temannya bahwa dia sudah punya pacar. Namun melihat tatapan sinis yang ditunjukkan dosen tersebut, aku menebak itu semua ada hubungannya dengan Puspa.

"Kenalin, ini tunangan aku, Gandhi." Puspa memperkenalkan diriku.

Satu-persatu kujabat tangan teman-temannya dan saat berhadapan dengan dosen itu, dia sama sekali tidak menyambut jabatan tanganku. Aku menyeringai canggung. Sial. Harkat dan martabatku runtuh diabaikan seperti itu.

"Pak Deni, teman-teman, aku pulang dulu ya. Setelah ini kami ada janji dengan orang tua Gandhi."

"Puspa," panggil laki-laki yang bernama Pak Deni itu. Puspa berusaha tersenyum namun tubuhnya semakin mendekatiku, seakan meminta perlindungan, "Tolong pertimbangkan lagi tawaran Bapak tentang magang itu."

"Ya, Pak. Saya pertimbangkan lagi. Terima kasih." Buru-buru dia menarik pergelangan tanganku untuk segera pergi dari situ. Kurasakan tangannya gemetar.

Setelah berjalan agak jauh dan berada di tempat aman, barulah Puspa melepas genggaman tangannya. Dia membungkuk mengatur nafasnya yang terengah-engah, meski kami tidak berlari.

"Jadi Pak Deni itu alasan lo pake jasa gue?" tanyaku berbisik. Puspa mengangguk lantas memandangku dengan mata berkaca-kaca. Bulir air mata itu sudah mengancam jatuh di pipinya. Kurengkuh bahu gadis itu, kuusap perlahan, "Lo jangan nangis dong. Panik, gue."

"Pak Deni ngelecehin gue...." Suaranya tersengal-sengal karena tangis.

"Kan lo bisa laporin ke Dekan atau Rektor. Nanti dia yang dipecat."

"Gue nggak berani. Dia ngancam gue, Xel."

"Seharusnya lo jebak dia. Rekam perlakuan dia ke lo atau gimana. Biar ada bukti waktu lo lapor ke Dekan. Kalo cuma pura-pura udah tunangan ama gue kan nggak ngaruh."

"Ngaruh, Xel." Puspa mengusap air mata dengan lengan kemejanya, "Waktu itu kita jalan bareng pertama kali, Pak Deni udah ngamatin kita dari jauh. Terus besoknya dia tanya ke gue lo siapa. Sejak itu dia udah nggak pernah pegang-pegang gue lagi."

Aku iba mendengarnya. Kalau sudah begini, ingin rasanya kutonjok muka laki-laki pengecut itu. Namun bila kuingat pekerjaanku, kuurungkan niatku untuk menghakimi Pak Deni. Aku juga tak kalah brengseknya dengan dia. Aku memperjualbelikan hubungan percintaan. Aku tidak berhak menilai seseorang.

"Hmm, sekarang lo mau ke mana? Makan malam?" tawarku, tak ingin Puspa merasa galau lebih lama.

Puspa menatapku bingung, "Apa gue harus bayar lebih buat makan malam bareng lo?"

Aku menahan tawa, "Ya nggak lah. Makan malam kan termasuk ritual kencan. Bukannya kita masih tunangan?"

Puspa mengulum senyum, namun tak lama kemudian air matanya tumpah lagi. Kali ini tangis haru, begitu katanya. Sebab ini pertama kalinya seorang laki-laki bersikap santun padanya. Aku terkejut mendengar pengakuan Puspa. Tapi sekali lagi—dia adalah salah satu klienku. Aku dilarang terlibat secara emosional dengannya.

***

Mobilku memasuki area parkir apartemen tempatku tinggal. Home sweet home. Setelah sekian lama menabung, akhirnya aku punya cukup uang untuk menyewa apartemen dan meninggalkan kos lamaku yang terletak di daerah terpencil di Jakarta barat. Alasannya sederhana; tempat kosku tidak menyediakan tempat parkir mobil. Lagipula aku semakin tidak nyaman dengan sifat selalu ingin tahu ibu kosku. Wanita itu selalu penasaran dengan pekerjaanku. Bertanya ini itu, menasihati ini itu, seakan ia tahu segalanya.

Bang Ikhsan, sekuriti di apartemenku, menyapaku ramah. Dia adalah salah satu dari sekian banyak sekuriti yang kukenal. Terkadang aku menyempatkan diri bermain catur menemani mereka jaga malam bila aku tidak bisa tidur. Sesekali kubawakan mereka camilan agar mereka tidak mengantuk saat patroli.

"Bang Axel, tuh Non Amaya baru dateng." lapor Bang Ikhsan, "Udah masuk ke dalem apartemen Bang Axel."

"Oke, makasih Bang. Nih, ada pisang goreng buat Abang." Kuserahkan sekantong pisang goreng yang baru kubeli. Masih hangat. Bang Ikhsan menyambutnya dengan senang.

"Makasih, Bang Axel. Makasih." Dia berkali-kali membungkukkan tubuhnya, mirip orang Jepang.

Aku tersenyum lalu berjalan ke arah lift. Kutekan angka delapan, lantai apartemenku. Apartemenku tidak besar—hanya ada satu kamar tidur, tapi cukup besar bila kedua temanku datang. Aku tidak punya banyak teman dan tidak berniat hidup dalam suatu komunitas. Salah satu temanku yang rajin berkunjung adalah Amaya. Gadis cerewet itu bertahan menjadi tempatku bercerita selama delapan tahun. Aku sendiri sudah lupa bagaimana awal perkenalan kami. Sedangkan temanku yang satunya adalah Rendy. Dia memiliki pergaulan yang luas dan bisa dibilang dia yang sering mempromosikan jasaku. Sepanjang pertemanan kami, Amaya dan Rendy tak pernah sekalipun menilaiku.

Kubuka pintu apartemenku. Ternyata ruangannya masih gelap gulita, "May? lo nggak usah ngumpet." Kupanggil Amaya agar keluar dari persembunyiannya. Butuh waktu sekitar semenit baginya untuk berdiri dari balik sofa dengan wajah masam. Amaya selalu berusaha mengejutkanku sepulang kerja.

"Lo nggak asyik, Xel." protesnya, lalu menyalakan lampu.

Aku hanya mendengus, "Udah makan, May?"

"Udah. Sama Rendy. Tapi dia langsung dugem ama anak-anak, jadi nggak ikut ke sini." Dengan santai, Amaya membuka kulkas dan meminum sebotol teh hijau bekasku.

"Oh, baguslah. Soalnya pisang goreng udah gue kasih ke Bang Ikhsan." Kujulurkan lidahku padanya. Amaya mencibir.

"Gitu ya. Sekuriti dibeliin camilan. Tapi temen sendiri cuma dikasih teh sisa." Dia menodongkan botol teh itu padaku.

"Gue panggilin Bang Ikhsan biar nyisain pisang gorengnya buat lo, oke?"

"Njir. lo kebangetan, Axel!" Amaya melemparku dengan bantal sofa. Aku terbahak-bahak dan ikut merebahkan diri di sofa empuk itu, sofa ternyaman yang kubeli dari hasil jerih payahku. Kulingkarkan lenganku di bahu Amaya.

"Udah ah, lo nggak usah cemberut gitu. Jelek banget muka lo. Pantes jomblo terus."

"Dih, pedes banget omongan lo. Ntar gue batalin nih janji ama klien." Amaya membuang muka.

Mendengar kata 'klien', semangatku langsung membara. Aku tak lagi mengolok Amaya karena dia sudah membantuku mencari klien baru. Kurayu Amaya agar mau memberikan nomor kontak klien itu. Membutuhkan waktu lima belas menit untuk meruntuhkan pertahanan Amaya. Aku tahu kelemahan Amaya adalah rayuanku. Meski dalam hati aku merasa diam-diam Amaya menyukaiku, tetap saja kusangkal. Dia mengirimkan nomor ponsel calon klien itu padaku.

"Namanya Tika. Kalo lo setuju, dia ngajakin ketemuan di Senayan City besok malam."

Aku berpikir sejenak. Besok aku ada janji dengan Puspa dan Nayla. Aku tidak bisa memprediksi berapa lama pertemuanku akan berlangsung. Bisa saja kami harus pergi ke mall bersama teman-teman Nayla atau mungkin makan malam dengan Puspa. Jadi kuputuskan untuk mengosongkan jadwalku sehari setelahnya.

"Wah May, besok gue ada kerjaan. Takutnya baru selesai setelah makan malam. Lusa aja gimana?"

"Huff, okelah gue bilangin Tika buat jadwal ulang pertemuan kalian." Dia mulai mengirim pesan pada gadis bernama Tika itu. Tak lama kemudian, datang balasannya, "Tika setuju ketemuan lusa di Senayan City. Ntar lo hubungin dia ya."

"Terus jam berapa lo mau pulang? Biar gue anter." Kulirik jam dinding. Waktu berlalu cepat. Tak terasa sudah pukul setengah sebelas malam.

"Gue nginep sini aja, Xel. Males pulang ah." Dia menyelonjorkan kakinya di sofa dan membenarkan posisi bantal. Secara otomatis aku tergusur dari situ. Kuambilkan selimut dan bantal empuk untuk Amaya. Dia terbiasa menginap di apartemenku tapi tak pernah terjadi hal tidak senonoh di antara kami. Kadang aku ingin tahu apa yang ada di pikiran Amaya tentangku. Yang jelas aku sangat menghargainya sebagai teman dan sebagai wanita. Aku tidak akan berbuat buruk padanya.

"Lo bawa baju ganti, nggak?"

Dia menggeleng, "Gue tidur gini aja. Udah ngantuk." Dia menyelimuti tubuhnya hingga sebatas dagu. Aku mengelus rambutnya dengan sayang. Kumatikan lampu ruangan agar dia bisa beristirahat.

"Mimpiin gue, May." bisikku.

"Males banget." gumamnya sebelum kudengar dengkuran halus dari bibir Amaya.

***

Suara berdebum dan rasa sakit di punggung serta pantat, membangunkanku dari mimpi indah. Kedua mataku terbuka lebar. Aku terguling dari atas tempat tidur. Setelah fungsi otakku berjalan normal, barulah kusadari pelaku yang membuatku terjatuh dari tempat tidur adalah Rendy. Dia selalu menendangku untuk membangunkanku, sebab alarm tak mampu membuatku terjaga.

Rendy berdiri tak jauh dari tempatku di lantai seraya melipat tangan di depan dada, "Kupret, bangun lo."

Aku mengusap mataku dengan punggung tangan, "Jam berapa?" Lalu menguap.

"Jam sembilan. Dan HP lo bunyi terus sejak tadi." Dia menunjuk ponselku yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidur. Kuraih ponselku untuk melihat identitas penelponnya. Ternyata Puspa. Gadis itu sudah delapan kali menghubungiku, tiga belas pesan di Line darinya. Kubaca pesannya.

Astaga! Aku lupa kalau hari ini adalah kencan terakhir kami. Aku harus mengantarnya ke kampus dan menemaninya menemui dosen mesum itu. Bergegas aku berlari menuju kamar mandi untuk sikat gigi, mencuci muka, berganti pakaian dan berangkat menuju kampus Puspa. Dia sudah berangkat karena takut terlambat. Amaya mengamatiku heran.

"Xel, nggak sarapan dulu?" Dia sedang sibuk di dapur, membuatkan Rendy secangkir kopi.

"Nggak sempat! Jangan lupa kunci pintu." pesanku. Amaya memang memiliki kunci apartemenku sehingga dia bebas keluar masuk seperti di rumahnya sendiri.

"Ati-ati, bro!" Rendy melambaikan tangan dari arah sofa. Aku tidak sempat membalasnya.

Sesampainya di kampus Puspa, aku berjalan menuju ruang 108 seperti yang tertera di Line dari Puspa. Sambil berharap perkuliahan masih belum selesai, aku menunggu di kursi kayu panjang yang terletak tak jauh dari ruang kelas. Kukirim pesan pada Puspa dan memberitahukan bahwa aku menunggunya di depan ruang 108. Di tengah kesibukanku menulis pesan, seseorang menepuk bahuku. Aku terkesiap. Salah satu teman Puspa yang kemarin diperkenalkan padaku, berdiri di hadapanku sambil tersenyum.

"Gandhi nungguin Puspa?" tanya gadis itu, sok akrab. Aku tersenyum basa-basi.

"Bener. Puspa masih kuliah kan?"

Gadis itu menggeleng, "Kuliahnya selesai duluan. Sekarang dia lagi bimbingan ama Pak Deni buat lomba esai."

Bedebah itu mengajaknya bimbingan? Hanya berdua?

"Di mana bimbingannya? Biar aku susul ke sana."

"Mereka di ruang rapat, di lantai dua, samping ruang dosen."

Aku mengucapkan terimakasih pada gadis itu lantas berlari ke lantai dua. Semoga tidak terjadi apa-apa. Aku sungguh mengkhawatirkan keselamatan Puspa. Aku sudah sampai di lantai dua, di depan ruang rapat yang pintunya terkunci. Dari jendela kecil di pintu itu, kuintip ke dalamnya. Aku melihat Puspa duduk memunggungi pintu dan di sampingnya seorang laki-laki terlihat sedang mengelus mesra punggung Puspa. Ketika laki-laki itu menundukkan kepalanya untuk mengecup puncak kepala Puspa, aku menggedor pintu dengan emosi.

"Woi! Stop!" Aku berteriak kalap, tak peduli dengan wajah penasaran dari beberapa mahasiswa yang lewat di sekitarku. Wajah Puspa tampak pucat dan ketakutan. Dia berjalan ke arah pintu dan membuka kunci ruangan sedangkan laki-laki bedebah itu terpaku kaget.

"Xel," bisiknya, menghambur ke pelukanku. Kami sama-sama melupakan nama penyamaranku, yakni Gandhi.

Masih tak dapat mengendalikan amarah, aku melangkah memasuki ruangan itu sembari mengarahkan telunjuk kepada dosen tak tahu diri itu. Walau tidak sopan, aku tak peduli, "Pak, jangan sembarangan pegang-pegang Puspa. Bapak bisa saya laporin." Sebenarnya tidak sedikitpun aku berniat melaporkan Pak Deni karena tidak ingin mencampuri urusan Puspa. Ini hanya ancaman saja.

Laki-laki itu terdiam. Puspa berlindung di balik punggungku, mencengkeram kaosku dengan gemetar.

"Pak, tolong hargai Puspa. Kalo Bapak pengen pegang-pegang, sewa aja pelacur. Puspa itu mahasiswa Bapak. Di mana etika Bapak sebagai pendidik?" Entah darimana kudapatkan kalimat yang begitu diplomatis layaknya pidato tujuh belasan. Pak Deni tertegun tak bisa berkata-kata, "Jangan diulangi lagi, Pak. Atau benar-benar saya laporin."

Pak Deni memandangku terkejut. Mungkin dia tidak menyangka aku akan bereaksi sedemikian ekstrim. Orang tersebut memang harus diberi pelajaran. Yang kulakukan barusan belum bisa dikatakan sebagai 'pelajaran' yang membuatnya jera.

Lalu kugandeng Puspa menjauhi ruangan itu menuju tempat yang lebih tenang. Sekali lagi, aku menahan diri untuk tidak menilai kelakuan Pak Deni secara pribadi, mengingat pekerjaanku juga tidak sesuci itu. Tetapi aku iba dengan nasib Puspa. Harus ada seseorang yang mengajarinya cara membela diri. Puspa sungguh penakut.

"Lo nggak papa, Puspa?"

Dia diam saja, kemudian tersenyum, "Makasih, Xel."

"Gue yang minta maaf. Seharusnya hari ini gue anter lo ke kampus dan nemenin lo, tapi gue malah ketiduran."

Puspa menggeleng. Dia menatapku dengan pandangan sedih, "Ini hari terakhir kita. Makasih udah nolongin gue. Kalo gue butuh lo lagi, boleh kan gue hubungin lo?"

Aku mengangguk, "Selama gue ada waktu luang, lo boleh minta bantuan gue lagi."

"Sekali lagi makasih, Xel." Puspa mengulurkan tangan untuk menyalamiku. Dia selalu seperti itu—bersikap resmi seolah kami baru bertemu pertama kali. Aku menjabat tangannya cukup lama.

"Puspa, jangan mau dimanfaatin ama laki-laki kurang ajar itu. lo nggak boleh diam aja."

Puspa tersenyum getir, "Gue hanya cari waktu yang tepat buat ngelawan Pak Deni. Toh sebentar lagi gue lulus kok."

Aku terdiam menatapnya cukup lama hingga Puspa merasa tidak nyaman kupandangi, lalu memalingkan wajahnya. Aku tidak mengerti bagaimana menasihati Puspa agar berani melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan Pak Deni. Tiba-tiba aku teringat janjiku untuk menjemput Nayla sepulang sekolah. Dengan kemacetan yang tak pernah absen melanda ibukota Indonesia ini, aku harus bergegas agar tidak terlambat. Bisa-bisa gagal rencana Nayla memamerkanku sebagai pacar barunya.

Aku sedikit mengangguk untuk berpamitan dengan Puspa, "Maaf ya, gue balik dulu, Puspa. Ada janji sama klien lagi."

"Hati-hati." Senyum Puspa penuh kepahaman akan pekerjaanku. Hebatnya seorang Puspa, dia tidak menghakimi dan menilai diriku seperti yang dilakukan kebanyakan klienku. Terkadang aku dapat melihat sorot merendahkan dari tatapan mata mereka, meskipun aku sudah membantu mereka. Tapi itu adalah hal wajar. Terlebih lagi pekerjaanku ini sangat tidak lazim.

"Ya jelas dong." Aku mengacungkan jempolku, kemudian berjalan menuju tempatku memarkir mobil. Puspa melambaikan tangan ke arahku yang semakin menjauh dari area kampusnya.

Kini saatnya melakukan pekerjaan selanjutnya.

***

Kemacetan di dekat daerah sekolah Nayla membuatku frustasi. Untung saja mobilku dilengkapi AC yang sejuk juga lagu-lagu dengan irama menghibur. Kalau mau, aku bisa melengkapinya dengan fitur televisi tapi setelah kupikir lagi, aku tidak ingin celaka karena menonton televisi sambil menyetir. Aku tidak mau membahayakan nyawaku dan orang lain hanya demi sebuah televisi.

Mobilku berjalan melambat atau istilah kerennya 'padat merayap'. Aku tidak ingin menyebut mobilku yang elegan itu dengan cara jalan cicak. Apalagi kalau sampai diberi sebutan 'padat ngesot' seakan arus lalu lintas itu segolongan dengan suster jadi-jadian.

Beberapa mobil berhenti di depan sekolah Nayla, menunggu bocah SMA itu selesai berpamitan dengan gengnya. Aku membunyikan klakson beberapa kali. Salah satu hal yang membuatku emosional adalah menunggu demi hal yang tidak penting begini.

Aku mengirim Line pada Nayla.

Nay, gue udah di depan pager sekolah. Lo dmana?

Parkir dong, Kak. Trus turun jemput Nayla.

Gila juga nih bocah. Apa dia tidak melihat betapa susahnya mobilku berjalan, apalagi disuruh mencari parkiran di jalan yang penuh sesak ini?

Macet tauk! Gue ogah putar balik lagi buat cari parkir.

Kaaaaak!! Empat juta buat apa kalo cuman nampang dari mobil?!

Aku menggerutu. Ada benarnya ucapan bocah SMA ini. Meskipun aku memperjualbelikan hubungan percintaan, aku bukan koruptor. Menyadari hal itu, aku mengambil lajur kiri dan mulai mencari-cari tempat kosong untuk parkir, tak peduli mobil di belakangku tak hentinya membunyikan klakson kepadaku.

Pak jukir memberikan aba-aba dengan peluitnya, menyuruhku menepi di kiri jalan di tempat yang sebenarnya terdapat tanda dilarang parkir. Aku membuka jendela lalu melemparkan pandangan 'yang bener aja lo, bro?' padanya, namun jukir tersebut justru membunyikan peluitnya bagai tanda peringatan.

"Parkir sini aja, Bos! Daripada macet!"

"Dilarang parkir itu, Bang." Aku menunjuk tanda huruf P dicoret itu. Jukir tetap menyangkalnya.

"Saya jagain mobil Bos. Tenang aja."

Aku sudah tahu maksud dan tujuan terselubung jukir itu. Setelah dia membantuku memarkir mobil, aku mengulurkan uang sepuluh ribuan yang kugulung dari dalam mobil. Jukir itu tersenyum lebar menunjukkan sederet gigi yang ompong di beberapa bagian.

"Oke Bos. Makasih Bos." Dia cengengesan.

"Beneran jagain lho, Bang. Gue nggak mau mobil gue diderek Satpol PP." ancamku, mengingat kejadian baru-baru ini di mana mobil yang parkir sembarangan bannya akan dikunci, dikempiskan atau diderek.

"Tenang, Bos. Satpol PP nya udah bespren sama saya."

Tak ingin berlama-lama berbincang dengan jukir, aku menutup kaca jendela. Kuganti pakaianku yang sangat kutu buku itu dengan pakaian yang lebih gaya, sesuai selera Nayla. Kini aku mengenakan kaos putih polos yang kurangkap dengan jaket warna krem, dan sneakers. Tak lupa kusemprotkan sedikit parfum untuk menghilangkan bau matahari akibat berjalan dari fakultas ke lapangan parkir. Aku tidak mau memberikan kesan buruk di depan teman-teman klien. Aku memandangi penampilanku dari kaca spion. Oke. Kini aku adalah Vano.

Kakak di mana???

Nayla mengirim Line lagi. Dia mulai panik karena aku tak kunjung muncul. Aku menyeberangi jalan memasuki pelataran sekolah Nayla. Semenjak menginjakkan kaki di sekolah itu, kurasakan berpasang-pasang mata memandangiku. Beberapa di antara murid-murid yang masih bergerombol di depan pagar sekolah berbisik-bisik. Bahkan kudengar bisikan mereka yang cukup keras.

"Eh, ada bule."

"Bule, bule tuh!"

"Astagaaaaa... bule cyn." Ini bisikan yang membuatku meringis geli. Kudengar suaranya adalah suara laki-laki. Aku menoleh sekilas ke arah bisikan itu. Seorang murid laki-laki dan seorang murid wanita itu langsung memalingkan wajah, pura-pura tidak tahu.

Lucu sekali tingkah mereka.

Padahal aku bukan bule. Well, setengah bule sih. Kudapatkan darah Kaukasian ini dari ayahku yang menghilang entah ke mana sejak aku lahir. Aku tidak pernah bertemu ayahku—si bule itu. Dan parahnya ibuku tidak pernah menceritakan apa yang terjadi dengan ayahku.

Kehidupanku memang tak kalah serunya dengan skenario sinetron. Dramatis sekali. Ibuku juga menjalani kehidupannya dengan dramatis—semua perkataannya yang menyakitkan padaku, menyalahkanku karena aku terlahir di dunia ini dan menghancurkan masa mudanya.

Dari kejauhan, sosok Nayla terlihat sedang melambaikan tangan penuh semangat. Teman-teman gengnya—kutebak dari cara mereka bergerombol, saling berbisik dan menunjuk ke arahku tanpa tahu malu—mulai bereaksi berlebihan.

That fangirls' moment.

"Kak Ax—Vano!" Nayla hampir saja keceplosan memanggilku Axel, namun segera diralat. Aku mati-matian menahan tawa agar sikap cool yang sedang kulakoni ini tidak goyah.

"Sayang," Aku mencubit pipinya dengan gemas. Wajah Nayla memerah. Tentu aku tahu diri. Ini masih di area sekolah, mana mungkin aku memeluk atau mencium Nayla?

Teman-teman gengnya meneriakkan 'kyaaaaaa' dengan nada tinggi yang membuat telingaku berdengung.

"Lama nunggunya ya? Maaf, Sayang." Aku memamerkan senyum andalanku yang berjudul 'Dunia milik berdua' di mana di mataku hanya tampak Nayla seorang, untuk selamanya—maksudku untuk beberapa waktu hingga kontraknya selesai.

"Oh ya temen-temen, kenalin ini cowok gue, Kak Vano." Dengan bangga Nayla mengenalkan diriku kepada teman-teman gengnya. Tak satupun kulihat sosok lelaki yang ingin dibuat cemburu oleh Nayla. Kalau begitu, sia-sia saja kedatanganku hari ini.

"Hai Kak Vano!" sapa mereka serempak bak paduan suara.

"Kak Vano bule ya?" tanya gadis yang tak kalah cantiknya dengan Nayla. Belum sempat kujawab pertanyaannya, gadis itu sudah menyikut lengan Nayla, "Nay, lo nemu bule ganteng di mana sih?"

Anak jaman sekarang...

"Ye, mau tau aja lo. Rahasia." jawab Nayla. Gadis itu mengerucutkan bibir.

"Pelit." sungutnya.

"Ye, lo udah punya pacar pebasket beken gitu, eh masih aja kepoin cowok gue." Nayla sewot.

"Ya tapi kan cowok gue masih anak SMA, Nay. Kak Vano kan udah kuliah."

Rasanya aku sudah tak perlu lagi memperkenalkan diri. Nayla pasti sudah menjabarkan panjang lebar mengenai identitasku saat teman-temannya mulai mengomentari foto kami berdua di profil Line Nayla. Tampang Nayla semakin bangga. Dia menepuk-nepuk dadanya dengan sombong.

"Apa sih yang Nayla nggak bisa lakuin." Nayla menyombong kemudian mengamit lenganku, "Yuk, Kak, kita pulang."

"Kita makan siang dulu dong, Sayang. Kamu pasti lapar kan?" ujarku.

Sekali lagi kudengar paduan suara berbunyi 'kyaaa'.

"Kak Vano, Nayla itu lagi diet." sahut gadis yang lain lagi.

Kucubit hidung mancungnya, "Nay nggak usah diet. Gini aja udah cantik banget, Nay."

Nayla tersipu malu. Berarti aktingku sudah memuaskan hingga membuat Nayla salah tingkah seperti itu. Aku agak mendekat ke arah Nayla untuk menanyakan tentang orang yang ingin dia cemburui.

"Mana si brengsek itu?" Aku berbisik.

"Itu. Berdiri dekat pos satpam."

Aku tak bisa langsung melihat sosok lelaki itu karena pos satpam yang dibicarakan Nayla letaknya di belakangku. Akhirnya kami berpamitan dan saat kubalikkan badan, laki-laki yang tadi ditunjuk oleh Nayla itu sedang memelototi kami.

"Berhasil, Kak." Dengan santainya, Nayla berusaha bersikap mesra padaku, "Si brengsek ngeliatin kita. Yes."

Kugandeng tangan Nayla ketika menyeberang dan kubukakan pintu mobil untuknya. Dari sudut mataku, kulihat lelaki yang dipanggil brengsek oleh Nayla itu terus mengikuti gerak-gerikku dan Nayla. Kalau kupikir Nayla nekat juga. Dia hanya ingin membuat seorang laki-laki cemburu.

Nayla tersenyum lebar ke arahku kemudian merangkul leherku, "Makasih Kak!"

Aku terperanjat, "Ya, sama-sama. Kan emang udah tugas gue."

"Nah, sekarang kita ke kafe tempat dia kerja part time. Biar dia tau gue nggak main-main." Nayla mengenakan sabuk pengamannya dan mengajakku segera pergi dari area sekolahnya menuju kafe yang dimaksud, "Kencan udah termasuk dalam tarif kan, Kak?"

Aku menahan tawa. Bahasa yang digunakan Nayla agak mengganggu di telingaku. Tapi memang begitulah pekerjaanku, aku tak bisa protes, "Ya. Udah termasuk tarif. Udah gue hitung pajak juga."

"Sepuluh persen, Kak? Kayak yang di restoran?"

"Lima persen aja." jawabku, lantas mengemudikan mobilku.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top